Jagatara Oharu (じゃがたらお春, Oharu dari Jakarta) atau Jeronima Haru Marino[1] (Jeronima Simonsen) (lahir di Nagasaki, 1625?–meninggal di Batavia, April 1697 pada umur 72 tahun) adalah wanita Jepang berdarah campuran Italia-Jepang asal Nagasaki yang diusir dari Jepang pada awal zaman Edo, dan kemudian menetap di Batavia, Hindia Belanda. Kumpulan surat-surat yang dikirimkannya dari Batavia ke Jepang disebut Jagatara-bumi (じゃがたら文, arti harfiah: Surat-Surat Jakarta). Nama lama untuk Jakarta dalam bahasa Jepang adalah Jagatara berasal dari bahasa Portugis Jacatra.[2]

Biografi

sunting

Kehidupan di Nagasaki

sunting

Jagatara Oharu lahir di Nagasaki pada tahun 1625. Ayahnya adalah pelaut berkebangsaan Italia bernama Nicholas Marino yang tiba di Jepang menaiki sebuah kapal dagang Portugis. Nicholas Marino meninggal dunia karena sakit ketika Oharu berusia 9 tahun. Ibunya adalah seorang pedagang berkebangsaan Jepang bernama Maria (hanya nama baptisnya yang diketahui) yang tinggal di Nagasaki. Sewaktu ayahnya masih hidup, Oharu bersama keluarganya tinggal di permukiman orang Belanda di Orandazaka. Setelah ayahnya meninggal, Oharu dan Oman diajak ibunya pindah rumah keluarga ibunya di Sakaya-chō, Nagasaki yang ditinggali oleh adik laki-laki dari ibu dari Oharu yang bernama Shichibei.[3]

Pada waktu itu, Keshogunan Edo mulai memperketat pelarangannya terhadap Kekristenan. Menurut pamannya, penampilan Oharu yang mirip orang asing, rambut yang tidak hitam seperti orang Jepang dan wajahnya yang sangat mirip orang asing, dapat membahayakan dirinya. Shichibei lalu berkonsultasi dengan Riemon, seorang tokoh Jepang berpengaruh dan banyak memiliki koneksi orang Belanda. Oharu lalu dijadikan anak angkat di rumah keluarga Riemon. Adiknya (Oman) tetap tinggal bersama ibunya di rumah keluarga sang ibu (rumah Shichibei).[3]

Oharu sangat berbahagia tinggal bersama keluarga Riemon. Istri Riemon sudah meninggal dunia, dan meninggalkan dua orang anak: anak laki-laki bernama Heikichi dan anak perempuan bernama Otatsu. Oharu kemudian bersahabat baik dengan Otatsu yang berusia tiga tahun lebih tua. Otatsu sangat menyenangi Oharu dan banyak mengajarinya tentang kebudayaan Jepang. Oharu juga dibelanya ketika anak-anak lainnya membuli Oharu karena penampilan Oharu yang mirip orang asing. Heikichi kakak Otatsu sadar bahwa wanita zaman itu harus pandai membaca dan menulis. Oleh karena itu, Otatsu dan Oharu diajarnya agar pandai membaca dan menulis.[3]

Pada 18 Agustus 1636, sewaktu Oharu berusia 12 tahun, semua orang keturunan Portugis yang berjumlah 287 orang dideportasi ke Makao.[3] Oharu ikut mengantarkan keberangkatan mereka di pelabuhan. Pemberontakan Shimabara terjadi pada tahun berikutnya (1637) akibat protes petani yang tidak mendapat penurunan pajak. Pemberontakan Shimabara berkembang menjadi pemberontakan orang Kristen melawan keshogunan. Setelah semua orang keturunan Portugis diusir dari Jepang, Riemon memperingatkan Oharu agar bersiap-siap meninggalkan Jepang karena ia tahu bahwa semua orang keturunan asing pada akhirnya akan diusir dari Jepang. Meski masih berusia 12 tahun, Oharu menjawab bahwa dirinya sudah siap, "Aku memang sudah lama ingin pergi ke luar negeri. Aku siap menerima semua keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Bila Tuhan Yesus menghendaki."[3]

Pada Februari 1639, Keshogunan Edo mengeluarkan undang-undang baru untuk Kepolisian Nagasaki yang mengatur orang asing (orang Inggris dan orang Belanda) yang tinggal di Hirado dan Nagasaki. Undang-undang tersebut berisi perintah pengusiran orang asing, orang-orang Jepang keturunan orang Inggris dan keturunan orang Belanda, dan wanita Jepang yang diperistri oleh orang asing. Mereka diperintahkan agar bersiap-siap untuk meninggalkan Jepang.[3] Oharu lalu bersiap-siap untuk berangkat, termasuk menyiapkan baju-bajunya. Pada waktu itu, Oman (kakak Oharu) sudah menikah dengan pegawai VOC bernama Meester Marteen, dan memiliki anak laki-laki bernama Mankichi. Suami Oman ketika itu sedang bertugas di Formosa.[3]

Pada 15 Oktober 1639, Oharu bersama ibunya (Maria), kakaknya yang bernama Oman dan putranya yang bernama Mankichi, bersama tiga keluarga keturunan asing lainnya diberangkatkan ke pos perdagangan Belanda di Hirado. Setelah berada di Hirado selama dua minggu untuk mempersiapkan keberangkatan mereka, Oharu beserta keluarga diberangkatkan ke Batavia dengan kapal Belanda bernama Breda.[3] Menurut dokumen Hindia Belanda, nama Belanda dari Oharu adalah Jeronima Marino, dan nama Belanda dari kakaknya adalah Magdalena Man.[4] Pemberhentian pertama kapal yang ditumpangi Oharu adalah Formosa. Semasa dalam perjalanan menuju Formosa, Breda dilanda cuaca buruk. Di Formosa, Oman bertemu dengan suaminya (Meester Marteen). Menurut suami Oman, Mankichi mungkin tidak akan bertahan hidup hingga sampai di Batavia. Oleh karena itu, Mankichi diambil oleh Marteen untuk dibesarkan di Formosa.[3] Mengetahui anaknya akan diambil oleh suaminya, Oman sempat mencoba bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut bersama Mankichi.[3]

Di antara penumpang kapal menuju Batavia yang ditumpangi oleh Jagatara Oharu dan keluarga, terdapat pelaut Belanda bernama Melchior van Santvoort yang terdampar di Kyushu, Jepang pada tahun 1600 bersama pelaut Inggris William Adams (1564-1619). Santvoort tinggal di Jepang selama 39 tahun. Ketika diusir dari Jepang, ia mengajak serta istrinya yang orang Jepang bernama Isabella, anak perempuan bernama Susanna, menantu laki-laki berkebangsaan Belanda bernama William Verstegen, dan seorang cucu.[5]

Kehidupan di Batavia

sunting
 
Pemandangan kota Batavia dan Benteng Batavia, dilihat dari Kali Besar (1656)

Kapal yang ditumpangi Oharu tiba di Batavia pada 1 Januari 1640. Perubahan cuaca antara Jepang dan Hindia Belanda membuat penumpang kapal banyak yang sakit, termasuk Oman yang agak parah. Kedatangan dua wanita Kristen dari Jepang (Oharu dan Oman) menjadi bahan berita di kalangan warga Jepang di Batavia, terutama di kalangan laki-laki, dan pegawai pria VOC di Batavia yang belum menikah.[3]

Di Batavia, VOC memberi tempat tinggal untuk 32 orang yang dideportasi dari Jepang, termasuk Oharu dan keluarga. Pada waktu itu, Batavia adalah sebuah kota besar. Semua penumpang kapal Breda terkejut dengan keindahan kota Batavia. Mereka sebelumnya semua mengira akan tiba di tempat berhutan-hutan kediaman orang barbar. Rumah-rumah di Batavia dibuat dari batu bata. Jalan-jalan yang lebar ditanami pohon-pohon peneduh jalan. Ada pula sebuah benteng besar yang disebut Benteng Batavia. Berbeda dari kota Nagasaki yang banyak memiliki tanjakan dan turunan, Batavia adalah kota yang datar dan terdapat banyak kanal seperti kota-kota di Belanda.[3]

Kesehatan Oman tidak juga kunjung pulih. Seorang tokoh Jepang berpengaruh di Batavia bernama Murakami Buzaemon datang bersama seorang dokter Tionghoa untuk memeriksa keadaan Oman. Buzaemon merasa kasihan kepada Oman yang harus meninggalkan anaknya di Formosa. Meski sudah memiliki istri dan anak di Jepang, Buzaemon tidak kembali ke Jepang karena Jepang dalam keadaan negara tertutup. Oharu menyukai Buzaemon, tapi Buzaemon lebih suka kepada Oman.[3]

Dua tahun kemudian pada hari tahun baru, Buzaemon datang ke rumah Oharu dengan berpakaian kimono resmi dan hakama untuk melamar Oman. Pernikahan Buzaemon dan Oman dilakukan di sebuah gereja tua Belanda di Batavia pada 24 Januari 1642. Oharu dan ibunya lalu pindah ke rumah Buzaemon yang kaya raya. Buzaemon banyak mempekerjakan pelayan di rumahnya. Kehidupan Oharu menjadi lebih baik sejak tinggal di rumah Buzaemon. Di rumahnya, Buzaemon memiliki peralatan upacara minum teh yang lengkap. Pergaulan Oharu menjadi luas, termasuk di kalangan elite Batavia, dan sering pergi ke acara-acara minum teh.[3]

Oman melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Cornelia. Setelah melahirkan Cornelia, kesehatan Oman kembali memburuk dan meninggal dunia ketika Cornelia berusia satu tahun. Sebulan setelah pemakaman Oman, ketika bunga flamboyan sedang mekar, Oharu dan ibunya pindah ke rumah baru yang dibeli oleh Buzaemon. Di rumah baru itu, Buzaemon juga memberikan dua orang budak.[3]

 
Gereja Sion Jakarta (1881-1889)

Menurut surat nikah di Batavia, Jagatara Oharu (21 tahun) menikah di Batavia pada 29 November 1646 dengan Simon Simonsen (Symon Symonsz), laki-laki berdarah campuran Jepang dari pihak ibu dan Belanda dari pihak ayah yang diusir dari kota kelahirannya di Hirado (Nagasaki).[6] Suaminya bekerja sebagai seorang pedagang berlisensi dari VOC.[6] Pernikahan Oharu dan Simon Simonsen dilakukan di sebuah gereja Portugis yang sekarang disebut Gereja Sion.[3]

Menurut dokumen Hindia Belanda, keduanya dikaruniai tiga anak laki-laki dan empat anak perempuan.[6] Hiroko Shiraishi menyebut anaknya berjumlah 7 orang atau 8 orang.[3] Setelah suaminya meninggal dunia pada tahun 1672,[3] Oharu meneruskan usaha yang dirintis suaminya sampai bisa memiliki rumah, tanah, dan budak.[7] Jagatara Oharu meninggal dunia di Batavia pada bulan April 1697 pada usia 72 tahun.[7] Cucunya berjumlah tiga orang.[6]

Surat-surat dari Jakarta

sunting

Surat-surat yang dikirimkan Oharu dari Batavia ke Jepang disebut Jagatara-bumi (じゃがたら文) atau Surat-Surat Jakarta. Surat-surat tersebut dikirimkannya ke seorang teman wanita sekampung halaman bernama Otatsu (おたつ) yang tinggal di Chikugo-chō, Nagasaki. Otatsu berusia dua tahun lebih tua daripada Oharu.[8] Surat-surat tersebut kemungkinan ditulis Oharu ketika masih gadis atau ketika masih muda. Jagatara-bumi pertama kali diperkenalkan kepada orang Jepang pada tahun 1720 oleh Nishikawa Joken dalam jilid pertama buku Nagasaki Yobanashigusa (長崎夜話草) atau Kumpulan Cerita Pengantar Tidur Nagasaki.[9] Buku Nagasaki Yobanashigusa ditulis dan disunting oleh putra Nishikawa yang bernama Nishikawa Masayasu (西川正休). Seluruhnya buku ini terdiri dari 5 jilid, berisi kumpulan cerita yang berkaitan dengan Nagasaki, mengenai sejarah kota Nagasaki, orang asing, kapal asing, kehidupan di luar negeri, cerita tentang anak berbudi, suami istri yang setia, hingga oleh-oleh dari Nagasaki.[8] Surat-surat yang ditulis Oharu dimasukkan pada jilid 1 Nagasaki Yobanashigusa di bawah bab berjudul Surat-Surat dari Jakarta Tentang Keturunan Orang Berambut Merah Yang Diusir (紅毛人子孫遠流之事付ジャガタラ文, Kōmōjin Shison Onru no Koto Jagatara-bumi).[8] Salinan dari Nagasaki Yobanashigusa kini dimiliki oleh Perpustakaan Universitas Toyama, Jepang.[10]

Surat-surat dari Oharu selalu menceritakan kerinduannya terhadap Jepang, dan ditulis dengan bahasa sastra yang baik, dan bahkan dinilai terlalu baik untuk sebuah tulisan dari seorang gadis muda berusia 14 tahun.[9] Berkat surat-suratnya, Oharu lalu menjadi terkenal di Jepang pada zaman Edo sebagai sosok wanita malang yang dipaksa untuk pergi jauh dari kampung halamannya di Jepang.

Bahasa Indonesia Romaji Kanji
Pada waktu itu bulan Oktober. Saat itu sore hari, angin bertiup. Langit dan perasaanku sama-sama sedih. Bersama hujan akhir musim gugur, aku berangkat. Itulah hari terakhirku di kampung halamanku. Aku berada sangat jauh. Aku hanya dapat membaca surat darimu. Aku tidak dapat menyampaikan perasaanku kepadamu. Jepang sangat jauh, tapi setiap malam aku dapat melihatnya dalam mimpi. (Kutipan dari Nagasaki Yawasō karya Nishikawa Joken).[9] Chihayafuru, Kannazuki to yo, urameshi no arashi ya, mada yoizuki, sora mo kokoro mo uchikumori, shigure to tomoni furusato o, ideshi sono hi o kagiri to nashi, mata fumi mo miji, ashihara no, uraji haruka ni, hedataredo, kayou kokoro no okureneba. Omoiyaru yamato no michi no harukeki mo yume ni machikaku koenu yoruzo naki 千はやふる、神無月とよ、うらめしの嵐や、まだ宵月の、空も心もうちくもり、時雨とともにふる里を、出でしその日をかぎりとなし、又、ふみも見じ、あし原の、浦路はるかに、へだゝれど、かよふ心のおくれねば、おもひやるやまとの道のはるけきもゆめにまちかくこえぬ夜ぞなき

Surat dari Jagatara Oharu selalu diakhiri dengan kata penutup: Ara Nihon koishiya, yukashiya, mitaya. Jagatara Haru yori (あら日本恋しや、ゆかしや、見たや 。じゃがたらはるより, (Aku) sangat rindu Jepang, terkenang-kenang, aku ingin melihat (Jepang) lagi. Dari Haru di Jakarta.)

Kisah eksotik kehidupan Oharu di negara asing dipopulerkan pemerintah zaman Meiji ketika para petani Jepang dianjurkan untuk beremigrasi ke koloni-koloni Jepang di luar negeri.[1] Kehidupan sulit Oharu di luar negeri tidak menghapus kecintaan terhadap negerinya.[1]

Menurut anggota Dewan Bangsawan Jepang dari zaman Meiji bernama Takekoshi Tosaburō, "Bila membaca Surat-Surat dari Jagatara oleh Putri Jagatara, dan tidak menangis, maka Anda bukan manusia".[8] Pada tahun 1939, Jagatara-bumi mengilhami sebuah lagu kayōkyoku berjudul "Nagasaki Monogatari" (長崎物語) yang diciptakan oleh Shunichi Sasaki dan lirik oleh Saburo Umeki.[11]

Tidak lama setelah Nishikawa Joken memuat Jagatara-bumi dalam Kumpulan Cerita Pengantar Tidur Nagasaki, ahli rangaku bernama Ōtsuki Gentaku mencurigai Jagatara-bumi sebagai karya fiksi ciptaan Nishikawa Joken.[9] Menurut Ōtsuki Gentaku, "Tidak dapat dibantah lagi kalau Jagatara-bumi adalah karya fiksi Nishikawa Joken. Menurut murid Ōtsuki Gentaku yang bernama Yamamura Saisuke, "Banyak orang mempertanyakan apakah karya ini benar-benar karya fiksi".[9] Jagatara-bumi berisi puisi-puisi kanbun yang terlalu indah sebagai karya seorang gadis muda. Surat-surat dari periode awal Jagatara-bumi terlalu bagus bila dibandingkan dengan surat-surat yang ditulis oleh Oharu ketika dia sudah berumur. Oleh karena itu, surat-surat Jagatara-bumi dari periode awal yang ditulis terlalu indah, dinilai sebagai karya fiksi Nishikawa Joken.[3]

Surat wasiat dari Oharu yang merupakan bagian dari Jagatara-bumi masih disimpan hingga kini. Surat wasiatnya itu berasal dari tahun 1692, berisi pesan pembagian harta keluarga setelah ia meninggal.[3] Dari surat wasiatnya diketahui jumlah harta miliknya termasuk hak atas budak-budak miliknya.[4] Berdasarkan surat wasiat tersebut diketahui bahwa Oharu bukanlah seorang wanita yang hidup sulit di Batavia, melainkan seorang wanita yang diperkirakan hidup berkecukupan di Batavia.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Hamilton, Walter (2012). Children of the Occupation: Japan's untold story. UNSW Press. hlm. 112. 
  2. ^ Putten, Jan van der (2009). Lost Times and Untold Tales from the Malay World. Singapore: NUS Press. hlm. 65. ISBN 9971694549. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Shiraishi, Hiroko (2001). Jagatara Oharu no Shōsoku (じゃがたらお春の消息). Bensei. ISBN 4585040773. 
  4. ^ a b "The civilization of Japan By William Wetherall". Diakses tanggal 2013-10-24. [pranala nonaktif permanen]
  5. ^ Leupp, Gary P. (2003). Interracial Intimacy in Japan: Western Men and Japanese Women, 1543-1900. New York: Continuum. hlm. 66. ISBN 0826460747. 
  6. ^ a b c d "じゃがたらお春の一生 お春の人生は哀れだった?渡海後の彼女の足跡". Nagasaki Web Magazine. Diakses tanggal 2013-10-24. 
  7. ^ a b "じゃがたらお春は国際人". Jakarta Shimbun. 2001-9-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-01-04. Diakses tanggal 2013-10-24. 
  8. ^ a b c d Kōzō Futatsugi. "長崎物語". 二木紘三のうた物語. Diakses tanggal 2013-10-25. 
  9. ^ a b c d e "ジャガタラ文とお春の人生". Nagasaki Web Magazine. Diakses tanggal 2013-10-24. 
  10. ^ "長崎夜話草". ToRepo University of Toyama Repository. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-29. Diakses tanggal 2013-10-25. 
  11. ^ "長崎の歌(18)禁教の悲劇を歌う". Nagasaki Web Magazine. Diakses tanggal 2013-10-25. 

Pranala luar

sunting