Lembaga Wali Nanggroe

(Dialihkan dari Lembaga wali nanggroe)

Lembaga Wali Nanggroe (disingkat LWN) adalah sebuah lembaga yang mengatur kepemimpinan adat di Aceh.[1]Lembaga ini bertindak sebagai pemersatu masyarakat Aceh dibawah prinsip-prinsip yang independen. Lembaga Wali Nanggroe juga memangku kewibawaan dan kewenangan dalam membina serta mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, upacara-upacara adat, serta melaksanakan penganugerahan gelar/derajat kehormatan.[2] Lembaga ini juga bertindak sebagai pembina kehormatan, adat, tradisi sejarah, dan tamadun Aceh.[3]

Lembaga Wali Nanggroe Aceh
Informasi lembaga
Wilayah hukumAceh
Pejabat eksekutif
Dasar hukum
Situs webwalinanggroe.acehprov.go.id

Lembaga Wali Nanggroe adalah satu bentuk kekhususan Aceh sebagai amanah dari kesepakatan damai (MoU Helsinki). Mengenai ketentuan LWN tercantum di dalam poin 1.1.7. MoU Helsinki. Amanah tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta pasal 96 ayat (4) dan Pasal 97 tentang Wali Nanggroe, yang ketentuan lebih lanjutnya diatur oleh qanun.

Latar Belakang

sunting

Sejarah Awal Lembaga Wali Nanggroe

sunting

Kehidupan sosiologis masyarakat Aceh, amat terkait dengan perkembangan politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya, serta hubungan internal dan eksternal masyarakat pada lingkungannya. Masuknya agama Islam ke Aceh pada abad 13, di mana Sultan Aceh Ali Mughayat Syah, merupakan sultan pertama yang memberi contoh untuk memeluk agama Islam (1507-1522), kemudian digantikan oleh anaknya Sultan Salahuddin (1522-1530), telah membangun dan menanam aspek–aspek kepemimpinan dalam sistem pemerintahan yang bersifat monarkis sebagai simbol persatuan dan kesatuan monarkis kekhalifahan.[4]

Sistem kepemimpinan monarkis ini yang berkelanjutan, dapat dimaknai sebagai kesinambungan perwalian sistem pemerintahan (turun temurun), meskipun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), ada perubahan dengan mengangkat Iskandar Tsani (bukan anaknya) untuk melanjutkan tugas-tugas kesultanan dan perkembangan selanjutnya pada era pemerintahan ke Sultanan Aceh berakhir, perkembangan sosiologis dari akhir kepemimpinan masyarakat Aceh, beralih kedalam suasana Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana wilayah Aceh menjadi salah satu Provinsi di dalamnya.[5]

Sejarah Aceh menjelaskan bahwa perang Aceh terjadi pada tanggal 26 Maret 1873. Pasukan Aceh dipimpin oleh Tgk. Tjik DI Tiro Muhammad Saman bin Abdullah dan pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler. Pasukan Belanda dapat dikalahkan oleh pasukan Aceh, dan Jenderal Kohler dihukum mati oleh Mahkamah Kerajaan Aceh.[5]

Setelah Belanda mengalami kekalahan pada masa itu, maka pihak Belanda membuat ekspedisi yang kedua pada tanggal 25 Desember 1873 yang dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten, sedangkan pihak Aceh dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Saat itu, pasukan Aceh di benteng Kuta Radja dikalahkan oleh pasukan Belanda.[5]

Pada tanggal 28 Januari 1874, ketua Majelis tuha Peut Kerajaan Aceh Tuwanku Muhammad Raja Keumala mengambil keputusan bahwa : “dalam keadaan huru hara/perang kafir, maka untuk mempersatukan kita semua mengambil keputusan bahwa kekuasaan adat, hukum, reusam di bawah pimpinan tertinggi maka diangkatlah : Al-Mutabbir, Al-Malik, Al-Mukarram (Wali Nanggroe) Tengku Tjik Di tiro Muhammad Saman bin Abdullah”.

Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman memimpin perang selama 17 tahun, hingga pada tanggal 29 Desember 1891 beliau diracun di Kuta Aneuk Galong yang merupakan Benteng Aceh pada masa itu. Pada tanggal 31 Desember 1891, pada pukul 5 sore di benteng Aneuk Galong, pasukan laki-laki duduk beriringan di sebelah kiri Tgk Tjik Di Tiro dan sebelah kanannya pasukan wanita juga duduk beriringan.

Wasiat paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah, yaitu:

1. Untuk pasukan laki-laki :

Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah berpesan : “jangan kamu hidup kalau tidak perangi kafir dan jangan kamu mati kalau bukan mati syahid, adakah kamu semua mendengarkannya ?” ; “samiek na wa ath’ak na (kami dengar dan kami taat)” jawab pasukan laki-laki.

2. Untuk pasukan perempuan :

Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah berpesan, hai anak perempuan, jangan kamu hidup kalau tidak mengerjakan shalat dan jangan kamu mati kalau tidak dalam iman, adakah kamu semua mendengarkannya ?; samiek na wa ath’ak na (kami dengan dan kami taat)” jawab pasukan perempuan. Setelah itu , tengku Tjik Di Tiro mengucapkan dua kalimah syahadat; “laa Ilaaha illallah tujuh kali berulang-ulang”, beliaupun mangkat[5]

Pada tanggal 1 Januari 1892, Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-2 dan beliau syahid pada tahun 1896 di Kuta Aneuk Galong atas pengkhianatan oleh Teuku Umar Johan Pahlawan. Selanjutnya, Tgk Tjik DI Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman diangkat menjadi Wali Nanggroe yang ke-3 dan beliau syahid pada tahun 1898, yang digantikan oleh Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman yang diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-4, beliau syahid pada tahun 1902.

Pada tahun 1902, Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-5. Tidak lama berkuasa, beliau pun syahid pada tahun 1905. Pada tahun 1905, Tgk Tjik Di Tiro Mahyiddin bin Muhammad Saman diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-6 dan beliau syahid pada tanggal 11 Desember 1910. Pemangku sementara Wali Nanggroe adalah Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tjik Di Tiro Di Garot Muhammad Hasan, yang syahid pada tannggal 3 Juni 1911.

Wali Nanggroe Tgk Tjik Di Tiro Muaz bin Muhammad Amin, pada tanggal 4 Juni 1911 terjadi perang Alue Bout. Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Smith dan pasukan Aceh dipimpin oleh Tgk Tjik Di Tiro Muaz bin Muhammad Amin. Kapten Smith menyerang 44 pasukan Tentara Negara Aceh di mana Tgk Tjik Di Tiro Muaz terdapat di dalam pasukan tersebut. Putra mahkota pantang menyerah dan akhirnya syahid bersama pasukannya. Kapten Smith menyatakan ; “saya bangga sekali dapat membunuh putra mahkota Aceh, akan tetapi saya sangat malu sebab beliau pantang menyerah dan masih berusia muda belia”. Pada tanggal 3 Desember 1911, Wali Nanggroe Tgk Tjik DI Tiro Muaz bin Muhammad Amin Syahid, pihak Belanda mengambil Surat Wali Nanggroe di dalam kupiah (tengkulok). Lalu, surat tersebut dibawa ke Belanda dan disimpan di Museum Bronbeek Belanda.[6]

Pada tahun 1968, surat tersebut diambil kembali oleh Tgk Hasan Muhammad Di Tiro yang diserahkan oleh Ratu Belanda (bernama Ratu Beatrix) kepada beliau. Pada tahun 1971, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro pulang ke Aceh setelah 25 tahun merantau ke beberapa negara. Kemudian, Tgk Hasan Muhammas Di Tiro menyerahkan surat tersebut kepada Tgk Tjik Di Tiro Umar bin Mahyiddin, dan pada saat itulah Tgk Hasan Muhammad Di Tiro disahkan dan diangkat menjadi Wali Nanggroe.

Pada tahun 1974, Tgk Muhammad Di Tiro pulang untuk kedua kalinya ke Aceh dan bermusyawarah dengan pemuka agama dan mantan pejuang DI/TII. Dari hasil musyawarah tersebut, maka pada tanggal 4 Desember 1976, dinyatakan Deklarasi Kerajaan Sambungan, yang melahirkan perjuangan kemerdekaan Aceh.

Perubahan tatanan kepemimpinan dari sistem Sultan, kepada sistem negara nasional, masyarakat Aceh dari aspek sosiologis politik berdampak penggiringan kepada sistem demokrasi dan pilihan rakyat, meskipun pada saat itu penerapan sistem ini amat sarat dengan nilai-nilai politik sentralisasi. Hal itu terbukti dengan tidak pernah dilakukan pemilihan umum, untuk menghasilkan pemimpin yang dipilih oleh rakyat, baik tingkat nasional maupun Provinsi, Kabupaten dan Kota. Kondisi ini telah membuat masyarakat Aceh, pada akhirnya kehilangan makna “kepemimpinan Wali Nanggroe”, baik dari aspek literatur maupun aspek kelanjutan kepemimpinan kesultanan.

Lembaga Wali Nanggroe Pasca Perdamaian

sunting

Lembaga Wali Nanggroe dibentuk sebagai implementasi salah satu butir Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005 (MoU Helsinki). Dalam angka 1.1.7. MoU Helsinki disebutkan bahwa di Aceh akan dibentuk Lembaga Wali Nanggroe dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Menindak lanjuti butir kesepakatan tersebut maka melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ketentuan tentang pembentukan Lembaga Wali Nanggroe kelak ditetapkan melalui sebuah Qanun.

Pengesahan Qanun Wali Nanggroe juga dikuatkan oleh asas-asas hukum yang diterima secara universal yaitu: (1) asas lex specialis derogate legi generale (ketentuan hukum yang khusus diutamakan daripada ketentuan hukum yang umum); (2) asas pacta sunt servanda(asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak/perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan itikad baik atau good faith).[7]

LWN dipimpin oleh seorang pemimpin yang bersifat personal dan idependen sebagaimana disebutkan dalan Qanun tersebut. Pemimpin lembaga dikenal dengan nama Wali Nanggroe dengan laqab atau gelar Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik. Laqab tersebut berdasarkan peralihan perangkat kerajaan Aceh. Pada 16 Desember 2013 Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud Al-Haytar dilantik sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9.

Struktur Lembaga

sunting

Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang pejabat Wali Nanggroe yang dipilih oleh sebuah Komisi Pemilihan Wali Nanggroe yang dibentuk secara khusus oleh Majelis Tuha Peuet Wali Nanggroe. Dalam melaksanakan tugasnya Wali Nanggroe dibantu oleh seorang Waliyul 'Ahdi (wakil atau pemangku wali nanggroe) dan sebuah organisasi kerja yang disebut dengan Keurukon Katibul Wali atau Sekretariat Lembaga Wali Nanggroe Aceh.[8]

Sementara susunan kelembagaannya terdiri dari

  • Wali Nanggroe
  • Waliyul 'Ahdi
  • Majelis Tinggi
  • Majelis Fungsional
  • Majelis/Lembaga Struktural

Tanggapan Masyarakat

sunting

Sejak pembentukannya melalui qanun-qanun yang dibuat oleh DPRA Lembaga Wali Nanggroe terus menuai banyak dukungan dan penolakan dari masyarakat luas di Aceh. Para pendukung terutama yang berasal dari pihak adat lokal Aceh melihat Lembaga Wali Nanggroe ini telah sesuai dengan ekspektasi dan tujuan dari implementasi butir-butir MoU Helsinki.[9] Sementara pihak yang menentang Lembaga Wali Nanggroe menganggap bahwa lembaga ini tidak sesuai dengan konstitusi negara serta menentang tata laksana pemilihan Wali Nanggroe yang terkesan memihak kepada salah satu lembaga politik di Aceh.[10]

Daftar Wali Nanggroe

sunting

Daftar Wali Naggroe sebagai berikut:

  1. Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman bin Teungku Syeikh Abdullah
  2. Tgk Chik di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman
  3. Tgk Chik di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman
  4. Tgk Chik di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman
  5. Tgk Chik di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman
  6. Tgk Chik di Tiro Mahyuddin bin Muhammad Saman
  7. Tgk Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin
  8. Tgk Hasan di Tiro bin Leube Muhammad
  9. Tgk Malik bin Haji Mahmud Al Haytar

Lihat Pula

sunting

Pranala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Foto: Pengukuhan Wali Nanggroe Aceh Teungku Malik Mahmud - Acehkini.ID". 2023-12-15. Diakses tanggal 2023-12-29. 
  2. ^ "Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-12-22. Diakses tanggal 2015-12-20. 
  3. ^ "Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-12-23. Diakses tanggal 2015-12-20. 
  4. ^ Puspita, Maya (2017-02-03). "KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DAN LAUT Hukum Adat Laot dan Lembaga Panglima Laot di Nanggroe Aceh Darussalam". Sabda : Jurnal Kajian Kebudayaan. 3 (2). doi:10.14710/sabda.v3i2.13253. ISSN 2549-1628. 
  5. ^ a b c d True False. OR Books. hlm. 101–111. ISBN 9781939293992. 
  6. ^ Clark, Ghahame (1974-12). "Fyndrapporter 1969 (Rapporter över Göteborgs Arkeologiska musei Undersökningar 1968). 611 pages; ibid., 1970 (2 parts), 797 pages; ibid., 1971, 551 pages; ibid., 1972, 584 pages; ibid., 1973, 541 pages. Published by Lili Kaelasfor the Göteborgs Arkeologiska Museum". Proceedings of the Prehistoric Society. 40: 216–217. doi:10.1017/s0079497x00011476. ISSN 0079-497X.  line feed character di |title= pada posisi 91 (bantuan);
  7. ^ Bakri (2016-03-16). "Qanun WN adalah Turunan UUPA dan MoU Helsinki". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2018-08-12. 
  8. ^ Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dab Tata Kerja Keurukon Katibul Wali
  9. ^ Bakri. "Mengisi Wali Nanggroe". Tribunnews.com. aceh.tribunnews.com. Diakses tanggal 20/12/2015. 
  10. ^ "Wali Nanggroe: Membawa Berkah atau Bencana bagi Aceh?". detikcom. news.detik.com. Diakses tanggal 20/12/2015.