Jajanan jalanan di Indonesia

Jajanan jalanan di Indonesia adalah sekumpulan jajanan jalanan, makanan ringan, dan kudapan siap santap yang dijual oleh penjaja jalanan dengan menggunakan gerobak, pikulan, warung, atau kedai kecil. Jajanan jalanan di Indonesia merupakan perpaduan yang kaya yang mencakup masakan lokal, serta pengaruh Tionghoa dan Belanda.[1] Jajanan jalanan di Indonesia biasanya murah, menawarkan berbagai macam makanan dengan selera yang berbeda, serta dapat ditemukan di setiap sudut kota.[2]

Gerobak kaki lima di tepi jalanan Jakarta, menjual aneka jajanan jalanan.

Kebanyakan jajanan jalanan di Indonesia dijual dengan harga terjangkau, dengan rentang harga biasanya tidak lebih dari satu dollar AS (sekitar 13.150,80 rupiah). Akan tetapi, terdapat beberapa jajanan jalanan yang dijual dengan harga melebihi 20.000 rupiah (1,52 dollar AS). Jajanan jalanan Indonesia secara umum juga disebut sebagai "jajanan kaki lima", yang mengacu kepada lebar trotoar selebar lima kaki, yang sering diduduki oleh pedagang kaki lima yang menjajakan jajanan dagangannya.[2]

Pada 2015, Badan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mencatat bahwa di Jakarta terdapat sekitar 56.000 penjajah jalanan, sementara lokasi yang tersedia hanya dapat menampung sekitar 18.000 pedagang. Sisanya menduduki trotoar kaki lima dan menggangu kenyamanan pejalan kaki. Badan ini menduga bahwa angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar.[3]

Jajanan jalanan Indonesia biasanya bercita rasa kuat dan sering kali pedas.[4] Banyak jajanan jalanan Indonesia yang digoreng, seperti gorengan, juga nasi goreng, mie goreng, dan ayam goreng, sementara bakso,[5] soto berkuah dan rujak buah juga populer.[6] Kebanyakan jajanan Indonesia disajikan dengan bumbu kacang; seperti siomay, sate ayam, asinan, ketoprak, dan gado-gado.[7]

Karakteristik

sunting
 
Bakso dijual dengan menggunakan gerobak/sepeda roda tiga di Bandung

Penjajah jajanan jalanan adalah pemandangan yang lazim di jalanan-jalanan Indonesia, mereka berdagang menggunakan sepeda, gerobak, pikulan, atau bahkan warung tenda di tepi jalan. Gerobak panjaja jalanan sering disebut sebagai "pedagang kaki lima" — mengacu kepada trotoar selebar lima kaki yang mereka tempati. Pendapat populer lain mengaitkan istilah "kaki lima" dengan jumlah "kaki" pedagang dan gerobaknya; yakni dua roda gerobak dan satu kayu penyangga, serta dua kaki pedagang kaki lima yang mendorong gerobak.[8]

Ada dua cara berjualan para penjaja jajanan jalanan di Indonesia; yaitu bergerak (keliling) dengan menggunakan gerobak, sepeda atau pikulan, dan menetap (mangkal) dengan menggelar warung tenda di tepi jalan. Pedagang jajanan jalanan keliling biasanya menjajakan dengan mendorong gerobak, mengayuh sepeda, atau memikul dagangannya dan berkeliling kampung atau kawasan permukiman, seraya mengumumkan kedatangannya dengan menggunakan bunyi-bunyian atau suara khusus; sementara, pedagang jalanan yang menetap atau mangkal biasanya menggelar dagangan mereka di tepi jalan yang ramai, dan membuka warung sederhana atau warung tenda sambil menunggu kehadiran pelanggan. Beberapa penjajah jalanan bahkan ada yang berbaris di tepi atau tengah jalan di tengah kemacetan lalu lintas, menawarkan kudapan kepada pengendara yang tengah terjebak kemacetan; misalnya pedagang bakpau gerobak yang lazim mangkal di tengah kemacetan di jalan ibu kota.[5]

Di Indonesia terdapat berbagai cara penjaja jajanan jalanan, antara lain menggunakan pikulan, yaitu membawa dua keranjang dengan penggunakan tongkat kayu; gerobak dorong; atau sepeda beroda dua atau tiga; gerobak-sepeda roda tiga adalah perpaduan antara gerobak dan sepeda. Pikulan dibawa dengan cara menyeimbangkan dua keranjang atau semacam lemari kecil dengan menggunakan tongkat kayu seraya menopangnya dengan bahu dan membawanya bepergian. Gerobak jajanan di Indonesia biasanya memiliki bentuk dan rancang bangun yang mirip, meskipun terdapat perbedaan khusus sesuai jenis jajanan yang dijual. Bentuk gerobak ini mirip lemari portabel dengan lemari kaca dan laci untuk memamerkan dan menyimpan bahan jajanan. Beberapa gerobak dilengkapi dengan kompor kecil berbahan bakar gas elpiji; gerobak bakso biasanya dilengkapi dengan panci besar wadah kuah panas dengan kompor di bawahnya, sementara gerobak siomay memiliki panci pengukus, gerobak nasi goreng memiliki kompor dan wajan penggorengan, sementara gerobak sate memiliki gril pemanggang berbahan bakar arang. Gerobak-gerobak jajanan jalanan ini biasanya dibuat dari kerangka kayu atau logam, lengkap dengan jendela kaca serta mungkin dilapisi lapisan aluminium atau seng.

Sejarah

sunting
 
Penjaja sate di Jawa, sekitar 1870, menggunakan pikulan.

Jajanan jalanan memiliki sejarah yang panjang dalam tradisi Indonesia. Beberapa panel bas-relief Borobudur menampilkan penjaja makanan dan minuman, hal ini menunjukkan bahwa usaha kecil makanan telah ada sejak abad ke-9 di Jawa. Prasasti dari zaman Majapahit sekitar abad ke-14 juga menyebutkan profesi panjaja makanan dan minuman sebagai salah satu profesi masyarakat Jawa era itu.

Pengaruh budaya makanan jalanan Tionghoa juga terlihat di Indonesia pada awal Hindia Belanda. Sejumlah masakan asal Tiongkok seperti berbagai mie, bakso, lumpia, bakpau biasa ditemukan di daerah perkotaan.[9] Sejumlah masakan tradisional Nusantara juga menjadi sumber varian makanan jalanan, begitu juga dengan pengaruh asing. Sate misalnya, diyakini dimulai sebagai makanan jalanan pada awal abad ke-19, sebagai adaptasi lokal Jawa terhadap kebab India.[10][11][12] Di sisi lain, pengaruh Belanda juga terlihat di kancah jajanan jalanan di Indonesia, terutama pada sektor kue. Jajanan favorit anak-anak sekolah kue cubit misalnya, adalah merupakan turunan lokal dari kue poffertjes Belanda.

Maraknya budaya jajanan jalanan Indonesia saat ini, juga disebabkan oleh kondisi demografisnya; urbanisasi besar dalam beberapa dasawarsa terakhir. Hal ini terjadi terutama di kawasan aglomerasi perkotaan yang berkembang pesat di Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, Denpasar, dan Makassar.[13] Pertumbuhan kota yang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah membuka peluang di bidang jasa boga. Karena jumlah penduduk pedesaan yang banyak berbondong-bondong pindah ke pusat-pusat perkotaan di Indonesia, banyak di antara mereka mendirikan bisnis makanan jalanan. Saat ini, sangat mudah untuk menemukan beragam makanan jalanan yang menyajikan masakan dari seluruh Nusantara; sate dari Madura atau Padang, bakso Malang sampai siomay Bandung.[14]

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa pengaruh asing mutakhir juga telah memperkaya kuliner jalanan Indonesia. Antara lain datang dari pengaruh Barat (terutama Amerika Serikat), juga dari Jepang dan Timur Tengah. Misalnya, kini lazim ditemukan gerobak penjaja hamburger, hot dog dan sosis bakar di samping penjaja bakso di pasar.[15] Jajanan jalanan kebab Turki dan takoyaki Jepang juga bisa ditemukan, meski mungkin citarasanya tidak otentik, karena sulitnya mendapatkan bahan impor asli yang dibutuhkan. Selain itu rentang harga jajanan jalanan Indonesia lebih murah, sehingga bahan-bahan yang digunakan juga lebih sederhana.[16] Citarasanya juga mungkin telah disesuaikan dengan selera lokal, seperti penambahan sambal, karena orang Indonesia cenderung menyukai makanan pedas.

Makanan

sunting
 
Gerobak soto mie pedagang kaki lima

Banyak jajanan jalanan di Indonesia terdiri atas hidangan tunggal, yang disiapkan, diracik, dicampur, atau dipanaskan di depan pelanggan setiap ada pesanan. Di kebanyakan kota-kota besar, lazim ditemukan jajanan yang berasal dari pengaruh Tionghoa, seperti bakmi atau mie ayam, bakpau, dan bakso yang dijual di gerobak atau warung. Adaptasi umum adalah daging babi tidak digunakan, karena menyesuaikan dengan pasar konsumen di Indonesia yang kebanyakan warganya adalah Muslim. Jajanan populer lainnya antara lain siomay dan batagor (singkatan dari "bakso tahu goreng"), pempek, bubur ayam, bubur kacang hijau, sate, nasi goreng, soto mie, mi ayam, dan mi goreng, tauge goreng, asinan, laksa, kerak telor, dan seblak.

Kudapan

sunting
 
Pasar tradisional di Yogyakarta menjual aneka kue jajan pasar.

Secara umum, kudapan dan makanan ringan Indonesia disebut kue, dan aneka ragam kue dijual di pasar sebagai jajanan pasar. Aneka jajanan jalanan yang merupakan kudapan manis atau kue antara lain kue ape dan serabi. Dapat pula dijumpai jajanan China, seperti bakpao, baik yang berisi manis atau gurih dan asin. Jajanan jalanan lainnya termasuk aneka gorengan; antara lain tempe dan oncom goreng, tahu goreng, pisang goreng, ubi goreng, dan bakwan.

Minuman

sunting
 
Penjaja cendol di pinggir jalanan kota Jakarta.

Minuman tradisional seperti lahang (air manis sadapan nira) dan tuak, adalah contoh jajanan minuman tertua di Indonesia, yang dijual menggunakan tabung bambu besar sebagai wadah air. Minuman jajanan khas Indonesia termasuk minuman dingin dan manis yang dicampur es, misalnya es cendol atau es dawet, es teler, es cincau, es doger, es campur, es potong, dan es puter. Minuman jajanan ini lebih bersifat sebagai sebagai hidangan manis pencuci mulut ketimbang minuman. Karena selain es serut, es ini adalah semacam koktil yang dapat mengandung aneka isi campuran; seperti irisan buah, pacar cina, cendol, cincau, agar-agar, tapai, dan lain-lain.

Jus buah juga minuman jajanan jalanan yang populer. Jenis jus yang dijajakan antara lain jus jeruk, jus jambu, jus mangga, jus sirsak, dan jus alpukat. Jus alpukat biasanya disajikan dengan susu kental manis putih atau cokelat, dan merupakan minuman pencuci mulut yang nikmat. Durian juga dapat dibuat menjadi es durian.

Permasalahan

sunting

Kebersihan

sunting

Kebanyakan produk makanan Indonesia yang dijual di gerai makanan menengah hingga ke atas menerapkan standar higienis makanan yang baik hingga dapat diterima, diatur, dan diawasi oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan warung atau gerobak penjaja jalanan tradisional, yang mungkin kurang higienis, penyajiannya kurang bersih, dan bernilai gizi rendah.[3][17] Masalah kebersihan selalu menjadi persoalan bagi gerai makanan di kaki lima, akibat mencuci piring dan perangkat makan secara bersih tidak mungkin dilakukan karena kesulitan air bersih.[8]

Selain itu kuman mikroba tropis mungkin juga dapat mengakibatkan kasus keracunan makanan, khususnya menimpa orang asing ketika mereka tinggal di Indonesia. Karena itulah untuk jajanan jalanan disarankan untuk mengonsumsi makanan yang panas dan dimasak, ketimbang memakan hidangan mentah atau dingin bersuhu ruangan. Misalnya, menyantap mi ayam atau soto yang masak, panas, dan berkuah, jauh lebih aman jika dibandingkan menyantap makanan dingin dan mentah seperti karedok, gado-gado, atau rujak.

Ketertiban kota

sunting
 
Jajanan jalanan dapat menyebabkan kesemrawutan kota, karena gerobak berjajar dan memenuhi trotoar

Kini mudah sekali menemukan sekian banyak warung tenda dan gerobak makanan memenuhi dan menduduki kaki lima atau trotoar di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan berjalan kaki di jalanan, terutama di Jakarta, tidak menyenangkan dan berbahaya. Karena pejalan kaki terpaksa berjalan di atas bahu jalan dan rawan kecelakaan terserempet kendaraan, akibat trotoar diduduki pedagang kaki lima.

Menurut sejarah, pulau Jawa sudah sejak lama berpenduduk padat; rumah makan dan bisnis makanan jalanan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya sejak dulu. Akan tetapi, adalah urbanisasi besar-besaran yang dimulai pada dasawarsa 1960-an lah yang membentuk budaya jajanan jalanan di kota-kota Indonesia. Seiring dengan semakin banyaknya penduduk dari pedesaan berpindah ke kota, lapangan pekerjaan baru dibutuhkan. Kebanyakan dari pekerja yang berasal dari kampung dan pedesaan adalah tenaga kerja berkeahlian rendah dan berpendidikan rendah pula. Kebanyakan dari mereka terserap ke dalam sektor dunia kerja informal, termasuk kegiatan usaha makanan jajanan jalanan. Sebagian di antara mereka mencoba peruntungan dengan berjualan hidangan lezat khas kampung halaman mereka, dengan membuka warung, kedai, atau gerobak makanan keliling. Karena itulah di kebanyakan kota-kota besar di Indonesia dapat dijumpai beraneka macam makanan daerah yang berasal dari seluruh penjuru Nusantara. Dari gado-gado Jakarta, asinan Bogor, bakso Malang, sate Madura, sate Padang, pempek Palembang, hingga siomay Bandung.[14]

Demikian maraknya penguasaan trotoar oleh pedagang kaki lima telah menimbulkan masalah sosial. Untuk mencegah kemacetan jalan, pemerintah kota berusaha untuk membebaskan trotoar dan pinggir jalan dari pedagang kaki lima, melalui serangkaian tindakan penertiban. Akan tetapi hal ini kerap menimbulkan perlawanan dari pihak pedagang, sehingga sejumlah keributan dan perselisihan pecah di antara otoritas kota dan pedagang kaki lima (PKL).[18] Hal ini menimbulkan tekanan dari pemerintah kota untuk mengatur dan menertibkan pedagang kaki lima tepi jalan di daerah mereka.[3]

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Jing Xuan Teng (28 April 2016). "The Best Street Food in Jakarta, Indonesia". The Culture Trip. 
  2. ^ a b "Most popular 'kaki lima' in Jakarta". The Jakarta Post. Jakarta. 18 June 2016. 
  3. ^ a b c Corry Elyda (November 27, 2015). "Jakarta urged to develop 'blueprint' for street food vendors". The Jakarta Post. Jakarta. 
  4. ^ "Countries with the Best Food: Indonesia". Top Tens. 
  5. ^ a b Sara Schonhardt (text); Melanie Wood (images) (15 August 2011). "40 of Indonesia's best dishes". CNN.com. 
  6. ^ "Indonesian Street food". Food & Travel.com.au. 
  7. ^ Noah S (26 January 2015). "Top 10 Indonesian Food that you must try". IndoChili. 
  8. ^ a b Suryatini N. Ganie (19 December 2010). "The 5 feet story of Thomas Stamford Raffles". The Jakarta Post. Jakarta. 
  9. ^ Heinz Von Holzen (2014). A New Approach to Indonesian Cooking. Marshall Cavendish International Asia Pte Ltd. hlm. 15. ISBN 9789814634953. Diakses tanggal 12 July 2016. 
  10. ^ "Consumers love succulent Satay, Peanut ingredients for global success" (PDF). USA Peanuts. hlm. 1. Diakses tanggal May 2, 2014. 
  11. ^ Felicity Cloake (30 January 2014). "How to cook the perfect chicken satay". The Guardian. Diakses tanggal 7 July 2014. 
  12. ^ Chef Daeng. "Satay Washington DC". satay.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-09. Diakses tanggal 6 July 2014. 
  13. ^ Tommy Firman (12 May 2012). "Urbanization and urban development patterns". The Jakarta Post. 
  14. ^ a b Natasha Gan (May 6, 2015). "Indonesian Delights: Jakarta's best street food treats". Marie France Asia. 
  15. ^ "Bisnis sosis bakar tak lagi membara". Kontan (dalam bahasa Indonesian). 17 April 2016. 
  16. ^ "Franchise Takoyaki dan Okonomiyaki" (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-04. Diakses tanggal 2018-01-04. 
  17. ^ Valentina, Jessicha. "Eat at your own risk: Hygiene, poor quality remain issues in Indonesian street food". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-24. 
  18. ^ "Penertiban PKL di Jakarta". Kompas (dalam bahasa Indonesian). 

Pranala luar

sunting