Gender

karakteristik fisik dan psikologi yang membedakan maskulinitas dan feminitas
(Dialihkan dari Jender)

Gender, jantina atau lapuan[1] adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan maskulinitas dan femininitas. Karakteristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks), hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin (struktur sosial sepeti peran gender), atau identitas gender.[2][3][4] Orang-orang yang merasa atau tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pria atau wanita umumnya disebut nonbiner atau genderqueer. Beberapa kebudayaan memiliki peran gender spesifik yang berbeda dari "pria" dan "wanita" yang secara kolektif disebut sebagai gender ketiga seperti golongan Bissu di masyarakat Bugis di Sulawesi dan orang hijra di Asia Selatan yang dianggap sebagai makhluk agung.

Seksolog Selandia Baru yaitu John Money mencetuskan perbedaan penggunaan isitilah jenis kelamin biologis dan gender sebagai peran pada tahun 1955. Sebelum itu, kata "gender" jarang digunakan untuk menyebut hal lain selain gender gramatikal dalam ilmu bahasa.[2][3] Definisi yang diajukan oleh Money tidak langsung banyak diakui sebelum akhirnya pada dekade 1970-an ketika teori feminis mengangkat konsep perbedaan antara jenis kelamin biologis dan gender sebagai konstruksi sosial. Definisi tersebut hingga kini masih digunakan untuk beberapa konteks seperti dalam ilmu sosial[5][6] dan pada beberapa dokumen terbitan Organisasi Kesehatan Dunia.[4]

Konteks-konteks lain menggunakan istilah "gender" yang mencakup atau sebagai pengganti dari "jenis kelamin".[2][3] Sebagai contoh, dalam kajian terhadap hewan nonmanusia, gender umumnya digunakan untuk menyebut jenis kelamin dari hewan.[3] Perubahan makna dari kata "gender" dapat ditelusuri hingga dekade 1980-an. Pada tahun 1993, Food and Drug Administration (FDA) mulai menggunakan gender sebagai pengganti istilah jenis kelamin (bahasa Inggris: sex).[7] Kemudian pada tahun 2011, FDA mulai menggunakan jenis kelamin/seks untuk klasifikasi biologis dan gender untuk "representasi diri seseorang sebagai laki-laki atau perempuan atau bagaimana ia merespon terhadap institusi-institusi sosial yang didasarkan pada presentasi gender seseorang."[8]

Beberapa ilmu seputar gender salah satunya adalah cabang dari ilmu sosial yaitu kajian gender. Seksologi dan ilmu saraf juga membahas beberapa hal mengenai gender. Kajian gender umumnya membahas gender sebagai sebuah konstruksi sosial sementara ilmu-ilmu dalam ilmu alam membahas mengenai perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang dapat mempengaruhi perkembangan gender pada manusia. Kedua pendekatan tersebut berkontribusi dalam menyelidiki seberapa jauh perbedaan biologis mempengaruhi pembentukan identitas gender pada seseorang. Trikotomi antara jenis kelamin biologis, gender psikologis, dan peran gender sosial pertama kali muncul pada sebuah artikel jurnal mengenai transseksualisme pada tahun 1978.[3][9]

Etimologi dan penggunaan

sunting

Kata gender berasal dari bahasa Prancis Pertengahan gendre yang pada awalnya merupakan serapan yang berasal dari kata bahasa Latin genus yang berarti "jenis" atau "tipe".[10][11] Kata dalam bahasa Prancis modern yang terkait adalah genre (seperti pada genre sexuel). Oxford English Dictionary edisi pertama tahun 1900 menyebutkan bahwa arti awal gender sebagai "jenis" sudah tidak lazim dipakai. Kata gender masih dipakai luas terutama dalam linguistik untuk menyebut gender gramatikal (pengelompokan kata benda maskulin, feminin, dan netral).

Arti akademis dari kata "gender" dalam konteks peran sosial pria dan wanita kurang lebih berasal dari tahun 1945.[12] Gerakan feminis tahun 1970-an kemudian mengembangkan dan mempopulerkan kata tersebut. Kata gender juga masih banyak digunakan sebagai pengganti dari kata seks atau jenis kelamin (sebagai kategori biologi), meskipun terdapat beberapa pihak yang berusaha mempertahankan perbedaan di antara keduanya. American Heritage Dictionary (2000) menggunakan dua kalimat berikut untuk menggambarkan perbedaan di antara kedua istilah sembari menyebutkan bahwa perbedaan di antara keduanya pada prinsipnya berguna namun tidak digunakan secara luas dan memiliki variasi pemakaian di berbagai konteks.[13]

Efektivitas pengobatan terlihat bergantung kepada seks (bukan gender) dari pasien.
Di dalam masyarakat petani, peran gender (bukan seks) cenderung lebih dibatasi dengan jelas.[a]

Dalam konteks hukum diskriminasi, seks dan jenis kelamin yang menyangkut arti biologis umumnya lebih dipilih ketimbang gender sebagai norma yang terkonstruksi secara sosial dan lebih terbuka dari sisi tafsir maknanya.[14] Pakar hukum Amerika Serikat, Julie A. Greenberg, menyatakan bahwa meskipun gender dan seks adalah konsep yang terpisah, kedua kata tersebut memiliki keterikatan dengan diskriminasi gender sering kali terjadi akibat dari stereotipe masing-masing seks.[15]

Identitas gender dan peran gender

sunting
 
Aktor Swedia, Sebastian Berggren, dalam menggambarkan gender sebagai sebuah fenomena ambigu.

Identitas gender adalah identifikasi personal seseorang terhadap gender dan peran gender tertentu dalam masyarakat. Istilah wanita dalam sejarah penggunaannya sering kali diartikan sebagai tubuh perempuan. Penggunaan tersebut kini dipandang kontroversial oleh beberapa kalangan feminis.[16]

Feminis mempertanyakan ide-ide dominan yang ada mengenai gender dan jenis kelamin biologis seperti jenis kelamin seseorang terikat dengan peran sosial tertentu. Filsuf Amerika Serikat, Judith Butler, menilai bahwa konsep wanita memiliki lebih banyak kesulitan yang bukan hanya akibat dari cara pandang masyarakat terhadap wanita sebagai sebuah kategori sosial, namun juga sebagai pengertian dan kesadaran diri, sebuah identitas subjektif yang diadakan atau dikonstruksi secara kultural.[17] Identitas sosial adalah identifikasi umum terhadap sebuah perkumpulan orang atau sebuah kategori sosial yang menyusun sebuah kebudayaan bersama di antara anggota-anggotanya.[18] Menurut teori identitas sosial,[19] sebuah komponen penting dari konsep diri berasal dari keanggotaan di dalam kelompok dan kategori sosial. Hal tersebut diperlihatkan dalam proses kelompok serta dalam bagaimana hubungan antarkelompok memiliki pengaruh siginifikan terhadap persepsi dan perilaku seseorang. Kelompok kemudian menyediakan anggota-anggotanya dengan definisi mengenai siapa diri mereka dan bagaimana mereka harus berperilaku di dalam lingkungan sosial mereka.[20]

 
Seorang pengunjuk rasa pada sebuah demonstrasi untuk kesetaraan transgender di Washington, D.C., 2013.

Masyarakat di seluruh dunia mengartikan perbedaan biologis antara pria dan wanita untuk menyusun ekspektasi-ekspektasi sosial yang menentukan perilaku mana saja yang "pantas" bagi pria dan bagi wanita. Hal tersebut juga menentukan perbedaan dari sisi hak serta akses terhadap kepemilikan, jabatan dalam masyarakat, dan kesehatan.[21] Meskipun macam dan tingkat dari perbedaan-perbedaan tersebut bervariasi antara masyarakat satu dengan lainnya, pada umumnya pria lebih diuntungkan yang lalu membuat ketimpangan dan ketidaksetaraan gender ada di kebanyakan tempat.[22] Sistem norma dan kepercayaan mengenai gender berbeda-beda dalam masing-masing kebudayaan dan tidak ada standar universal maskulin atau feminin yang berlaku bagi seluruh masyarakat.[23] Peran sosial pria dan wanita berasal dari norma kebudayaan masyarakat tertentu yang menyusun sebuah sistem gender, yang juga mencakup pembedaan jenis kelamin dan pengutamaan sifat maskulin.[22]

Filsuf Prancis, Michel Foucault, menyebutkan bahwa sebagai subjek seksual, manusia merupakan objek dari kekuasaan. Kekuasaan tersebut bukan berupa sebuah lembaga atau struktur melainkan sebuah penanda atau nama yang disebut berasal dari "situasi strategis kompleks".[24] Karena itulah, "kekuasaan" merupakan apa yang menentukan sifat, perilaku, dll. dari seseorang sementara masyarakat adalah bagian dari suatu set nama dan label ontologi dan epistemologi. Sebagai contoh, orang perempuan digolongkan sebagai wanita dan membuat orang tersebut diartikan lemah, emosional, irasional, dan tidak mampu melakukan tindakan "pria". Butler menyebutkan bahwa gender dan seks lebih menyerupai kata kerja dibandingkan kata benda. Butler beralasan bahwa perilaku yang ia lakukan menjadi terbatas karena ia perempuan dan tidak dibolehkan untuk menyusun gender dan seksnya sendiri. Butler juga menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi karena gender dikendalikan secara politis dan sosial. "Wanita" diartikan bukan sebagai diri seseorang tetapi apa yang seseorang lakukan."[17] Salah satu kritik terhadap teori Butler ini menanggapi sikap Butler dalam menggunakan dikotomi gender yang terlalu konvensional.[25]

Kategori sosial

sunting
 
Mary Frith (alias "Moll Cutpurse") adalah tokoh kriminal di Inggris abad ke-17 yang kerap merokok dan mengenakan pakaian pria di depan umum.

Seksolog asal Selandia baru yaitu John Money mencetuskan istilah peran gender pada tahun 1955. Istilah tersebut didefinisikan sebagai perilaku atau tindakan yang dapat menunjukkan status seseorang sebagai laki-laki, pria, perempuan, atau wanita.[26] Unsur-unsur dari peran gender di antaranya mencakup pakaian, gaya bicara, gerakan tubuh, pekerjaan, serta hal-hal lainnya selain dari jenis kelamin biologis. Beberapa filsuf feminis juga menyebutkan bahwa gender merupakan rangkaian besar yang dirundingkan antara seseorang dan orang di sekitarnya ketimbang hanya semacam motivasi privat di balik perilaku seseorang.[27]

Gender Bias

Bias merupakan kondisi yang memihak atau merugikan, sedangkan gender merupakan sifat yang melekat pada karakter laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya, menurut data Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia menurut provinsi dan jenis kelamin di Indonesia tahun 2018 menunjukan bahwa pria 75,43 persen dan wanita 68,63 persen, data tersebut menunjukan bahwa akses hasil pembangunan pada wanita masih lebih rendah daripada pria dalam meperoleh pendapatan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya, hal tersebut memicu adanya bias gender atau situasi kondisi yang memihak dan merugikan salah satu jenis kelamin, pada karakteristik gender sendiri terkait pada membedakan maskulinitas dan feminitas.

Maskulinitas yaitu laki-laki dianggap kuat, rasional, kuat dan tegas maka sering kai dalam masyarakat terdapat bias gender bahwa pria dianggap tabu apabila mengerjakan pekerjaan perempuan atau pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mengurus anak dan membersihkan rumah sedangkan feminitas yaitu wanita dikena lemah lembut, keibuan, emosional, afektif dan irasional yang sering sekali menjadi bias gender, seringkali terjadi bias gender seperti wanita diragukan kemampuannya untuk menduduki suatu jabatan dalam pekerjaan. Sehingga dampak dari bias gender adalah diskriminasi gender serta kekerasaan dan pelecehan seksual yang akan terjadi di lingkungan kerja maupun lingkungan sekitar. Bias gender dapat dicegah dengan mendidik dan mengasuh anak secara adil, selain itu juga dengan mengedukasi seks serta karakter anak sejak dini. Dengan mengurangi adanya bias gender, maka akan mendorong kesetaraan guna mewujudkan pembangunan yang adil dan setara bagi pria dan wanita. Selain itu dengan mendidik dan memberikan informasi terkait gender hal demikian juga dapat membangun rasa saling menghargai.[28]

gender dan Usia

Sebagaimana Aldous Huxley dalam Two or Three Graces in the Coulmas's Book (hal.36) menyatakan bahwa “Pada abad delapan belas, ketika logika dan sains menjadi mode, wanita mencoba berbicara seperti pria. Abad kedua puluh telah membalikkan prosesnya”. Memang, saat ini banyak wanita berbicara seperti pria berbicara. Apalagi ada emansipasi perempuan yang menempatkan perempuan dalam berbagai posisi pekerjaan. Hal ini memungkinkan perempuan untuk berinteraksi dengan orang lain dan khususnya laki-laki, kemudian meniru ucapan mereka agar lebih mudah dipahami dalam komunikasi. Namun, hal ini bertentangan dengan pernyataan yang akan menjadi teori yang mendasarinya; Labov (1990: 210) menegaskan wanita cenderung memilih varian standar lebih sering daripada pria. Itu ada di bab 3 Buku Coulmas (Gender) halaman 40. Mengapa berbeda dengan pernyataan pertama? Karena di sini, bicara perempuan tidak berubah atau tidak berbicara seperti laki-laki. Penyebabnya adalah laki-laki cenderung menggunakan bahasa yang tidak baku sedangkan perempuan sebaliknya. Secara rinci, laki-laki dalam pidato bahasa Inggris sering mengurangi ketika mereka berbicara berjalan, berlari, makan, dll sehingga mereka mengatakan walkin', runnin' dan eatin'. Temuan lain (Trudgill: 1984) menunjukkan bahwa –dalam bentuk lebih banyak digunakan oleh laki-laki daripada perempuan dan status sosial yang lebih tinggi adalah frekuensi yang lebih rendah menggunakan –dalam bentuk. Oleh karena itu, pernyataan Labov ini akan digunakan untuk menganalisis fakta dalam kehidupan sehari-hari sebagai temuan makalah ini. Ini untuk menentukan apakah pernyataan ini sejalan dengan temuan atau sebaliknya.

Selanjutnya, pernyataan esensial kedua yang akan diterapkan diadaptasi dari Downes (1984: 191) yang mengatakan bahwa antara usia 25 dan 60 orang paling sering memilih standar daripada bentuk dialektis (Coulmas: Bab 4-Age, halaman 61). . Menurut buku Coulmas (hal.61), seiring bertambahnya usia, ucapan mereka menjadi kurang dialektis dan menyatu dengan standar. Jika digunakan di Indonesia, berarti masyarakat sekitar usia tersebut (dewasa) cenderung menggunakan bahasa Indonesia baku daripada bahasa Indonesia non baku/dialektis. Di sisi lain, apakah fenomena ini selalu ada dalam setiap setting dan konteks? Itu akan terjawab setelah membandingkan teori ini dengan fakta yang ditemukan.

Bahasa dan Gender

Bahasa dan gender adalah bidang studi dalam sosiolinguistik, linguistik terapan, dan bidang terkait yang menyelidiki varietas pidato yang terkait dengan jenis kelamin tertentu, atau norma sosial untuk penggunaan bahasa gender tersebut (Tannen: 2006). Berbagai pidato (atau sosiolek) yang terkait dengan jenis kelamin tertentu kadang-kadang disebut genderlek.

Perbedaan antara bahasa perempuan dan laki-laki adalah pendekatan kesetaraan, itu milik 'sub-budaya' yang berbeda karena mereka telah disosialisasikan untuk melakukannya sejak kecil. Hal ini kemudian menghasilkan berbagai gaya komunikatif pria dan wanita (Tannen 1990). Dia membandingkan perbedaan gender dalam bahasa dengan perbedaan budaya.

Wanita umumnya diyakini berbicara dengan "bahasa" yang lebih baik daripada pria. Ini adalah kesalahpahaman yang konstan, tetapi para ahli percaya bahwa tidak ada gender yang berbicara bahasa yang lebih baik, tetapi setiap gender malah berbicara dengan bahasa uniknya sendiri (Azizi: 2011). Gagasan ini telah memicu penelitian lebih lanjut ke dalam studi tentang perbedaan antara cara pria dan wanita berkomunikasi

Bahasa dan Usia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Argamon, et al. (2007), mereka melaporkan bahwa analisis mereka terhadap kumpulan besar posting blog untuk mengetahui apakah dan bagaimana topik dan gaya penulisan berbeda dengan usia dan jenis kelamin penulis di blog. Pennebaker, dkk. (2003) menyatakan bahwa baru-baru ini juga ditunjukkan bahwa topik dan gaya menulis adalah tanda-tanda yang menguntungkan dari perkembangan psikologis terkait usia dalam aspek kepribadian, minat, dan perasaan. Korpus mereka memiliki lebih dari 140 juta kata teks dari blog yang dipilih secara acak oleh pria dan wanita dari remaja hingga usia empat puluhan. Dengan menerapkan analisis faktor dan teknik pembelajaran mesin, mereka menunjukkan di sini pola yang jelas dan konsisten dari variasi terkait usia dan gender dalam topik dan gaya penulisan.

Menghubungkan Usia dan Jenis Kelamin

Tidak luput dari perhatian bahwa dengan sedikit pengecualian, faktor dan kelas kata yang lebih banyak digunakan oleh blogger yang lebih muda (lebih tua) juga jelas lebih banyak digunakan oleh blogger perempuan (laki-laki). Dengan demikian, Artikel, Bisnis, Preposisi, Internet, Agama, dan Politik lebih banyak diterapkan oleh blogger pria dan blogger yang lebih tua, sedangkan Auxiliary Verbs, Conjunctions, Conversation, Personal Pronouns, At Home, Romance, Swearing, dan Fun lebih banyak diterapkan oleh blogger wanita. dan blogger muda. Hanya ada 3 pengecualian untuk pola ini: Keluarga, diterapkan lebih banyak oleh wanita dan blogger yang lebih tua; Musik, lebih banyak diterapkan oleh pria dan blogger muda; dan, Sekolah, di mana tidak ada perbedaan penting antara penggunaan pria dan wanita.

Kekuatan pengamatan ini digarisbawahi ketika memeriksa kata-kata pribadi yang menunjukkan efek terkait usia dan gender yang kuat. Argamon, dkk. (2007:1) menganggap bahwa 316 kata yang merupakan 1000 kata dengan informasi tertinggi didapat untuk usia dan 1000 kata dengan informasi tertinggi didapatkan untuk jenis kelamin.

Gender ketiga dan gender nonbiner

sunting

Secara tradisional pada umumnya, masyarakat hanya mengakui dua peran gender yaitu feminin dan maskulin. Keduanya pun masing-masing berkaitan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ketika seorang bayi lahir, masyarakat menempatkan bayi itu ke dalam satu gender berdasarkan tampilan organ genitalia mereka.[29] Akan tetapi, beberapa masyarakat di dunia memiliki kelompok gender yang tidak terpatok pada jenis kelamin biologis misalnya orang Bissu dalam kebudayaan Bugis[30] dan orang dua roh di kebudayaan pribumi Amerika. Kelompok ini disebut dalam sosiologi sebagai gender ketiga[31] yang terpisah dari kondisi jenis kelamin biologis.[32] Beberapa contoh lainnya adalah masyarakat hijra di India dan Pakistan.[33][34] Contoh lainnya adalah masyarakat muxe di Meksiko.[35]

Pengukuran identitas gender

sunting

Penelitian awal terhadap identitas gender memiliki hipotesis bahwa dimensi maskulinitas-feminitas berada dalam suatu model biner. Model tersebut mulai dipertanyakan seiring stereotipe pada masyarakat berubah yang kemudian mengarah pada berkembangnya model dua dimensi. Maskulinitas dan feminitas digambarkan sebagai dua dimensi yang terpisah yang eksis secara bersamaan dengan nilai yang berbeda-beda bagi setiap orang. Konsep tersebut merupakan standar yang digunakan hingga kini.[36]

Terdapat dua instrumen dominan yang digunakan dalam penelitian identitas gender yaitu Bem Sex Role Inventory (BSRI) dan Personal Attributes Questionnaire (PAQ).[36] Twenge (1997) menyebutkan bahwa pria umumnya lebih maskulin daripada wanita sementara wanita umumnya lebih feminin daripada pria. Akan tetapi, korelasi antara jenis kelamin biologis dan maskulinitas/feminitas cenderung semakin berkurang.[37]

Teori feminis dan kajian gender

sunting

Biolog dan feminis Amerika Serikat yaitu Anne Fausto-Sterling menolak diskursus gender secara determinisme biologis versus sosial dan menyarankan dilakukannya analisis yang lebih dalam terhadap bagaimana interaksi antara individu makhluk hidup dengan lingkungannya mempengaruhi kapasitas individu tersebut.[38] Filsuf Prancis yaitu Simone de Beauvoir menerapkan eksistensialisme dalam feminisme dan menyebut di dalam bukunya tahun 1949 berjudul The Second Sex, "Seseorang tidak lahir perempuan, tapi menjadi perempuan."[39] Kalimat ini di dalam konteksnya merupakan sebuah pernyataan filosofis. Tapi kalimat tersebut dapat pula dianalisis melalui sudut pandang biologi—bahwa seorang anak perempuan harus melalui pubertas untuk menjadi seorang wanita—serta sudut pandang sosiologi—dengan mempertimbangakan bahwa sebagian besar dari sifat kedewasaan diperoleh dari pengamatan lingkungan.[40]

Istilah "gender" dalam teori feminis berkembang pada atahun 1970-an. Sebagai contoh, sosiolog Amerika Serikat yaitu Janet S. Chafetz dalam bukunya yang berjudul Masculine/Feminine or Human tahun 1975 menggunakan kata "gender naluri" (innate gender) dan "peran jenis kelamin yang dipelajari" (learned sex roles).[41]. Tapi dalam edisi kedua buku tersebut dari tahun 1978, penggunaan kata "jenis kelamin" (sex) dan "gender" ditukar.[42]

Kajian gender mengartikan "gender" sebagai konstruksi maskulinitas dan femininitas sosial dan kultural yang disediakan. Gender di dalam konteks ini tidak mencakup mengenai perbedaan biologis dan berfokus pada perbedaan kebudayaan.[43] Pengertian ini muncul dari beberapa literatur seperti dari ahli psikoanalisis Prancis yaitu Jacques Lacan, Julia Kristeva, Luce Irigaray, serta dari feminis Amerika Serikat seperti Judith Butler. Butler memandang peran gender sebagai sebuah perilaku yang terkadang ia sebut sebagai "performatif".[44]

Sosiolog Amerika Serikat yaitu Charles E. Hurst menyatakan bahwa beberapa orang berpikir bahwa jenis kelamin akan, "... secara otomatis menentukan sikap dan peran (sosial) gender seseorang serta orientasi seksual seseorang ...".[b][45] Beberapa sosiolog gender meyakini bahwa manusia memiliki asal dan kebiasaan kultural ketika membahas soal gender. Sebagai contoh, sosiolog Amerika Serikat yaitu Michael Schwalbe meyakini bahwa manusia harus diajari cara berperilaku sesuai gendernya untuk mengisi peran gendernya serta bahwa cara orang berperilaku maskulin atau feminin memiliki interaksi dengan ekspektasi sosial. Schwalbe comments that humans "are the results of many people embracing and acting on similar ideas".[46] Setiap orang menunjukkan perilaku ini melalui segala macam hal mulai dari pakaian dan gaya rambut hingga pekerjaan dan lingkaran sosial. Schwalbe meyakin bahwa perbedaan dalam gender tersebut penting karena masyarakat ingin mengenal dan mengelompokkan setiap orang yang mereka lihat. Masyarakat membutuhkan pengelompokkan orang-orang ke kategori-kategori yang berbeda untuk memandang mereka.

Hurst menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang membagi ekspresi gender secara tegas, sanksi dapat diberikan bagi mereka yang mendobrak norma tersebut. Kebanyakan dari sanksi tersebut bersumber dari diskriminasi berdasarkan orientasi seksual. Orang homoseksual sering kali mengalami diskriminasi hukum karena prasangka dalam masyarakat.[47] Hurst mendeskripsikan bagaimana diskriminasi ini memusuhi orang-orang yang tidak menyesuaikan diri mereka dengan norma gender yang ada tanpa mempedulikan orientasi seksual mereka. Ia menyebutkan bahwa sistem peradilan sering tidak mengerti perbedaan antara jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual yang kemudian mengarah pada diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak berperilaku sesuai ekspektasi orang lain terhadap jenis kelaminnya yang dianggap "benar".[45]

Ahli politik Mary Hawkesworth menyebutkan bahwa sejak tahun 1970-an, konsep gender telah beralih dan mulai digunakan secara berbeda-beda di dalam literatur feminis. Hawkesworth memperhatikan bahwa peralihan terjadi ketika akademisi feminis seperti Sandra Harding dan Joan Scott mulai menjelaskan gender "... sebagai sebuah kategori analitis yang digunakan manusia untuk memahami dan mengatur aktivitas sosial mereka."[c] Akademisi feminis di dalam ilmu politik mulai menggunakan gender sebagai sebuah kategori analitis yang menyoroti "... hubungan-hubungan sosial dan politik yang tidak dihiraukan oleh sumber-sumber arus utama."[d] Akan tetapi, Hawkesworth juga menyatakan bahwa feminisme belum menjadi paradigma dominan dalam ilmu politik.[48]

Ilmuwan politik Amerika Serikat yaitu Karen Beckwith menjelaskan konsep gender dalam ilmu politik dengan menyebutkan bahwa terdapat sebuah "bahasa gender yang umum" yang harus diekspresikan dengan jelas jika ingin digunakan dalam ilmu politik. Beckwith menyebutkan dua cara untuk menggunakan kata gender di dalam penelitian yaitu sebagai sebuah kategori dan sebuah proses. Gender sebagai kategori dapat digunakan untuk membatasi konteks-konteks spesifik seperti perilaku, tindakan, sikap, dan ketertarikan yang dinilai maskulin atau feminin. Gender juga dapat digunakan untuk menunjukkan cara perbedaan gender—tidak berarti secara tepat merujuk kepada jenis kelamin— dalam menghambat atau membantu aktor-aktor politik. Sementara itu, gender sebagai sebuah proses memiliki dua manifestasi inti yaitu (1) menentukan pengaruh kebijakan dan struktur politik yang berbeda bagi pria dan wanita; dan (2) perilaku dari aktor politik maskulin dan feminin dalam membuat hasil politik yang spesifik gender.[49]

Ilmuwan politik Kanada Jacquetta Newman menyebutkan bahwa meskipun jenis kelamin ditentukan secara biologis, cara seseorang mengekspresikan gendernya tidak. Gender merupakan proses yang dikonstruksi secara sosial berdasarkan budaya meskipun sering kali ekspektasi budaya terhadap wanita dan pria berhubungan dengan biologi mereka. Karena itu, Newman beranggapan bahwa keistimewaan jenis kelamin tertentu menjadi penyebab dari terjadinya opresi sembari tidak menghiraukan masalah-masalah lainnya seperti ras, disabilitas, kemiskinan, dan lain-lain. Kajian gender kini mencoba untuk beralih dari pandangan tersebut dan memeriksa interseksionalitas dari faktor-faktor yang ada yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Newman juga menyebutkan bahwa beberapa kebudayaan di dunia belum tentu memiliki pandangan yang sama mengenai gender dan peran gender dengan kebudayaan barat.[50]

Hipotesis konstruksi sosial seks/jenis kelamin

sunting
 
"Rosie the Riveter" adalah ikon dari front dalam negeri di Amerika Serikat selama Perang Dunia II yang dilihat sebagai sebuah ikon perubahan peran gender untuk kebutuhan perang.

Gender di dalam sosiologi umumnya dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial. Di sisi lain, beberapa ilmuwan dan kalangan feminis menilai bahwa seks hanya merupakan sebuah aspek biologi dan bukan soal konstruksi sosial atau kultural. Sebagai contoh, seksolog Selandia Baru yaitu John Money menyebutkan perbedaan antara seks biologis dan gender sebagai peran.[26] Sosiolog Britania Raya yaitu Ann Oakley mengatakan bahwa, "Keutuhan seks itu harus diakui, tapi begitu pula untuk keberagaman gender."[e][51] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, "'Seks' merupakan karakteristik biologis dan fisiologis yang mendefinisikan pria dan wanita ... 'gender' merupakan peran, perilaku, aktivitas, dan sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial dan dianggap di dalam masyarakat tertentu sebagai pantas bagi pria dan wanita."[f][4] Dengan demikian, seks dipandang sebagai sebuah objek kajian biologi (ilmu alam) sementara gender dipandang sebagai sebuah kajian dalam ilmu humaniora dan ilmu sosial. Lynda Birke, seorang biolog feminis, berpendapat bahwa biologi bukan sesuatu yang dapat berubah.[29] Meskipun demikian, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa seks juga merupakan hasil konstruksi sosial. Judith Butler mengatakan, "Mungkin, hasil konstruksi yang disebut 'seks' ini memang betul hasil konstruksi kultural seperti gender. Mungkin memang yang ada hanya gender, sehingga antara seks dan gender tidak ada perbedaannya sama sekali."[g][52] Butler juga mengatakan,

Dengan demikian, mendefinisikan gender sebagai sebuah interpretasi kultural dari seks menjadi tidak akan masuk akal jika seks itu sendiri pengelompokkannya berpusat pada gender. Gender seharusnya tidak dipahami hanya sebagai sebuah penentuan arti kultural terhadap seks tertentu (sebuah formulasi yuridis). Gender juga harus menentukan perangkat dari cara seks-seks itu sendiri ditentukan. [...] Sebelum ada diskusi lain-lain tentang ini, ditentukannya seks itu sendiri harus dipahami sebagai akibat dari perangkat konstruksi sosial berdasarkan gender.[h][53]

Butler juga mengatakan, "Tubuh hanya tampak, hanya bertahan, hanya hidup dalam kondisi produktif dari suatu skema regulasi gender tertentu"[i][54] dan seks "bukan lagi sebuah sifat fisik yang ditentukan dan direka oleh konstruksi gender, namun sebagai sebuah norma kultural yang mengatur materialisasi tubuh."[j][55] Lugones (2008) menyebutkan bahwa masyarakat Yoruba di Afrika tidak memiliki konsep mengenai gender dan sistem gender sebelum datangnya kolonialisme. Ia mengatakan bahwa para penjajah menggunakan sistem gender untuk berkuasa dan di saat yang sama mengubah dasar hubungan sosial masyarakat pribumi di daerah jajahan.[56] Nicholson (1994) menunjukkan bahwa pemahaman mengenai perbedaan seksual tubuh manusia tidak seragam di sepanjang periode sejarah. Ia menyatakan bahwa kelamin laki-laki dan perempuan dipandang sama di masyarakat Barat sebelum abad ke-18. Kala itu, kelamin perempuan dianggap sebagai kelamin laki-laki yang tidak sempurna dan keduanya merupakan tahapan kelamin yang berbeda—dengan kata lain, sebuah tahapan bentuk fisik atau sebuah spektrum.[57]

Fausto-Sterling (2000) di dalam studinya mendeskripsikan sikap-sikap dokter terhadap kondisi interseks. Ia memulai argumennya dengan mengatakan, "Pengertian kita terhadap konsep dasar gender membentuk dan mencerminkan cara kita membangun sistem dan aturan sosial kita serta pemahaman kita mengenai tubuh fisik kita."[k][58] Fausto-Sterling kemudian menyebutkan akibat dari asumsi kita mengenai gender terhadap penelitian ilmiah mengenai seks dengan mengambil kasus penelitian terhadap orang interseks. Ia berkesimpulan bahwa para peneliti tidak mempertanyakan asumsi dasar mereka bahwa "hanya ada dua jenis kelamin" karena, menurut Fausto-Sterling, penelitian mereka terhadap orang interseks dilakukan sebagai perbandingan perkembangan jenis kelamin yang "normal".[59] Ia juga menyebutkan mengenai bahasa yang digunakan oleh para dokter ketika berbicara dengan orang tua dari anak dengan kondisi interseks. Ia menyatakan bahwa karena para dokter memiliki kepercayaan bahwa si anak itu sebetulnya hanya laki-laki/perempuan dengan kondisi yang berbeda, mereka menyampaikan kepada orang tua si anak bahwa akan perlu waktu lebih untuk menentukan apakah anak tersebut laki-laki atau perempuan. Fausto-Sterling menyebut perilaku para dokter tersebut dibentuk oleh asumsi gender kultural mereka yang mengatakan bahwa hanya ada dua jenis kelamin. Ia menyebutkan pula bahwa perbedaan cara dokter di daerah-daerah yang berbeda dalam menangani kasus orang interseks memberikan gambaran baik mengenai konstruksi sosial jenis kelamin dan dengan demikian budaya memiliki peran dalam menentukan gender, terutama pada kasus anak-anak interseks.[60] Sebagai contoh,

Beberapa dokter dari Arab Saudi juga pernah menemukan beberapa kasus anak interseks berkromosom XX dengan hiperplasia adrenal kongenital (congenital adrenal hyperplasia, CAH) yaitu kondisi genetis berupa gangguan pada enzim yang berperan dalam pembuatan hormon steroid. [...] Di Amerika Serikat dan Eropa, anak-anak XX dengan CAH, karena mereka berpeluang untuk bisa hamil pada usia dewasanya, umumnya akan dibesarkan sebagai anak perempuan. Dokter di Arab Saudi yang dididik dari pendidikan serupa menyarankan tindakan tersebut kepada orang tua-orang tua anak XX dengan CAH. Akan tetapi, beberapa orang tua menolak tindakan tersebut untuk anaknya, yang pada awalnya diidentifikasi sebagai laki-laki [karena kondisi CAH], untuk dibesarkan sebagai perempuan. Mereka juga menolak operasi feminisasi terhadap anaknya. [...] Hal ini pada dasarnya merupakan bentuk dari sikap masyarakat lokal yang [...] lebih memilih memiliki anak laki-laki.[l][61]

Priess, et al. (2009) meneliti mengenai apakah anak perempuan dan laki-laki dapat mulai memiliki variasi identitas gender pada masa remajanya. Mereka mendasari penelitian tersebut berdasarkan hipotesis intensifikasi gender yang digagas oleh Hill dan Lynch (1989)[62] yang menyebutkan bahwa ucapan dan perilaku orang tua serta interaksi antara anak dan orang tua menentukan dan "mengintensifkan" identitas peran gender anak-anak mereka. Priess, et al. tidak menemukan kondisi tersebut pada penelitian mereka.[63]

Ridgeway dan Correll (2004) mengatakan bahwa gender itu tidak hanya sebuah identitas atau peran namun sesuatu yang dilembagakan melalui "konteks hubungan sosial"— yang mereka definisikan sebagai, "Situasi apapun saat individu mendefinisikan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan individu lain untuk bertindak."[m] Mereka juga menyebutkan bahwa selain dari konteks hubungan sosial, budaya juga berpengaruh terhadap sistem gender. Ridgeway dan Correl mengatakan bahwa setiap orang dipaksa untuk mengakui dan berinteraksi dengan orang lain melalui cara-cara yang terikat dengan gender. Setiap individu berinteraksi dengan individu lain dan patuh terhadap standar kepercayaan hegemoni di masyarakat, yang salah satunya adalah peran gender.[64]

Faktor dan pandangan biologi

sunting

Perilaku laki-laki dan perempuan serupa pada banyak hal pada umumnya dengan hanya sedikit perbedaan dalam gender tetapi beberapa perilaku yang telah dikaitkan dengan gender tertentu dipengaruhi oleh hormon androgen pada masa prakelahiran dan kanak-kanak. Beberapa contoh di antaranya adalah identifikasi diri sendiri terhadap gender tertentu dan kecenderungan untuk bertindak agresif.[65] Kebanyakan manusia laki-laki dan mamalia jantan lainnya memperlihatkan perilaku bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik yang merupakan pengaruh dari tingkat paparan testosteron di dalam kandungan. Tingkat paparan hormon tersebut dapat pula mempengaruhi seksualitas. Orang nonheteroseksual dapat memperlihatkan perilaku yang tidak umum pada jenis kelaminnya pada masa kanak-kanak.[66]

Biologi gender menjadi subjek dari berbagai penelitian pada abad ke-20. Salah satu topik yang paling awal diminati kalangan ilmuwan adalah apa yang kelak disebut sebagai "gangguan identitas gender" (bahasa Inggris: gender identity disorder, GID) yang sekarang dikenal sebagai disforia gender. John Money menyimpulkan beberapa penelitian terkait GID dengan mengatakan,

Istilah 'peran gender' pertama kali muncul di media cetak pada tahun 1955. (Sementara itu,) istilah identitas gender digunakan pada sebuah pernyataan pers pada 21 November 1966 yang mengumumkan sebuah klinik baru bagi transeksual [sic] di Rumah Sakit Johns Hopkins. Berita tersebut tersebar di media di seluruh dunia dan kemudian masuk ke ragam bahasa sehari-hari. Definisi gender dan identitas gender bervariasi berdasarkan doktrin. Dalam penggunaan populer di luar kajian ilmiah, seks adalah diri kita secara biologis, gender adalah diri kita secara sosial, identitas gender adalah pengertian dan kesadaran atau penentuan diri kita sendiri mengenai kelaki-lakian atau keperempuanan, dan peran gender adalah stereotip kultural mengenai hal maskulin dan feminin. Penyebab dari gangguan identitas gender dapat dijabarkan menjadi penyebab genetis, hormon prakelahiran, pengaruh sosial pascakelahiran, dan faktor hormon pascapubertas namun belum ada teori mengenai penyebab secara komprehensif dan rinci. Pengkodean gender pada otak bersifat bipolar. Pada (kasus) gangguan identitas gender, terdapat ketidakselarasan antara seks bawaan lahir seseorang dan pengkodean gender maskulin atau feminin pada otak orang tersebut.[n][67]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "The effectiveness of the medication appears to depend on the sex (not gender) of the patient." dan "In peasant societies, gender (not sex) roles are likely to be more clearly defined."
  2. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "... automatically determine one's gender demeanor and role (social) as well as one's sexual orientation ...".
  3. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "... as an analytic category within which humans think about and organize their social activity."
  4. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "... social and political relations neglected by mainstream accounts."
  5. ^ Teks asli dalam bahasa Ingrris: "the constancy of sex must be admitted, but so also must the variability of gender."
  6. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "'Sex' refers to the biological and physiological characteristics that define men and women ... 'gender' refers to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that a given society considers appropriate for men and women."
  7. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "perhaps this construct called 'sex' is as culturally constructed as gender; indeed, perhaps it was always already gender, with the consequence that the distinction between sex and gender turns out to be no distinction at all."
  8. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "It would make no sense, then, to define gender as the cultural interpretation of sex, if sex is itself a gender-centered category. Gender should not be conceived merely as the cultural inscription of meaning based on a given sex (a juridical conception); gender must also designate the very apparatus of production whereby the sexes themselves are established. [...] This production of sex as the pre-discursive should be understood as the effect of the apparatus of cultural construction designated by gender."
  9. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "bodies only appear, only endure, only live within the productive constraints of certain highly gendered regulatory schemas"
  10. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "[sex] is no longer as a bodily given on which the construct of gender is artificially imposed, but as a cultural norm which governs the materialization of bodies."
  11. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "our conceptions of the nature of gender difference shape, even as they reflect, the ways we structure our social system and polity; they also shape and reflect our understanding of our physical bodies."
  12. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: A group of physicians from Saudi Arabia recently reported on several cases of XX intersex children with congenital adrenal hyperplasia (CAH), a genetically inherited malfunction of the enzymes that aid in making steroid hormones. [...] In the United States and Europe, such children, because they have the potential to bear children later in life, are usually raised as girls. Saudi doctors trained in this European tradition recommended such a course of action to the Saudi parents of CAH XX children. A number of parents, however, refused to accept the recommendation that their child, initially identified as a son, be raised instead as a daughter. Nor would they accept feminizing surgery for their child. [...] This was essentially an expression of local community attitudes with [...] the preference for male offspring.
  13. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "any situation in which individuals define themselves in relation to others in order to act."
  14. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "The term 'gender role' appeared in print first in 1955. The term gender identity was used in a press release, November 21, 1966, to announce the new clinic for transsexuals at The Johns Hopkins Hospital. It was disseminated in the media worldwide, and soon entered the vernacular. The definitions of gender and gender identity vary on a doctrinal basis. In popularized and scientifically debased usage, sex is what you are biologically; gender is what you become socially; gender identity is your own sense or conviction of maleness or femaleness; and gender role is the cultural stereotype of what is masculine and feminine. Causality with respect to gender identity disorder is sub-divisible into genetic, prenatal hormonal, postnatal social, and post-pubertal hormonal determinants, but there is, as yet, no comprehensive and detailed theory of causality. Gender coding in the brain is bipolar. In gender identity disorder, there is discordance between the natal sex of one's external genitalia and the brain coding of one's gender as masculine or feminine."

Referensi

sunting
  1. ^ "Hasil Pencarian - KBBI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-28. Diakses tanggal 28-2-2023. 
  2. ^ a b c Udry, J. R. (1994). "The Nature of Gender" (PDF). Demography. 31 (4): 561–573. doi:10.2307/2061790. JSTOR 2061790. PMID 7890091. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-08-18. Diakses tanggal 2018-04-07. 
  3. ^ a b c d e Haig, D. (2004). "The Inexorable Rise of Gender and the Decline of Sex: Social Change in Academic Titles, 1945–2001" (PDF). Archives of Sexual Behavior. 33 (2): 87–96. doi:10.1023/B:ASEB.0000014323.56281.0d. PMID 15146141. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-06-15. 
  4. ^ a b c Organisasi Kesehatan Dunia. "What do we mean by "sex" and "gender"?". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-30. Diakses tanggal 2015-11-26. 
  5. ^ "GENDER". Social Science Dictionary. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-20. Diakses tanggal 2015-03-20. 
  6. ^ Lindsey, L. L. (2010). "The Sociology of Gender". Gender Roles: A Sociological Perspective (PDF). Pearson. ISBN 0-13-244830-0. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-04-05. 
  7. ^ Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat. "Guideline for the Study and Evaluation of Gender Differences in the Clinical Evaluation of Drugs" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2015-04-06. Diakses tanggal 2018-04-07. 
  8. ^ Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (2011-12-19). "Draft Guidance for Industry and Food and Drug Administration Staff Evaluation of Sex Differences in Medical Device Clinical Studies". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-09. Diakses tanggal 2014-08-03. 
  9. ^ Yudkin, M. (1978). "Transsexualism and women: A critical perspective". Feminist Studies. 4 (3): 97–106. doi:10.2307/3177542. JSTOR 3177542. 
  10. ^ Pokorny, J. (1989). Indogermanisches etymologisches Wörterbuch. Bern: Francke. hlm. 373–375. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-11-13. 
  11. ^ "Appendix I: Indo-European Roots: genə-". The American Heritage Dictionary of the English Language (edisi ke-4). Boston: Houghton Mifflin. 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-04. 
  12. ^ "gender, n". Oxford English Dictionary Online. Oxford English Dictionary. hlm. Sense 3(b). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-21. Diakses tanggal 2017-01-05. 
  13. ^ "Usage note: Gender". The American Heritage Dictionary of the English Language (edisi ke-4). 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-03-21. 
  14. ^ Render, M. (2006). "Misogyny, Androgyny, and Sexual Harassment: Sex Discrimination in a Gender-Deconstructed World". Harvard Journal of Law & Gender. 29 (1): 99–150. 
  15. ^ Greenberg, J. A. (1999). "Defining Male and Female: Intersexuality and the Collision Between Law and Biology" (PDF). Arizona Law Review. 41: 265. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-07-09. Diakses tanggal 2018-06-03. 
  16. ^ Mikkola, M. (2008-05-12). "Feminist Perspectives on Sex and Gender". Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-25. Diakses tanggal 2018-06-01. 
  17. ^ a b Butler 1990.
  18. ^ Snow, D.A.; Oliver, P.E. (1995). "Social Movements and Collective Behavior: Social Psychological Dimensions and Considerations". Dalam Cook, K.; Fine, G. A.; House, J. S. Sociological Perspectives on Social Psychology. Boston: Allyn and Bacon. hlm. 571–600. 
  19. ^ Taifel, H.; Turner, J.C. (1986). "The social identity of intergroup relations". Dalam Worchel, S.; Austin, W. G. The psychology of intergroup relations. Chicago: Nelson-Hall. hlm. 7–24. ISBN 0-8185-0278-9. .
  20. ^ Terry, D.J.; Hogg, M.A. (1996). "Group norms and the attitude-behavior relationship: A role for group identification". Personality and Social Psychology Bulletin. 22 (8): 776–793. doi:10.1177/0146167296228002. 
  21. ^ Galdas, P. M.; Johnson, J. L.; Percy, M. E.; Ratner, P. A. (2010). "Help seeking for cardiac symptoms: Beyond the masculine–feminine binary". Social Science & Medicine. 71 (1): 18–24. doi:10.1016/j.socscimed.2010.03.006. PMC 5142841 . PMID 20398989. 
  22. ^ a b Warnecke, T. (2013). "Entrepreneurship and Gender: An Institutional Perspective". Journal of Economic Issues. 47 (2): 455–464. doi:10.2753/JEI0021-3624470219. 
  23. ^ Spade, J.; Valentine, C. (2011). The kaleidoscope of gender: prisms, patterns, and possibilities (edisi ke-3). Pine Forge Press. 
  24. ^ Tong, R. (2009). Feminist thought : a more comprehensive introduction. Boulder: Westview Press. ISBN 0-8133-4375-5. .
  25. ^ Vigo, J. 'The Body in Gender Discourse: The Fragmentary Space of the Feminine.' La femme et l’écriture. Meknès, Maroc, 1996.
  26. ^ a b Money, J. (1955). "Hermaphroditism, gender and precocity in hyperadrenocorticism: Psychologic findings". Bulletin of the Johns Hopkins Hospital. 96 (6): 253–64. PMID 14378807. 
  27. ^ Laurie, T. (2014), "The Ethics of Nobody I Know: Gender and the Politics of Description", Qualitative Research Journal, 14 (1): 64–78, doi:10.1108/qrj-03-2014-0011, diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-02, diakses tanggal 2018-06-18 
  28. ^ "ANALISIS: BIAS GENDER PADA MASYARAKAT INDONESIA | Jurusan Pendidikan Sosiologi". pendidikan-sosiologi.fis.uny.ac.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-10. Diakses tanggal 2022-09-10. 
  29. ^ a b Birke, L. (2001). "In Pursuit of Difference: Scientific Studies of Women and Men". Dalam Lederman, M.; Bartsch, I. The Gender and Science Reader. New York: Routledge. 
  30. ^ Graham, Sharyn (2001). "Sulawesi's fifth gender". Inside Indonesia. No. 66. Indonesian Resources and Information Program. ISSN 0814-1185. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-14. Diakses tanggal 2018-06-20. 
  31. ^ Gilbert Herdt, ed. (1996). Third Sex Third Gender: Beyond Sexual Dimorphism in Culture and History. ISBN 0-942299-82-5. OCLC 35293440. 
  32. ^ Roscoe, W. (2000). Changing Ones: Third and Fourth Genders in Native North America. Palgrave Macmillan. ISBN 0-312-22479-6. 
  33. ^ Nanda, S. (1998). Neither Man Nor Woman: The Hijras of India. Wadsworth Publishing. ISBN 0-534-50903-7. 
  34. ^ Reddy, G. (2005). With Respect to Sex: Negotiating Hijra Identity in South India. University Of Chicago Press. ISBN 0-226-70756-3. 
  35. ^ "A lifestyle distinct: the Muxe of Mexico". New York Times. 2008-12-06. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-09. Diakses tanggal 2018-06-18. 
  36. ^ a b Palan, K. (2001). "Gender Identity in Consumer Research: A Literature Review and Research Agenda" (PDF). Academy of Marketing Science Review. 10. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-09-11. 
  37. ^ Twenge, J. M. (1997). "Changes in masculine and feminine traits over time: A meta-analysis". Sex Roles. 36 (5–6): 305–325. doi:10.1007/BF02766650. 
  38. ^ Fausto-Sterling, A. (1992). Myths of Gender: Biological Theories about Men and Women. New York: Basic Books. hlm. 8. ISBN 0-465-04792-0. 
  39. ^ de Beauvoir, S. (1949). The Second Sex. Alfred A. Knopf. 
  40. ^ Fausto-Sterling 2000, hlm. 44–77.
  41. ^ Chafetz, J. S. (1974). Masculine/Feminine or Human? An Overview of the Sociology of Sex Roles. Itasca: F. E. Peacock. 
  42. ^ Chafetz, J. S. (1978). Masculine/Feminine or Human? An Overview of the Sociology of Sex Roles. Itasca: F. E. Peacock. ISBN 0-87581-231-7. OCLC 4348310. 
  43. ^ Garrett, S. (1992). Gender. Routledge. hlm. vii. ISBN 0-422-60570-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-30. Diakses tanggal 2018-08-28. 
  44. ^ Butler 1990, hlm. 9.
  45. ^ a b Hurst, C. (2007). Social Inequality: Forms, Causes, and Consequences (edisi ke-ke-6). Routledge. hlm. 131, 139–142. 
  46. ^ Schwalbe, M. (2005). The Sociologically Examined Life: Pieces of the Conversation (edisi ke-ke-3). hlm. 22–23. ISBN 0-07-282579-0. 
  47. ^ Smith, N.; Stanley, E. (2011). Captive Genders 1st ed. Edinburgh: AK Press. 
  48. ^ Hawkesworth, M. (2005). "Engendering political science: An immodest proposal". Politics & Gender. 1 (1): 141–156. doi:10.1017/s1743923x0523101x. 
  49. ^ Karen, Beckwith (2005). "A Common Language of Gender?". Politics & Gender. 1 (1): 132. doi:10.1017/s1743923x05211017. 
  50. ^ Newman, J.; White, L. (1964). Women, Politics, and Public Policy: The Political Struggles of Canadian Women, 2nd ed. Oxford University Press. hlm. 6–7. 
  51. ^ Oakley, A. (1972). Sex, Gender and Society. London: Temple Smith. hlm. 16. ISBN 0-85117-020-X. 
  52. ^ Butler 1990, hlm. 7.
  53. ^ Butler 1990, hlm. 10.
  54. ^ Butler 1993, hlm. xi.
  55. ^ Butler 1993, hlm. 2-3.
  56. ^ Lugones, M. (2008). "Heterosexualism and the Colonial/Modern Gender System". Hypatia. 22 (1): 196–198. doi:10.1353/hyp.2006.0067. 
  57. ^ Nicholson, L. (1994). ""Interpreting Gender". Signs". Journal of Women in Culture and Society. 20 (1): 79–105. doi:10.1086/494955. JSTOR 3174928. 
  58. ^ Fausto-Sterling 2000, hlm. 45.
  59. ^ Fausto-Sterling 2000, hlm. 46.
  60. ^ Fausto-Sterling 2000.
  61. ^ Fausto-Sterling 2000, hlm. 58–59.
  62. ^ Hill, J. P.; Lynch, M. E. (1983). "The Intensification of Gender-Related Role Expectations during Early Adolescence". Dalam Brooks-Gunn, J.; Petersen, A. C. Girls at Puberty. Boston: Springer. 
  63. ^ Priess, H. A.; Lindberg, S. M.; Hyde, J. S. (2009). "Adolescent Gender-Role Identity and Mental Health: Gender Intensification Revisited". Child Development. 80 (5): 1531–1544. doi:10.1111/j.1467-8624.2009.01349.x. JSTOR 25592088. PMC 4244905 . PMID 19765016. 
  64. ^ Ridgeway, C. L.; Correll, S. J. (2004). "Unpacking the Gender System: A Theoretical Perspective on Gender Beliefs and Social Relations". Gender. 18 (4): 510–531. doi:10.1177/0891243204265269. JSTOR 4149448. 
  65. ^ Hines, M.; Constantinescu, M.; Spencer, D. (2015). "Early androgen exposure and human gender development". Biology of Sex Differences. 6: 3. doi:10.1186/s13293-015-0022-1. ISSN 2042-6410. PMC 4350266 . PMID 25745554. 
  66. ^ Hines, M. (2017). "Prenatal endocrine influences on sexual orientation and on sexually differentiated childhood behavior". Frontiers in Neuroendocrinology. 32 (2): 170–182. doi:10.1016/j.yfrne.2011.02.006. ISSN 0091-3022. PMC 3296090 . PMID 21333673. 
  67. ^ Money, J. (1994). "The concept of gender identity disorder in childhood and adolescence after 39 years". Journal of Sex & Marital Therapy. 20 (3): 163–177. doi:10.1080/00926239408403428. PMID 7996589. 
Sumber tersitasi

Pranala luar

sunting