Sultan Mahmud Syah

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Sultan Alauddin Mahmud Syah atau disebut juga Sultan Alauddin Mahmud Syah II (meninggal 28 Januari 1874) adalah sultan ketiga puluh empat Kesultanan Aceh. Ia memerintah pada tahun 1870-1874 dan merupakan sultan terakhir yang memerintah Aceh sebelum invasi kolonial.

Sultan Alauddin Mahmud Syah II
Sultan Aceh
Berkuasa1870–1874
PendahuluSultan Sulaiman Syah
PenerusSultan Muhammad Daud Syah
Kematian28 Januari 1874
Pagar Air, Aceh
AyahSultan Sulaiman Syah
AgamaIslam

Ia adalah putra dari Sultan Sultan Sulaiman Syah (meninggal 1857) dari istri biasa. Ketika pamannya Alauddin Ibrahim Mansur Syah meninggal pada tahun 1870 tanpa meninggalkan putra mahkota, maka Alauddin Mahmud Syah diangkat menduduki tahta kesultanan meskipun pada saat itu ia masih dibawah umur. Ia menikah dengan Pocut Meurah Awan sebagai isterinya.[1] Tahta sultan yang masih kanak-kanak itu dijalankan oleh dewan penasehat yang terdiri dari anggota dewan yang utama Habib Abdurrahman Az-Zahir dan Pang Tibang. Kedua orang penasehat ini saling bertentangan satu sama lainnya, dimana Abdurrahman menganggap bahwa sudah saatnya Aceh membuka diri terhadap bangsa luar sementara Tibang bersikeras bahwa Aceh mestilah tetap bersikap independen dan tidak berkompromi dengan kolonial (dalam hal ini Belanda).[2]

Traktat Sumatra

sunting
 
Makam Sultan Alauddin Mahmud Syah II di Kampung Tumbo Baro, Kuta Malaka, Aceh Besar

Kemerdekaan Aceh sebenarnya telah dijamin dalam Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824 antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda, tetapi pada kenyataannya traktat tersebut tidak bertahan lama. Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 menjadikan Selat Malaka menjadi salah satu jalur laut paling penting di dunia. Oleh karena itu Belanda sangat menginginkan untuk bisa mengontrol sepenuhnya kawasan utara pulau Sumatra. Untuk mewujudkan hal tersebut maka Belanda sama sekali tidak mengharapkan adanya kekuatan lain yang boleh memberikan pengaruh dan kebijakan disana. Untuk itu Belanda melangsungkan negosiasi dengan Inggris yang menghasilkan Perjanjian Sumatrayang ditandatangani pada tanggal 2 November 1871, kesepakatan ini dikenal sebagai Traktat Sumatra. Poin penting perjanjian ini adalah dibatalkannya Traktat London dan Inggris tidak akan ikut campur terhadap kekuasaan Belanda di Sumatra serta Inggris mengakui kekuasaan sepenuhnya Belanda atas kesultanan di Sumatra.[3] Perjanjian Sumatra ini dilakukan tanpa sama sekali berkonsultasi dengan Sultan Aceh sebagai penguasa Kesultanan Aceh di utara Sumatra.

Berdasarkan perjanjian itu maka kini Belanda mulai melakukan tekanan diplomatik di Aceh untuk menerima poin-poin hasil perjanjian itu. Utusan Belanda Krayenhoff mengunjungi Aceh bulan Mei 1872 tetapi tidak diizinkan untuk bertemu sultan. Tidak lama setelah itu Alauddin Mahmud Syah menuugaskan Habib Abdurrahman untuk mencari dukungan politik dari Kekaisaran Ottoman yang oleh penguasa dan rakyat Aceh sangat dihormati dan dianggap sebagai Amirul Mukminin. Sementara itu Panglima Tibang diutus melakukan perjalanan ke Riau di mana ia meminta pemerintah Belanda untuk memberikan penundaan negosiasi lebih lanjut selama enam bulan. Hal ini dilakukan untuk mengulur waktu sambil menantikan jawaban positif dari Ottoman.[4] Setelah dua bulan Panglima Tibang kembali ke Aceh menumpang kapal Belanda Marnix . Namun dalam perjalanan ia disebut-sebut sempat singgah di Singapura dimana ia melakukan pembicaraan rahasia dengan Konsul Amerika dan Italia. Meskipun Amerika maupun Italia sama-sama tidak melibatkan diri namun kebocoran berita adanya negosiasi yang dilakukan Tibang membuat Belanda sangat khawatir, keadaan tersebut sangat mengganggu kebijakan kolonial Belanda atas Sumatra.[5] Ottoman juga tidak bisa melakukan apa-apa atas kedatangan Abdurrahman yang mendatangkan simpati, tetapi keadaan Ottoman yang ketika itu terlalu lemah untuk bisa mengatasi kemelut tersebut.[4]

Perang Aceh

sunting

Perkembangan dari diplomasi Aceh yang gagal membuat Gubernur Jenderal di Batavia, James Loudon menganggap bahwa sultan Aceh harus diberikan pilihan untuk mengakui supremasi Belanda atau menghadapi perang. Loudon memberikan pilihan ini setelah mengetahui bahwa Alauddin Mahmud Syah tidak terlibat secara pribadi dalam negosiasi Singapura. Pada bulan Maret 1873 Belanda secara resmi memberangkatkan Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen ke Aceh. Sesampainya di dermaga di luar ibu kota ia mengeluarkan ultimatum bagi kesultanan Aceh, tetapi sultan menolak tawaran Belanda sehingga pada tanggal 26 Maret Nieuwenhuijzen mengeluarkan pernyataan perang.[6] Hari itu adalah awal dari kesibukan perang bagi Belanda di Nusantara selama tiga puluh hingga empat puluh tahun berikutnya. Beberapa hari kemudian pada awal April armada laut Belanda mendaratkan tidak kurang dari 3.600 orang tentara dibawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler. Dalam usaha merebut istana Sultan Köhler berhasil merebut pertahanan Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, tetapi langkahnya menguasai istana sama sekali gagal setelah ia terbunuh oleh tembakan tentara Aceh di halaman masjid itu. Ekspedisi militer Belanda akhirnya kembali ke Jawa pada bulan April setelah gagal total. Kemunduran ini lalu diikuti oleh ekspedisi kedua di bawah Jan van Swieten. Ekspedisi lanjutan yang berjumlah hampir dua kali lebih kuat dari sebelumnya, mendarat di Aceh pada bulan Desember 1873. Serangan kali ini telah dipersiapkan dengan baik sehingga masjid Baiturrahman dapat dikuasai pada tanggal 6 Januari 1874, istana dapat dikuasai sepenuhnya dua pekan kemudian pada tanggal 24 Januari setelah para tentara Aceh meninggalkannya dalam keadaan kosong.[7] Sultan Alauddin Mahmud Syah yang menderita sakit dengan kolera, sejak 15 Januari telah diungsikan ke kawasan Lueng Bata dan ia meninggal disana pada 24 Januari tahun 1874.[8]

Penerus Kesultanan

sunting

Tahta kesultanan yang sedang menghadapi perang itu akhirnya diwariskan kepada putera mahkota Sultan Muhammad Daud Syah yang berkuasa dalam jangka waktu yang lama hingga berakhirnya kesultanan Aceh pada tahun 1903.

Referensi

sunting
  1. ^ Zainuddin (1961), p. 429.
  2. ^ De Klerck (1975), Vol. II, p. 344.
  3. ^ Van den Doel (2011), pp. 107-8.
  4. ^ a b Reid (2010), p. 32.
  5. ^ De Klerck (1975), pp. 346-7.
  6. ^ Encyclopaedie (1917), Vol. 1, p. 78.
  7. ^ De Klerck (1975), pp. 348-51.
  8. ^ Zainuddin (1961), p. 421.

Lihat pula

sunting
Didahului oleh:
Alauddin Ibrahim Mansur Syah
Sultan Aceh
18701874
Diteruskan oleh:
Muhammad Daud Syah