Nasionalisme Taiwan
Templat:Taiwan independence movement
Artikel ini adalah bagian dari seri Politik dan Ketatanegaraan Taiwan |
Portal Taiwan |
Nasionalisme Taiwan (Hanzi: 臺灣民族主義; Pinyin: Táiwān mínzú zhǔyì) adalah gerakan nasionalis untuk mengidentifikasi rakyat Taiwan sebagai bangsa tersendiri. Karena kerumitan status politik Taiwan, nasionalismenya berhubungan erat dengan gerakan kemerdekaan Taiwan dalam mencari identitas yang berbeda dari bangsa Tionghoa. Nasionalismenya meliputi pendidikan sejarah, geografi, dan kebudayaan dari perspektif Taiwansentris, mempromosikan bahasa-bahasa asli Taiwan seperti bahasa Hokkien Taiwan, Hakka, dan bahasa-bahasa masyarakat adatnya, dan juga reformasi dalam aspek-aspek lainnya.
Karena demokratisasi dan perkembangan hubungan lintas selat, lokalisme di Taiwan telah berevolusi menjadi ideologi politik nationalis dengan penekanan lebih kuat pada pemerintahan sendiri yang menentang penyatuan. Nasionalisme Taiwan berusaha untuk mempersatukan para penduduk Taiwan menjadi sebuah bangsa dan identitas kelompok rakyat umum Taiwan. Upaya ini kemudian mengarah pada timbulnya gerakan kemerdekaan Taiwan yang mendapatkan dukungan sebagian dan bukan kesepakatan masyarakat umum.
Sejarah dan perkembangan
suntingTak seorang pun dapat mengonfirmasi kapan konsep lokalisme dimulai. Sebagian mengatakan ketika gelombang besar pertama orang-orang Han beremigrasi dari Tiongkok daratan ke Taiwan di pertengahan abad ke-16, mereka pasti ingin menjaga sebagian kemerdekaan dari pengendalian kelas penguasa di kampung halaman mereka. Yang lainnya mengatakan bahwa hanya ketika Kerajaan Tungning, dengan ibukotanya di Tainan, dibangun oleh keluarga Zheng di tahun 1662, barulah konsep ini muncul.
Sebagian besar akademisi kontemporer Tionghoa dari Tiongkok daratan percaya akar gerakan lokalis dimulai selama pemerintahan Jepang (1895 sampai 1945), ketika kelompok-kelompok diorganisir untuk melobi pemerintah Kekaisaran Jepang demi otonomi dan pemerintahan Taiwan. Setelah Kuomintang (KMT) mengambil alih Taiwan, kelompok-kelompok pro pemerintahan Taiwan ditiadakan setelah Peristiwa 228 di tahun 1947. KMT memandang Taiwan terutama sebagai basis untuk mengambil kembali Tiongkok daratan dan dengan cepat berusaha menundukkan oposisi politik yang potensial di pulau ini. KMT tidak banyak mempromosikan identitas unik Taiwan; seringkali Tionghoa yang baru berimigrasi atau yang mereka sebut "Tionghoa daratan", bekerja dalam posisi pemerintahan, hidup di lingkungan-lingkungan yang terpisah dari orang-orang Taiwan. Yang lainnya, terutama para pengungsi yang lebih miskin, dihindari oleh orang Taiwan Hoklo dan hidup di antara para penduduk asli. Para Tionghoa daratan sering mempelajari Hokkien. Namun, karena Mandarin dipaksa sebagai bahasa resmi Republik Tiongkok dan bahasa Taiwan tidak diperkenankan digunakan di sekolah-sekolah, para Tionghoa daratan yang mempelajari bahasa Taiwan menemukan keterampilan bahasa mereka yang baru jadi melemah. Karena bahasa Taiwan, atau bahasa apapun selain Mandarin, dilarang dalam pos-pos militer, banyak Tionghoa dataran yang keluarganya hidup di desa-desa militer hanya berbicara Mandarin dan mungkin bahasa ibu mereka (seperti bahasa Kanton, dialek Shanghai, dsb.). Promosi nasionalisme Tionghoa di dalam Taiwan dan fakta bahwa kelompok penguasa di Taiwan dianggap orang luar oleh sebagian orang merupakan alasan yang dikutip oleh gerakan kemerdekaan Taiwan dan lokalisme.
Di akhir dasawarsa 1950an dan awal 1960an, KMT memulai periode reformasi pendidikan, termasuk pencabutan pembatasan bahasa Hokkien di sekolah-sekolah dan pemulihan sekolah-sekolah swasta yang sebelumnya ditekan. Namun, sekolah-sekolah swasta ini memiliki staff loyalis rezim dan mengandalkan pendanaan pemerintah, artinya mereka sering memberikan program politik dan indoktrinasi budaya yang sama dengan sekolah-sekolah negeri. Lebih jauh lagi, meskipun berbicara bahasa Hokkien di sekolah-sekolah atau basis-basis militer tidak lagi ilegal, hanya sedikit kesempatan untuk menggunakannya, karena Mandarin terus menjadi basantara yang disetujui negara.[1]
Dalam dasawarsa 1970an dan 1980an terdapat pergeseran kekuasaan dari KMT ke orang-orang yang merupakan penduduk asli Taiwan. Pergeseran kekuasaan ini, dikombinasikan dengan liberalisasi budaya dan semakin menjauhnya kemungkinan mengambil alih kembali Tiongkok daratan, mengarah pada gerakan budaya dan politik yang menekankan pandangan sejarah dan budaya berpusat pada Taiwan dan bukan yang berpusat pada Tiongkok atau bahkan, seperti sebelum 1946, berpusat pada Jepang. Lokalisme sangat didukung oleh Presiden Lee Teng-hui.
Gerakan Bentuhua mulai menyala di pertengahan dasawarsa 1970an dengan semakin tumbuhnya ekspresi ketidakpuasan etnik karena ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik dan budaya antara Tionghoa daratan dan orang Taiwan. Mulai dasawarsa 1960an, Taiwan diselimuti masalah pembangunan industri yang pesat, pengabaian pedesaan, perselisihan tenaga kerja, dan ketidakseimbangan distribusi akses pada kekayaan dan kekuasaan sosial. Semua perubahan ini, dikombinasikan dengan hilangnya beberapa sekutu kunci, memaksa rezim KMT untuk melembagakan reformasi yang terbatas. Reformasi yang diperkenankan di bawah Chiang Ching-kuo dapat membuat pribumisasi meningkat saat para pimpinan pembangkang menimbulkan respon pada kegagalan-kegagalan pemerintah. Rubenstein (2007) memberi penghargaan pada Chiang untuk memulai Taiwanisasin sebagai yang terpenting. Kelompok-kelompok pembangkang, yang bersatu di bawah Tangwai, atau panji "di luar partai", memanggil pemerintah untuk menerima kenyataan hanya ada pemerintah Taiwan dan bukan Tiongkok. Tuntutan kunci Tangwai meliputi melembagakan demokrasi dan mengusahakan pengakuan internasional sebagai negara berdaulat. Rakyat Taiwan menuntut hak-hak sipil penuh seperti yang dijamin di bawah konstitusi Republik Tiongkok dan hak-hak politik setara seperti yang dialami oleh para elit Tionghoa daratan.
Elit budaya Taiwan sepenuhnya mempromosikan perkembangan karya sastra Xiang tu dan berbagai aktivitas budaya, termasuk menemukan kembali karya sastra penduduk asli Taiwan yang ditulis di zaman pemerintahan kolonial Jepang. Gerakan tangwai menghidupkan kembali simbol-simbol perlawanan Taiwan terhadap pemerintahan Jepang sebagai upaya untuk memobilisasi etnik Taiwan. Oposisi kebijakan-kebijakan budaya Tiongkok-sentris KMT mengakibatkan para pembangkang menghasilkan narasi-narasi historis nasional baru yang menmepatkan pulau Taiwan sendiri di tengah-tengah sejarah pulau ini. Rakyat Taiwan muncul sebagai rakyat yang selalu dikolonisasi dan seringkali ditindas. Konsep bentuhua akhirnya diekspresikan dalam wilayah budaya dengan dasar pikiran Taiwan sebagai tempat dengan masyarakat, budaya, dan sejarah yang unik. Prinsip ini telah diadopsi untuk memahami perwakilan budaya Taiwan dan diekspresikan dalam berbagai aktivitas budaya, termasuk musik, film, dan karya sastra serta seni pertunjukan.
Berbagai tekanan pribumisasi dan pertumbuhan penerimaan identitas budaya Taiwan menghadapi oposisi dari elemen-elemen masyarakat Taiwan yang lebih konservatif. Para kritikus berpendapat bahwa perspektif baru menciptakan identitas "palsu", yang berakar dalam nasionalisme etnik, bertentangan dengan identitas Tionghoa "autentik", yang purbakala dan sudah melekat. Banyak Tionghoa daratan yang hidup di Taiwan mengeluh budaya mereka sendiri dimarjinalisasi oleh bentuhua, dan semula mengekspresikan ketakutan menghadapi pengasingan yang semakin mendalam. Dalam dekade sebelumnya keluhan-keluhan ini telah berkurang saat Taiwan semakin memandang dirinya sendiri sebagai masyarakat pluralistik yang merangkul banyak budaya dan mengakui hak-hak semua warganya.
Dalam pertengahan hingga akhir dasawarsa 1990an, sikap-sikap terhadap lokalisme semakin diadopsi oleh tokoh-tokoh pro penyatuan yang, sambil mendukung nasionalisme Tionghoa Chiang Kai-shek, melihat sudah selayaknya atau sebaiknya memperlihatkan penghargaan yang lebih tinggi pada budaya-budaya Taiwan. Para politisi pro penyatuan seperti James Soong, mantan kepala Kantor Informasi Pemerintah, yang pernah mengawasi pembatasan dialek-dialek Taiwan, mulai berbicara dengan bahasa Hoklo pada acara-acara semiformal.
Pembetulan nama
suntingUpaya-upaya telah dibuat oleh pemerintah Republik Tiongkok (Taiwan) mulai tahun 2000 agar berjarak dari Tiongkok dan mengembalikan upaya-upaya sinifikasi awal dengan melakukan berbagai tindakan seperti menghilangkan pengaruh Tiongkok dari berbagai hal yang berada di dalam pengendalian Taiwan. Meskipun para nasionalis mungkin memandang upaya-upaya semacam itu sebagai penegasan pentingnya budaya Taiwan, bagian ini mengurus perspektif mereka yang mungkin mendukung penyatuan Tiongkok dari semua Tiongkok Raya di bawah entitas politik tunggal.
Asal mula
suntingPada akhir Perang Dunia II, tentara Kuomintang Tionghoa mengambil alih Taiwan dan segera memulai upaya sinifikasi populasi. Para elit perkotaan Taiwan disapu bersih pada Peristiwa 228. Bahasa Tionghoa Mandarin menjadi satu-satunya bahasa yang diperkenankan dalam media dan sekolah untuk pengecualian dari bahasa-bahasa lain di Taiwan, dan juga bahasa Jepang. Lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan negara diberi nama yang mengandung kata "Tiongkok" atau "Tionghoa". Pelajaran-pelajaran sejarah dan geografi di sekolah dipusatkan pada Tiongkok dengan memberi sedikit perhatian pada Taiwan. Nama-nama jalanan di Taipei diubah dari nama-nama asli mereka menjadi nama-nama Tionghoa yang merefleksikan geografi ideal Tiongkok dan Kuomintang.[2][3]
Dengan berakhirnya darurat militer di tahun 1987 dan perkenalan pada demokrasi di tahun 1990an setelah gerakan pelajar Lili Liar, dimulai upaya untuk menegaskan kembali identitas dan budaya Taiwan sambil berusaha menyingkirkan banyak pengaruh Tionghoa yang dipaksakan oleh Kuomintang.
Kampanye pendidikan dan bahasa
suntingDi tahun 2000, presiden Republik Tiongkok saat itu, Lee Teng-hui, mulai membuat pernyataan-pernyatan seperti "budaya Taiwan bukan cabang budaya Tionghoa" dan "dialek Minnan Taiwan bukan cabang dialek Min-nan Fujian, melainkan 'dialek Taiwan'".[4] Radio dan TV Taiwan meningkatkan program-program berbahasa Hokkien Taiwan .[4] Upaya-upaya ini diterima di Tiongkok sebagai upaya-upaya awal menuju pemutusan hubungan antara budaya Taiwan dan budaya Tionghoa dengan menyepelekan identifikasi budaya dan historis Tionghoa jangka panjang di wilayah itu.[4]
Pada bulan April 2003, Komite Bahasa Nasional, yang merupakan bagian dari Kementerian Pendidikan Taiwan, merilis pengajuan peraturan yang berjudul "Undang-undang Kesetaraan Berbahasa".[5] Peraturan yang diajukan itu berusaha merancang empat belas bahasa sebagai bahasa nasional Taiwan.[5] Di Tiongkok daratan, hal ini dilihat sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan bahasa baku Mandarin dan pengaruh-pengaruh budayanya untuk memperbaiki pondasi budaya dan psikologis pulau Taiwan dengan menggunakan bahasa-bahasa lain.[5] Drafnya tidak diadopsi.[5]
Isu-isu buku pelajaran diangkat pada bulan November 2004, ketika sekelompok pembuat undang-undang, kandidat legislatif dan pendukung pro kemerdekaan Serikat Solidaritas Taiwan (SST) mendesak Kementerian Pendidikan untuk menerbitkan buku-buku sejarah dan geografi Taiwan-sentris bagi anak-anak sekolah sebagai bagian dari kampanye lokalis.[6] Meskipun garis besar draf yang dihasilkan mengenai pelajaran sejarah untuk sekolah-sekolah menengah atas reguler dikritisi oleh berbagai kelompok,[7] Presiden Chen Shui-bian merespon bahwa "untuk mencari kebenaran sejarah Taiwan" tidak sama dengan desinifikasi, begitu juga dengan gerakan kemerdekaan, dan mengindikasikan bahwa dia tidak akan mencampuri upaya-upaya penyuntingan dan kompilasi sejarah.[8][9]
Pengajuan untuk merevisi buku-buku pelajaran sejarah Taiwan dikutuk pada bulan Februari 2007 oleh Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara Republik Rakyat Tiogkok sebagai bagian dari kampanye desinifikasi.[10] Pada bulan Juli 2007, Kementerian Pendidikan Taiwan merilis satu kajian yang menemukan istilah-istilah dalam 5.000 buku pelajaran, yang sebagiannya berhubungan dengan budaya Tionghoa, "tidak layak".[11] Kuomintang melihatnya sebagai bagian dari kampanye penyensoran desinifikasi buku pelajaran.[12] Pengajuannya tidak diadopsi.
Kampanye perubahan nama
suntingAntara tahun 2002 dan 2007, pemerintahan Republik Tiongkok di bawah Chen Shui-bian mengambil langkah untuk merevisi istilah "Tiongkok", "Republik Tiongkok", "Taipei", dan yang lainnya yang memberi hubungan dengan budaya Tionghoa.[13][14][15][16]
Di tahun 2002, "Kampanye Pembetulan Nama" membuat kemajuan signifikan dalam menggantikan istilah-istilah "Tiongkok", "Republik Tiongkok", atau "Taipei" dengan istilah "Taiwan" pada dokumen-dokumen resmi, dalam nama organisasi-organisasi yang terdaftar di Taiwan, perusahaan, dan perusahaan publik di pulau ini, dan dalam nama-nama bisnis yang berkantor di luar negeri.[13] Pada tahun 2003, Kementerian Luar Negeri Republik Taiwan menerbitkan paspor baru dengan kata "Taiwan" tercetak dalam bahasa Inggris di jilidnya.[17] Lebih jauh lagi, di bulan Januari 2005, Taiwan mengadopsi format penulis barat untuk dokumen-dokumen negara, menyangkalnya merupakan upaya desinifikasi, dan mempromosikan tindakan itu sebagai "upaya bersama birokrasi globalisasi Taiwan yang sudah mengeras dan meningkatkan sisi persaingan bangsa."[18]
Berkampanye dalam bidang ini terus berlanjut pada bulan Maret 2006, saat Partai Progresif Demokratik berusaha mengubah rancangan tahun Republik Tiongkok yang digunakan di Taiwan menjadi kalender Gregorius.[19] Tahun 2006 tidak diacu sebagai "tahun ke-95 Republik Tiongkok"—dengan tahun 1912 pendirian Republik Tiongkok diacu sebagai "tahun pertama Republik Tiongkok"—malah tahun 2006 akan diidentifikasi sebagai tahun 2006 dalam penggunaan resmi, seperti pada uang kertas, kartu identitas, kartu asuransi kesehatan, surat izin mengemudi, ijazah, dan sertifikat pernikahan.[19] Hal ini dilihat sebagai pemerintah sedang mencoba sudut lain desinifikasi dengan menghilangkan jejak-jejak Tiongkok apapun dari Taiwan.[19]
Pada bulan Februari 2007, istilah "Tiongkok" digantikan dengan istilah "Taiwan" di perangko-perangko Taiwan bertepatan dengan ulang tahun ke-60 Peristiwa 228 yang sejak 28 Februari 1947 ditekan keras oleh Kuomintang (KMT).[20] Pada bulan yang sama, nama layanan pos resmi Taiwan berubah dari Perusahaan Pos Chunghwa menjadi Perusahaan Pos Taiwan.[21] Nama perusahaan ini diubah lagi pada tanggal 1 Agustus 2008, dan nama-nama perangko diganti kembali pada akhir tahun 2008, segera setelah kandidat Kuomintang (KMT), Ma Ying-Jeou kembali memenangkan kepresidenan dan mengakhiri 8 tahun kekuasaan Partai Progresif Demokratik (PPD).
Pada bulan Maret 2007, plat nama Kedutaan Besar Tiongkok di Panama direvisi keduanya untuk memasukkan nama "Taiwan" dalam kurung di antara kata-kata "Republik Tiongkok" dan "Kedutaan Besar" baik dalam bahasa Tionghoa maupun Spanyol, dan menghilangkan lambang nasional Republik Tiongkok.[22]
Para pendukung[perinci lagi] gerakan perubahan nama berargumen bahwa Republik Tiongkok tidak ada lagi, karena tidak memasukkan Taiwan ketika didirikan pada tahun 1912 dan Tiongkok daratan sekarang dikendalikan oleh Partai Komunis Tiongkok sebagai Republik Rakyat Tiongkok. Lebih jauh lagi, ambiguitas yang mengelilingi status sah Taiwan sebagai hasil dari Perjanjian damai dengan Jepang dan Perjanjian San Francisco setelah Perang Dunia II, berarti Republik Tiongkok hanyalah penguasa militer yang menduduki Taiwan. Saat Jepang melepas kedaulatannya atas Taiwan tanpa memberikannya pada negara tertentu, diargumentasikan bahwa Taiwan seharusnya diperlakukan sebagai tanah yang tidak dimiliki negara manapun, yang status internasionalnya masih belum didefinisikan.
Kampanye konstitusional dan politik
suntingDari perspektif konstitusi Republik Tiongkok, yang partai politik arus utamanya seperti KMT dan PPD yang saat ini dihormati dan diakui, mengubah status pemerintahan Republik Tiongkok atau sepenuhnya memperjelas status politik Taiwan yang terbaik membutuhkan amandemen konstitusi Republik Tiongkok. Mensahkan amandemen membutuhkan persetujuan kuorum tiga perempat anggota Yuan Legislatif. Kuorum ini membutuhkan setidaknya tiga perempat semua anggota badan legislatif. Setelah melewati badan legislatif, amandemen membutuhkan ratifikasi dari setidaknya lima puluh persen semua pemberi suara yang berhak di Reublik Tiongkok, terlepas dari kedatangan pemberi suara.
Pada bulan Oktober 2003, Presiden Chen Shui-bian mengumumkan bahwa Taiwan akan mencari konstitusi baru yang sesuai dengan rakyat Taiwan yang akan mengubah Taiwan menjadi "negara yang normal".[23] Sebagai penjelasan apa yang dimaksud negara normal adalah dalam konteks desinifikasi dan kebijakan satu Tiongkok di tahun 1992, Chen Shui-bian menyatakan,
Taiwan adalah negara berdaulat yang merdeka, tapi banyak orang tidak menganggap Taiwan sebagai sebuah negara dan tidak berani menyebut Taiwan sebagai negara berdaulat yang mereka, yang tidak sewajarnya. ... Taiwan tidak boleh terjatuh ke dalam jebakan dianggap sebagai bagian dari Tiongkok, atau menjadi wilayah khusus Tiongkok seperti Hong Kong.[23] Templat:Additional citation needed
Sebagai responnya, Koalisi Pan-Biru dalam Taiwan berusaha menggambarkan Presiden Chen Shui-bian dan Partai Progresif Demokratik sebagai pihak radikal yang berniat mengimplementasikan desinifikasi revolusioner yang akan mencabut hak memilih berbagai kelompok etnik di Taiwan yang memiliki pertalian dengan Tiongkok dan budaya Tionghoa.[24]
Pada bulan Februari 2007, Partai Progresif Demokratik (PPD) mengadopsi sebuah resolusi untuk mengidentifikasi mereka yang bertanggung jawab terhadap Peristiwa 228 tahun 1947 yang merupakan pembantaian rakyat Taiwan, dalam rangka menuduh mereka dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Upaya tersebut juga berusaha menghilangkan "sisa-sisa kediktatoran" yang ditelusuri hingga peristiwa berusia enam puluh tahun itu.[25] Resolusi ini dilihat di Tiongkok daratan sebagai bagian dari rangkaian tindakan desinifikasi, baik oleh pemerintah Taiwan maupun PPD untuk menyingkirkan Chiang dan Tiongkok dari pemandangan publik Taiwan.[25] Sebagian menghargainya sebagai tindakan berani mencari keadilan. Sementara yang lainnya mengritik permintaan, melihatnya sebagai "menggosokkan garam pada luka" dengan memainkan isu-isu historis untuk meraih keuntungan politik.[25]
Kampanye lainnya
suntingPada bulan Maret 2007, tercatat bahwa perusakan dasar rel kereta api Jalur Barat di bawah lantai Stasiun Utama Taipei dan dibangun di tahun 1893 oleh Gubernur Provinsi Taiwan yang ditunjuk Kekaisaran Qing, Liu Mingchuan, merupakan bagian dari permintaan pemerintah untuk desinifikasi melalui penghilangan situs Tionghoa.[26]
Pada bulan Juli 2007, Presiden Chen Shui-bian mengumumkan bahwa dia akan memperkenankan ijazah atau pelajar Tiongkok daratan ke Taiwan selama sisa masa kepresidenannya.[27] Namun, hal ini tidak dapat dicapai.
Dampak
suntingSatu fenomena yang dihasilkan dari gerakan lokalis adalah kedatangan cabang kebudayaan Taike, yang membuat anak-anak muda dengan sadar mengadopsi pakaian, bahasa, dan makanan untuk menegaskan keunikan budaya akar rumput Taiwan yang populer, yang dalam masa sebelumnya seringkali dilihat sebagai kampungan dan terbelakang oleh arus utama.
Pada bulan April 2002, Partai Komunis Tiongkok (PKT) mencatat upaya-upaya aktif di pihak Taiwan untuk mendorong maju kebijakan lokalisnya dan memperkuat kerja sama militer Amerika Serika-Taiwan. Sebagai responnya, PKT secara umum mengingatkan militernya untuk bersiap mencapai tujuannya yaitu "penyatuan kembali Tiongkok" (yang dimaksudkan untuk membuat Taiwan sebagai bagian dari Republik Rakyat Tiongkok) melalui cara-cara militer. Sebagai tambahan, PKT mencari bantuan dari Amerika Serikat untuk menangani urusan dengan Taiwan. Sebagai bagian dari upaya wakil presiden saat itu, Hu Jintao, agar kunjungan AS bisa berjalan lancar, Amerika Serikat memperingatkan pemerintahan Chen Shui-bian tidak "bertindak terlalu jauh" dalam hubungan lintas selat.[28]
Pada bulan April 2005, sekretaris jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT), Hu Jintao, dan mantan Wakil Presiden RT serta ketua partai Kuomintang (KMT), Lien Chan, berjabatan tangan. Diumumkan sebagai momen bersejarah, peristiwa ini jabatan tangan pertama oleh pimpinan teratas KMT dan PKT dalam 60 tahun.[29] Sebagai komentar terhadap jabatan tangan itu, ketua Lien mencatat bahwa pertemuan itu merupakan titik balik KMT dan PKT bekerja sama untuk membawa kedamaian hubungan lintas selat dan secara khusus membuat KMT berjarak dari kemerdekaan Taiwan dan upaya-upaya desinifikasi.[30]
Dukungan dan oposisi
suntingProtes keras yang signifikan muncul dari Taiwan maupun luar negeri yang menentang konsep lokalisasi Taiwan di tahun-tahun awal setelah kematian Presiden Chiang Ching-kuo, mencelanya sebagai "gerakan kemerdekaan Taiwan" (Hanzi: 台獨運動). Para penentang yang vokal pada umumnya adalah generasi Tionghoa daratan tahun 1949, atau generasi lebih tua Tionghoa daratan yang hidup di Taiwan, yang telah menghabiskan tahun-tahun formatif dan kedewasaan mereka di Republik Tiongkok daratan pra-1949, dan para penduduk asli Taiwan yang mengidentifikasi diri dengan identitas budaya Tionghoa pan-Han. Mereka meliputi orang-orang yang merentang dari para akademisi seperti Chien Mu, yang memiliki reputasi sebagai intelektual Tionghoa terkemuka terakhir yang menentang meraih kebijaksanaan konvensional pada Gerakan 4 Mei, para politisi seperti Lien Chan, dari keluarga yang memiliki sejarah panjang patriotisme aktif pan-Tionghoa meskipun merupakan penduduk asli Taiwan, hingga gang mafia seperti Chang An-lo, seorang pimpinan yang terkenal buruk dari Gang Serikat Bambu.
Suara-suara yang menentang itu kemudian dipinggirkan di pertengahan dasawarsa 2000 oleh Taiwan sendiri. Isu-isu itu terus bertahan, khususnya para pendukung koalisi Pan-Biru, yang mengadvokasi mempertahankan hubungan kuat dengan Tiongkok daratan, berselisih atas isu-isu seperti sejarah apa yang harus diajarkan. Namun demikian, kedua kekuatan politik utama di Taiwan mencapai kesepakatan, dan gerakan itu mendapatkan dukungan luar biasa dari populasi. Hal ini terjadi sebagian karena generasi Tionghoa daratan tahun 1949 secara berangsur-angsur menghilang dari panggung, dan para politisi yang mendukung dan menentang gerakan kemerdekaan Taiwan menyadari mayoritas penghuni saat ini di Taiwan, baik karena mereka terlahir di Taiwan dari orang tua Tionghoa daratan yang tidak memiliki ingatan kolektif rumah-rumah leluhir mereka, atau mereka penduduk asli Taiwan, sehingga tidak merasakan makna historis dengan seluruh Republik Tiongkok di Tiongkok daratan pra-1949, mendukung gerakan itu.
Di Tiongkok daratan, pemerintah RRT, di permukaan, telah mengadopsi kebijakan netral akan lokalisme dan para pimpinan tingkat tertingginya secara publik menyatakan tidak mempertimbangkan gerakan lokalis sebagai pelanggaran terhadap Kebijakan Satu Tiongkoknya maupun dianggap sama dengan gerakan kemerdekaan. Bagaimanapun juga, media yang dimiliki negara dan para akademisi yang dipekerjakan oleh organisasi-organisasi seperti Institut Kajian-Kajian Taiwan di universitas-universitas atau Akademi Tiongkok Ilmu Pengetahuan Sosial (ATIPS) secara periodik merilis hasil-hasil kajian, artikel jurnal akademik, atau tajuk-tajuk rencana yang secara kuat mengritik gerakan sebagai "lengan budaya gerakan kemerdekaan Taiwan" (Hanzi: 文化台獨) dengan persetujuan bersama pemerintah, memperlihatkan tentangan pemerintah RRT terhadap lokalisme.
Sekarang ini, sumber oposisi signifikan lainnya pada gerakan lokalis tetap ada dalam komunitas-komunitas Tionghoa di luar negeri di Asia Tenggara maupun dunia barat, yang lebih mengidentifikasi diri dengan sejarah Republik Tiongkok daratan pra 1949 atau gerakan pralokalis Republik Tiongkok di Taiwan, yang mengorientasi diri sebagai sisa-sisa tak penting pemerintah Tiongkok yang sah. Sebagian lainnya, yang juga banyak, adalah para pengungsi dan pembangkang yang melarikan diri dari tiongkok daratan, entah secara langsung atau melalui Hong Kong atau Taiwan, selama pendirian Republik Rakyat Tiongkok dan periode kebijakan-kebijakan destruktif setelahnya (seperti Reforma Pertanahan, Gerakan Antigolongan-Kanan, Lompatan Jauh ke Depand, atau Revolusi Budaya), para imigran antikomunis Hong Kong yang melarikan diri dari penyerahan RRT di tahun 1997, atau para Tionghoa daratan yang hidup di Taiwan dan pindah ke Barat sebagai respon terhadap gerakan lokalis. Sebaliknya, populasi saat ini di Taiwan menganggap Tionghoa di luar negeri ini sebagai orang asing mirip dengan Tionghoa Singapura, bertentangan dengan zaman pralokalis ketika mereka dilabeli sebagai Tionghoa rekan senegaranya. RRT mengkapitalisasi jendela peluang ini dengan membuat penawaran pada komunitas Tionghoa antikomunis tradisional di luar negeri, termasuk tindakan mendukung budaya Tionghoa tradisional dan menghilangkan nada-nada komunis dalam komunikasi di luar negeri. Hal ini menghasilkan penurunan oposisi politik aktif terhadap RRT dari para Tionghoa di luar negeri ketika dibandingkan dengan saat sebelum gerakan lokalis di Taiwan.
Di Hong Kong, gerakan lokalis Taiwan telah mendorong lokalisasi atau komunis pro Tionghoa condong di antara para individu dan organisasi pro Republik Tionghoa tradisional. Contoh terkemuka adalah Pendidikan Tinggi Chu Hai, yang program gelar akademiknya diakui secara resmi oleh pemerintah SAR Hong Kong pada bulan Mei 2004, dan didaftar sebagai "Pendidikan Tinggi Pascamenengah yang Disetujui" dengan pemerintah SAR Hong Kong sejak Juli tahun yang sama. Sejak saat itu namanya telah diubah menjadi Kampus Pendidikan Lebih Tinggi Chu Hai (珠海學院) dan tak lagi terdaftar di bawah Kementerian Pendidikan Republik Tiongkok. Murid-murid baru dari tahun 2004 telah diberi gelar dengan hak Hong Kong dan bukan Taiwan.
Peran dalam politik domestik
suntingMeskipun pemufakatan umum saat ini mengenai keseluruhan ideologi lokalisme, tetap masih mengandung perselisihan mendalam atas kebijakan-kebijakan praktis antara ketiga kelompok politik utama dari kemerdekaan Taiwan, penyatuan kembali Tiongkok, dan para pendukung budaya Tionghoa. Para pendukung pro kemerdekaan berpendapat bahwa Taiwan adalah dan seharusnya meningkatkan identitas yang terpisah dari Tionghoa, dan dalam kasus-kasus lebih ekstrem mengadvokasi "rekam jejak" Tionghoa. Sementara itu, sebagian akan berpendapat bahwa Taiwan seharusnya menciptakan identitas berbeda yang meliputi aspek-aspek Tionghoa tertentu atau berada di dalam Tionghoa yang lebih luas. Mereka yang mendukung penyatuan kembali Tiongkok menyerukan kebijakan yang meningkatkan identitas Tionghoa. Kelompok-kelompok yang mendukung penyatuan kembali Tiongkok dan nasionalisme Tiongkok menegaskan perbedaan antara lokalisme dan yang sebagian menerimanya sebagai desinifikasi dan berargumen bahwa mereka tidak menentang promosi identitas Taiwan, tapi menentang penggunaan identitas itu untuk memisahkan diri dari Tionghoa yang lebih luas. Di sisi lain, beberapa kelompok apolitis mengklaim bahwa sebagian besar fraksi politik hanya menggunakan semua poin ini untuk memenangkan dukungan dalam pemilihan.
Lihat juga
suntingReferensi
sunting- ^ Wong, Ting-Hong (May 2020). "Education and National Colonialism in Postwar Taiwan: The Paradoxical Use of Private Schools to Extend State Power, 1944–1966". History of Education Quarterly. 60 (2): 156–184. doi:10.1017/heq.2020.25.
- ^ Dreyer, June Teufel (17 Juli 2003). Taiwan's Evolving Identity. Woodrow Wilson International Center for Scholars. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Juni 2011. Diakses tanggal 20 Mei 2009.
In order to shore up his government’s legitimacy, Chiang set about turning Taiwan’s inhabitants into Chinese. To use Renan’s terminology, Chiang chose to re-define the concept of shared destiny to include the mainland. Streets were re-named; major thoroughfares in Taipei received names associated with the traditional Confucian virtues. The avenue passing in front of the foreign ministry en route to the presidential palace was named chieh-shou (界壽), meaning "long live Chiang Kai-shek. Students were required to learn Mandarin and speak it exclusively; those who disobeyed and spoke Taiwanese, Hakka, or aboriginal tongues could be fined, slapped, or subjected to other disciplinary actions.
- ^ "Starting Anew on Taiwan". Hoover Institution. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 April 2009. Diakses tanggal 5 Juni 2009.
The new KMT concluded that it must “Sinicize” Taiwan if it were ever to unify mainland China. Textbooks were designed to teach young people the dialect of North China as a national language. Pupils also were taught to revere Confucian ethics, to develop Han Chinese nationalism, and to accept Taiwan as a part of China.
- ^ a b c Huining, Zhuang; Haixia, Huang. (19 Maret 2001) World News Connection Hoping for an Early Completion of the Great Cause of National Reunification. China's NPC Deputies, CPPCC Members on Cross-Strait Reunification Viewed.
- ^ a b c d Weixue, Peng (Beijing Renmin Wang). (10 April 2003) World News Connection Taiwan Strait Observation: Taiwan Authorities Are Suppressing 'Mandarin' and Promoting 'Cultural Taiwan Independence.'
- ^ Wu, Sofia – Taipei Central News Agency. (9 November 2004) World News Connection Tsu Lawmakers Call For Taiwan-centric History Textbooks.
- ^ People's Daily Online (11 November 2004) Islanders Criticize Taiwan Authorities' Outline of New History Course. Diarsipkan 1 Oktober 2012 di Wayback Machine.
- ^ Chieh-yu, Lin. (19 November 2004) Taipei Times Chen says he's open-minded when it comes to history. Diarsipkan 7 April 2019 di Wayback Machine. Halaman 3.
- ^ Wu, Lilian. (21 Juli 2007) Taiwan Headlines Education Minister Denies Accusations On Textbooks.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Beijing Jiefangjun Bao (1 Februari 2007) Chinese State Council Taiwan Affairs Office Condemns Taiwan Authorities Revising History Textbooks as Desinicization Move. Diarsipkan 20 Juli 2011 di Wayback Machine.
- ^ China Post (22 Juli 2007) Ministry of Education study concludes 5,000 textbook terms 'unsuitable'. Diarsipkan 3 Maret 2016 di Wayback Machine.
- ^ China Post (23 Juli 2007) Opposition slams Taiwan denial textbook censorship desinicization campaign.
- ^ a b Hong Kong Ta Kung Pao (11 Mei 2002) World News Connection Ta Kung Pao Editorial Criticizes Forces Promoting 'Taiwan' as Official Name. Rectification of Taiwan's Name' Is Actually for the Sake of Pursuing 'Taiwan Independence.
- ^ China Post (8 Februari 2007) The DPP's Cultural Revolution.
- ^ China Post (11 Februari 2007) The name-change fever.
- ^ Hsiu-chuan, Shih. (21 Maret 2007) Taipei Times Wu's transfer to US upsets pan-blues. Diarsipkan 7 April 2019 di Wayback Machine. Halaman 3.
- ^ Qing, Hua (Beijing Renmin Ribao) (17 Juni 2003) World News Connection What 'Convenience' Does the Addition of 'Taiwan' Provide? Column Criticizes Decision to Add 'Taiwan' to Passports.
- ^ Shu-ling, Ko. (4 Januari 2005) Taipei Times Using Westernized writing format isn't an issue: premier. Diarsipkan 7 April 2019 di Wayback Machine. Halaman 2.
- ^ a b c Wu, Lilian – Taipei Central News Agency. (21 Maret 2006) World News Connection Taiwan Lawmakers Say Changing Year Designation To Cost Nearly $309 Million.
- ^ China Post (14 Februari 2007) Desinicization likely to continue.
- ^ Wu, Sophia. (23 Juli 2007) Taiwan Headlines. Cgj Not To Deal With Name Change Constitutionality Issue.
- ^ Huang, Ramon; Wu, Sofia. (25 Maret 2007) Taiwan Headlines Taiwan Embassies, Representative Offices in Latin America Replace Name Plates. Diarsipkan 4 Maret 2016 di Wayback Machine.
- ^ a b Wu, Lilian – Taipei Central News Agency. (6 Oktober 2003) World News Connection President Wants Constitution That Fits Taiwan People.
- ^ Tai-lin, Huang – Taipei Times. (15 November 2003) World News Connection Pan-Blue Portraying Green Camp As "Radical"
- ^ a b c China Post (8 Februari 2007) DPP urges probe to 'uncover truth' of 2–28.
- ^ Ting-wei, Ku. (12 Maret 2007) Taipei Times Picking and chosing [sic] the history we want to keep. Diarsipkan 7 April 2019 di Wayback Machine. Halaman 8.
- ^ Taipei Times (24 Juli 2007) Chen's Diploma Policy Is Backward. Diarsipkan 7 April 2019 di Wayback Machine. Halaman 8.
- ^ Hong Kong Ming Pao (12 April 2002) World News Connection U.S. Cautions Taiwan Not To "Go Too Far" in Cross-Strait Relations.
- ^ People's Daily Online (30 April 2005) A moment that goes down in history. Diarsipkan 2012-10-01 di Wayback Machine.
- ^ Binhua, Chen; Yong, Zhang – Beijing Xinhua Domestic Service (30 April 2005) World News Connection Hu Jintao, Lien Chan Hold 'Formal Talks;' Exchange Views on Developing Cross-Strait Ties.
2. Tzeng, Shih-jung, 2009. From Honto Jin to Bensheng Ren- the Origin and Development of the Taiwanese National Consciousness, University Press of America. ISBN 0-7618-4471-6