Kota Palopo

kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia
(Dialihkan dari Palopo)


Kota Palopo adalah sebuah kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus sebagai kota administratif sejak 1986 dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu yang kemudian berubah menjadi kota otonom pada tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tertanggal 10 April 2002.

Kota Palopo
Transkripsi bahasa daerah
 • Lontaraᨄᨒᨚᨄᨚ
Kedatuan Luwu Palopo
Kedatuan Luwu Palopo
Lambang resmi Kota Palopo
Julukan: 
Kota Idaman
Motto: 
ᨓᨑ
Ware'
(Luwu) Pusat pemerintahan Kerajaan Luwu
Kota Palopo di Sulawesi
Kota Palopo
Kota Palopo
Peta
Kota Palopo di Indonesia
Kota Palopo
Kota Palopo
Kota Palopo (Indonesia)
Koordinat: 3°00′S 120°12′E / 3°S 120.2°E / -3; 120.2
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
Tanggal berdiri10 April 2002
Dasar hukumUU No. 11 Tahun 2002
Hari jadi2 Juli 2002
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kecamatan: 9
  • Kelurahan: 48
Pemerintahan
 • Wali KotaFirmanza DP (Pj.)
 • Wakil Wali Kotalowong
 • Sekretaris DaerahFirmanza DP
 • Ketua DPRDNurhaeni
Luas
 • Total247,52 km2 (95,57 sq mi)
Populasi
 (30 Juni 2024)[2][3]
 • Total180.518
 • Kepadatan730/km2 (1,900/sq mi)
Demografi
 • Agama
  • 85,75% Islam
  • 0,16% Hindu
  • 0,16% Buddha
  • 0,03% Lainnya[2][4]
 • IPMKenaikan 81,25(2024)
sangat tinggi[5]
Zona waktuUTC+08:00 (WITA)
Kode pos
Kode BPS
7373 Edit nilai pada Wikidata
Kode area telepon0471
Kode ISO 3166ID-SN
Pelat kendaraanDP
Kode Kemendagri73.73 Edit nilai pada Wikidata
Kode SNI 7657:2023PLP
APBDRp 994.840.000.000,- (2023)[7]
PADRp 239.580.000.000,- (2023)[7]
DAURp 504.787.511.000,- (2023)
DAKRp 138.389.888.000,- (2023)
Semboyan daerahIdaman
(Indah, damai, dan nyaman)
Situs webwww.palopokota.go.id

Pada awal berdirinya sebagai kota otonom, Palopo terdiri atas empat kecamatan dan 20 kelurahan. Kemudian, pada tanggal 28 April 2005, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palopo Nomor 03 Tahun 2005, dilakukan pemekaran menjadi sembilan kecamatan dan 48 kelurahan. Kota ini memiliki luas wilayah 247,52 km²[1] dan pada pertengahan tahun 2024 berpenduduk sebanyak 180.518 jiwa.[2][3]

Sejarah

sunting

Perkembangan awal

sunting
 
Masjid Tua Palopo dengan corak khas Bugis

Kota Palopo ini dulunya bernama Ware yang dikenal dalam Epik La Galigo. Nama "Palopo" ini diperkirakan mulai digunakan sejak tahun 1604, bersamaan dengan pembangunan Masjid Jami' Tua. Kata "Palopo" ini diambil dari kata bahasa Bugis-Luwu. Artinya yang pertama adalah penganan yang terbuat dari ketan, gula merah, dan santan. Yang kedua berasal dari kata "Palopo'i", yang artinya tancapkan atau masukkan. "Palopo'i" adalah ungkapan yang diucapkan pada saat pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Jami' Tua. Dan arti yang ketiga adalah mengatasi.[8] Arti lainnya adalah pohon kemuning (Murraya paniculata), yang mungkin banyak tumbuh di daerah Palopo pada masa lalu.[9]

Palopo dipilih untuk dikembangkan menjadi ibu kota Kesultanan Luwu menggantikan Amassangan di Malangke setelah Islam diterima di Luwu pada abad XVII.[8] Perpindahan ibu kota tersebut diyakini berawal dari perang saudara yang melibatkan dua putera mahkota saat itu. Perang ini dikenal dengan Perang Utara-Selatan. Setelah terjadinya perdamaian, maka ibu kota dipindahkan ke daerahn di antara wilayah utara dan selatan Kesultanan Luwu.[8]

Kota dilengkapi dengan alun-alun di depan istana, dan dibuka pula pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat. Lalebbata menjadi pusat kota kala itu. Dalam kajian M. Irfan Mahmud, pusat kota ini melingkar seluas kurang lebih 10 ha, yang meliputi kampung Amassangan dan Malimongan.[8]

Dalam perkembangannya, maka perlahan-lahan Palopo meluaskan wilayahnya dengan terbukanya kluster kampung tingkat kedua, yakni Surutanga. Luasan wilayah kluster kedua ini sekitar 18 ha, dan diyakini dulunya menjadi pemukiman rakyat dengan aktivitas sosial-ekonomi yang intensif. Menurut penelitian, diduga bahwa Kampung Surutanga ini dihuni hampir semua golongan rakyat. Dengan lokasi yang dekat dengan pantai dan areal persawahan, maka sebagian besar masyarakat Surutanga saat itu bekerja sebagai nelayan dan petani. Pada kontek awal perkembangan Palopo ini, batas kota diyakini berada melingkar antara makam Jera’ Surutanga di selatan, makam Malimongan di sisi barat, dan makam raja Lokkoe di utara Sungai Boting.[8]

Perkembangan Palopo kemudian dilanjutkan dengan tumbuhnya Kampung Benturu sebagai kluster tingkat ketiga seluas 5 ha. Pemukiman Benturu kala itu dilingkungi benteng pertahanan yang terbuat dari tanah menyerupai parit. Tinggi rata-rata dinding benteng 2 meter dan lebar rata-rata 7 meter. Panjang benteng tidak kurang 5 kilometer menghadap pantai. Benteng ini disebut Benteng Tompotikka, yang bermakna “tempat matahari terbit”. Lokasi benteng ini diyakini berada di sekitar Kompleks Perumahan Beringin Jaya. Kala itu, dalam areal benteng ini terdapat jalan setapak sepanjang 1500 meter yang membujur timur-barat. Namun demikian, Kampung Benturu ini diyakini tidak sezaman dengan Surutanga dan Lalebbata. Benteng diperkirakan dibangun pada abad XIX untuk persiapan menghadapi Belanda.[8]

Masa Kolonial

sunting
 
Istana datu Luwu pada masa Hindia Belanda

Dalam catatan Gubernur Celebes tahun 1888, DF Van Braam Morris, pada saat itu di Palopo ada sekitar 21 kampung dengan jumlah bangunan rumah sebanyak 507 buah. Di era itu, Tappong menjadi wilayah paling padat dengan 100 rumah, lalu Ponjalae 70 rumah dan Amassangan 60 rumah. Total penduduk Palopo kala itu ditaksir sebanyak 10.140 jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk di wilayah Pulau Libukang yang mencapai 400 jiwa. Keduapuluh satu kampung tersebut adalah: Tappong, Mangarabombang, Ponjalae, Campae, Bonee, Parumpange, Amassangan, Surutanga, Pajalesang, Bola sadae, Batupasi, Benturu, Tompotikka, Warue, Songka, Penggoli, Luminda, Kampungberu, Balandai, Ladiadia dan Rampoang.

Dari catatan Morris ini, bisa ditarik kesimpulan sederhana bahwa saat itu memang Palopo sudah memperlihatkan sebuah ciri masyarakat urban. Hal itu ditandai dengan pemusatan penduduk yang lebih intensif dibandingkan daerah lain di wilayah Kerajaan Luwu. Menurut M. Irfan Mahmud, masyarakat dari Toraja dan Luwu bagian utara mulai menghuni Kota Palopo dengan menempati lahan bekas makam di Luminda dan separuh lahan persawahan sebagai kelanjutan pemukiman di tepi Sungai Boting. Kedatangan atau migrasi masyarakat Toraja dan Luwu bagian utara ini tentu didorong oleh sebuah harapan. Bagi mereka, selain menjadi bantuan untuk pertahanan militer kerajaan Luwu, Palopo juga dianggap lebih memberi harapan atas kehidupan yang lebih baik atas diri mereka.

Ciri masyarakat urban ini ditegaskan lagi dengan terbangunnya infrastruktur pada masa kolonial. Belanda mulai membangun Palopo pada tahun 1920. Oleh pemerintah colonial, alun-alun kerajaan dibanguni pasar dan rumah jabatan pegawai Belanda. Istana Datu Luwu yang terbuat dari kayu dirombak dan digantikan dengan bangunan berarsitektur Eropa. Didirikan pula sekolah, asrama militer, rumah sakit dan gereja di sisi barat istana. Selain itu, pembangunan pelabuhan dan gudang di bagian timur merangsang tumbuhnya pemukiman baru. Banyak lahan rawa pantai diubah menjadi pemukiman. Demikian pula di bagian barat, yang mana lahan persawahan mulai beralih fungsi menjadi pemukiman. Daerah-daerah tersebut antara lain adalah Sempowae, Dangerakko, Pajalesang dan Boting.

Masa kemerdekaan

sunting

Perkembangan Palopo mengalami pasangsurut akibat insiden 23 Januari 1946 dan pemberontakan DI/TII. Pembangunan kembali bergairah ketika Abdullah Suara menjabat Bupati Luwu kala itu. Ia membangun banyak infrastruktur seperti Masjid Agung Luwu-Palopo, kantor Bupati Luwu (yang habis terbakar akibat rusuh pilkada beberapa waktu lalu), rumah jabatan Bupati (Saokotae), hingga Pesantren Modern Datok Sulaiman. Hal ini menjadikan Palopo sebagai ibu kota Kabupaten Luwu mulai menjadi mercusuar ekonomi di utara Sulawesi Selatan. Perlahan tetapi pasti, peningkatan status Kota Administratif (kotif) kemudian disandang di 4 Juli 1986 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 1986. Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan melahirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 129 Tahun 2000, telah membuka peluang bagi kota administratif di seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.

Ide peningkatan status Kotif Palopo menjadi daerah otonom bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotif Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat seperti:

  • Surat Bupati Luwu nomor 135/09/TAPEM tanggal 9 Januari 2001 tentang Usul Peningkatan Status Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;
  • Keputusan DPRD Kabupaten Luwu Nomor 55 Tahun 2000 tanggal 7 September 2000 tentang Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi;
  • Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan nomor 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 tentang Usul Pembentukan Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;
  • Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan nomor 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Persetujuan Pembentukan Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;
  • Hasil Seminar Kota Administratif Palopo Menjadi Kota Palopo;
  • Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Organisasi Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita, dan Organisasi Profesi;
  • Disertai dengan Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotif Palopo menjadi Kota Palopo, kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota.
 
Wilayah Administrasi Kota Palopo

Akhirnya, setelah Pemerintah Pusat melalui Depdagri meninjau kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah, dan letak geografis Kotif Palopo yang berada pada Jalur Trans Sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa perdagangan terhadap beberapa kabupaten yang meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja, dan Kabupaten Wajo serta didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, Kotif Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom Kota Palopo.

Tanggal 2 Juli 2002 merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan pembangunan Kota Palopo, dengan ditandatanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom Kota Palopo oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Selatan, yang akhirnya menjadi sebuah daerah otonom, dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu.

Di awal terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya memiliki 4 wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring dengan perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.

Tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Palopo mencapai 8,8 persen. Dengan pertumbuhan yang cukup tinggi ini, Palopo tetap menjadi harapan dari warganya atas kesejahteraan yang lebih baik. Harapan ini tentu bukanlah harapan kosong belaka. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Palopo tercatat sebagai yang terbaik ketiga di Sulawesi Selatan. Inilah doktrin “wanua mappatuwo”. Palopo dan Tana Luwu pada umumnya adalah kota tempat menggantungkan optimisme dan harapan.

Geografis

sunting
 
Lokasi kota Palopo di provinsi Sulawesi Selatan.

Kota Palopo yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat) dan Kota Palopo (Sulawesi Selatan) terletak pada 02°53'15" - 03°04'08" LS dan 120°03'10" - 120°14'34" BT dengan batas administratif sebagai berikut:

Utara Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu
Timur Teluk Bone
Selatan Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu
Barat Kecamatan Walenrang dan Kecamatan Bassesang Tempe Kabupaten Luwu

Geologi

sunting

Struktur lapisan dan jenis tanah serta batuan di Kota Palopo pada umumnya terdiri atas 3 jenis batuan beku. Batuan metamorf dan batuan vulkanik serta endapan alluvial yang hampir mendominasi seluruh wilayah Kota Palopo.

Penyebaran jenis batuan dan struktur lapisan tanahnya mempunyai kecenderungan batuan beku granit dan garbo serta beberapa intrusi batuan lainnya. Kemudian dijumpai pula batuan beku yang merupakan jejak aliran larva yang telah membeku yang bersusunan balastik hingga andesitik.

Batuan sedimen yang dijumpai meliputi batu gamping, batu pasir, untuk mendukung pembangunan dan bangunan di kawasan Kota Palopo. Ketersediaan tanah urukan, pasir serta batuan di wilayah Kota Palopo cukup tersedia yang terhampar di beberapa sungai Battang, sungai Latuppa, dan sungai yang berbatasan dengan Kabupaten Luwu Kecamatan Lamasi atau Walenrang.

Seperti wilayah lain di Indonesia, Kota Palopo beriklim tropis dengan tipe iklim hutan hujan tropis (Af) yang ditandai dengan curah hujan yang cenderung tinggi hampir sepanjang tahun. Curah hujan tahunan di kota Palopo berkisar antara 2100–2700 mm per tahun dengan rata-rata bulanan di atas 100 mm per bulan dan jumlah hari hujan lebih dari 120 hari per tahunnya. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Juni dengan rata-rata curah hujan di atas 300 mm per bulannya dengan hari hujan terbanyak yakni sebanyak 21 hari hujan. Suhu udara rata-rata di Kota Palopo berada pada angka 21 °C–32 °C dan tingkat kelembapan nisbi sebesar ±81%.

Data iklim Palopo, Sulawesi Selatan, Indonesia
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahun
Rata-rata tertinggi °C (°F) 30.4
(86.7)
30.5
(86.9)
30.7
(87.3)
31
(88)
31
(88)
30.3
(86.5)
30
(86)
30.9
(87.6)
31.4
(88.5)
32.3
(90.1)
31.7
(89.1)
30.8
(87.4)
30.92
(87.68)
Rata-rata harian °C (°F) 26.8
(80.2)
26.8
(80.2)
26.9
(80.4)
27.1
(80.8)
27.3
(81.1)
26.5
(79.7)
25.9
(78.6)
26.4
(79.5)
26.8
(80.2)
27.6
(81.7)
27.5
(81.5)
27
(81)
26.88
(80.41)
Rata-rata terendah °C (°F) 23.2
(73.8)
23.2
(73.8)
23.2
(73.8)
23.3
(73.9)
23.6
(74.5)
22.8
(73)
21.9
(71.4)
22
(72)
22.2
(72)
22.9
(73.2)
23.3
(73.9)
23.3
(73.9)
22.91
(73.27)
Presipitasi mm (inci) 288
(11.34)
257
(10.12)
392
(15.43)
367
(14.45)
340
(13.39)
305
(12.01)
223
(8.78)
161
(6.34)
168
(6.61)
193
(7.6)
261
(10.28)
283
(11.14)
3.238
(127,49)
Rata-rata hari hujan 12 10 20 19 18 17 8 5 6 7 11 12 145
% kelembapan 82 81 83 84 85 81 78 77 76 79 80 81 80.6
Rata-rata sinar matahari bulanan 261 252 196 175 160 154 165 171 180 221 236 245 2.416
Sumber #1: Climate-Data.org[10] & BMKG[11]
Sumber #2: Weatherbase[12]

Pemerintahan

sunting

Wali kota

sunting

Kepala daerah kota Palopo pertama kali dipimpin oleh H.P.A. Tenriadjeng, yang diberi amanah sebagai penjabat Wali kota (Caretaker), mengawali pembangunan Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun, hingga kemudian dipilih sebagai Wali kota definitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palopo untuk memimpin Kota Palopo Periode 2003-2008, yang sekaligus mencatatkan dirinya selaku Wali kota pertama di Kota Palopo.[13] Saat ini, pemimpin pemerintahan Palopo dijabat oleh penjabat Wali Kota Asrul Sani. Asrul menggantikan Judas Amir, walikota definitif yang masa jabatannya telah selesai pada 26 September 2023.[14]

No Wali Kota Mulai Menjabat Akhir Jabatan Ket. Wakil Wali Kota
  Firmanza DP 27 September 2024 Petahana Penjabat Lowong

Dewan Perwakilan

sunting

Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Kota Palopo dalam dua periode terakhir.

Partai Politik Jumlah Kursi dalam Periode
2014–2019 2019–2024
PKB   3   2
Gerindra   3   3
PDI-P   3   3
Golkar   4   5
NasDem (baru) 2   3
PKS   1   1
PPP   1   2
PAN   2   2
Hanura   2   1
Demokrat   3   3
PBB   1   0
Jumlah Anggota   25   25
Jumlah Partai   11   10

Pembagian Administratif

sunting

Kota Palopo terdiri dari 9 kecamatan dan 48 kelurahan. Pada tahun 2017, kabupaten ini memiliki luas wilayah 252,99 km² dan jumlah penduduk sebesar 182.690 jiwa dengan sebaran penduduk 722 jiwa/km².[15][16]

Daftar kecamatan dan kelurahan di Kota Palopo, adalah sebagai berikut:

Kode
Kemendagri
Kecamatan Jumlah
Kelurahan
Daftar
Kelurahan
73.73.09 Bara 5
73.73.08 Mungkajang 4
73.73.07 Sendana 4
73.73.04 Tellu Wanua 7
73.73.01 Wara 6
73.73.06 Wara Barat 5
73.73.03 Wara Selatan 4
73.73.05 Wara Timur 7
73.73.02 Wara Utara 6
TOTAL 48

Demografi

sunting

Suku dan Agama

sunting

Sebagian besar suku yang mendiami daerah ini meliputi Suku Luwu, Suku Bugis, Jawa, Suku Toraja dan Konjo Pesisir dan sebagian kecil meliputi Minangkabau, Batak, dan Melayu. Islam adalah salah satu mayoritas agama yang dianut sebagian besar masyarakat Kota Palopo. Sedangkan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu dianut oleh sebagian kecil masyarakat di Kota Palopo.

Berikut jumlah penduduk menurut agama/kepercayaan:[2][17]

Islam 85,75%
Protestan 12,13%
Katolik 1,77%
Hindu 0,16%
Buddha 0,16%
Lainnya 0,03%

Kesehatan

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b "Official Website Pemerintah Kota Palopo: Sekilas Palopo". Palopo: Pemerintah Kota Palopo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-18. Diakses tanggal 2014-02-14. 
  2. ^ a b c d "Visualisasi Data Kependudukan - Kementerian Dalam Negeri 2024" (Visual). www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 20 Agustus 2024. 
  3. ^ a b Kota Palopo dalam Angka 2023 (pdf). Palopo: BPS. 2023. hlm. 8, 83. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 13 Agustus 2023. 
  4. ^ "Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Kota dan Agama yang Dianut di Provinsi Sulawesi Selatan". www.sumsel.bps.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-18. Diakses tanggal 23 April 2020. 
  5. ^ "Indeks Pembangunan Manusia menurut Kabupaten/Kota (Umur Harapan Hidup Hasil Long Form SP2020) 2021-2023". www.bps.go.id. Diakses tanggal 20 Agustus 2024. 
  6. ^ Ainun, Nur (4 Februari 2023). "Kode Provinsi Sulawesi Selatan Lengkap 24 Kabupaten/Kota". www.detik.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-05. Diakses tanggal 10 Agustus 2023. 
  7. ^ a b Tim redaksi djpk.kemenkeu.go.id (2023). "APBD Tahun Anggaran 2023 Kota Palopo". djpk.kemenkeu.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-11. Diakses tanggal 10 Agustus 2023. 
  8. ^ a b c d e f Mahmud, M. Irfan (2003). Kota kuno Palopo: dimensi fisik, sosial, dan kosmologi. Makassar: Masagena Press. ISBN 9799797705. LCCN 2004395232. OCLC 55680190. OL 3355797M. 
  9. ^ Puasa, Kuran (2019). Kamus Bahasa Bugis - Indonesia. Jawa Barat: Jejak. ISBN 9786024745059. 
  10. ^ "Palopo, Sulawesi Selatan, Indonesia". Climate-Data.org. Diakses tanggal 23 Agustus 2020. 
  11. ^ "Normal Curah Hujan Kota Palopo – Non ZOM 40" (PDF). BMKG. Diakses tanggal 23 Agustus 2021. 
  12. ^ "PALOPO, INDONESIA". Weatherbase. Diakses tanggal 23 Agustus 2020. 
  13. ^ "Official Website Pemerintah Kota Palopo: Sejarah Singkat Terbentuknya Kota Palopo". Palopo: Pemerintah Kota Palopo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-30. Diakses tanggal 2013-06-04. 
  14. ^ Renaldi Cahyadi (26 September 2023). Sudirman, ed. "Sosok Asrul Sani Pejabat Senior Kelahiran Bone Kini Jabat Pj Wali Kota Palopo". Tribun-Timur.com. Diakses tanggal 26 September 2023. 
  15. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Desember 2018. Diakses tanggal 3 Oktober 2019. 
  16. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendagri nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 Oktober 2019. Diakses tanggal 15 Januari 2020. 
  17. ^ "Sensus Penduduk 2010 - Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut: Provinsi Sulawesi Selatan". BPS. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-24. 

Lihat pula

sunting