Pembangkit listrik tenaga panas bumi

artikel daftar Wikimedia
(Dialihkan dari PLTP)

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi adalah pembangkit listrik yang menggunakan panas bumi sebagai sumber energinya. Listrik dari tenaga panas bumi saat ini digunakan di 24 negara,[1] sementara pemanasan memanfaatkan panas bumi digunakan di 70 negara.[2] Perkiraan potensi listrik yang bisa dihasilkan oleh tenaga panas bumi berkisar antara 35 s.d. 2.000 GW.[2] Kapasitas di seluruh dunia pada tahun 2022 adalah 16.127 megawatt (MW), dengan kapasitas terbesar di Amerika Serikat sebesar 3.794 MW, diikuti oleh Indonesia (2.356 MW), Filipina (1.935 MW), Turki (1.682 MW), Selandia Baru (1.037 MW), Meksiko (962,7 MW), Kenya (944 MW), Italia (944 MW), Islandia (754 MW), dan Jepang (621 MW).[3]

Tenaga panas bumi dianggap sebagai sumber energi terbarukan karena ekstraksi panasnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan muatan panas bumi. Emisi karbondioksida pembangkit listrik tenaga panas bumi saat ini kurang lebih 122 kg CO2 per megawatt-jam (MW·h) listrik, kira-kira seperdelapan dari emisi pembangkit listrik tenaga batubara.[4]

Indonesia dikaruniai sumber panas Bumi yang berlimpah karena banyaknya gunung berapi di Indonesia. Dari pulau-pulau besar yang ada, hanya pulau Kalimantan saja yang tidak mempunyai potensi panas Bumi.

Untuk membangkitkan listrik dengan panas Bumi dilakukan dengan mengebor tanah di daerah yang memiliki potensi panas Bumi untuk membuat lubang gas panas yang akan dimanfaatkan untuk memanaskan ketel uap (boiler) sehingga uapnya bisa menggerakkan turbin uap yang tersambung ke generator. Untuk panas bumi yang mempunyai tekanan tinggi, dapat langsung memutar turbin generator, setelah uap yang keluar dibersihkan terlebih dahulu.

Eksplorasi dan eksploitasi panas bumi untuk pembangkit energi listrik tergolong minim. Untuk menghasilkan energi listrik, pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya membutuhkan area seluas antara 0,4 - 3 hektare. Sedangkan pembangkit listrik tenaga uap lainnya membutuhkan area sekitar 7,7 hektare.[5] Hal ini menjawab kecemasan masyarakat mengenai dampak lingkungan eksploitasi panas bumi, terutama isu penebangan hutan di daerah yang memiliki potensi panas bumi.

Sejarah dan pengembangan

sunting
 
Kapasitas listrik panas bumi global. Garis merah atas adalah kapasitas terpasang;[6] garis hijau bawah adalah produksi terwujudkan.[2]

Pada abad ke-20, permintaan akan listrik membuat tenaga panas bumi dipertimbangkan sebagai sumber penghasil listrik. Pangeran Piero Ginori Conti menguji coba pembangkit listrik tenaga panas bumi yang pertama pada tanggal 4 Juli 1904 di Larderello, Italia. Pembangkit tersebut berhasil menyalakan empat buah bola lampu.[7] Kemudian pada tahun 1911 pembangkit listrik tenaga panas bumi komersial pertama dibangun pula di situ. Pembangkit-pembangkit uji coba dibangun di Beppu, Jepang dan di Kalifornia, Amerika Serikat pada tahun 1920, namun hingga tahun 1958 hanya Italia satu-satunya pemilik industri pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Pada tahun 1958, Selandia Baru menjadi penghasil listrik tenaga panas bumi terbesar kedua setelah Pembangkit Wairakei dioperasikan. Wairakei merupakan pembangkit pertama yang menggunakan teknologi flash steam.[8]

Pada tahun 1960, Pacific Gas and Electric mulai mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi pertama di Amerika Serikat di The Geysers, Kalifornia.[9] Turbin aslinya bertahan hingga 30 tahun dan menghasilkan daya bersih 11 megawatt.[10]

Pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan sistem siklus biner pertama kali diuji coba di Rusia dan kemudian diperkenalkan ke Amerika Serikat pada tahun 1981,[9] akibat krisis energi tahun 1970-an dan perubahan-perubahan penting dalam kebijakan regulasi. Teknologi ini memungkinkan penggunaan sumber panas yang bersuhu lebih rendah dari sebelumnya. Pada tahun 2006, sebuah pembangkit dengan sistem siklus biner di mata air panas Chena, Alaska, Amerika Serikat mulai beroperasi, menghasilkan listrik dari sumber dengan rekor suhu terendah 57 °C.[11]

Pembangkit listrik tenaga panas bumi sampai dengan baru-baru ini hanya dapat dibangun pada sumber panas bumi dengan suhu yang tinggi dan berada dekat dengan permukaan tanah. Pengembangan pembangkit dengan sistem siklus biner dan peningkatan dalam teknologi pengeboran dan penggalian memungkinkan dibuatnya Sistem Panas Bumi yang Ditingkatkan (Enhanced Geothermal Systems) dalam rentang geografis yang lebih besar.[12] Proyek demostrasi sudah beroperasi di Landau-Pfalz, Jerman, and Soultz-sous-Forêts, Prancis, sementara percobaan awal di Basel, Swiss dibatalkan setelah mengakibatkan gempa bumi. Proyek-proyek demonstrasi lainnya sedang dibangun di Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.[13] Efisiensi termal pembangkit listrik tenaga panas bumi pada umumnya rendah, berkisar 10-23%,[14] karena fluida panas bumi bersuhu lebih rendah dibandingkan dengan uap dari ketel uap. Berdasarkan hukum termodinamika suhu yang rendah ini membatasi efisiensi mesin kalor dalam memanfaatkan energi saat menghasilkan listrik. Panas sisa menjadi terbuang, kecuali jika dapat dipergunakan langsung secara lokal, misalnya untuk rumah kaca, kilang gergaji, atau sistem pemanasan distrik. Efisiensi sistem tidak memengaruhi biaya operasional sebagaimana pada pembangkit batubara atau pembangkit bahan bakar fosil lainnya, namun tetap berpengaruh terhadap kelangsungan hidup pembangkit. Untuk dapat menghasilkan energi lebih dari yang dipakai oleh pompa pembangkit, dibutuhkan ladang panas bumi bersuhu tinggi dan siklus termodinakmika khusus. Karena pembangkit listrik tenaga panas bumi tidak bergantung pada sumber energi yang berubah-ubah, seperti misalnya tenaga angin atau surya, faktor kapasitasnya (capacity factor) bisa cukup besar, pernah ditunjukkan dapat mencapai hingga 96%.[15] Namun, rata-rata global faktor kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi adalah 74,5% pada tahun 2008 menurut IPCC.[16]

Sumber daya

sunting
 
System panas bumi yang ditingkatkan 1:Waduk 2:Rumah pompa 3:Penukar panas 4:Ruangan turbin 5:Sumur produksi 6:Sumur innjeksi 7:Air panas menuju sistem pemanasan distrik 8:Sedimen berpori 9:Sumur pengamatan 10:Batuan dasar kristal

Muatan panas bumi adalah sekitar 1031 Joule.[2] Panas ini secara alami akan mengalir ke permukaan lewat konduksi dengan laju 44.2 terawatt (TW)[17] dan diisi kembali oleh peluruhan radioaktif dengan laju 30 TW.[18] Laju tenaga ini lebih dari dua kali konsumsi energi manusia saat ini yang berasal dari sumber utama, tapi sebagian besarnya terlalu tersebar (perkiraan rata-rata 0.1 W/m2) untuk dapat dipulihkan. Kerak bumi secara efektif bertindak sebagai selimut isolasi tebal yang harus ditembus dengan saluran fluida (mis. magma, air atau lainnya) untuk melepaskan panas di bawahnya.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi membutuhkan sumber panas bersuhu tinggi yang hanya dapat berasal dari jauh di bawah tanah. Panas tersebut harus dibawa ke permukaan lewat sirkulasi fluida, baik melalui saluran magma, mata air panas, sirkulasi hidrotermal, sumur minyak, sumur bor, atau gabungan dari contoh-contoh tersebut. Sirkulasi ini terkadang muncul secara alami pada tempat dimana kerak bumi tipis. Saluran magma membawa panas dekat ke permukaan, dan mata air panas membawanya ke permukaan. Jika tidak tersedia mata air panas maka sumur harus dibor untuk menjadi akuifer air panas. Jika jauh dari batas lempeng tektonik, gradien panas bumi di sebagian besar tempat adalah 25-30 °C per kilometer kedalaman, sehingga membuat sumur menjadi harus beberapa kilometer dalamnya untuk dapat membangkitkan listrik.[2] Jumlah dan mutu sumber daya panas yang dapat dipulihkan meningkat sebanding dengan kedalaman pengeboran dan kedekatan dengan batas lempeng tektonik.

Pada tanah yang panas dan kering, atau dimana tekanan air tidak memadai, fluida dapat disuntikkan untuk merangsang produksi. Pengembang akan menggali dua lubang di calon lokasi, dan memecah batu di antara keduanya dengan bahan peledak atau air bertekanan tinggi. Kemudian memompakan air atau karbon dioksida cair ke salah satu lubang galian, sehingga keluar di lubang galian lainnya dalam bentuk gas.[12] Pendekatan ini disebut hot dry rock geothermal energy di Eropa atau enhanced geothermal systems di Amerika Utara. Pendekatan ini dapat menghasilkan potensi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jika dihubungkan secara konvensional ke akuifer alami.[12]

Perkiraan potensi pembangkit listrik dari tenaga panas bumi bervariasi dari 35-2000 GW tergantung pada skala penanaman modal.[2] Ini tidak termasuk panas non-listrik yang dipulihkan oleh pembangkit co-generation, pompa kalor panas bumi atau penggunaan langsung lainnya. Sebuah laporan tahun 2006 oleh Institut Teknologi Massachusetts (MIT), yang mengikutsertakan potensi dari sistem panas bumi yang ditingkatkan (enhanced geothermal systems), memperkirakan bahwa investasi sebesar 1 miliar dolar AS untuk penelitian dan pengembangan selama 15 tahun lebih akan memungkinkan tercapainya kapasitas pembangkitan listrik sebesar 100 GW pada tahun 2050 di Amerika Serikat saja.[12] Laporan MIT memperkirakan bahwa lebih dari 200 zettajoule (ZJ) akan dapat dihasilkan, dengan potensi untuk ditingkatkan hingga lebih dari 2.000 ZJ dengan perbaikan teknologi - cukup untuk memenuhi kebutuhan energi seluruh dunia saat ini selama beberapa milenium.[12]

Saat ini sumur panas bumi jarang lebih dari 3 km dalamnya.[2] Taksiran tertinggi atas potensi sumber daya panas bumi memperkirakan kedalaman sumur 10 km. Penggalian hingga mendekati kedalaman ini sekarang sudah dapat dilakukan dalam industri perminyakan, walaupun biayanya sangat mahal. Sumur penelitian terdalam di dunia, Kola superdeep borehole, dalamnya 12,3 km.[19] Rekor tersebut baru-baru ini sudah dapat ditiru oleh sumur minyak komersial seperti sumur Z-12 milik Exxon di ladang Chayvo, Sakhalin.[20] Sumur dengan kedalaman lebih dari 4 km umumnya menanggung biaya pengeboran hingga puluhan juta dolar.[21] Tantangan teknologinya adalah untuk menggali lubang yang lebar dengan biaya rendah dan untuk memecahkan volume batu yang lebih banyak.

Tenaga panas bumi dianggap sebagai sumber energi terbarukan karena ekstraksi panasnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan muatan panas bumi. Namun pemanfaatannya harus tetap diawasi untuk menghindari kekosongan lokal.[18] Meski situs panas bumi mampu menyediakan panas selama puluhan tahun, tiap-tiap sumur dapat mendingin atau kehabisan air. Ketiga situs tertua yakni Larderello, Wairakei, dan The Geysers, semuanya sudah mengalami penurunan produksi. Tidak jelas apakah pembangkit-pembangkit ini memakai tenaga panas bumi lebih cepat daripada diisi kembali dari kedalaman yang lebih jauh, atau apakah akuifer yang menyediakannya mulai kehabisan. Jika produksi dikurangi dan air disuntikkan kembali, sumur-sumur ini secara teori dapat kembali memenuhi potensinya. Strategi penanganan yang demikian sudah diterapkan pada beberapa situs. Keberlanjutan jangka panjang energi panas bumi telah dibuktikan di ladang Lardarello di Italia sejak 1913, di ladang Wairakei di Selandia Baru sejak 1958,[22] dan di ladang The Geysers di Kalifornia sejak 1960.[23]

Jenis pembangkit

sunting
Pembangkit uap kering.
Pembangkit flash steam.
Pembangkit siklus biner.
Keterangan: 1 Permukaan sumur 2 Permukaan tanah 3 Generator 4 Turbin 5 Kondensor 6 Penukar panas 7 Pompa
  Air panas
  Air dingin
  Uap isobutana
  Cairan isobutana

Pembangkit listrik tenaga panas bumi sama prinsipnya dengan pembangkit listrik termal berturbin uap lainnya - panas dari bahan bakar (dalam hal ini adalah inti bumi) digunakan untuk memanaskan air atau fluida lainnya yang sesuai. Fluida yang sudah berjalan lalu digunakan untuk memutar turbin generator sehingga menghasilkan listrik. Fluida tersebut lalu didinginkan dan dikembalikan ke sumber panas.

Pembangkit uap kering

sunting

Pembangkit dengan sistem uap kering (dry steam) merupakan rancangan paling tua dan sederhana. Dalam sistem ini uap panas bumi bersuhu 150 °C atau lebih langsung digunakan untuk memutar turbin. Jumlah PLTP yang menggunakan teknologi ini paling sedikit, dikarenakan memerlukan sistem yang memproduksi uap air kering, yaitu uap air yang bersih dari kondensasi air (dalam bentuk cair). Walau begitu teknologi ini paling efisien dan hanya memerlukan fasilitas yang sederhana.[2] Setelah The Geysers di California digunakan selama 30 tahun, produksi uap semakin menurun seiring habisnya cadangan air. Sehingga untuk mengembalikan ke kapasitas semula, air tambahan yang berasal dari instalasi pengolahan limbah air dipompa ke dalam sistem. Teknologi pengisian kembali ini dikembangkan pada tahun 1990-an dan 2000-an.[24] Di Indonesia, teknologi panas bumi ini dipakai di PLTP Darajat dan PLTP Karaha Bodas di Jawa Barat.

Pembangkit flash steam

sunting

Pembangkit dengan sistem flash steam mengambil air panas bertekanan tinggi dari kedalaman bumi masuk ke tangki bertekanan rendah, lalu menggunakan uap yang dihasilkan untuk memutar turbin. Sistem ini membutuhkan air bersuhu sekurang-kurangnya 180 °C; biasanya lebih.[25] Biasanya teknologi ini memerlukan reservoir air panas yang bersuhu 180 °C. Air akan naik dengan sendirinya karena berada dalam tekanan tinggi, seiring dengan hilangnya tekanan sebagian air akan berubah menjadi uap, yang setelah dipisahkan dengan air, bisa digunakan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Sisa air yang terpompa dan air yang dihasilkan setelah uap berkondensasi dipompa kembali ke reservoir awal, sehingga bisa dipanaskan dan digunakan kembali. Pembangkit ini bisa dibedakan lagi menjadi single-flash seperti yang disebutkan diatas atau double-flash dimana selain penggunaan uap bertekanan tinggi, uap bertekanan rendah juga digunakan untuk memutar turbin yang berbeda. Dengan ini tenaga yang dihasilkan lebih tinggi walau fasilitas menjadi lebih kompleks, seperti lebih banyak pipa, pemisah uap kedua, dan turbin untuk uap tekanan rendah dan tinggi.[26]

Pembangkit siklus biner

sunting

Pembangkit dengan sistem siklus biner (binary) adalah pengembangan pembangkit terbaru yang memungkinkan penggunaan reservoir dengan suhu rendah hingga 57 °C.[11] Air panas bumi yang tidak terlalu panas tersebut dialirkan menuju penukar panas dimana fluida sekunder yang memiliki titik didih lebih rendah dari titik didih air dan tekanan uap tinggi (volatil, mudah menguap). Hal ini menyebabkan fluida sekunder menguap secara tiba-tiba, dan uap yang dihasilkan bisa digunakan untuk memutar turbin. Teknologi ini adalah jenis pembangkit yang paling umum dibangun saat ini.[27] Siklus Rankine Organik (variasi siklus Rankine) maupun siklus Kalina digunakan. Efisiensi termal pembangkit jenis ini biasanya sekitar 10-13%. Perlu diketahui pembangkit listrik flash steam masih menghasilkan karbondioksida sebesar 27 kg/MWh, sedangkan pembangkit jenis ini tidak menghasilkan karbondioksida sama sekali.[26]

Produksi sedunia

sunting
 
Stasiun panas bumi Larderello, di Italia

Asosiasi Panas Bumi Internasional (IGA) melaporkan pada tahun 2010 bahwa 10.715 megawatt (MW) daya pembangkit listrik tenaga panas bumi terpasang di 24 negara dan diharapkan dapat membangkitkan 67.246 GWh energi listrik.[1] Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 20% dari tahun 2005. IGA memproyeksikan pertumbuhan hingga 18.500 MW pada tahun 2015, dikarenakan banyaknya proyek yang saat ini sedang dalam pertimbangan dan sering kali di daerah yang sebelumnya dikira hanya dapat sedikit dieksploitasi sumber dayanya.[1] Menurut lembaga International Renewable Energy Agency (IRENA) kapasitas yang terpasang di dunia pada tahun 2021 sebesar 15.644 MW.[28]

Pembangkit kelas utilitas

sunting
 
Sebuah pembangkit listrik tenaga panas bumi di Negros Oriental, Filipina.

Gugusan pembangkit listrik tenaga panas bumi terbesar di dunia terletak di The Geysers, ladang panas bumi di Kalifornia, Amerika Serikat.[29] Pada tahun 2004, lima negara (El Salvador, Kenya, Filipina, Islandia, dan Kosta Rika) menghasilkan lebih dari 15% listrik mereka dari tenaga panas bumi.[2]

Listrik panas bumi dihasilkan di 24 negara, yang tercantum dalam tabel di bawah. Sepanjang tahun 2005 Amerika Serikat membuat beberapa kontrak untuk 500 MW kapasitas tambahan, sementara di 11 negara lainnya, ada beberapa pembangkit yang sedang dibangun .[12] Sistem panas bumi yang ditingkatan dengan kedalaman beberapa kilometer sudah beroperasi di Prancis dan Jerman, dan sedang dikembangkan atau setidaknya dievaluasi di empat negara lainnya.

Kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi
Negara Kapasitas (MW)
2007[6]
Kapasitas (MW)
2010[30]
Kapasitas (MW)

2013[31]

Kapasitas (MW)

2019[32]

Persentase(%)
Terhadap Produksi

Nasional

  Amerika Serikat 2.687 3.086 3.389 3.676 0,30
  Indonesia 992 1.197 1.333 2.133 3,70
  Filipina 1.969,7 1.904 1.894 1.918 27,00
  Turki 38 94 163 1.526 0,30
  Meksiko 953 958 980 962,7 3,00
  Italia 810,5 843 901 944 1,50
  Selandia Baru 471,6 628 895 1.005 10,00
  Islandia 421,2 575 664 755 30,00
  Jepang 535,2 536 537 601 0,10
  El Salvador 204,4 204 204 25,00[33][34]
  Kenya 128,8 167 215 861 11,20
  Kosta Rika 162,5 166 208 14,00
  Nikaragua 87,4 88 97 10,00
  Rusia 79 82 82
  Papua Nugini 56 56 56
  Guatemala 53 52 42
  Portugal 23 29 28
  Cina 27,8 24 27
  Prancis 14,7 16 15
  Etiopia 7,3 7,3 8
  Jerman 8,4 6,6 13
  Austria 1,1 1,4 1
  Australia 0,2 1,1 1
  Thailand 0,3 0,3 0,3
TOTAL 9.731,9 10.709,7 11.765 15.406

PLTP di Indonesia

sunting

Sebagai hasil dari geologi vulkaniknya, sering dilaporkan bahwa Indonesia memiliki 40% potensi sumber daya panas bumi di dunia, diperkirakan mencapai 28.000 megawatt (MW).[35] Dengan total pencapaian kapasitas sebesar 2.356 MW pada tahun 2022, ini menempatkan Indonesia di tempat kedua di dunia setelah Amerika Serikat dalam penghasil tenaga panas bumi.[3]

Dampak terhadap lingkungan

sunting
 
Stasiun Panas Bumi Krafla di timur laut Islandia

Fluida yang ditarik dari dalam bumi membawa campuran beberapa gas, diantaranya karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), metana (CH4), dan amonia (NH3). Pencemar-pencemar ini jika lepas ikut memiliki andil pada pemanasan global, hujan asam, dan bau yang tidak sedap serta beracun. Pembangkit listrik tenaga panas bumi yang ada saat ini mengeluarkan rata-rata 40 kg CO2 per megawatt-jam (MWh), hanya sebagian kecil dari emisi pembangkit berbahan bakar fosil konvensional.[4] Pembangkit yang berada pada lokasi dengan tingkat asam tinggi dan memiliki bahan kimia yang mudah menguap, biasanya dilengkapi dengan sistem kontrol emisi untuk mengurangi gas buangannya. Pembangkit listrik tenaga panas bumi secara teoretis dapat menyuntikkan kembali gas-gas ini ke dalam bumi sebagai bentuk penangkapan dan penyimpanan karbon.

Selain gas-gas terlarut, air panas dari sumber panas bumi mungkin juga mengandung sejumlah kecil bahan kimia beracun, seperti merkuri, arsenik, boron, antimon, dan garam-garam kimia.[36] Bahan-bahan kimia ini keluar dari larutan saat air mendingin dan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan jika dilepaskan. Praktik modern menyuntikkan kembali fluida panas bumi ke dalam bumi untuk merangsang produksi, memiliki manfaat sampingan mengurangi bahaya lingkungan ini.

Pembangunan pembangkit dapat juga merusak stabilitas tanah. Tanah amblas pernah terjadi di ladang Wairakei di Selandia Baru.[37] Sistem panas bumi yang ditingkatkan juga dapat memicu gempa akibat rekah hidrolik. Proyek di Basel, Swiss dihentikan karena lebih dari 10.000 gempa berkekuatan hingga 3,4 Skala Richter terjadi selama 6 hari pertama penyuntikan air.[38] Bahaya pengeboran panas bumi yang dapat mengakibatkan pengangkatan tektonik pernah dialami di Staufen im Breisgau, Jerman.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi membutuhkan luas lahan dan jumlah air tawar minimal. Pembangkit ini hanya memerlukan lahan seluas 404 meter persegi per GWh dibandingkan dengan 3.632 dan 1.335 meter persegi untuk fasilitas batubara dan ladang angin.[37] Pembangkit ini juga hanya menggunakan 20 liter air tawar per MWh dibandingkan dengan lebih dari 1000 liter per MWh untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, batubara, atau minyak.[37]

Ekonomi

sunting

Pembangkit listrik tenaga panas bumi tidak memerlukan bahan bakar, karena itu tidak terpengaruh gejolak harga bahan bakar. Namun biaya modal cenderung tinggi. Pengeboran menyumbang lebih dari setengah biaya keseluruhan, dan eksplorasi terhadap sumber panas bumi yang dalam akan menambah risiko yang cukup besar. Sepasang sumur pembangkit biasa di Nevada yang dapat mebangkitkan 4.5 MW listrik memerlukan biaya sekitar 10 juta dolar untuk pengeboran, dengan tingkat kegagalan 20%.[21] Secara keseluruhan, biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi dan pengeboran sumur berkisar antara 2-5 juta euro per MW kapasitas, sedangkan biaya energi rata-rata-nya berkisar antara 0,04-0,10 euro per kWh.[6] Sistem panas bumi yang ditingkatkan cenderung berada di sisi tertinggi dari kisaran tersebut, dengan biaya modal di atas 4 juta dolar per MW dan biaya energi rata-rata diatas 0,054 dolar per kWh pada tahun 2007.[39]

Listrik panas bumi sangat skalabel: pembangkit kecil dapat menyediakan listrik untuk sebuah pedesaan, meski dapat membutuhkan modal tinggi.[40]

Chevron Corporation merupakan swasta penghasil listrik panas bumi terbesar di dunia.[41] Ladang panas bumi yang paling berkembang adalah The Geyser di California. Pada tahun 2008 ladang ini menampung 15 unit pembangkit, yang semuanya dimiliki oleh Calpine, dengan kapasitas total 725 MW.[29]

Lihat pula

sunting

Referensi dan pranala luar

sunting
  1. ^ a b c Geothermal Energy Association. Geothermal Energy: International Market Update May 2010, p. 4-6.
  2. ^ a b c d e f g h i Fridleifsson,, Ingvar B.; Bertani, Ruggero; Huenges, Ernst; Lund, John W.; Ragnarsson, Arni; Rybach, Ladislaus (2008-02-11), O. Hohmeyer and T. Trittin, ed., The possible role and contribution of geothermal energy to the mitigation of climate change (pdf), Luebeck, Germany, hlm. 59–80, diakses tanggal 2009-04-06 [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b "ThinkGeoEnergy's Top 10 Geothermal Countries 2022 – Power Generation Capacity (MW)". Think GeoEnergy - Geothermal Energy News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-20. 
  4. ^ a b Bertani, Ruggero; Thain, Ian (July 2002), "Geothermal Power Generating Plant CO2 Emission Survey" (PDF), IGA News, International Geothermal Association (49): 1–3, diakses tanggal 2009-05-13 [pranala nonaktif permanen]
  5. ^ Eksplorasi Panas Bumi Berisiko Minim. KOMPAS. Rabu, 24 Juli 2013.
  6. ^ a b c Bertani, Ruggero (September 2007), "World Geothermal Generation in 2007" (PDF), Geo-Heat Centre Quarterly Bulletin, Klamath Falls, Oregon: Oregon Institute of Technology, 28 (3), hlm. 8–19, ISSN 0276-1084, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-02-17, diakses tanggal 2009-04-12 
  7. ^ Tiwari, G. N.; Ghosal, M. K. Renewable Energy Resources: Basic Principles and Applications. Alpha Science Int'l Ltd., 2005 ISBN 1-84265-125-0
  8. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-22. Diakses tanggal 2013-09-10. 
  9. ^ a b Lund, J. (September 2004), "100 Years of Geothermal Power Production" (PDF), Geo-Heat Centre Quarterly Bulletin, Klamath Falls, Oregon: Oregon Institute of Technology, 25 (3), hlm. 11–19, ISSN 0276-1084, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-06-17, diakses tanggal 2009-04-13 
  10. ^ McLarty, Lynn; Reed, Marshall J. (October 1992), "The U.S. Geothermal Industry: Three Decades of Growth" (PDF), Energy Sources, Part A: Recovery, Utilization, and Environmental Effects, London: Taylor & Francis, 14 (4): 443–455, doi:10.1080/00908319208908739, ISSN 1556-7230, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-05-16 
  11. ^ a b Erkan, K.; Holdmann, G.; Benoit, W.; Blackwell, D. (2008), "Understanding the Chena Hot Springs, Alaska, geothermal system using temperature and pressure data", Geothermics, 37 (6): 565–585, doi:10.1016/j.geothermics.2008.09.001, ISSN 0375-6505, diakses tanggal 2009-04-11 
  12. ^ a b c d e f Tester, Jefferson W. (Massachusetts Institute of Technology); et al., The Future of Geothermal Energy (PDF), Impact, of Enhanced Geothermal Systems (Egs) on the United States in the 21st Century: An Assessment, Idaho Falls: Idaho National Laboratory, ISBN 0-615-13438-6, diarsipkan dari versi asli (14MB PDF) tanggal 2011-03-10, diakses tanggal 2007-02-07 
  13. ^ Bertani, Ruggero (2009), "Geothermal Energy: An Overview on Resources and Potential" (PDF), Proceedings of the International Conference on National Development of Geothermal Energy Use, Slowakia  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)[pranala nonaktif permanen]
  14. ^ http://gafoen.com/site/index.php?page=geothermalenergy [pranala nonaktif]
  15. ^ Lund, John W. (2003), "The USA Geothermal Country Update", Geothermics, European Geothermal Conference 2003, Elsevier Science Ltd., 32 (4-6): 409–418, doi:10.1016/S0375-6505(03)00053-1, ISSN 0375-6505 
  16. ^ http://srren.ipcc-wg3.de/report/IPCC_SRREN_Ch04.pdf see page 404
  17. ^ Pollack, H.N. (1993), "Heat Flow from the Earth's Interior: Analysis of the Global Data Set", Rev. Geophys., 30 (3), hlm. 267–280, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-03, diakses tanggal 2013-09-11 
  18. ^ a b Rybach, Ladislaus (September 2007), "Geothermal Sustainability" (PDF), Geo-Heat Centre Quarterly Bulletin, Klamath Falls, Oregon: Oregon Institute of Technology, 28 (3), hlm. 2–7, ISSN 0276-1084, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-02-17, diakses tanggal 2009-05-09 
  19. ^ "Kola Superdeep Borehole (KSDB) - IGCP 408: "Rocks and Minerals at Great Depths and on the Surface"". Kola Superdeep Borehole (KSDB) - IGCP 408: „Rocks and Minerals at Great Depths and on the Surface“. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-02. Diakses tanggal 2009-04-09. 
  20. ^ Watkins, Eric (February 11, 2008), "ExxonMobil drills record extended-reach well at Sakhalin-1", Oil & Gas Journal, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-14, diakses tanggal 2009-10-31 
  21. ^ a b Geothermal Economics 101, Economics of a 35 MW Binary Cycle Geothermal Plant (PDF), New York: Glacier Partners, October 2009, diakses tanggal 2009-10-17 
  22. ^ Thain, Ian A. (September 1998), "A Brief History of the Wairakei Geothermal Power Project" (PDF), Geo-Heat Centre Quarterly Bulletin, Klamath Falls, Oregon: Oregon Institute of Technology, 19 (3), hlm. 1–4, ISSN 0276-1084, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-06-14, diakses tanggal 2009-06-02 
  23. ^ Axelsson, Gudni; Stefánsson, Valgardur; Björnsson, Grímur; Liu, Jiurong (April 2005), "Sustainable Management of Geothermal Resources and Utilization for 100 – 300 Years" (PDF), Proceedings World Geothermal Congress 2005, International Geothermal Association, diakses tanggal 2009-06-02 [pranala nonaktif permanen]
  24. ^ The Future of Energy: Earth, Wind and Fire. Scientific American. 8 April 2013. hlm. 160–. ISBN 978-1-4668-3386-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 May 2019. Diakses tanggal 20 December 2016. 
  25. ^ US DOE EERE Hydrothermal Power Systems
  26. ^ a b El Haj Assad, M.; Bani-Hani, E.; Khalil, M. (2017-09-15). "Performance of geothermal power plants (single, dual, and binary) to compensate for LHC-CERN power consumption: comparative study". Geothermal Energy. Springer Science and Business Media LLC. 5 (1). doi:10.1186/s40517-017-0074-z. ISSN 2195-9706. 
  27. ^ "Geothermal Basics Overview". Office of Energy Efficiency and Renewable Energy. Diakses tanggal 2008-10-01. 
  28. ^ IRENA, Renewable Capacity Statistics 2022, International Renewable Energy Agency, Abu Dhabi, diakses tanggal 2023-03-20 
  29. ^ a b "Calpine Corporation (CPN) (NYSE Arca) Profile" (Siaran pers). Reuters. Diakses tanggal 2009-10-14.  "Salinan arsip". Archived from the original on 2012-11-14. Diakses tanggal 2013-09-12. 
  30. ^ Holm, Alison (May 2010), Geothermal Energy:International Market Update (PDF), Geothermal Energy Association, hlm. 7, diakses tanggal 2010-05-24 
  31. ^ Matek, Benjamin (June 2014). 2013 Geothermal Power: International Market Overview (PDF). Geothermal Energy Association. hlm. 10–11. 
  32. ^ Richter, Alexander (27 January 2020). "The Top 10 Geothermal Countries 2019 – based on installed generation capacity (MWe)". Think GeoEnergy - Geothermal Energy News. Diakses tanggal 24 Agustus 2021. 
  33. ^ "Generacion Electricidad El Salvador", IGA, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-27, diakses tanggal 2011-08-30 
  34. ^ "CENTROAMÉRICA: MERCADOS MAYORISTAS DE ELECTRICIDAD Y TRANSACCIONES EN EL MERCADO ELÉCTRICO REGIONAL, 2010" (PDF), CEPAL, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-03-18, diakses tanggal 2011-08-30 
  35. ^ Tom Allard: "Indonesia's hot terrain set to power its future", The Sydney Morning Herald, 1 May 2010, retrieved 25 August 2010
  36. ^ Bargagli1, R.; Catenil, D.; Nellil, L.; Olmastronil, S.; Zagarese, B. (August 1997), "Environmental Impact of Trace Element Emissions from Geothermal Power Plants", Environmental Contamination Toxicology, New York: Springer, 33 (2): 172–181, doi:10.1007/s002449900239, ISSN 0090-4341 
  37. ^ a b c Lund, John W. (June 2007), "Characteristics, Development and utilization of geothermal resources" (PDF), Geo-Heat Centre Quarterly Bulletin, Klamath Falls, Oregon: Oregon Institute of Technology, 28 (2), hlm. 1–9, ISSN 0276-1084, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-06-17, diakses tanggal 2009-04-16 
  38. ^ Deichmann, N.; et al. (2007), Seismicity Induced by Water Injection for Geothermal Reservoir Stimulation 5 km Below the City of Basel, Switzerland, American Geophysical Union, Bibcode:2007AGUFM.V53F..08D 
  39. ^ Sanyal, Subir K.; Morrow, James W.; Butler, Steven J.; Robertson-Tait, Ann (January 22–24, 2007), "Cost of Electricity from Enhanced Geothermal Systems" (PDF), Proc. Thirty-Second Workshop on Geothermal Reservoir Engineering, Stanford, California  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  40. ^ Lund, John W.; Boyd, Tonya (June 1999), "Small Geothermal Power Project Examples" (PDF), Geo-Heat Centre Quarterly Bulletin, Klamath Falls, Oregon: Oregon Institute of Technology, 20 (2), hlm. 9–26, ISSN 0276-1084, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-06-14, diakses tanggal 2009-06-02 
  41. ^ Davies, Ed; Lema, Karen (June 29, 2008), "Pricey oil makes geothermal projects more attractive for Indonesia and the Philippines", The New York Times, diakses tanggal 2009-10-31 

Pranala luar

sunting