Kayōkyoku (歌謡曲) adalah istilah luas untuk musik pop yang tercipta di Jepang. Istilah kayōkyoku dipakai untuk membedakan genre musik ini dari new music, musik tradisional Jepang, folk, atau rock, tetapi masih mencakup enka, dan lagu-lagu dari penyanyi idol kayōkyoku. Sebaliknya, istilah new music mengacu kepada semua genre musik pop Jepang, kecuali enka dan kayōkyoku.

Istilah kayōkyoku awalnya mengacu kepada lied klasik asal Jerman yang dikenal di Jepang sebagai kayō (歌謡).[1] Ketika Ichiro Fujiyama menyanyikan lied berbahasa Jerman, lagu-lagu yang dinyanyikannya disebut kayōkyoku (arti harfiah: "lagu lied"). Awalnya istilah kayōkyoku tidak berarti lagu populer (''ryūkōka), tetapi sekarang, kayōkyoku dan ryūkōka sama-sama berarti "lagu pop".

Istilah kayōkyoku pertama kali dipakai radio NHK ketika baru mulai mengudara sekitar 1927.[1] Musik yang diputar adalah musik yang ketika itu untuk keperluan promosi, disebut perusahaan rekaman disebut ryūkōka (lagu populer). Namun sewaktu siaran, NHK menyebutnya sebagai "kayōkyoku". Sejak awal zaman Showa, istilah kayōkyoku dikenal sebagai pengganti istilah ryūkōka, tetapi baru dikenal sebagai istilah yang umum sejak 1935.[1]

Ciri khas kayōkyoku adalah pengaruh kuat dari musik pop Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II. Lagu yang sangat kebarat-baratan disebut lagu pop, sedangkan lagu yang bertema sentimental ala Jepang disebut enka. Sebagai genre musik, kayōkyoku berada di tengah-tengah antara musik pop dan enka. Penggemar umumnya berasal dari kalangan berusia lanjut.

Sejarah

sunting

Pada akhir 1920-an, berbagai perusahaan rekaman asing mulai membuka usaha patungan di Jepang. Nippon Columbia dibentuk pada awal tahun 1928. Setahun sebelumnya, Nippon Polydor didirikan Mei 1927, dan Japan Victor, Juli 1927. Selain menjual rekaman impor, mereka mengirimkan penyanyi Jepang untuk rekaman di Amerika Serikat. Yoshie Fujiwara, misalnya, rekaman di studio Victor di New Jersey pada 1927.

Lagu-lagu pop masa itu umumnya berasal dari lagu-lagu lama atau lagu yang dinyanyikan ulang. Lagu baru yang pertama kali menjadi hit dari Japan Victor adalah "Kimi Koishi" dari Futamura Teiichi pada Desember 1928. Setelah tiba zaman Showa, perusahaan rekaman mulai mempekerjakan pencipta lagu, penulis lirik, dan penyanyi untuk membuat rekaman. Hasilnya berupa musik pop gaya baru yang memadukan tema sentimental tradisional Jepang dalam format lagu Barat. Musik pop gaya baru ini berbeda dari ryūkōka (lagu pop) asal zaman Taishō atau zokukyoku asal zaman Edo.

Dalam film Tokyo Koshin-kyoku (Tokyo March) yang beredar Mei 1929, lagu Jepang untuk pertama kalinya direkam sebagai lagu film. Industri rekaman Jepang tumbuh dengan pesat setelah adanya film bersuara. Kesuksesan Victor diikuti Columbia yang mengorbitkan Masao Koga dan Ichiro Fujiyama.

Memasuki akhir 1930-an, musik pop Jepang diwarnai oleh slogan-slogan patriotisme dan militerisme. Pada September 1937, Kementerian Informasi Kabinet mengumumkan sayembara berhadiah untuk menciptakan lagu mars patriotik dengan tujuan mempersatukan rakyat. Perusahaan rekaman menanggapi dengan memperbanyak produksi lagu-lagu militer dan patriotisme. Setelah Perang Pasifik dimulai, musik dari Inggris dan Amerika Serikat secara resmi dilarang di Jepang. Sebelumnya, penyanyi bernama kebarat-baratan, seperti Dick Mine, Miss Columbia, dan Ama Ryllis diminta mengganti nama dengan nama panggung baru berdasarkan perintah Kementerian Dalam Negeri tahun 1940.

Lagu pop yang pertama kali menjadi terkenal setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II adalah "Ringo no Uta" pada akhir tahun 1945. Lagu tersebut dinyanyikan Namiki Michiko dan merupakan lagu tema film Soyokaze. Setelah dinyanyikan di atas panggung dan disiarkan secara langsung di radio, Japan Columbia merekam "Ringo no Uta" dan merilisnya bulan Januari 1946.

Penyanyi-penyanyi baru seperti Hibari Misora, Hachiro Kasuga, Michiya Mihashi, dan Chiyoko Shimakura menghasilkan serangkaian lagu-lagu hit yang mengiringi pembangunan ekonomi Jepang pascaperang. Setelah televisi mulai mengudara pada Februari 1953, industri hiburan dan majalah wanita makin berkembang dengan pesat. Lagu-lagu pop makin populer berkat acara musik di televisi.

Aksi panggung The Ventures yang melakukan tur keliling di Jepang (Mei 1962) menyebabkan demam gitar elektrik (eleki boom) di kalangan penggemar musik berusia muda. Eleki adalah singkatan bahasa Jepang untuk electric. Pabrik yang tadinya tidak membuat gitar ikut-ikutan memproduksi gitar listrik. Pemusik Jepang dekade 1960-an yang menyukai musik selancar instrumental, serta menyukai band-band seperti The Animals dan The Beatles memasukkan irama rock ke dalam lagu-lagu pop. Hasilnya adalah genre baru yang disebut group sounds. Pemusik lokal ramai-ramai membentuk berbagai band dengan nama-nama berbahasa Inggris: The Blue Comets, The Golden Cups, The Tigers, The Jaguars, The Carnabeats, The Spiders, Village Singers, dan The Tempters. Ketika The Beatles melakukan konser di Tokyo pada tahun 1966, The Spiders sedang sukses dengan lagu "No No Boy" dan Jacky Yoshikawa and the Blue Comets dengan "Aoi Hitomi".

Pada akhir 1960-an, penyanyi folk seperti Joan Baez, The Kingston Trio, The Brothers Four, serta Peter, Paul, and Mary menjadi populer di Jepang. Berkat lagu "Where Have All the Flowers Gone", pemusik folk Jepang meniru lagu-lagu folk bernada protes dari Amerika Serikat. Lirik lagu pun diganti dengan tema politik dalam negeri Jepang. Walaupun demikian, hanya sedikit penyanyi folk Jepang yang mencetak lagu hit, di antaranya Mike Maki dengan "Bara ga Saita" pada 1966. Tahun berikutnya, lagu folk, "Kaettekita Yoparai" dari The Crusader laku di atas satu juta keping. Tren musik folk di Jepang berlanjut hingga awal 1970-an melalui Kaguyahime, Takuro Yoshida, Garo, dan Tulip

Pada awal 1970-an, anak belasan tahun menggemari lagu pop yang dibawakan penyanyi idol. Pada tahun 1970-an, tren penyanyi idol dimulai oleh kepopuleran "tiga besar baru" penyanyi idola gadis remaja, Goro Noguchi, Hideki Saijo, dan Hiromi Go. Mereka mengikuti jejak tiga besar penyanyi idol asal awal 1960-an, Kazuo Funaki, Yukio Hashi, dan Teruhiko Saigo. Tren idol pria diikuti oleh tiga besar gadis penyanyi idol, Saori Minami, Masako Mori, dan Rumiko Koyanagi. Pertengahan hingga akhir 1970-an menjadi masa keemasan gadis penyanyi idol Momoe Yamaguchi, Masako Mori, dan Junko Sakurada. Ketiganya waktu itu masih murid kelas tiga sekolah menengah atas. Duet Pink Lady dan Trio Candies menjadi bintang idola sebelum akhirnya Seiko Matsuda dan Akina Nakamori tampil sebagai idol era tahun 1980-an.

Bersamaan dengan era idol tercipta genre baru musik pop dari penyanyi yang mencipta lagu sekaligus memainkan sendiri musik ciptaan mereka. Setelah penyanyi/pencipta lagu Arai Yumi sukses dengan album pertamanya, Hikokigumo (1973), musik yang dihasilkan penyanyi/pencipta lagu digolongkan ke dalam genre baru new music. Istilah new music dipakai sebagai pembeda karena musik mereka bukan musik folk atau rock. Karya penyanyi/pencipta lagu yang lebih awal seperti Takuro Yoshida, Yosui Inoue, atau penyanyi yang lebih baru seperti Miyuki Nakajima ikut dimasukkan ke dalam genre new music.

Sebagai reaksi atas terciptanya new music, lagu-lagu pop sebelum era new music disebut kayōkyoku, terutama untuk lagu-lagu yang diproduksi secara konservatif, sebagai hasil kerja sama pencipta lagu, penulis lirik, penyanyi, dan band pengiring hasil. Berdasarkan penggolongan tersebut, lagu-lagu enka juga termasuk kayōkyoku. Penyanyi/pencipta lagu new music berusaha membedakan diri dari artis kayōkyoku dengan cara menolak tampil dalam acara musik pop di televisi. Walaupun wajah-wajah artis new music tidak muncul di televisi, lagu-lagu yang dibawakan mereka laris dipakai sebagai lagu tema iklan di televisi. Perusahaan Jepang hingga kini selalu memakai lagu-lagu new music untuk promosi produk mereka di televisi.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c 菊池, 清麿. "特集2.日本の大衆音楽(2)演歌、歌謡曲と西洋音楽". Toshiba Corporation. Diakses tanggal 2009-06-05. 

Pranala luar

sunting