Kesultanan Mataram

kerajaan di Asia Tenggara
(Dialihkan dari Kerajaan Mataram Islam)

Kasunanan Mataram (bahasa Jawa: ꧋ꦤꦒꦫꦶꦏꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦩꦠꦫꦩ꧀, Pegon: نڮاري كسولتانن متارام , translit. Nagari Kasunanan Mataram) adalah negara berbentuk kesultanan di Jawa pada abad ke-16. Kesultanan ini didirikan sejak pertengahan abad ke-16, tetapi baru menjadi negara berdaulat di akhir abad ke-16 yang dipimpin oleh dinasti yang bernama wangsa Mataram.[3][4]

Kasunanan Mataram

꧋ꦏꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦩꦠꦫꦩ꧀ (Jawa)
نڮاري كسولتانن متارام (Pegon)
15861–1755
Bendera Mataram Islam
Bendera
Peta wilayah Kesultanan Mataram
Ibu kotaKotagede
(1586-1613)
Karta
(1613–1645)
Plered
(1646–1680)
Kartasura
(1680–1745)
Jawa
Bahasa yang diakuiBagongan
Agama
Islam (resmi)
DemonimMatawis
PemerintahanMonarki
Raja 
• 1586 - 1601
Senapati
• 1601 - 1613
Anyakrawati
• 1613 - 1645
Sultan Agung
• 1646 - 1677
Amangkurat I
• 1677 - 1703
Amangkurat II
• 1703 - 1705
Amangkurat III
• 1704 - 1719
Pakubuwana I
• 1719 - 1726
Amangkurat IV
• 1726 - 1742
Pakubuwana II
• 1742 - 1743
Amangkurat V
Sejarah 
• Pendirian
15861
1628
• Penyerbuan Batavia II, di bawah pimpinan Dipati Ukur
1629
• Pemberontakan Raden Mas Alit dan Trunajaya
1674-1680
• Pemberontakan Sunan Kuning
1742-1743
• Perjanjian Giyanti, pembagian Mataram menjadi dua kekuasaan
13 Februari 1755
Mata uangderham jawi dan dinar[1]
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Pajang
kslKesultanan
Cirebon
krjKerajaan
Sumedang Larang
ksnKesunanan
Surakarta
kslKesultanan
Yogyakarta
VOC
Sekarang bagian dari Indonesia
^1 (1513 J/1586 M) Panembahan Senapati jumeneng ratu ing Nagari Mataram (Panembahan Senapati dinobatkan menjadi raja di Negara Mataram)[2]
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Sepanjang abad ke-16, tepatnya pada puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sunan Anyakrakusuma, Mataram adalah salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan yang menyatukan sebagian besar pulau Jawa, yakni Jawa Tengah, DI Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Timur kecuali Banten, selain itu juga menguasai daerah Madura, dan Sukadana (Kalimantan Barat), Makasar, serta Pulau Sumatra (Palembang dan Jambi). Kesultanan ini terdiri dari beberapa wilayah inti mulai dari: kutagara, nagaragung, mancanagara, pasisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi.[5]

Kesultanan ini secara kenyataannya adalah negara merdeka yang menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Belanda ditandai dengan kedua pihak saling mengirim duta besar. Menjelang keruntuhannya, Kesultanan Mataram menjadi negara protektorat Kerajaan Belanda, dengan status swapraja.

Perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dengan VOC membuahkan kesepakatan bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasunanan Surakarta dan Nagari Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian yang ditandatangani dan diratifikasi pada tanggal 13 Februari 1755 di Giyanti ini secara hukum menandai berakhirnya Mataram.[6][7]

Etimologi

sunting

Nama Mataram secara historis adalah nama kerajaan pra-Islam yang mengacu pada Kerajaan Mataram abad ke-8. Praktik umum di Jawa adalah menyebut kerajaan mereka dengan metonimia dan bervariasi dalam berbagai bahasa. Ada keragaman bahkan dalam bahasa. Dalam bahasa Sanskerta, Mataram berarti ibu, sedangkan istilah "Matawis" digunakan sebagai bentuk demonim dan kata sifat.

Berdasarkan sejarahnya, ada dua kerajaan yang pernah ada di periode yang berbeda dan keduanya disebut Mataram. Kerajaan selanjutnya, sering disebut sebagai Mataram Islam atau Matawis untuk membedakannya dari Kerajaan Mataram abad ke-8.[8]

Sejarah

sunting

Pembentukan dan perkembangan

sunting

Adeging nagari

sunting
 
Kotagede, bekas ibu kota Mataram yang didirikan pada tahun 1582 oleh Panembahan Senapati.

Pada seperempat abad ke-16 Masehi, wilayah Kesultanan Mataram merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Pajang. Statusnya sebagai kadipaten dengan penguasanya yaitu Ki Ageng Pamanahan. Setelah Panembahan Senapati berkuasa di Kadipaten Mataram, ia memisahkan wilayahnya dari Kesultanan Pajang dan mendirikan Kesultanan Mataram.[9] Kesultanan Mataram didirikan olehnya pada tahun 1586. Selanjutnya pada tahun 1586 wilayah Pajang sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Mataram diikuti penyerahan takhta Pajang oleh Pangeran Benawa kepada Panembahan Senapati. Perkembangan Mataram begitu besar dan kuat sehingga sebagian besar sejarawan setuju bahwa itu telah didirikan selama beberapa generasi perintis Mataram.

Menurut catatan Jawa, raja-raja Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng Sela (Sela adalah sebuah desa dekat Demak sekarang). Pada tahun 1570-an, salah satu keturunan Ki Ageng Sela, Kyai Gede Pamanahan dianugerahi kekuasaan atas tanah Mataram oleh raja Pajang, Sultan Adiwijaya, sebagai imbalan atas jasanya mengalahkan Arya Panangsang, musuh Adiwijaya.[10] Pajang terletak di kota Surakarta saat ini, dan Mataram awalnya adalah vasal dari Pajang.[4] Pamanahan sering disebut sebagai Kyai Gede Mataram. Seorang kyai adalah seorang ulama muslim yang berpendidikan tinggi dan cenderung disegani.

Sedangkan di Pajang, terjadi perebutan kekuasaan besar-besaran yang terjadi setelah Sultan Adiwijaya wafat pada tahun 1582. Pewaris Adiwijaya adalah Pangeran Benawa, digulingkan takhtanya oleh Arya Pangiri dari Demak, dan disingkirkan ke Jipang. Putra Pamanahan, Sutawijaya atau Panembahan Senapati, menggantikan ayahnya sekitar tahun 1584, dan dia mulai melepaskan Mataram dari kekuasaan Pajang. Di bawah Sutawijaya, Mataram tumbuh secara substansial melalui kampanye militer melawan penguasaan Mataram atas Pajang oleh Arya Pangiri, dan Pangeran Benawa dengan cepat menggalang dukungan untuk merebut kembali takhtanya dan merekrut dukungan Panembahan Senapati melawan Pajang. Selanjutnya, Pajang diserang dari dua arah: oleh Pangeran Benawa dan oleh Panembahan Senapati. Perang antara Pajang melawan Mataram berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Pangeran Benawa kemudian naik takhta di Pajang.[10] Selama periode itu tidak ada putra mahkota Pajang yang menggantikan Pangeran Benawa sehingga takhta Pajang diserahkan ke Panembahan Senapati. Kemudian yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning atau adik Panembahan Senapati. Peristiwa pada tahun 1586 ini menandai berakhirnya kerajaan Pajang dan berdirinya Nagari Kasultanan Mataram.

Kebangkitan Mataram

sunting
 
Pasarean Mataram, makam dari Panembahan Senapati dan Panembahan Seda ing Krapyak.

Sutawijaya menjadi pemimpin monarki dengan menyandang gelar "Panembahan" (secara harfiah berarti "orang yang dijunjung"). Dia mengungkapkan sifat pemerintahannya yang ekspansif dan mulai memproyeksasi manuver politiknya sesuai ketentuan, layanan, dan fungsi administrasi ke timur di sepanjang Bengawan Solo.[10] Pada 1590 menaklukkan Madiun, dan berbelok ke timur dari Madiun untuk menaklukkan Kediri pada tahun 1591 dan Ponorogo.[11] Pada saat yang sama ia juga menaklukkan Jipang dan Jagaraga (utara Magetan sekarang). Dia berhasil mencapai timur sejauh Pasuruan. Setelah berhasil menyatukan bekas wilayah Pajang, Panembahan Senapati mengalihkan perhatiannya ke Jawa bagian barat, dengan menjalin hubungan baik dengan Cirebon[12] dan menaklukkan Galuh pada tahun 1595.[11] Usahanya untuk menaklukkan Banten pada tahun 1597 gagal, dikarenakan kurangnya transportasi air.[11] Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, sebagai raja Jawa ia berhasil membangun fondasi negara baru yang kokoh. Penggantinya, Raden Mas Jolang atau yang kemudian bergelar sebagai Susuhunan Anyakrawati.[11]

Kontak pertama antara Mataram dan Belanda (VOC) terjadi pada era Susuhunan Anyakrawati. Kegiatan Belanda pada saat itu hanya sebatas perdagangan dari pemukiman pesisir utara Jawa, sehingga interaksi mereka dengan wilayah pedalaman Jawa dibatasi, meskipun dibelakang mereka membentuk siasat untuk melawan Mataram. Susuhunan Anyakrawati wafat karena kecelakaan sewaktu berburu rusa di hutan Krapyak. Dari peristiwa itu ia dikenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak (Panembahan yang wafat di Krapyak).

Masa kejayaan

sunting
 
Turnamen bela diri antara dua penunggang kuda bertombak di kerajaan Mataram, diadakan di alun-alun depan keraton.

Anyakrawati digantikan oleh putranya, Pangeran Martapura. Namun Martapura, kesehatannya buruk dan dengan cepat digantikan oleh saudaranya, Raden Mas Rangsang pada tahun 1613, yang menyandang gelar Susuhunan Anyakrakusuma, dan kemudian pada tahun 1641 mengambil gelar Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma (Sultan Agung).[11] Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Anyakrakusuma dikenang sebagai puncak kekuasaan Mataram, dan masa keemasan kekuasaan asli Jawa sebelum imperialisme Eropa pada abad berikutnya. Di bawah kepemimpinannya, Anyakrakusuma tidak mengizinkan Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) untuk mendirikan loji-loji dagang di pantai utara. Hal ini ditolak lantaran ia tidak ingin ekonomi di pantai utara akan melemah jika dikuasai oleh VOC. Penolakan ini membuat hubungan Mataram dengan VOC merenggang.[butuh rujukan]

Pada 1641, utusan Jawa yang dikirim Anyakrakusuma ke Arab telah tiba setelah mendapat izin menyandang gelar "Sultan" dari Mekah. Nama dan gelar Islam yang diperolehnya dari Mekah adalah "Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami".[13]

Pada 1645 Sultan Agung mulai membangun Imogiri, sebagai tempat pemakaman, sekitar lima belas kilometer selatan Yogyakarta. Imogiri tetap menjadi tempat peristirahatan sebagian besar keluarga Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta hingga sekarang. Sultan Agung wafat pada musim semi tahun 1646, meninggalkan sebuah negara yang ia bangun, membentang cakrawala sebagian besar Jawa, Madura, dan pulau-pulau sekitarnya.

Masa kemunduran

sunting

Sepeninggal Sultan Agung, tahta diambil alih oleh anaknya, Amangkurat I. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Keraton Plered yang lokasinya tak jauh dari keraton sebelumnya. Di bawah kepemimpinannya, Mataram diwarnai dengan gejolak politik yang tidak stabil karena adanya tekanan dari VOC, sehingga terjadi banyak pemberontakan dan perang saudara. Masa kepemimpinannya juga menjadi titik awal masa kemunduran Mataram.

Pemberontakan Raden Mas Alit dan Trunojoyo

sunting

Sikap Amangkurat I yang cenderung lunak dan tunduk kepada Belanda memunculkan beberapa perlawanan. Salah satunya adalah pemberontakan Raden Mas Alit, adik dari Amangkurat I pada 1678 yang menelan ribuan korban jiwa. Raden Mas Alit pun tewas dalam pemberontakan ini.[14]

Ada pula pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Rahmat, anak Amangkurat I yang saat itu telah menjadi Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota. Ia keberatan dengan pengalihan gelar yang ia sandang kepada saudaranya, yakni Pangeran Singasari. Ia mengajak Trunojoyo, putra penguasa Madura, untuk melaksanakan misi tersebut pada 1670. Trunojoyo menyanggupi karena ia ingin Madura merdeka dari penguasaan Kerajaan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Amangkurat I. Namun, Trunojoyo malah menumpas satu demi satu wilayah-wilayah kekuasaan Mataram, dan akan menyerang keraton Plered. Hal ini membuat Pangeran Adipati Anom berubah haluan mendukung ayahandanya, kemudian melakukan pelarian menuju Tegal. Disinilah Amangkurat I sakit dan wafat, oleh karenanya Amangkurat I diberi nama anumerta Susuhunan Tegal Arum.[14]

Disisi lain, Trunojoyo semakin kuat sehingga Pangeran Adipati Anom terpaksa menjalin kerja sama dengan VOC untuk menumpas Trunojoyo sekaligus merebut kembali takhta Mataram Islam. Kompeni bersedia membantu tapi dengan syarat. Akhirnya, Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi penerus tahta dengan gelar Amangkurat II. Disini kembali terjadi pemindahan pusat pemerintahan, kali ini menuju ke Kartasura yang berada di bagian timur ibukota lama.[14]

Perebutan Takhta Kekuasaan

sunting

Intervensi VOC dalam urusan kerajaan juga menimbulkan perang saudara antar kerabat keraton Mataram pada saat itu, dikarenakan masing-masing pihak saling mengklaim soal takhta yang sah. Dimulai pada Perang Takhta Jawa Pertama yang melibatkan Amangkurat III dan Pakubuwana I, Perang Takhta Jawa Kedua yang melibatkan Amangkurat IV dan pangeran-pangeran yang memberontak.

Pemberontakan Sunan Kuning

sunting
 
Lukisan Jawa abad ke-19 menggambarkan salah satu episode Perang Jawa-Tionghoa melawan VOC (1741-1743).

Terjadinya peristiwa Geger Pacinan di Batavia berefek pada migrasi etnis Tionghoa secara besar-besaran ke Jawa Tengah. Hal inilah yang kemudian mendorong pemberontakan bersama yakni etnis Jawa dan etnis Tionghoa melawan para penjajah di tahun 1740. Pemberontakan ini dipimpin oleh Sunan Kuning yang kelak diangkat oleh sebagian pengikutnya menjadi Amangkurat V, dibantu oleh pasukan dari etnis Tionghoa dan mengajak Raden Mas Said, anak dari Pangeran Arya Mangkunagara yang merupakan saudara kandung lain ibu dari Pakubuwana II, penguasa Mataram saat itu.[15]

Pakubuwana II berhasil mempertahankan gelarnya dengan bantuan VOC. Namun, keraton Kartasura hancur lebur dalam penyerangan tersebut. VOC juga meminta imbalan untuk bantuan yang diberikan, dimana Pakubuwana II harus melepaskan Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara dan Blambangan. Hal tersebut dituangkan dalam bentuk Perjanjian Panaraga pada tahun 1743.

Karena keraton Kartasura dirasa sudah tidak layak lagi, Pakubuwana II memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya. Kali ini ia memilih desa Sala, wilayah di timur Kartasura yang berada di tepi sungai Bengawan. Disana Pakubuwana II membeli tanah dari lurah Desa Sala, yaitu Ki Gede Sala, sebesar 10.000 ringgit (gulden Belanda) untuk membangun istana Mataram yang baru. Di sinilah cikal bakal Keraton Surakarta Hadiningrat.[15]

Terpecahnya Mataram

sunting

Situasi politik yang masih belum stabil setelah pemberontakan Sunan Kuning, membuat Pakubuwana II mengumumkan sebuah sayembara untuk menumpas Raden Mas Said dan dijanjikan sebuah hadiah. Konon, saat itu Raden Mas Said adalah panglima perang yang tak terkalahkan, bahkan dijuluki Pangeran Sambernyawa.

Tantangan ini diterima oleh Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwana II yang juga menjadi paman dari Raden Mas Said. Ia pun berhasil menumpas Raden Mas Said dan seharusnya bisa mendapatkan hadiah tersebut. Namun, Pakubuwana II dihasut oleh Patih Pringgalaya dan Baron van Imhoff, gubernur VOC saat itu untuk tidak memberikan hadiah tersebut demi menurunkan derajat Mangkubumi yang dikenal anti-VOC.

Kemelut tersebut semakin menjadi-jadi setelah dilakukannya perubahan dalam Perjanjian Panaraga oleh VOC, yang dimana perubahan tersebut mengharuskan Susuhunan untuk menyerahkan wilayah pesisir kepada VOC. Hal ini membuat Mangkubumi kecewa, dan situasi pun berbalik di mana ia keluar dari keraton pada tanggal 19 Mei 1746 dan bergabung dengan Raden Mas Said. Meski begitu, keluarnya Mangkubumi dari keraton bukan untuk memusuhi dan memberontak, melainkan untuk mempertahankan wilayah Mataram, khususnya wilayah pesisir.

Perlawanan dari Mangkubumi dan pengikutnya terus berlanjut hingga mangkatnya Pakubuwana II dan digantikan oleh anaknya, Pakubuwana III. Sepeninggal kakaknya, atas usul Raden Mas Said, Mangkubumi diangkat oleh pengikutnya menjadi Susuhunan di wilayah Kabanaran (Sukowati) menandingi Pakubuwana III, dengan Raden Mas Said sebagai patih. Sebab itulah Mangkubumi pernah dijuluki sebagai Susuhunan Kabanaran. Bergabungnya Mangkubumi dan Raden Mas Said menimbulkan kekuatan yang luar biasa, terbukti dengan ditaklukkannya kembali daerah-daerah pesisir yang sebelumnya telah dikuasai oleh VOC, bahkan wilayah-wilayah di bagian timur seperti Surabaya dan Madura pun juga ditaklukkan.[16]

Kegagalan VOC melawan pasukan Mangkubumi menimbulkan berbagai tekanan. Akhirnya, mereka kembali memainkan intrik politik adu domba untuk memecah belah kekuatan Mangkubumi dan Raden Mas Said. VOC berhasil menghasut Raden Mas Said melalui Tumenggung Sujanapura untuk melepaskan diri dari pasukan Mangkubumi. Alhasil, Mangkubumi kelak harus berjuang sendirian melawan pasukan VOC, Surakarta, dan Raden Mas Said.

 
Peta yang menggambarkan batas wilayah keempat monarki (dua kerajaan dan dua kadipaten) pecahan Nagari Mataram setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830.

Di sisi lain, situasi perang yang kurang menguntungkan membuat VOC menawarkan perjanjian damai kepada Mangkubumi. Maka ditandatanganilah Perjanjian Palihan Nagari yang dilakukan di Dusun Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, pada 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh VOC yang diwakili oleh Nicolaas Hartingh, serta Pangeran Mangkubumi. Atas desakan VOC, Pakubuwana III terpaksa menyetujui perjanjian tersebut, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuannya dengan Mangkubumi di daerah Jatisari yang berakhir dengan disahkannya Perjanjian Jatisari, pada tanggal 15 Februari 1755.

Sejak saat itu, Pakubuwana III berhak atas wilayah timur Nagari Mataram dan tetap mempertahankan kedudukannya atas raja Surakarta dengan gelar Susuhunan Pakubuwana. Pakubuwana III juga mengizinkan Mangkubumi untuk memerintah sebagian tanah Nagari Mataram sebelah barat alias di seberang Sungai Opak yang kelak menjadi Yogyakarta, dan bertakhta sebagai raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana. Perjanjian-perjanjian tersebut juga mengakhiri kejayaan Mataram Islam selama beberapa abad.[17]

Rupanya, Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Jatisari tidak diterima dengan baik oleh Raden Mas Said, sehingga ia tetap melakukan perlawanan terhadap VOC, Surakarta, dan Yogyakarta. Karena perang berlangsung berlarut-larut dan mengalami kebuntuan, maka Raden Mas Said yang mendapat julukan Pangeran Sambernyawa itu menerima tawaran damai dari VOC, yang kemudian memunculkan Perjanjian Salatiga pada tahun 1757. Dari perjanjian tersebut, ia diangkat menjadi pangeran miji dan kemudian menjadi pangeran merdeka dengan gelar Adipati Mangkunagara, serta mendapat sebagian tanah apanase dari wilayah Nagara Agung Surakarta bagian timur, yang kemudian dikenal sebagai Kadipatèn Mangkunagaran.

Sekitar lima puluh empat tahun kemudian, wilayah Mataram kembali terpecah. Kali ini, kekalahan Yogyakarta dalam Geger Sepoy pada tahun 1813 membuahkan suatu keputusan yaitu diangkatnya Pangeran Natakusuma selaku salah satu putra dari Hamengkubuwana I untuk menjadi pangeran merdeka dengan gelar Adipati Paku Alam, oleh pemerintah Inggris. Natakusuma berhak atas wilayah kemantren di timur Keraton Yogyakarta, dan beberapa bidang di pesisir Kulon Progo atau Karang Kemuning, yang dikenal dengan nama Kadipaten Pakualaman.

Struktur pemerintahan

sunting

Mataram memiliki struktur pemerintahan yang dipimpin oleh seorang susuhunan/sultan. Dalam konsep kenegaraan Jawa raja-raja Mataram disebutkan dengan konsep Keagungbinatharaan atau diungkapkan sebagai "gung binathara, bahu dhendha nyakrawati" (kekuasaan yang agung, memelihara hukum di muka bumi). Raja dikatakan "wenang wisesa ing sanagari" (memegang kuasa di negara). Dia harus "wicaksana" (bijaksana), bersifat "budi bawa leksana, ambeg adil para marta" (meluap budi luhur-mulia dan bersifat adil terhadap sesama), tugasnya "anjaga tata titi tentreming praja" (menjaga keteratutan dan ketenteraman negeri), agar tercipta suasana "karta tuwin raharja" (aman dan sejahtera).[18]

Amiril muminina sayyidina panatagami kyatira ning rat wus sineksen saking Ngarab, winenang among dirja ning rat

Pemimpin para mukmin tuan penata agama kemasyhurannya di jagad sudah disaksikan dari negeri Arab, diberi wewenang memomong keselamatan dunia

Serat Sastra Gending karya Sultan Agung

Kemasyhuran sultan Mataram telah dikenal sampai tanah Arab sebagai seorang pemimpin para mukmin di tanah Jawa. Sehingga penguasa Mekah waktu itu memberi gelar Sultan kepada raja Mataram. Inilah awal mula raja Mataram menggunakan gelar Sultan. Pemakaian gelar raja pada Mataram selain Sultan yaitu: Panembahan, Susuhunan atau Sunan.

Anyakrakusuma mendapat gelar Sultan. Gelar tersebut dianugerahkan Sultan Murad IV yang diwakilkan syarif Mekah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Anyakrakusuma ditahbiskan sebagai Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami, disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultan Agungan di Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung.

Aparat birokrasi

sunting

Struktur birokrasi kesultanan Mataram berdasarkan pada jabatan-jabatan yang disusun secara hierarki mengikuti sistem pembagian wilayah, meliputi:

Susuhunan atau Sultan, gelar yang digunakan untuk merujuk pada kepala negara yang sedang bertakhta (jumeneng). Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan membentuk dan menempatkan pejabat dari tingkat pusat sampai daerah berdasarkan wilayah yang sudah dibagi. Kebijakan tersebut dilakukan untuk menciptakan kegiatan pemerintahan yang terkendali.

Dalam mengurusi rumah tangga karaton tugas diserahkan kepada seorang Wedana Lebet yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan Wedana Keparak Tengen. Para wedana tersebut dikepalai oleh Patih Lebet, dan setiap wedana dibantu oleh kliwon (asisten di bawah wedana), kabayan (asisten di bawah kliwon), dan 40 mantri jajar (salah satu sebutan untuk priyai di lingkungan karaton).[19]

Adapun untuk mengurusi pemerintahan di Nagaragung, sultan menyerahkannya kepada Wedana Jawi yang dikepalai oleh seorang Patih Jawi. Masing-masing wedana juga dibantu oleh kliwon, kabayan, dan 40 mantri jajar. Semua wedana tersebut bertempat di Kutagara, sedangkan daerahnya di Nagaragung diserahkan kepada demang atau kyai lurah.[20]

Untuk mengurusi wilayah di luar Kutagara dan Nagaragung (pusat pemerintahan), di Mancagara Wétan maupun Mancagara Kilèn, sultan menempatkan para bupati yang dipimpin oleh Wedana Bupati baik di wilayah Mancagara maupun Pasisiran. Para bupati di wilayah Mancagara berpangkat Tumenggung atau Raden Arya, sedangkan di wilayah Pasisiran dikenal dengan Syahbandar yang memiliki pangkat Tumenggung, Kyai Demang, atau Raden Ngabehi. Para bupati Mancagara maupun Pasisiran berada dalam kordinasi dan bimbingan langsung dari Wedana Bupati.[18] Selain menempatkan bupati di wilayah Mancagara dan Pasisiran, sultan juga menempatkan bupati penting di wilayah pusat. Para bupati tersebut dijadikan staff ahli yang sewaktu-waktu diperlukan pertimbangannya.

Sebagai pengontrol gerak-gerik para lembaga negara maupun para bupati di daerah, maka sultan mengangkat dinas rahasia yang disebut telik sandi atau Abdi Kajineman.[21] Selain para pejabat tinggi pusat tersebut, di bawahnya masih terdapat sekitar 150 macam jabatan dibawahnya. Mereka dikhususkan ke dalam berbagai macam jabatan, mulai dari prajurit, panglima, pengadilan, keuangan, perlengkapan, kesenian, keagamaan, dan lainnya. Semua jabatan tersebut merupakan bentuk birokrasi sebagai pelaksana roda pemerintahan.[18]

Pembagian administratif

sunting

Struktur administratif Mataram menganut pola konsentris. Berdasarkan sudut pandang konsentris yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Mataram, wilayah dibedakan dalam beberapa pembagian sebagai berikut:[20][22][23]

  • Kutagara (Kuta Nagara) meliputi:
  1. Siti Narawita (ibu kota), sebagai pusat pemerintahan.
  2. Karaton (istana), sebagai pusat kegiatan pemerintahan.
  • Nagaragung (Nagara Agung) adalah wilayah yang mengitari Kutagara, wilayah ini dibagi menjadi empat bagian, meliputi:
  1. Daerah Siti Ageng atau Bumi Gede, suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak, kemudian dibagi menjadi daerah Siti Ageng Kiwa dan Siti Ageng Tengen. Terletak di sebelah barat daya Semarang (antara daerah Ungaran dan Kedungjati)
  2. Daerah Siti Bumi atau Bumija yang terletak di sekitar daerah Kedu
  3. Daerah Siti Numbak Anyar yang terletak di sekitar daerah Bagelen
  4. Daerah Pajang, dibagi menjadi Panumping yang meliputi daerah Sukowati dan daerah Panekar yaitu daerah Pajang bagian timur.
  • Mancagara (Manca Nagara) adalah wilayah di luar Nagaragung yang meliputi:
  1. Mancagara Wétan (Mancanegara Timur), dimulai dari Panaraga ke timur, yang meliputi Magetan, Madiun, Grobogan, Kaduwung, Jagaraga, Panaraga, Pacitan, Kediri, Jipang, Wirasaba, Blitar, Srengat, Lodaya, Pace, Nganjuk, Berbek, Cakuwu, Wirasari
  2. Mancagara Kilèn (Mancanegara Barat), dimulai dari Banyumas ke barat, yang meliputi Banyumas, Cilacap, Sumedang, Galuh, Priangan.
  • Pasisiran (Pesisir) adalah wilayah yang sebagian besar berada di pantai utara Jawa dan sebagian diantaranya diberikan otonomi tersendiri. Wilayah ini dibagi menjadi dua:
  1. Pasisiran Wétan (Pesisir Timur), dimulai dari Demak ke timur, yang meliputi Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Blambangan
  2. Pasisiran Kilèn (Pesisir Barat), dimulai dari Demak ke barat, yang meliputi Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, Karawang

Kedua wilayah, Mancagara Wétan dan Pasisiran Wétan, biasanya disebut sebagai Brang Wétan. Demikian pula untuk Mancagara Kilèn dan Pasisiran Kilèn disebut sebagai Brang Kilèn atau Brang Kulon. Struktur wilayah Mataram memiliki susunan yang teratur dengan wilayah kabupaten dan jumlah cacahnya disebutkan di dalam Pustaka Rajapuwara. Di samping beberapa wilayah di atas, terdapat tanah seberang (tanah sabrang: tanah yang berada di seberang laut), seperti Jambi, Palembang, Banjar, Kotawaringin dan Sukadana.

Struktur pemerintahan

sunting

Struktur pemerintahan Mataram dari puncak hingga ke bawah pada dasarnya merupakan kelanjutan dari masa Majapahit. Pada puncak kekuasaan terdapat raja yang dibantu oleh birokrat istana. Di bawah raja terdapat penguasa-penguasa daerah yang disebut bupati. Cara-cara pengerahan tenaga birokrasi ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:[24]

  1. Pengangkatan dilakukan berdasarkan keturunan dan kesetiaan terhadap raja.
  2. Jabatan birokrasi di pusat kerajaan ditiru oleh penguasa daerah.
  3. Jabatan birokrasi tergantung pada wewenang atau sifat pribadi raja.
  4. Pengelolaan politik dan pemerintahan merupakan urusan pribadi raja.
  5. Tradisi menjadi aturan.
  6. Tidak ada spesialisasi wewenang dan tugas para pejabat.

Dalam administrasi pemerintahan masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang pejabat tinggi. Para bupati mancanegara dan pasisiran di bawah pengawasan seorang wedana bupati. Wedana bupati pesisiran wetan berkedudukan di Jepara. Wedana bupati mancanegara wetan berkedudukan di Ponorogo. Wedana bupati, baik mancanegara maupun pasisiran, bertugas mengawasi dan mengkoordinasi bupati-bupati yang berada di bawah yurisdiksinya. Secara hierarkis, wedana bupati berhubungan langsung dengan patih kerajaan yang mengurusi bidang pemerintahan.[24]

Kabupaten yang berada di mancanegara dan pasisiran diperintah oleh bangsawan setempat. Kabupaten merupakan daerah otonom dan dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Otonomi yang dimiliki seorang bupati disertai dengan hak untuk memiliki angkatan senjata sendiri. Tugas pokok seorang bupati, yaitu:[24]

  1. Memungut pajak yang dibayarkan setiap tahun
  2. Mengerahkan tenaga kerja untuk perang
  3. Mengerjakan proyek pekerjaan umum
  4. Menyelenggarakan peradilan di tingkat bawah

Budaya

sunting

Meskipun kerajaan Islam, Mataram tidak pernah mengadopsi budaya, sistem, dan institusi Islam secara menyeluruh. Sistem politiknya berakar dari peradaban Jawa asli yang digabungkan dengan unsur-unsur Islam. Kesultanan Mataram merupakan simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam di Jawa yang menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa Hindu-Buddha ke masa Kajawen (Ka-jawi-an). Mataram diakui mampu menyiarkan Islam secara kultural yang ditandai dengan perubahan besar pada masa Sultan Agung dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal.

Islam dihadirkan di Jawa secara adaptif dengan budaya asli Jawa. Adaptasi kultural tersebut dapat diterima masyarakat Jawa, maka pribumisasi Islam dianggap berhasil karena Islam berkembang pesat di Jawa secara alamiah dan melalui proses kultural dari masyarakat Jawa itu sendiri.

Sejak saat itulah budaya Islam di Jawa lebih dikenal dengan istilah Kajawen (Ka-jawi-an) yang sarat dengan muatan sufistik dan mulai berkembang pesat. Kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Arab-Nya dari timur tengah mulai digubah dalam bahasa Jawa dengan diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa kehilangan substansinya. Perpaduan dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya khazanah sekaligus pengembang budaya Kajawen.

Daftar penguasa Mataram

sunting

Para penguasa Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan Ki Ageng Pamanahan, perintis dan pendiri wangsa Mataram bersama tokoh dari Sela lainnya yaitu Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Pada dasarnya penguasa Mataram mulanya bergelar panembahan kemudian susuhunan, gelar sultan baru resmi digunakan pada tahun 1641 pada masa kekuasaan Anyakrakusuma. Berikut adalah daftar penguasa Mataram:

Nama Jangka hidup Awal memerintah Akhir memerintah Keluarga
Danang Sutawijaya
Senapati
?–1601 1586 1601 Wangsa Mataram
Raden Mas Jolang
Anyakrawati
(Sunan Krapyak)
?–1613 1601 1613 Wangsa Mataram
Raden Mas Jatmika
Anyakrakusuma
(Sultan Agung)
1593–1645 1613 1645 Wangsa Mataram
Raden Mas Sayyidin
Amangkurat I
(Sunan Tegalarum)
1618–13 Juli 1677 1646 1677 Wangsa Mataram
Raden Mas Rahmat
Amangkurat II
(Sunan Amral)
?–1703 1677 1703 Wangsa Mataram
Raden Mas Sutikna
Amangkurat III
(Sunan Mas)
?–1734 1703 1705 Wangsa Mataram
Raden Mas Darajat
Pakubuwana I
(Sunan Ngalaga)
2 Februari 1648–22 Februari 1719 1704 1719 Wangsa Mataram
Raden Mas Suryaputra
Amangkurat IV
(Sunan Jawi)
?–20 April 1726 1719 1726 Wangsa Mataram
Raden Mas Prabasuyasa
Pakubuwana II
(Sunan Kumbul)
8 Desember 1711–20 Desember 1749 1726 1742 Wangsa Mataram
Raden Mas Garendi
Amangkurat V
(Sunan Kuning)
1726–? 1742 1743 Wangsa Mataram
Raden Mas Prabasuyasa
Pakubuwana II
(Sunan Kumbul)
8 Desember 1711–20 Desember 1749 1745 1749 Wangsa Mataram
1749–1755 (interregnum)

Mataram terbagi pada tahun 1755, sebagai akibat dari Perang Takhta Jawa Ketiga. Peristiwa itu disebut dalam bahasa Jawa sebagai Palihan Nagari.

Warisan

sunting

Mataram adalah kerajaan Islam terbesar terakhir di Jawa sebelum terbagi menjadi Surakarta, Yogyakarta, Mangkunagaran dan Pakualaman. Setelah keruntuhan Mataram pada abad berikutnya pulau Jawa dalam kolonialisme Belanda. Bagi sebagian orang Jawa, Kesultanan Mataram, khususnya era Sultan Agung, dikenang sebagai kebanggaan masa lalu yang gemilang, karena Mataram menjadi kerajaan terakhir Islam terbesar di Jawa.[25]

Dalam seni dan budaya, Kesultanan Mataram telah meninggalkan jejak yang kekal dalam budaya Jawa, karena banyak unsur budaya Jawa, seperti gamelan, batik, keris, wayang kulit dan tari tradisional Jawa diciptakan, dikembangkan dalam bentuknya yang sekarang, dan diwariskan oleh karaton penerusnya. Pada masa puncak Kesultanan Mataram pada paruh pertama abad ke-17, kebudayaan Jawa berkembang, sebagian besar di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Mataram banyak mempengaruhi kebudayaan di Jawa termasuk di bagian barat. Pada periode ini masyarakat Sunda berasimilasi lebih jauh dengan budaya Kajawen (Jawa). Seperti wayang golek yang diadopsi dari Jawa, kemudian budaya serupa seperti gamelan dan batik juga di kenalkan di sana dan berkembang. Pada masa itu pula bahasa Sunda mulai menggunakan tingkatan bahasa yang didasarkan kepada aturan serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan, untuk saling menghargai dan menghormati orang lain, sebagaimana tercermin dalam bahasa Jawa. Selain itu aksara Jawa juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai cacarakan

Kini, warisan budaya Kesultanan Mataram dilestarikan oleh keempat pecahan Mataram (catur sagotra). Beberapa dari warisan budaya tersebut adalah karya asli sejak masa kejayaan Mataram, yang dibagi dalam Perjanjian Jatisari.

Catur Sagotra

sunting

Catur Sagotra merupakan penyatuan empat entitas yang masih memiliki akar tunggal tali kekerabatan. Hal ini merujuk pada keluarga kerajaan-kerajaan penerus dinasti Mataram Islam. Kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunagaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Terbentuknya Catur Sagotra berawal pada tahun 2004 oleh Sri Susuhunan Pakubuwana XII, sebelum wafat pernah memberi amanah kepada Nani Soedarsono untuk melanjutkan cita-cita luhur Catur Sagotra. Catur Sagotra merupakan sebuah gagasan bersama dari empat raja Jawa pada waktu itu yaitu Sri Susuhunan Pakubuwana XII, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, KGPAA. Mangkunagara VIII dan KGPAA. Paku Alam VIII. Tujuan Catur Sagotra adalah untuk mempersatukan keempat trah dalam ikatan kesamaan falsafah budaya dan keterkaitan sejarah leluhur Mataram.[26]

Galeri

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Koin Java Rupee Dengan Seijin Susuhunan Mataram". kintamoney.com. 2011. Diakses tanggal 19 Agustus 2020. 
  2. ^ Graaf, Hermanus Johannes de (2001). Awal kebangkitan Mataram : masa pemerintahan Senapati (edisi ke-Cet. 3). Jakarta: Grafiti. ISBN 9789794440117. OCLC 603911675. 
  3. ^ "The Mataram Kingdom & Royal Palaces". joglosemar.co.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-03. Diakses tanggal 20 Agustus 2020. 
  4. ^ a b "Mataram, Historical kingdom, Indonesia". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 20 Agustus 2020. 
  5. ^ M.C. Ricklest. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 1200-2004.
  6. ^ Brown 2003, p. 63: "On February 13, 1755, the Treaty of Giyanti was signed, dividing what was left of the kingdom of Mataram into two parts. One part, with its capital in the city of Solo, was headed by Pakubuwana II's son, Pakubuwana III. The other part, with its capital 60 kilometres to the west of Yogyakarta, was ruled by Pakubuwana II's half-brother Mangkubumi, who took the title Sultan Hamengkubuwono I. The treaty was not immediately accepted by all parties to the dispute: fighting went on for another two years. In 1757, though, an uneasy peace settled on Java when Pakubuwana III's territory was divided, with a portion going to his cousin Mas Said, who took the title Mangkunegara I."
  7. ^ "Gianti Agreement | Indonesia [1755]". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-08. 
  8. ^ Adji, Krisna Bayu; Achmad, Sri Wintala (2014). Sejarah raja-raja Jawa : dari Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Yogyakarta: Araska Publisher. 
  9. ^ Munawar, Zaid (2020). "Pengelolaan Pajak di Kerajaan Mataram Islam Masa Sultan Agung, 1613-1645 M". Jurnal Sejarah Peradaban Islam. 4 (1): 10. 
  10. ^ a b c Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 55. 
  11. ^ a b c d e Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 56. 
  12. ^ Notosusanto, Marwati Djoened, Poesponegoro, Nugroho (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3: Zaman Pertumbuhan & Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Balai Pustaka (Persero), PT. ISBN 978-979-407-409-1. 
  13. ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 63. 
  14. ^ a b c Mengenal Sejarah Runtuhnya Kesultanan Mataram dan Daftar Raja-raja
  15. ^ a b Solo, Kota yang Terbentuk Dari Geger Pecinan
  16. ^ Tim Okezone (2022). "Duet Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa Sikat VOC di Kerajaan Mataram". okezone.com. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  17. ^ Aswab Nanda Pratama (2019). "Hari Ini dalam Sejarah, Perjanjian Giyanti Memecah Wilayah Mataram Islam". Kompas.com. Diakses tanggal 20 Januari 2021. 
  18. ^ a b c Moedjanto, G (1987). Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. 
  19. ^ Widada, dkk. (2001). Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius. Wurianto, Arif Budi. (2001). Gung Binatara: Kekuasaan dan Moralitas Jawa. Jurnal Ilmiah Bestari
  20. ^ a b Suwarno, P. J. (1989). Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan Sekarang. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 
  21. ^ Kartodirdjo, A. Sartono, dkk. (1995). Negara dan Nasionalisme Indonesia; Integrasi, Disintegrasi, dan Suksesi. Jakarta: Grasindo. 
  22. ^ Serat Pustaka Rajapuwara, Koleksi Reksapustaka Mangkunegaran, Surakarta, No. MS 113.
  23. ^ Moertono, S. (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 
  24. ^ a b c Sapto, Ari (2015-12-30). "Pelestarian Kekuasaan Pada Masa Mataram Islam: Sebha Jaminan Loyalitas Daerah Terhadap Pusat". Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya. 9 (2): 156–157. doi:10.17977/um020v9i22015p153-161. ISSN 2503-1147. 
  25. ^ Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since C. 1200. 
  26. ^ Yudono, Jodhi (ed.). "Catur Sagotra Nusantara, untuk Melestarikan Empat Keraton". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-02-01. 

Daftar pustaka

sunting
  • Soekmono, Drs. R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. 2nd edition. Penerbit Kanisius 1973. 5th reprint edition in 2003. Yogyakarta. ISBN 979-413-291-8. (in Indonesian)
  • Anderson, BRO’G. The Idea of Power in Javanese Culture dalam Anderson, BRO’G. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press. 1990.
  • Carey, Peter. 1997. Civilization on loan: the making of an upstart polity: Mataram and its successors, 1600–1830. Modern Asian Studies 31(3):711–734.
  • de Graaf, H.J. dan T.H. Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Pustaka Utama Graffiti.
  • De Graaf, H.J. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Pustaka Utama Graffiti 2002.
  • Mangunwijaya Y.B. 1983. Rara Mendut. Jakarta : Gramedia.
  • Miksic, John (general ed.), et al. (2006) Karaton Surakarta. A look into the court of Surakarta Hadiningrat, central Java (First published: 'By the will of His Serene Highness Paku Buwono XII'. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004) Marshall Cavendish Editions Singapore ISBN 981-261-226-2
  • Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749–1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Penerbit Matabangsa.
  • Ricklefs, M.C. 2001. A history of modern Indonesia since c.1200. Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-8047-4480-7.

Bacaan lanjut

sunting

Sejarah Mataram

sunting

Kisah Trunajaya

sunting

Kemaritiman Kesultanan Mataram

sunting
  • Reid, Anthony (2014). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Obor. 
  • Reid, Anthony (2015). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Obor. 

Budaya Kesultanan Mataram

sunting
  • Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI (2018). Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (PDF). Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam. 

Laporan Penelitian

sunting

Majalah

sunting

Presentasi

sunting

Pranala luar

sunting