Ngabungbang Batulawang

Ngabungbang Batulawang (atau biasanya hanya disebut Ngabungbang) adalah sebuah upacara adat yang telah menjadi tradisi di masyarakat Sunda, khususnya yang berada di wilayah Kota Banjar, Jawa Barat. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, nama "Batulawang" sendiri berasal dari tempat pertama kali upacara atau tradisi ini muncul, yakni di Desa Batulawang, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat.[1]

Kini Ngabungbang tidak hanya ditemukan di Kota Banjar saja, tetapi juga daerah lain di Jawa Barat, beberapa diantaranya adalah Kota Bogor, Kabupaten Cianjur dan Palabuhanratu di Kota Sukabumi. Tradisi Ngabungbang di wilayah Jawa Barat yang lain juga agak berbeda dengan yang ada di Kota Banjar.[2][3][4][5][6]

Sejarah

sunting

Ritual Ngabungbang sebenarnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Medang Gali (Galih/Galuh) pada tahun 175-205 M di muara Sungai Cisukawayana, Palabuhanratu. Konon kabarnya muara Sungai Cisukawayana dianggap mempunya nilai magis yang sangat tinggi, karena muara Sungai Cisukawayana bermuara ke Laut Selatan. Dimana Laut Selatan adalah wilayah kekuasaan Ratu Laut Kidul dan beraada di wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Gali.[7]

Pencetus Ngabungbang Batulawang adalah Ki Demang Wangsafyudin yang sempat padam selama 35 tahun, dari tahun 1915 hingga 1968 banyak dipengaruhi oleh hal-hal mistik. Kemudian pelaksanaan ritual Ngabungbang dari tahun 2004 hingga 2009 mengalami perubahan mendasar, termasuk waktu, tahapan ritual, tujuan, dan makna simbol yang digunakan. Perubahan ini disebabkan oleh keragaman pemikiran tokoh-tokoh adat yang memimpin ritual. Sejak tahun 2005, pemerintah Kota Banjar telah mendeklarasikan ritual Ngabungbang sebagai jati diri Kota Banjar dalam bidang kebudayaan dan pariwisata, serta menyarankan agar tradisi ini dikemas dengan cara yang lebih menarik sehingga dapat menjadi aset pariwisata budaya bagi Kota Banjar.[8]

Ngabungbang juga dapat diartikan sebagai mandi suci dengan mempersatukan cipta, rasa dan karsa untuk membuang atau membersihkan seluruh sifat-sifat yang buruk dalam diri manusia, baik itu sifat lahir maupun sifat batin.[1]

Awalnya tradisi ini dilakukan atau dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur atau ruh nenek moyang, bahkan ada beberapa orang yang bertujuan untuk mendapatkan ilmu gaib, memperoleh kekayaan harta dan lain sebagainya.[1]

Etimologi

sunting

Sementara secara etimologi, upacara Ngabungbang menurut pendapat salah satu sesepuh adat Banjar yang dikutip dalam buku Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Ngabungbang adalah adat atau tradisi bagi orang Sunda, di mana masyarakat beraktivitas di luar rumah dan tidak tidur semalam suntuk, atau istilahnya dalam Bahasa Sunda adalah nyaring sapeupeuting.[1]

Prosesi Upacara

sunting

Prosesi upacara Ngabungbang telah diatur dan terlembaga dan dipimpin oleh tokoh adat. Karena sudah terlembaga, dalam prosesi Ngabungbang juga biasanya menampilkan beberapa pertunjukkan budaya, berupa lantunan lagu dan tari-tarian tradisional seperti; Rudat Solawat, Reog Bedug, Silengser, Gondang Buhun, dan Ronggeng Gunung.[1]

Upacara Ngabungbang Batulawang biasanya dilaksanakan pada malam hari, tepat pada tanggal 14 Maulud dan pada saat bulan purnama. Upacara biasanya diawali dengan sambutan-sambutan dari inohong. Inohong adalah istilah dalam bahasa Sunda untuk menyebut pada sesepuh adat, tokoh masyarakat, tokoh.budaya dan unsur-unsur Muspida lainnya.[1]

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam melaksanakan upacara.Ngabungbang, masyarakat Desa Batulawang diharuskan tidak tidur semalam suntuk atau prosesi ini disebut sebagai nyaring sapeupeuting. Setelah tidak tidur semalam suntuk, masyarakat yang ikut dalam upacara melanjutkan prosesi dengan mandi di tujuh sumur yang telah dikeramatkan. Prosesi mandi di tujuh sumur ini bertujuan sebagai media pembersihan dan penyucian diri dari sifat-sifat buruk yang tidak diinginkan.[1]

Perubahan

sunting

Seiring perkembangan zaman, tradisi Ngabungbang juga mengalami beberapa perubahan atau modifikasi. Bila sebelumnya banyak yang menggunakan tradisi Ngabungbang untuk tujuan-tujuan pribadi seperti ilmu gaib dan menjadi kaya raya, kini tradisi ini lebih bertujuan untuk memperoleh kesucian spiritual. Upacara Ngabungbang kini juga memiliki tujuan yang jauh lebih baik, yakni sebagai media untuk membersihkan diri dari setiap masing-masing warga desa dengan cara bersih bumi dengan harapan akan mampu mencapai jatidiri yang suci dan bersih.[1]

Tujuan

sunting

Tradisi Ngabungbang memiliki beberapa tujuan, fungsi dan manfaat yang baik bagi masyarakat, khususnya masyarakat di Desa Batulawang. Tradisi Ngabungbang memiliki nilai-nilai keteladanan yang sangat baik untuk dijadikan pedoman hidup agar senantiasa bersyukur pada anugerah uang diberikan oleh Tuhan dan juga menjaga hubungan silaturahmi diantara setiap warga, hal ini menjadi modal sosial dan modal spiritual yang sangat baik.[1]

Selain itu, dengan adanya pertunjukkan budaya dalam prosesi upacara Ngabungbang juga bermanfaat bagi media promosi budaya, penghromatan terhadap tamu dan orang tua, sekaligus memperkenalkan budaya Sunda bagi generasi muda. Dengan demikian, kebudayaan Sunda akan menjadi lestari.[1]

Keberagaman

sunting

Tradisi Ngabungbang juga terdapat di wilayah Jawa Barat yang lain, di luar Kota Banjar. Akhirnya perbedaan-perbedaan ini membuat tradisi Ngabungbang menjadi warisan budaya Suku Sunda dimanapun dan menambah keberagaman. Misalnya tradisi Ngabungbang di Kabupaten Cianjur diadakan pada tanggal 12 Maulud atau tepat pada hari lahir Nabi Muhammad SAW. Selain itu tradisi Ngabungbang di Kabupaten Cianjur tidak melakukan ritual mandi suci seperti yang dilakukan di Kota Banjar, tetapi ritual dilakukan lebih kepada bentuk menyucikan benda-benda pusaka oleh salah satu perguruan pencak silat di Cianjur, yakni Padepokan Maung Bodas yang tepatnya berada di Kampung Cilejang, Desa Sukamulya, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur.[4]

Kemudian tradisi Ngabungbang di Kabupaten Bogor juga memiliki perbedaan dengan yang ada di Kota Banjar. Ritual Ngabungbang di daerah Kabupaten Bogor dapat ditemukan di daerah Desa Cimande, Kecamatan Caringin, salah satu daerah yang terkenal juga dengan kesenian bela diri pencak silat. Tradisi Ngabungbang di Kabupaten diawali dengan ziarah makam ke makam-makam para leluhur antara lain Makam Eyang Somad, Makam Abah Khair, Makam Eyang Rangga, dan Makam Abah Buyut. Setelah melaksanakan ziarah makam, warga kemudian melanjutkan upacara dengan melakukan pembersihan pusaka-pusaka, salah satu pusaka yang paling penting adalah Gobang Karancang. Namun tradisi Ngabungbang di Kabupaten Bogor dilaksanakan pada tanggal 14 Maulid, sama seperti yang dilaksanakan di Kota Banjar.[2]

Sementara itu di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi juga memiliki tradisi Ngabungbang, tepatnya di Muara Cisukawayana yang masuk dalam kawasan Pantai Sukawayana. Pemilihan lokasi tersebut dikarenakan adanya keterikatan dengan kepercayaan warga dengan sosok Ratu Laut Selatan, Nyi Roro Kidul sehingga lokasi tersebut dianggap keramat. Prosesi ritual Ngabungbang di Palabuhanratu kurang lebih sama dengan yang ada di Kota Banjar, seperti adanya pembersihan diri dengan mandi pada tengah malam. Namun yang membedakan tradisi Ngabungbang di Palabuhanratu adalah dilaksanakan setiap bulan pada tanggal 14 termasuk tanggal 14 Maulid, jadi total dalam setahun warga melaksanakan Ngabungbang sebanyak 12 kali. Tradisi Ngabungbang di Palabuhanratu juga dipercaya warga sebagai media untuk menguji dan meningkatkan kebatinan.[3][6]

Selain di Palabuhanratu, tradisi Ngabungbang juga terdapat di Kampung Warung Tilu Sukasirna, Desa Mekarmukti, Kecamatan Waluran, yang juga masuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Di tempat tersebut tradisi Ngabungbang dilaksanakan oleh salah satu perguruan pencak silat, yakni Padepokan Uka Saputra. Prosesi Ngabungbang dilaksanakan dengan memanjatkan doa-doa, kebanyakan doa-doa yang dilafadzkan seperti sholawat dan tahlil.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j Direktorat Jendral Kebudayaan, Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2018, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2018) hal. 142
  2. ^ a b "'Ngabungbang', Tradisi Ruwat Pusaka Adat Cimande Bogor di Bulan Maulid". rri.co.id (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-07. Diakses tanggal 2019-04-07. 
  3. ^ a b "Ngabungbang di Palabuhanratu". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-04-07. 
  4. ^ a b Mukminin, Ferri Amiril. "Ritual Ngabungbang, Tradisi Memandikan Benda Pusaka Peninggalan Leluhur di Cianjur". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2019-04-07. 
  5. ^ a b Danang Hamid, Ngabungbang Tradisi Sakral Pencak Silat di Kabupaten Sukabumi dalam https://sukabumiupdate.com/detail/vakansi/wisata/17671-ngabungbang-tradisi-sakral-pencak-silat-di-kabupaten-sukabumi diakses pada 7 April 2019.
  6. ^ a b "Bagi yang Percaya, Katanya Ritual Ngabungbang di Palabuhanratu Bertujuan Untuk ini……". radarsukabumi.com. 2017-11-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-28. Diakses tanggal 2019-04-07. 
  7. ^ kompas.com. Ngabungbang di Palabuhanratu. Diakses 25 juli 2024.
  8. ^ kemdikbud.go.id. Jurnal: KEBUDAYAAN NGABUNGBANG DARI TAHUN 1915-2009 DI KOTA BANJAR, Oleh: Wulan Sondarika. Diakses 25 juli 2024.

Pranala luar

sunting