Persatuan Muslim Indonesia

(Dialihkan dari PERMI)

Persatuan Muslim Indonesia, atau disingkat Permi, merupakan partai politik beraliran nasionalisme-Islam yang didirikan di Padang Panjang pada tahun 1930. Partai ini kemudian bubar karena tekanan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937.

Pendahulu Permi adalah Persatuan Sumatra Thawalib yang berdiri pada tahun 1928. Pada kongresnya yang ketiga di Padang Panjang, Persatuan Sumatra Thawalib berubah menjadi partai politik. Pada awalnya Permi bermarkas di kota kelahirannya, tetapi kemudian pusat partai ini dipindahkan ke Padang.

Permi merupakan partai politik yang aktif menentang penjajahan Belanda. Berbeda dengan partai-partai lainnya di Indonesia, pada masanya Permi merangkul baik asas nasionalisme maupun Islam, dan menempatkannya pada kedudukan sejajar.

Ideologi

sunting

Pandangan Permi yang memadukan paham nasionalisme dengan Islam sejalan dengan pendapat banyak orang Minangkabau saat itu. Pandangan ini mengkritik partai-partai nasionalis lainnya yang mengambil model gerakan nasionalis India dan cenderung enggan mengakui Islam sebagai faktor pemersatu dalam perjuangan kemerdekaan. Menurut mereka di dalam negara yang 90 persen muslim, ketakutan mengambil asas Islam ibarat "harimau takut masuk rimba atau air menolak mengalir ke laut." Karena itu Permi sering bertentangan dengan partai-partai non-agama maupun partai Islam yang cenderung hanya mendasarkan diri pada satu paham saja.[1] Natsir, pada saat itu bergabung dalam Persis mencemooh Permi sebagai Islam yang pakai dan, berbeda dengan Persis yang merupakan Islam yang tidak pakai dan (Islam saja).[2]. Filosofi Permi juga berbeda dengan filosofi tokoh nasional asal Minangkabau, Mohammad Hatta yang berpendapat bahwa partai politik seharusnya tidak berasas agama, meskipun Hatta sendiri muslim taat, menentang gagasan partai politik agama dari posisi pemisahan agama dan negara.[3]

Gagasan Islam nasionalis Rasyid Ridha telah sangat mempengaruhi para ulama di Sumatera Barat. Namun gagasan ini baru mendapatkan wadah politk yang cocok ketika terbentuknya Permi dan pulangnya dua cendekiawan Minangkabau tamatan Kairo, Ilyas Ya'kub dan Muchtar Lutfi untuk memegang tampuk kepemimpinan Permi.[4]

Ilyas Yakub dalam tajuknya di Medan Rakjat terbitan Februari 1931 menyesalkan krisis dalam pergerakan rakyat Indonesia pada saat itu, terutama terpecahnya gerakan Islam dengan nasionalis (kebangsaan). Menurutnya, meskipun didasarkan atas dua asas yang berbeda, tidak ada perbedaan dan pertentangan pada tujuan yang hendak dicapai kedua gerakan tersebut. Dia menyerukan persatuan sebagai tanda kedewasaan, dan berpendapat memasukkan slogan Permi "Islam dan kebangsaan" ke dalam gerakan politik akan memecahkan krisis.[5]

Perkembangan dan pergerakan

sunting

Dalam waktu dua tahun setelah kelahirannya Permi berkembang menjadi salah satu partai berpengaruh di Sumatera Barat, dan menyebar ke daerah-daerah lain seperti Tapanuli, Sumatra Timur, Aceh, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Pada bulan Desember 1932, Permi sudah memiliki 7.700 anggota, 4.700 pria dan 3.000 wanita. Kegiatannya berkisar dari pendidikan, kepanduan, penerbitan surat kabar, dan pamflet, serta mengadakan rapat-rapat umum.

Represi

sunting

Sejak awal berdirinya Permi sudah menuai kecurigaan pemerintah kolonial yang menilainya sebagai ancaman. Para juru bicara Permi biasa berpidato terang-terangan melawan penjajahan. Karena itu sejak akhir tahun 1932 pergerakan tokoh-tokoh Permi mulai dibatasi. Rasuna Said, salah satu pemimpin Permi yang lantang menentang pemerintah Belanda dalam pidato-pidatonya, ditangkap pada Desember 1932. Ikut ditangkap juga adalah aktivis wanita Permi lainnya Rasimah Ismail.

Muchtar Lutfi ditangkap pada bulan Juli tahun 1933. Beberapa pimpinan Permi dikenakan larangan bepergian. Kemudian partai ini dikenakan larangan berkumpul. Permi berusaha mengakali dengan menerbitkan kursus-kursus tertulis, yang kemudian disita pemerintah. Pengarangnya, Ilyas Ya'kub, dan penerbitnya Djalaluddin Thaib ditangkap pada bulan September. Muchtar Lutfi, Ilyas Ya'kub, dan Djalaluddin Thaib kemudian diasingkan ke Boven Digoel pada tahun 1934.

Penangkapan dan larangan tersebut efektif melumpuhkan kegiatan Permi. Muhammad Sjafei, satu-satunya pimpinan yang masih aktif, membubarkan Permi pada 18 Oktober 1937.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Audrey R. Kahin (1984). "Repression and regroupment: religious and nationalist organization in West Sumatra in the 1930s". Indonesia. 38: 39–54. 
  2. ^ Assyaukanie, Luthfie (2009). Islam and the Secular State in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 46. 
  3. ^ Kahin, Audrey (2008). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 67. 
  4. ^ Kahin, Audrey (2008). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 62–63. 
  5. ^ Abdullah, Taufik (2009). Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Equinox Publishing. hlm. 177. 

Rujukan

sunting
  • Abdullah, Taufik (2009). Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Equinox Publishing.