Johannes Latuharhary

politikus Indonesia
(Dialihkan dari Latuharhary)

Mr. Johannes Latuharhary (6 Juli 1900 – 8 November 1959) adalah seorang politikus dan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia menjabat sebagai Gubernur Maluku pertama (1950–1955) dan memperjuangkan masuknya Maluku ke dalam NKRI.

Simbol artikel pilihan
Artikel ini telah dinilai sebagai artikel pilihan pada 20 Oktober 2020 (Pembicaraan artikel)
Johannes Latuharhary
Johannes Latuharhary pada tahun 1954
Gubernur Maluku ke-1
Masa jabatan
1950[a] – 1955
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada; jabatan baru
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1900-07-06)6 Juli 1900
Hindia Belanda Ullath, Saparua, Maluku Tengah, Hindia Belanda
Meninggal8 November 1959(1959-11-08) (umur 59)
Indonesia Jakarta, Indonesia
MakamTaman Makam Pahlawan Kalibata
KebangsaanIndonesia
Suami/istriHenriette "Yet" Pattiradjawane
Anak7
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini
Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini
(3 bagian, 33 menit)



Ikon Wikipedia Lisan
Berkas-berkas suara berikut dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 29 Agustus 2022 (2022-08-29), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.

Johannes lahir di Saparua, Maluku, dan sebagai remaja ia pindah ke Batavia untuk pendidikan lanjut. Belakangan, ia memperoleh beasiswa untuk belajar ilmu hukum di Universitas Leiden. Sepulangnya ke tanah air, ia menjadi hakim di Jawa Timur dan mulai turut serta dalam pergerakan kebangkitan nasional Indonesia melalui organisasi pemuda Sarekat Ambon (SA). Ia belakangan berhenti menjadi hakim dan pindah menjadi advokat, selagi bergerak di sisi politik untuk mengikutsertakan SA dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama zaman Jepang, Johannes bekerja di bawah departemen urusan dalam negeri di Jakarta dan ditahan Jepang tiga kali dengan berbagai macam alasan. Ia turut serta dalam penulisan UUD 1945 sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Seusai kemerdekaan Indonesia, ia ditunjuk menjadi Gubernur Maluku, tetapi karena Belanda menduduki Maluku pada saat itu, Johannes bertahan di Jawa sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan sebagai diplomat dalam perjanjian Renville dan perjanjian Roem-Roijen. Seusai pengakuan kedaulatan Indonesia, Johannes tiba di Maluku pada tahun 1950 dan semasa jabatannya ia berjuang untuk membangun kembali kota Ambon yang terdampak pertempuran dengan Republik Maluku Selatan. Ia wafat pada tahun 1959.

Masa muda

Johannes dilahirkan di Ullath, Saparua pada tanggal 6 Juli 1900. Ayahnya bernama Jan Latuharhary dan ibunya bernama Josefin Hiarej. Jan merupakan seorang guru di desa yang bertetangga dengan Ullath. Awalnya, Johannes (juga dijuluki "Nani"[6]) belajar di Ullath pada kelas 1 SD, tetapi ia pindah ke Ambon saat berusia 9 tahun. Di Ambon, ia belajar di sekolah Europeesche Lagere School (ELS) Belanda. Umumnya ELS hanya menerima anak-anak keturunan Eropa, tetapi karena ayahnya merupakan seorang guru, Johannes diterima masuk. Ia belajar di ELS sampai tahun 1917.[7] Setelah itu, Johannes pindah ke Batavia, dan ia belajar di sekolah Hogere Burgerschool (HBS) sampai tahun 1923.[8]

Selulusnya dari HBS, Johannes memperoleh beasiswa dari dana amal Ambonsch Studiefonds sehingga ia dapat belajar ilmu hukum di Universitas Leiden.[9] Di Leiden, ia menjadi putra daerah Maluku pertama yang memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada bulan Juni 1927. Selain belajar hukum, Johannes juga banyak bergaul dengan anggota Perhimpunan Indonesia di sana seperti Ali Sastroamidjojo dan Iwa Kusumasumantri, meskipun ia tidak mendaftar menjadi anggota secara resmi.[10][11] Sepulangnya dari Leiden, Johannes sudah menjadi seorang pejuang untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.[11]

Karier

Zaman Belanda

Sepulangnya ke Indonesia, Johannes diangkat menjadi asisten hakim di Pengadilan Tinggi Surabaya berbekal rekomendasi dari dosennya Cornelis van Vollenhoven.[12] Ia kemudian diangkat menjadi hakim penuh di Surabaya, sebelum ditunjuk menjadi hakim ketua di pengadilan negeri di Kraksaan, Probolinggo pada tahun 1929.[13] Semasa ini, Johannes bergabung dengan organisasi pemuda perantauan Ambon di Jawa, Sarekat Ambon (SA), dan menjabat sebagai ketua redaksi surat kabar organisasi SA, yakni Haloean.[14] Johannes mencoba untuk mendaftarkan SA sebagai organisasi resmi sejak tahun 1930, meskipun permohonannya baru diterima tahun 1933.[15] Dikarenakan depresi besar yang melanda perekonomian dunia sekitar waktu itu, Johannes juga membentuk suatu koperasi untuk para perantauan dari Maluku.[16]

Pada sekitar waktu ini, sejumlah anggota SA mengusulkan agar SA bergabung ke Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang mewadahi berbagai organisasi pergerakan nasional di tingkat daerah sampai seluruh Indonesia. Namun, Johannes memandang bahwa organisasi keagamaan seperti Sarekat Islam tidak seharusnya ikut dalam pergerakan politik, sehingga ia menolak bergabungnya SA ke dalam PPPKI.[14] SA belakangan tetap bergabung ke PPPKI pada tahun 1932.[17] Pada bulan Januari tahun itu, Johannes sempat berpidato dalam kongres PPPKI dengan judul Azab Sengsara Kepoelauan Maloekoe yang bertema penjajahan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan lalu pemerintah Belanda.[18] Pidato ini belakangan diterbitkan sebagai suatu buku yang dibredel pemerintah kolonial.[19] Dalam karya tulisnya, ia juga mencerca sistem pendidikan Belanda di Maluku yang dituduhnya bertujuan untuk menciptakan pegawai negeri, tentara, dan pelaut untuk pemerintah kolonial.[20] Pandangan Johannes untuk negara Indonesia setelah merdeka berbentuk suatu negara serikat, sejalan dengan pandangan tokoh-tokoh lain seperti Sam Ratulangi, Tan Malaka, atau Mohammad Hatta.[21]

Karena aktivitas anti-kolonial Johannes, ia diberikan pilihan oleh pemerintah Belanda: mundur sebagai hakim atau berhenti ikut pergerakan kemerdekaan. Johannes memutuskan untuk mundur sebagai seorang hakim dan beralih haluan menjadi seorang pengacara.[19] Keputusan ini memberatkan keuangan keluarganya – sebagai hakim ketua, ia menerima gaji 750 gulden yang terhitung besar pada masa itu, tetapi tidak banyak ditabung karena habis untuk donasi ke Sarekat Ambon dan ke beasiswa lamanya (Ambonsch Studiefonds). Meskipun begitu, ia menjadi seorang pengacara yang cukup terkenal di Jawa Timur seusai berhasil mempertahankan hak lahan petani lokal dari pabrik gula, dan ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad (sejenis Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat Kabupaten) di Probolinggo tahun 1934. Kemudian, ia menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur (Provinciale Raad) sampai tahun 1942.[22][23]

Johannes menjadi ketua umum pertama Jong Ambon setelah organisasi tersebut didirikan pada tahun 1936.[24] Ia juga turut serta dalam pemilihan umum anggota Volksraad mewakili Ambon pada tahun 1939 dengan kampanye yang berdasarkan sentimen nasionalisme, sambil membangun sejumlah cabang baru untuk SA. Namun, ia gagal meraih kursi karena dikalahkan seorang caleg keturunan bangsawan anggota Regentenbond.[25] Johannes belakangan menjadi anggota Partai Indonesia Raya (Parindra).[26]

Zaman Jepang

Seusai Jepang merebut Indonesia, Johannes beserta sejumlah pemimpin Parindra lainnya dipenjarakan oleh Jepang. Setelah empat bulan, istrinya berhasil membujuk seorang laksamana Jepang untuk melepaskan Johannes dari penjara. Pada bulan September 1942, ia pindah ke Jakarta dan mengurus anak istri tentara KNIL dari Maluku dan Timor yang bapaknya ditawan Jepang atau dievakuasi ke Australia.[27]

Di Jakarta, Johannes diperkerjakan Jepang sebagai anggota Departemen Urusan Dalam Negeri (Naimubu) untuk mengatur dan bertanggung jawab atas komunitas perantauan Maluku di Jawa.[28][29] Johannes kembali dijebloskan ke penjara pada tahun 1944 beserta sejumlah perantauan dari Maluku lainnya karena dicurigai oleh Kempeitai sebagai mata-mata sekutu, dan juga karena Johannes memanfaatkan jabatannya untuk tujuan kemerdekaan Indonesia.[27][30] Istrinya sekali lagi turun tangan dan kembali membujuk seorang komandan AL Jepang untuk melepaskan Johannes dkk.[27] Masih pada tahun 1944, untuk yang ketiga kalinya, Johannes ditangkap dan dipenjarakan, kali ini karena ada tawanan Maluku yang melarikan diri dari penjara.[28] Pemerintah Jepang di Indonesia masa itu memang mencurigai perantauan Ambon seusai Pertempuran Morotai dan pengeboman kota Ambon oleh sekutu tahun 1944, ditambah lagi aksi-aksi Julius Tahija sebagai mata-mata sekutu.[31]

Anggota BPUPKI dan PPKI

Jepang mulai menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada awal 1945 dan Latuharhary ditunjuk menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) untuk mewakili Maluku.[31] Dalam kapasitas ini, pemerintah Jepang melalui Johannes meminta perantauan Ambon untuk berhenti bergerilya atau berseteru dengan Jepang, dan berfokus untuk meraih kemerdekaan.[29] Dalam rapat-rapat BPUPKI, Johannes mengajukan bentuk negara serikat, tetapi karena hanya 2 dari 19 anggota panitia UUD yang setuju, bentuk negara diputuskan sebagai negara kesatuan.[32] Gagasan Johannes mengenai negara Indonesia, diterbitkan surat kabar Asia Raya edisi 9 Mei 1945, mendasarkan Indonesia atas: Persatuan Rakyat Indonesia, Rumah Tangga Desa, Perguruan, dan Agama.[33]

Johannes juga tidak menyetujui Piagam Jakarta (tepatnya tujuh kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya), yang dianggapnya diskriminatif dan berdampak untuk masyarakat non-Muslim. Ia merasa khawatir bahwa tujuh kata ini akan memaksa orang Minangkabau untuk meninggalkan adat istiadat mereka dan juga berdampak terhadap hak atas tanah adat di Maluku.[34] Ia juga menolak keras usulan K.H. Wahid Hasyim yang mengusulkan bahwa hanya pemeluk Islam yang diperbolehkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, karena wilayah-wilayah bermayoritas Kristen di Indonesia tidak akan mau menjadi bagian negara Islam.[35] Usulan Hasyim ini juga ditolak oleh sejumlah pejuang beragama Islam seperti Wongsonegoro dan Husein Jayadiningrat.[36] Setelah dibujuk Soekarno, ia beserta A.A. Maramis (anggota BPUPKI Kristen lainnya) setuju atas Piagam Jakarta apa adanya.[37] Johannes ditunjuk kembali sebagai perwakilan Maluku dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.[38] Ia turut serta dalam upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia,[39] dengan setelan jas putih dan berdiri tepat di belakang Soekarno dan Muhammad Hatta.[40]

Ketujuh kata terkait syariat Islam dalam Piagam Jakarta beserta sejumlah pasal-pasal terkait lainnya belakangan dikeluarkan dari UUD 1945 dan Pancasila. Hal ini disebabkan kunjungan malam seorang perwira angkatan laut Jepang (Kaigun) ke Muhammad Hatta pada tanggal 17 Agustus, dan ia memesankan ke Hatta bahwa perwakilan beragama Kristen dari Indonesia Timur[b] dapat saja memutuskan untuk memisahkan diri dari Indonesia apabila ketujuh kata tersebut tidak dicabut. Hatta menyiapkan suatu pertemuan darurat, dan para pemimpin Islam setuju untuk mencabut kata-kata tersebut, beserta sejumlah istilah dan pasal-pasal[c] yang dianggap terlalu condong ke Islam.[41] Johannes menolak juga adanya Kementerian Agama dan mengusulkan urusan Kemenag sebagai suatu dirjen dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Awalnya, memang tidak ada Kemenag dalam pemerintah Indonesia, sampai bulan Januari 1946.[41][42]

Perang kemerdekaan

Dalam sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, Johannes ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, bersamaan dengan ketujuh gubernur provinsi-provinsi lainnya. Meskipun begitu, ia tidak dapat pergi ke Maluku yang sudah diduduki oleh tentara Australia seusai penyerahan Jepang, sehingga jabatan gubernur ini pada awalnya hanya ada di atas kertas.[1][2][3] Johannes kemudian menjadi anggota badan legislatif Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai wakil ketua.[1][43] Ia tetap menjadi anggota pimpinan KNIP beserta Sartono dari golongan tua sampai mosi tidak percaya dari Sukarni dkk. (golongan muda) melengserkan pimpinan KNIP tanggal 17 Oktober.[44]

Pada tanggal 5 September 1945, Johannes mendirikan organisasi Angkatan Pemuda Indonesia Ambon (API-Ambon), dan mengundang pemuka-pemuka dari komunitas Ambon di pulau Jawa[d] untuk menyatakan dukungan mereka atas kemerdekaan Indonesia. Meskipun begitu, pandangan pejuang lainnya terhadap keturunan Maluku memburuk seusai Belanda kembali ke Indonesia dengan tentara KNIL yang banyak mencakup orang Ambon. Bahkan, banyak orang Maluku yang berjuang di pihak Belanda.[46][47] Setelah tentara Australia menyerahkan kekuasaan di Maluku ke Belanda, perekrutan tentara KNIL langsung dimulai kembali. Di Jakarta, serdadu KNIL dari Ambon baku tembak dengan para pemuda, dan terjadi beberapa insiden penyerangan terhadap warga sipil dari golongan perantauan Ambon.[46][47] Meskipun Johannes menghubungi para perantauan Ambon agar bergabung ke pihak Indonesia pada tanggal 9 Oktober,[45] tak lama kemudian pada tanggal 13 Oktober organisasi pemuda "Tentara Rakyat Indonesia" malah mengeluarkan deklarasi sebaliknya yang mengajak rakyat untuk berperang gerilya dan ekonomi melawan komunitas Ambon dan Eurasia. Deklarasi ini merumitkan pekerjaan Johannes, karena banyak warga perantauan Ambon yang menjadi ragu untuk berpihak ke Indonesia.[47]

Johannes kemudian meminta wewenang atas perantauan Maluku di Jawa dan Sumatra dari Soekarno. Awalnya, permintaan ini ditolak, tetapi setelah Hatta turun tangan, Soekarno setuju dengan syarat wewenang ini akan diserahkan ke orang lain begitu Johannes bisa berangkat ke Maluku.[48] Pada bulan Desember 1945, Johannes membuka sejumlah kantor-kantor di kota-kota sekeliling Jawa untuk mengatur agar para perantauan dari Maluku dapat kembali dengan selamat.[49]

 
Johannes Latuharhary (kedua dari kiri) di atas kapal USS Renville selagi perundingan perjanjian Renville

Meskipun ada pemuda Maluku di KNIL, ada pula pemuda Maluku di pihak Indonesia seperti organisasi Pemoeda Repoeblik Indonesia Maloekoe (PRIM) yang turut serta dalam Pertempuran Surabaya.[50][51] PRIM dirombak menjadi kesatuan Divisi Pattimura bulan Oktober 1946, dan Johannes ditunjuk menjadi ketua penasihat kesatuan tersebut.[51][52][e] Johannes belakangan ikut mengatur suatu ekspedisi yang sempat merebut Namlea di Pulau Buru dari Belanda sebelum bala bantuan KNIL merebut kembali kota tersebut.[54][55]

Setelah Republik Indonesia Serikat resmi berdiri sesuai dengan ketentuan Perjanjian Linggarjati, jabatan Gubernur Maluku dihapuskan oleh Soekarno pada bulan Juli 1947.[56][57][58] Johannes ditunjuk sebagai anggota delegasi Indonesia yang dipimpin Mohammad Roem untuk perundingan Perjanjian Renville. Setelah Agresi Militer II dan gencatan senjata dari PBB, Johannes kembali turut serta dalam perundingan Perjanjian Roem-Roijen. Johannes juga meyakinkan pemerintah Indonesia untuk mengakui keberadaan Negara Indonesia Timur sebagai anggota Republik Indonesia Serikat, dan Johannes ditunjuk sebagai perwakilan RI ke NIT.[59]

Pada masa perang kemerdekaan, Johannes awalnya merupakan anggota Partai Nasional Indonesia sebagai anggota dewan pimpinan partai. Ia dikenal sebagai anggota "grup Kaigun" yang kebanyakan bekas mahasiswa hukum di Leiden.[60] PNI terpecah pada bulan Desember 1948 karena masalah perundingan antara Moh. Hatta dengan Belanda, sehingga Johannes pindah ke Partai Indonesia Raya rintisan Wongsonegoro.[61]

Gubernur Maluku

Seusai pengakuan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar, Johannes berangkat ke Maluku untuk menjabat sebagai Gubernur de facto. Sebelum ia tiba, sempat terjadi pemberontakan Republik Maluku Selatan dan TNI meluncurkan suatu operasi di Kota Ambon, sehingga kota tersebut menjadi luluh lantak karena pertempuran.[4][5] Setibanya Johannes, ia mulai memperbaiki sistem pemerintahan di bekas medan perang tersebut dengan merekrut bekas anggota Sarekat Ambon dan sejumlah mantan pegawai negeri zaman Belanda untuk mengisi lowongan-lowongan di pemerintah provinsi.[62] Daerah "Maluku Selatan" juga dihapuskan dan digantikan dengan dua kabupaten: Maluku Tengah dan Maluku Tenggara.[63] Pada masa jabatannya, Maluku tengah dilanda perang. Keadaan darurat militer berlangsung sampai tanggal 30 Juli 1952, dan setelahnya keadaan darurat militer ini dicabut sehingga tersisa keadaan perang di Ambon dan Pulau Seram saja. Selagi menjabat sebagai gubernur, Johannes mencoba untuk mencabut status keadaan perang ini secara menyeluruh.[64]

Johannes menjabat sebagai gubernur sampai tahun 1955.[4] Karier Johannes sebagai gubernur berhenti karena pecahnya koalisi antara PIR dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Karena PIR bukan lagi partai pemerintahan, PNI dan Masyumi meminta agar Johannes digantikan orang lain. Pada akhirnya, ia digantikan dengan Muhammad Djosan, politisi Partai Sosialis Indonesia, dan digeser menjadi staf di Kementerian Dalam Negeri.[65]

Kehidupan pribadi

Johannes merupakan seorang yang beragama Kristen Protestan.[66] Ia menikah dengan Henriete (Yet) Pattyrajawane pada tanggal 26 September 1931 di Yogyakarta, selama ia bekerja di Kraksaan.[67] Pasangan suami-istri ini memiliki tujuh orang anak.[68] Sebelum menikah dengan Henriete, Johannes sempat menjalin hubungan dengan seorang wanita dari Prancis, tetapi sepulangnya Johannes ke Indonesia ia memutuskan untuk memberhentikan hubungan tersebut, yang awalnya sudah terhalang masalah ekonomi dan belakangan karena niat Johannes untuk ikut pergerakan nasional Indonesia.[69]

Meninggal dunia

 
Makam Johannes Latuharhary di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata

Johannes meninggal dunia pada tanggal 8 November 1959 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Ia sebelumnya jatuh koma sebelum berangkat ke gereja pada 6 November, sepulangnya dari kunjungan kerja ke Riau. Menurut biografer I.O. Nanulaitta, pekerjaan Johannes di Kemendagri tidak memuaskan batinnya dan menciptakan tekanan psikologis. Hal yang serupa juga ditambahkan oleh seorang ipar dari Johannes, yang menyatakan bahwa ia sering terlihat merenung sendiri setelah dicopot dari jabatan gubernur. Sebelum meninggal dunia, ia ditempatkan di bagian belakang rumah sakit, di kelas "barak rakyat".[70]

Pada tanggal 9 November 1959, Johannes Latuharhary dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Johannes Leimena, sesama pejuang kemerdekaan dari Ambon, memberikan pidato eulogi untuknya. Keluarga Johannes tinggal di rumah sewaan, sehingga warisan harta untuk keluarga mencakup dua mobil saja. Istri Johannes belakangan bekerja mengurus Wisma Indonesia di Mesir untuk menghidupi keluarga, dengan sejumlah bantuan tokoh-tokoh lainnya.[70]

Peninggalan

Sepeninggal Johannes, ia dihargai pemerintah Indonesia dengan Bintang Mahaputera Adipradana.[71] Sosoknya diabadikan sebagai nama suatu jembatan di Jakarta beserta jalan di Ambon dan Jakarta. KM Johannes Latuharhary, kapal kargo yang dibangun di Polandia, juga dinamakan atasnya. Ada pula yayasan Mr J. Latuharhary Foundation yang merupakan penerbit surat kabar Sinar Harapan di Ambon.[72]

Menurut sejarawan Australia Richard Chauvel, Johannes merupakan tokoh pemimpin Ambon pertama yang mendorong agar Ambon (dan Maluku) termasuk dalam NKRI dan menganggap orang Ambon sebagai orang Indonesia.[73] Penerus Muhammad Djosan, Muhammad Padang, menghargai jasa Johannes membangun kembali pemerintahan di Maluku seusai pemberontakan RMS,[65] dan menurutnya:

Orang boleh bertentangan politik dengan Latuharhary, tetapi mengenai perjuangannya, kejujurannya dan pengabdiannya kepada tanah air, jarang kita temukan bandingannya.[72]

Catatan kaki

  1. ^ Johannes ditunjuk sebagai Gubernur Maluku seusai sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945,[1][2][3] tetapi tidak menjabat secara fisik sampai 1950.[4][5]
  2. ^ Menurut sejarawan Robert Elson, perwakilan-perwakilan ini berasal dari 5 anggota BPUPKI dari luar Jawa dan Sumatra (Johannes, A.A. Maramis, Sam Ratulangi, Andi Pangerang Pettarani, atau I Gusti Ketut Pudja) yang tidak setuju saat penulisan.[41] Johannes, Ratulangi, dan Ketut Pudja memang sudah menyampaikan keresahan mereka ke perwira Kaigun tersebut.[38]
  3. ^ Misalkan kata "Mukadimah" yang digantikan dengan "Pembukaan".[41]
  4. ^ Pada sekitar tahun 1945, diperkirakan jumlah perantauan Maluku di Jawa dan Madura sejumlah 30.000 orang.[45]
  5. ^ Karena Agresi Militer I dan program Re-Ra seusai Pemberontakan PKI Madiun, kesatuan tersebut diperkecil menjadi resimen (1947) dan belakangan batalion (1948).[53]

Rujukan

  1. ^ a b c Nanulaitta 1982, hlm. 90–91.
  2. ^ a b Chauvel 2008, hlm. 198.
  3. ^ a b Elson 2008, hlm. 118.
  4. ^ a b c Chauvel 2008, hlm. 393.
  5. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 127–134.
  6. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 13.
  7. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 1–3.
  8. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 7.
  9. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 11.
  10. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 12–13.
  11. ^ a b Elson 2008, hlm. 45–46.
  12. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 32.
  13. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 45.
  14. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 34.
  15. ^ Chauvel 2008, hlm. 137–138.
  16. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 44.
  17. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 43.
  18. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 48–49.
  19. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 50–51.
  20. ^ Chauvel 2008, hlm. 145.
  21. ^ Elson 2008, hlm. 68.
  22. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 52–53.
  23. ^ Manus et al. 1993, hlm. 12-13.
  24. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 55.
  25. ^ Chauvel 2008, hlm. 151.
  26. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 56.
  27. ^ a b c Nanulaitta 1982, hlm. 62–66.
  28. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 67.
  29. ^ a b Chauvel 2008, hlm. 196.
  30. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 69.
  31. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 75.
  32. ^ He, Galligan & Inoguchi 2009, hlm. 149.
  33. ^ Manus et al. 1993, hlm. 13.
  34. ^ Elson 2009, hlm. 115.
  35. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 77–78.
  36. ^ Intan 2006, hlm. 41–42.
  37. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 79.
  38. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 85.
  39. ^ Manus et al. 1993, hlm. 14.
  40. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 87.
  41. ^ a b c d Elson 2009, hlm. 120–121.
  42. ^ "Sekilas Tentang Kementerian Agama". Kementerian Agama Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2019. Diakses tanggal 12 September 2020. 
  43. ^ "History of the Indonesian House of Representatives". dpr.go.id. Dewan Perwakilan Rakyat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 July 2019. Diakses tanggal 5 September 2019. 
  44. ^ Anderson 2006, hlm. 174.
  45. ^ a b Chauvel 2008, hlm. 199.
  46. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 93–95.
  47. ^ a b c Chauvel 2008, hlm. 201.
  48. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 95–96.
  49. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 97–98.
  50. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 106.
  51. ^ a b Chauvel 2008, hlm. 203.
  52. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 113.
  53. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 115–116.
  54. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 117–118.
  55. ^ Chauvel 2008, hlm. 204.
  56. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 121.
  57. ^ Manus et al. 1993, hlm. 15.
  58. ^ "Political Factions in East Indonesia and Their Leaders" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Central Intelligence Agency. 13 December 1948. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 23 Januari 2017. Diakses tanggal 6 September 2019. 
  59. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 122–125.
  60. ^ Anderson 2006, hlm. 92–94.
  61. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 119.
  62. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 136.
  63. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 137.
  64. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 145–146.
  65. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 150.
  66. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 156.
  67. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 47.
  68. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 166.
  69. ^ Nanulaitta 1982, hlm. 46–47.
  70. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 156-159.
  71. ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diakses tanggal 3 September 2021. 
  72. ^ a b Nanulaitta 1982, hlm. 160.
  73. ^ Chauvel 2008, hlm. 140.

Daftar pustaka

Jabatan politik
Posisi baru Gubernur Maluku
1950–1955
Diteruskan oleh:
Muhammad Djosan