Hidangan Madagaskar
Hidangan Madagaskar mencakup banyak tradisi kuliner yang beragam di pulau Madagaskar di Samudra Hindia. Makanan yang disantap di Madagaskar mencerminkan pengaruh migran Asia Tenggara, Afrika, India, Tiongkok, dan Eropa yang telah menetap di pulau itu sejak pertama kali dihuni oleh pelaut dari Kalimantan antara tahun 100 dan 500 Masehi. Beras, bahan terpenting dalam pola makan Malagasi, dibudidayakan bersama umbi-umbian dan makanan pokok Asia Tenggara lainnya oleh para pemukim awal. Asupan makanan mereka juga didapat dari hasil berburu hewan liar yang memiliki andil terhadap kepunahan megafauna burung dan mamalia di Madagaskar. Sumber-sumber makanan tersebut kemudian terlengkapi dengan adanya daging dari sapi zebu yang diperkenalkan ke Madagaskar oleh migran Afrika Timur sekitar tahun 1000 Masehi.
Perdagangan yang dilakukan oleh pedagang Arab, India, dan transatlantik Eropa semakin memperkaya tradisi kuliner pulau itu dengan diperkenalkannya beragam buah, sayuran, dan bumbu baru.
Hampir di seluruh pulau, hidangan kontemporer Madagaskar[1] biasanya terdiri dari nasi yang disajikan dengan lauk, dalam dialek resmi bahasa Malagasi, nasi disebut vary ([ˈvarʲ]), sementara lauk disebut dengan laoka ([ˈlokə̥]). Beragam jenis laoka dapat berupa makanan vegetarian atau mengandung protein hewan, dan biasanya memiliki saus yang dibumbui dengan bahan-bahan seperti jahe, bawang bombai, bawang putih, tomat, vanila, garam, bubuk kari, atau rempah-rempah lainnya. Di wilayah selatan dan barat Madagaskar yang tergolong gersang, keluarga pastoral dapat mengganti nasi dengan jagung, singkong, atau dadih yang terbuat dari susu zebu yang difermentasi.
Berbagai macam gorengan manis dan gurih serta makanan jalanan lainnya tersedia di seluruh pulau. Selain gorengan dan makanan jalanan, juga terdapat beraneka macam buah-buahan tropis. Minuman yang diproduksi secara lokal di antaranya adalah jus buah, kopi, teh, teh herbal, dan minuman beralkohol seperti rum, anggur, dan bir.
Berbagai hidangan yang disantap di Madagaskar pada abad ke-21 merefleksikan sejarah unik pulau ini dan keragaman demografisnya. Kompleksitas hidangan Madagaskar berkisar dari olahan tradisional sederhana yang diperkenalkan oleh pemukim awal hingga hidangan festival yang disiapkan untuk raja abad ke-19 di pulau tersebut.
Meskipun hidangan klasik Madagaskar berupa nasi dan pendampingnya tetap dominan, lebih dari satu abad setelahnya, jenis dan kombinasi makanan nyatanya telah dipopulerkan oleh penjajah Prancis dan imigran asal Tiongkok dan India. Akibatnya, hidangan Madagaskar saat ini bersifat tradisional sekaligus berbaur pengaruh dengan budaya yang baru muncul.
Sejarah
suntingSebelum Tahun 1650
suntingPelaut Austronesia diyakini telah menjadi manusia pertama yang menetap di pulau itu dan tiba di antara tahun 100 dan 500 Masehi.[2] Menggunakan perahu cadik, mereka membawa bahan makanan pokok dari kampung halamannya, seperti beras, pisang tanduk, talas, dan uwi.[3] Tebu, jahe, ubi jalar, babi, dan ayam kemungkinan juga dibawa ke Madagaskar oleh para pemukim awal ini, bersama dengan dibawanya kelapa dan pisang.[3]
Populasi terpusat pertama dari pemukim manusia muncul di sepanjang pesisir tenggara pulau, meskipun pendaratan pertama kemungkinan terjadi di pesisir utara.[4] Setelah tiba, pemukim awal berlatih melakukan tavy (berladang, pertanian "tebas-bakar") dengan tujuan membersihkan hutan hujan primer guna keperluan budidaya tanaman. Mereka juga mengumpulkan madu, buah-buahan, telur burung, telur buaya, jamur, biji-bijian, dan umbi-umbian serta minuman beralkohol dari hasil fermentasi madu dan sari tebu.[5]
Dalam konsep hidangan Madagaskar, hewan secara rutin diburu dan dijebak di hutan. Hewan buruan tersebut diantaranya seperti katak, ular, kadal, landak, tenrec, kura-kura, babi hutan, serangga, larva, burung, dan lemur.[6] Para pemukim awal menemukan kekayaan megafauna Madagaskar yakni lemur raksasa, burung gajah, fossa raksasa, dan kuda nil Malagasi. Masyarakat Malagasi awal mungkin telah memakan telur dan terkadang daging Aepyornis maximus, burung terbesar di dunia yang masih tersebar luas di seluruh Madagaskar hingga abad ke-17.[7]
Sementara beberapa teori telah diajukan guna menjelaskan penurunan populasi dan kepunahan megafauna Malagasi, bukti nyata menunjukkan bahwa perburuan yang dilakukan oleh manusia dan perusakan habitat melalui praktik pertanian "tebas-bakar" ialah penyebab utamanya.[8][9]
Meskipun perburuan atau perdagangan spesies lemur yang tersisa sejak tahun 1964 adalah ilegal, hewan yang terancam punah ini terus diburu untuk konsumsi lokal di daerah pedesaan atau untuk memenuhi permintaan akan daging semak "bushmeat" eksotis di beberapa restoran perkotaan.[10]
Banyaknya hutan primer yang rusak karena tavy menyebabkan masyarakat cenderung menanam dan mengolah di lahan permanen.[12] Pada 600 Masehi, kelompok pemukim awal ini kemudian pindah ke pedalaman dan mulai membuka hutan di Hauts-Plateaux.[11]
Beras awalnya ditanam secara kering atau dibudidayakan di daerah dataran rendah berawa dengan hasil produksi yang rendah. Sementara itu, sawah irigasi diterapkan di dataran tinggi sekitar tahun 1600 Masehi dengan lokasi pertama yang terletak di negara Betsileo (bagian selatan) dan berlanjut ke negara Imerina (bagian utara).[11] Kemunculan sawah bertingkat di pusat Madagaskar dalam kurun waktu lebih dari satu abad ini[11] lantas menyebabkan lenyapnya sebagian besar tutupan hutan asli daerah tersebut. Hutan tersebut tergantikan menjadi desa-desa terpencar yang dikelilingi sawah dan ladang yang luas dengan hamparan ilalang di sekitarnya.[2]
Zebu, sejenis sapi berpunuk, diperkenalkan ke pulau Madagaskar sekitar tahun 1000 Masehi oleh pemukim asal Afrika Timur. Zebu dibawa bersamaan dengan sorgum, kambing, kacang tanah Bambara, dan sumber makanan lainnya. Masyarakat Malagasi jarang mengonsumsi zebu karena hewan ini melambangkan kemewahan di Afrika Timur. Biasanya, zebu dikonsumsi setelah ritual pengorbanan pada upacara adat seperti saat pemakaman.[2] Di lain sisi, susu zebu segar dan dadihnya justru menjadi bagian utama dari pola makan para penggembala.[13]
Zebu dipelihara dalam kawanan besar di selatan dan barat Afrika. Namun, sebagai anggota individu, ia membebaskan diri dari kawanannya dan bereproduksi sehingga membentuk populasi besar zebu liar yang bermukim di dataran tinggi. Sejarah lisan Merina menceritakan bahwa masyarakat dataran tinggi tidak menyadari bahwa zebu dapat dimakan sampai era Raja Ralambo (berkuasa pada 1575-1612 Masehi), walau dari bukti arkeologis menyatakan bahwa zebu terkadang diburu dan dikonsumsi di wilayah dataran tinggi sebelum periode Ralambo. Kemungkinan besar kawanan zebu liar didomestikasi terlebih dahulu dan disimpan dalam kandang selama periode tersebut. Hal itu berkaitan dengan kemunculan ketatanegaraan yang kompleks dan terstruktur di dataran tinggi.[2]
Hidangan Madagaskar biasanya disiapkan dengan cara direbus dalam air (pada awalnya menggunakan bambu hijau sebagai wadah dan kemudian panci tanah liat atau besi),[14] dipanggang di atas api, batu atau bara panas.[6] Sementara itu, proses fermentasi digunakan untuk membuat dadih dari susu, meningkatkan cita rasa umbi kering atau segar, dan menghasilkan minuman beralkohol dari madu, sari tebu atau tanaman lokal lainnya.[5]
Teknik-teknik pengawetan matahari langsung (pengeringan), pengasapan dan pengasinan digunakan untuk mengawetkan berbagai makanan guna memudahkan makanan tersebut dapat dikirimkan, diperdagangkan, atau disimpan untuk konsumsi di masa datang. Banyak makanan yang disiapkan dengan cara seperti ini, misalnya saja daging asap kering yang disebut kitoza ([kiˈtuzə̥]) dan ikan asin kering, yang mana keduanya masih dimakan dalam bentuk yang sama hingga saat ini di Madagaskar.[15]
Pada abad ke-16, sistem kerajaan terpusat telah muncul di wilayah pesisir barat, di antara Sakalava dan di Hauts-Plateaux antara Merina. Para penguasa Merina merayakan tahun baru dengan upacara Merina kuno yang disebut fandroana. Untuk upacara ini, olahan daging sapi yang disebut jaka ([ˈdzakə̥]) disiapkan dengan cara daging sapi ditempatkan dalam stoples tanah liat dekoratif, lalu disegelnya dengan lemak, dan selanjutnya disimpan di lubang bawah tanah selama satu tahun. Jaka kemudian akan dibagikan dengan teman-teman di festival tahun berikutnya. Sebagai hidangan penutup, orang-orang yang bersuka ria akan menyantap nasi yang direbus dalam susu dan disiram dengan madu yang dikenal sebagai tatao ([taˈtau̯]).
Menurut sejarah lisan, Raja Ralambo adalah pencetus tradisi kuliner ini di Imerina.[15] Ayah Ralambo, Raja Andriamanelo, disebut telah memperkenalkan tradisi pernikahan vodiondry ([vudiˈuɳɖʳʲ]) atau "rump of the sheep", yakni sebuah tradisi di mana pengantin pria mempersembahkan potongan daging bagian belakang kepada orang tua calon pengantin wanita pada saat upacara pertunangan.[17]
Dalam masyarakat Malagasi kontemporer, tradisi tersebut tetaplah terjaga. Namun, saat ini, banyak keluarga yang menggunakan koin simbolis sebagai ganti persembahan makanan.[18]
Periode 1650–1800
suntingMaraknya perdagangan budak trans-Atlantik meningkatkan perdagangan maritim di pelabuhan Malagasi, termasuk juga bahan makanan. Pada tahun 1696, kapal dagang dengan tujuan akhir ke koloni-koloni Amerika dilaporkan membawa persediaan beras lokal Malagasi menuju Charleston, Carolina Selatan- sebuah kota di Amerika Serikat yang menjadikan biji-bijian sebagai basis industri perkebunan.[19] Kapal dagang tersebut membawa hasil bumi dari Amerika—seperti ubi jalar, tomat, jagung, kacang tanah, tembakau, dan kacang lima— menuju Madagaskar pada abad ke-16 dan 17.[2] Sementara itu, komoditas singkong baru memasuki Madagaskar, tepatnya di dekat Pulau Réunion selepas tahun 1735 dan dibawa oleh koloni Prancis.[20]
Bahan-bahan makanan ini pertama kali dibudidayakan di daerah pesisir terdekat dari pelabuhan kedatangan. Namun, bahan tersebut segera menyebar ke seluruh pulau dan Hauts-Plateaux hanya dalam rentang waktu 100 tahun pasca pengenalan.[21] Demikian pula, buah nanas dan jeruk (lemon, limau, dan jeruk) yang diperkenalkan di pelabuhan pesisir Malagasi. Buah kaya vitamin C tersebut awalnya dikonsumsi oleh pelaut untuk menangkal penyakit skorbut dalam perjalanan panjang lintas Atlantik. Setelah perjalanan itu, buah bervitamin C tersebut barulah mulai dibudidayakan oleh masyarakat lokal.[22]
Kaktus pir berduri atau raketa ([raˈketə̥] ), juga dikenal di Madagaskar selatan sebagai sakafon-drano ([saˈkafuˈɳɖʳanʷ] ) atau "makanan air", dibawa dari Dunia Baru ke pemukiman Prancis di Fort Dauphin pada tahun 1769 oleh Count Dolisie de Maudave dari Prancis. Tanaman ini menyebar ke seluruh bagian selatan pulau dan menjadi komoditas pangan bagi penggembala Mahafaly dan Bara. Dengan mengonsumsi sekitar enam buah dari tanaman ini dapat menahan rasa harus. Kemudian, setelah duri dihilangkan, cladodes pada tanaman ini akan menutrisi dan menghidrasi zebu yang diternakkan. Kehadiran tanaman ini memungkinkan penggembala wilayah selatan untuk tinggal menetap dan efisien. Sehingga, meningkatkan kepadatan penduduk dan jumlah ternak di wilayah tersebut.[23]
Periode 1800–1896
suntingAbad ke-18 di Hauts-Plateaux ditandai dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan kejadian kelaparan, yang diperparah oleh peristiwa peperangan antar kerajaan-kerajaan di Imerina.
Pada peralihan abad ke-19, Raja Andrianampoinimerina (1787–1810) berhasil menyatukan kelompok-kelompok Merina yang terpecah di bawah pemerintahannya. Raja Andrianampoinimerina kemudian menggunakan kelompok-kelompok tersebut sebagai budak dan buruh kerja paksa atas penggantian pajak yang tidak dapat dibayarkan. Secara sistematis, mereka bekerja untuk sawah irigasi di sekitar Antananarivo. Dengan cara ini, Andrianampoinimerina memastikan bahwa surplus biji-bijian dapat secara konsisten memberi makan seluruh penduduk dan mendukung upaya ekspor ke wilayah lain di pulau tersebut. Pasar didirikan di seluruh pulau guna dijadikan sebagai titik pusat perdagangan komoditas yang ditunjuk, seperti makanan laut, daging asap dan kering, jagung kering, garam, singkong kering, dan berbagai buah-buahan.[24] Kue beras, termasuk mofo gasy ([ˈmufʷˈɡasʲ]) dan menakely ([menə̥ˈkelʲ]) juga dijual oleh pedagang pasar.[25]
Selama periode ini, hidangan pesisir juga telah berevolusi. Di awal abad ke-19, para pengembara melaporkan temuan hidangan di le Sainte-Marie yang disiapkan dengan bubuk kari (nasi berbumbu yang menyerupai biryani) dan minuman berupa kopi serta teh.[26] Anak laki-laki Andrianampoinimerina yang bernama Radama I berhasil menyatukan hampir seluruh pulau di bawah kekuasaannya dan mendirikan Kerajaan Madagaskar. Garis keturunan kerajaan Merina terus memerintah pulau itu sampai masa kolonisasi Prancis pada tahun 1896.[27]
Di bawah Kerajaan Madagaskar, perkebunan didirikan untuk memproduksi tanaman yang diekspor ke pasar luar negeri, seperti Inggris dan Prancis. Mulanya pada tahun 1803, cengkih diimpor dan ditanam. Sementara itu, kelapa yang merupakan komoditas langka di pulau itu dibudidayakan di perkebunan untuk menghasilkan minyak. Demikian pula, kopi yang terdiri dari empat sampai lima pohon ditanam di petak-petak masyarakat hingga awal abad ke-19. Setelah periode itu, barulah penanaman kopi secara intensif dilakukan untuk keperluan ekspor.[28]
Vanili juga merupakan tanaman ekspor utama Madagaskar. Vanili diperkenalkan oleh pengusaha Prancis pada tahun 1840 dan ditanam di hutan hujan pesisir timur. Tiga puluh tahun setelahnya diiperkenalkan teknik penyerbukan buatan yang digunakan untuk menaikkan jumlah produksi vanili.[29] Kendati demikian, vanili tetap menjadi tanaman marjinal hingga akhir masa kerajaan.[30]
Selama festival kerajaan Merina, hidangan hanim-pito loha ([amˈpitʷˈlu]) disuguhkan.[31] Hidangan ini merupakan tujuh sajian yang disebut-sebut paling didambakan di dunia. Hidangan tersebut terdiri dari voanjobory ([vwandzˈburʲ], kacang tanah bambara), amalona ([aˈmalnə̥], belut), vorivorinkena ([vurvurˈkenə̥], babat sapi ), ravitoto ([ravˈtutʷ], parutan daun singkong) dan vorontsiloza ([vurntsʲˈluzə̥], kalkun) yang masing-masing bahannya dimasak bersama dengan daging babi, jahe, bawang putih, bawang bombai, dan tomat. Sementara, hidangan romazava ([rumaˈzavə̥]) (terdiri dari rebusan daging sapi dan sayuran hijau) dan varanga ([vaˈraŋɡə̥] (abon sapi panggang) juga melengkapi sajian festival tersebut.[32]
Kolonisasi Madagaskar oleh Prancis menandakan berakhirnya sistem kerajaan Malagasi dan pesta perjamuan yang cukup rumit. Namun, tradisi hidangan yang elegan ini tetap dipertahankan di rumah dan dimakan secara terus-menerus. Hidangan ini bahkan disajikan di banyak restoran di seluruh pulau.[32]
Periode 1896–1960
suntingPemerintahan kolonial Prancis dimulai pada tahun 1896 dan mempelopori sejumlah inovasi hidangan lokal. Hidangan-hidangan baru tersebut diberi nama dari Bahasa Prancis, yang kemudian menjadikannya bahasa yang dominan di negara bagian.[33] Baguette dipopulerkan di kalangan urban kosmopolitan. Seperti halnya beragam kue dan hidangan penutup ala Prancis, yakni cream horns, mille-feuille, croissant, dan chocolat chaud (cokelat panas).
Kolonial Prancis mengenalkan foie gras yang saat ini telah diproduksi secara lokal.[34] Mereka juga mempopulerkan hidangan dataran tinggi yang disebut dengan composé yakni salad makaroni dingin dengan campuran sayuran rebus yang terinspirasi dari hidangan Prancis macédoine de légumes.
Kolonial Prancis kemudian mendirikan perkebunan untuk keperluan penanaman beragam tanaman komersial. Dalam hal ini, mereka tak hanya menanam tanaman yang telah dieksploitasi pada abad ke-19 saja, tetapi mereka juga menanam beragam buah-buahan, sayuran, dan ternak yang sebelumnya belum pernah ada dan dibudidayakan dengan berbagai tingkat keberhasilan. Teh, kopi, vanili, minyak kelapa, dan rempah-rempah adalah komoditas ekspor terkuatnya.[35] Kelapa menjelma sebagai bahan umum dalam hidangan pesisir, sementara vanili mulai digunakan dalam campuran saus pada hidangan berbasis unggas maupun boga bahari.[36]
Meskipun sejumlah kecil pemukim Cina telah tiba di Madagaskar menjelang akhir pemerintahan Ratu Ranavalona III, gelombang besar pertama migran Cina terjadi di masa Jenderal Joseph Gallieni. Gallieni adalah gubernur jenderal koloni pertama di Madagaskar yang memerintahkan 3.000 buruh Cina untuk membangun jalur rel utara yang menghubungkan Antananarivo dan Toamasina.[37]
Di wilayah Madagaskar dengan komunitas Tionghoa yang besar, migran Cina selanjutnya memperkenalkan sejumlah hidangan khasnya. Misalnya, riz cantonais (nasi goreng Cina), soupe chinoise (sup mie ala Cina), misao (mie goreng), pao (hum bao),[38] dan nems (telur gulung goreng).[39]
Sementara itu, di tahun 1880-an, sebuah komunitas yang terdiri dari sekitar 200 pedagang India telah bermukim di Mahajanga- sebuah pelabuhan di pesisir barat laut Madagaskar yang terletak di dekat Teluk Bembatoka di muara Sungai Betsiboka.[40] Tiga puluh tahun kemudian, populasi orang India di Madagaskar telah meningkat menjadi lebih dari 4.000 orang dan terkonsentrasi di sepanjang pelabuhan dagang di pesisir barat laut.[41]
Komunitas awal India ini mempopulerkan hidangan kari dan biryani di seluruh wilayah. Ada juga, "khimo" atau makanan khas Mahajanga yang terinspirasi dari hidangan keema di India.[42] Selain itu, ada samosa India (sambos) yang menjadi makanan jalanan populer di sebagian besar Madagaskar, di mana hidangan itu juga dikenal dengan sebutan tsaky telozoro ([ˈtsakʲteluˈzurʷ] yang berarti "camilan tiga sudut").[43]
Sementara inovasi kolonial Prancis memperkaya hidangan Madagaskar dalam banyak hal, tetapi tidak setiap inovasi tersebut menguntungkan. Sejak diperkenalkannya kaktus pir berduri Prancis pada abad ke-18, gaya hidup penggembala wilayah selatan menjadi semakin bergantung pada tanaman. Tanaman diperuntukkan untuk makanan dan air bagi zebu, sedangkan buah dan air untuk diri mereka sendiri selama musim kemarau pada bulan Juli hingga Desember. Ketika tahun 1925, seorang kolonis Prancis ingin membasmi kaktus pada tanah propertinya yang terletak di barat daya kota Toliara. Ia lantas memperkenalkan cochineal yakni serangga yang dikenal sebagai parasit pada tanaman. Dalam kurun waktu lima tahun, hampir seluruh tanaman kaktus pir berduri di Madagaskar selatan telah musnah akibat serangga tersebut. Musnahnya kaktus pir berduri menyebabkan kelaparan masif dari tahun 1930–1931.[44] Meskipun masyarakat lokal telah beradaptasi dengan berbagai cara, periode kelaparan ini secara luas dikenang sebagai masa berakhirnya gaya hidup tradisional selepas kedatangan orang asing di tanah mereka.[44]
Hidangan Kontemporer
suntingSejak Madagaskar memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Prancis pada tahun 1960, hidangan Madagaskar telah mencerminkan variasi budaya dan pengaruh sejarah pulau tersebut. Di seluruh Madagaskar, beras dianggap sebagai bahan makanan pokok dan utama di seluruh wilayah, kecuali daerah paling kering di selatan dan barat.[45] Lauk yang disajikan dengan nasi bervariasi menurut ketersediaan bahan dan budaya setempat.
Di luar rumah, hidangan Madagaskar disajikan di warung pinggir jalan (gargottes) atau di restoran hotel. Makanan ringan dan makanan berbahan dasar nasi juga dapat dibeli dari pedagang kaki lima. Restoran kelas atas menawarkan variasi masakan asing dan hidangan Madagaskar yang lebih luas dengan pengaruh Prancis dan pengaruh luar lainnya dalam teknik persiapan, bahan, dan presentasi.[33]
Nasi (vary)
suntingNasi (vary) adalah basis pola makan Madagaskar dan biasanya dikonsumsi setiap waktu makan.[46] Kata kerja "to eat a meal" dalam bahasa Madagaskar adalah mihinam-bary, yang secara harfiah berarti makan nasi.[46] Beras dapat disiapkan dengan berbagai jumlah air untuk menghasilkan nasi kering yang lembut (vary maina, [ˌvarʲ ˈmajnə̥]) yang dimakan dengan semacam pelengkap berupa laoka dalam saus. Sementara untuk beras yang disiapkan dengan air berjumlah ekstra akan menghasilkan bubur nasi kental yang disebut vary sosoa ([ˌvarʲ suˈsu]. Vary sosoa biasanya disantap sebagai sarapan atau makanan bagi orang yang sakit.[47] Vary sosoa dapat disertai dengan laoka kering seperti kitoza dan potongan daging zebu asap.[48] Hidangan nasi populer lainnya adalah vary amin'anana ([ˈvarʲ ˌjamʲˈnananə̥]), yakni bubur tradisional yang dibuat dari beras, daging, dan sayuran cincang.[49]
Selama famadihana (upacara penguburan) di dataran tinggi, jenis olahan nasi khusus yang disebut vary be menaka ([ˈvarʲ beˈmenakə̥] atau "nasi dengan banyak lemak") adalah nasi yang disajikan dengan potongan daging sapi berlemak atau potongan daging babi yang sangat berlemak.[33]
Lauk (laoka)
suntingLaoka dalam versi resmi bahasa Malagasi dialek dataran tinggi,[46] memiliki arti lauk-pauk yang disajikan bersama nasi. Laoka kerap disajikan dalam beberapa jenis saus. Di dataran tinggi, saus ini umumnya berbahan dasar tomat; sedangkan di daerah pesisir sering ditambahkan santan saat proses memasak.[33] Di wilayah Madagaskar selatan dan barat yang tergolong gersang dan terbiasa menggembala zebu, susu zebu segar atau dadihnya sering ditambahkan dalam laoka sayur.[52]
Laoka memiliki beragam variasi. Seperti misalnya, laoka yang dibuat dari kacang tanah Bambara dengan daging babi, sapi atau ikan; parutan daun singkong dengan kacang tanah, daging sapi atau babi; hidangan henan'omby dengan daging zebu, hidangan trondro gasy ([ˌtʂundʐʷ ˈɡasʲ]) dengan berbagai ikan air tawarnya; hidangan akoho ([aˈkuː]) berupa ayam yang ditumis dengan jahe dan bawang putih atau dimasak menggunakan sari ayam tersebut dengan api kecil. Laoka dibuat dari berbagai jenis boga bahari yang lebih mudah tersedia di sepanjang pantai atau di pusat kota besar.[53][54]
Rebusan daun dan bunga dari berbagai tanaman lokal seperti anamamy (Morele greens), anamafaitra (Martin greens), dan khususnya anamalao (paracress) memiliki efek analgesik ringan. Biasanya sayuran hijau itu dijual bersama dengan sayuran lain seperti, anandrano (selada air) dan anatsonga (bok choy).[55]
Di wilayah selatan dan barat yang gersang yang didiami oleh masyarakat etnis Bara atau Tandroy mengonsumsi ubi jalar, talas, akar talas, singkong, milet, dan jagung sebagai makanan pokok. Bahan pokok tersebut umumnya diolah dengan cara direbus dengan air dan terkadang disajikan dengan susu atau dibumbui dengan kacang yang dihancurkan.[56]
Bawang putih, bawang bombai, jahe, tomat, kari halus, dan garam adalah bahan yang paling umum digunakan untuk membumbui hidangan Madagaskar. Sementara itu, di daerah pesisir juga ditambahkan bahan lain, seperti santan, vanili, cengkih atau kunyit.[57] Alih-alih mencampurkan bumbu-bumbu tersebut saat proses memasak, berbagai bumbu itu disajikan di samping menu utama dan dicampur ke dalam nasi atau laoka sesuai dengan selera masing-masing individu.[58] Untuk bumbu yang paling umum dan dasar ialah sakay ([saˈkai̯]). Sakay sendiri merupakan bumbu pedas yang terbuat dari cabai merah atau hijau.[59]
Bumbu ala India yang terbuat dari acar mangga, lemon, dan buah-buahan lainnya (dikenal sebagai achards atau lasary) menjadi menu khas di pesisir.[1] Sedangkan, di wilayah dataran tinggi, lasary seringkali merujuk pada hidangan salad yang terdiri dari kacang hijau, kubis, wortel, dan bawang dengan saus vinaigrette. Lasary pesisir ini sangat populer sebagai lauk atau isian sandwich baguette.[60]
Ro ([ru], kaldu) dapat disajikan sebagai laoka utama atau sebagai tambahan untuk membumbui dan melembabkan nasi. Ro-mangazafy ([rumaŋɡaˈzafʲ]) adalah kaldu yang kaya dan beraroma yang dibuat dari campuran daging sapi, tomat, dan bawang putih, serta sering melengkapi laoka kering.[61] Sebaliknya, Romatsatso ([rumaˈtsatsʷ]) adalah kaldu yang ringan dan relatif tanpa rasa yang terbuat dari bawang bombai, tomat, dan sayuran anamamy yang disajikan dengan daging atau unggas berlemak.[62] Sedangkan ron-akoho ([runaˈku]) ialah kaldu yang dibuat dari ayam dan jahe serta biasanya dikonsumsi saat pilek.[62] Sementara itu, rompatsa ([rumˈpatsə̥]) ialah kaldu yang terbuat dari udang kering kecil, daging sapi, daun ubi jalar, dan kentang. Biasanya rompatsa dikonsumsi oleh ibu menyusui.[51]
Kemudian, hidangan nasional Madagaskar ialah kaldu yang disebut dengan romazava. Dalam bentuk yang paling sederhana, romazava terbuat dari daging sapi dengan sayuran anamalao, anantsonga atau anamamy. Hidangan romazava dikenal karena menggunakan bunga anamalao. Bunga anamalo akan menghasilkan efek analgesik ringan saat kaldu dikonsumsi. Sementara itu, untuk romazava versi kompleks dan beraroma maka ditambahkan bahan-bahan umum, seperti tomat, bawang bombai, dan jahe.[63]
Makanan Jalanan
suntingBerbagai kue dan gorengan secara kolektif dikenal sebagai mofo ([ˈmuf], yang berarti "roti") dan tersedia di kios-kios yang terletak di kota-kota besar dan kecil di seluruh Madagaskar.[64] Yang paling sering dijumpai adalah mofo gasy atau "roti Malagasi" yang terbuat dari adonan tepung beras ketan yang dituangkan ke dalam cetakan melingkar yang telah dilumuri minyak dan dimasak di atas arang.
Mofo gasy adalah sarapan populer yang sering dimakan dengan kopi dan dijual di kios-kios.[65] Di wilayah pesisir, mofo dibuat dari santan dan dikenal dengan nama mokary ([muˈkarʲ]).[66] Mofo dengan rasa manis antara lain ialah donat goreng bernama menakely,[67] bola goreng yang disebut dengan mofo baolina ([ˌmuf ˈbolː]),[68] dan berbagai gorengan dengan isian buah, seperti nanas dan pisang.[69]
Sedangkan, mofo dengan rasa gurih antara lain ialah ramanonaka ([ˌramaˈnunakə̥]), mofo gasy asin yang digoreng dengan lemak babi,[70] dan mofo sakay ([ˌmuf saˈkai̯], "roti pedas") yang terbuat dari sayuran cincang, bawang bombai, tomat, dan cabai.[71]
Di pasar dan pom bensin, orang dapat menjumpai penjaja koba akondro ([kubaˈkundʐʷ]). Sebagai manisan, koba akondro terbuat dari adonan yang berisi kacang tanah, pisang yang telah ditumbuk, madu, dan tepung jagung yang dibungkus dengan daun pisang, dikukus atau direbus hingga adonan mengeras.[33][72]
Ampyang kacang, pisang kering, bola-bola pasta asam jawa yang digulung dengan gula berwarna, dan adonan sejenis pangsit goreng bernama kaka pizon ([kaka pizõ], atau yang berarti "kotoran merpati"), serta yogurt rumahan juga biasa dijajakan dan dimakan di sekitaran Pulau Reunion.[73] Sementara itu, masyarakat di wilayah pedesaan biasa mengonsumsi singkong atau ubi jalar kukus yang kadangkala dipadukan dengan susu segar atau susu kental manis.[72]
Hidangan Penutup
suntingSecara tradisional, buah segar dikonsumsi oleh orang Madagaskar setelah menyantap hidangan utama, sehingga disebut sebagai hidangan penutup.[74] Begitu pula, tebu segar yang bisa dijadikan camilan dengan cara dikunyah.[75] Selain itu, berbagai buah-buahan iklim sedang dan tropis juga ditanam oleh penduduk lokal dan dapat dinikmati secara langsung atau dengan tambahan taburan gula.
Buah beriklim sedang yang ditemukan di Madagaskar di antaranya adalah apel, lemon, labu, semangka, jeruk, ceri, stroberi, dan masih banyak lagi.
Sedangkan, buah tropis yang umum dikonsumsi oleh orang Madagaskar antara lain ialah kelapa, asam jawa, mangga, nanas, alpukat, markisa, dan biwa, yang dalam bahasa lokal disebut dengan pibasy ([piˈbasʲ]). Terdapat juga buah jambu biji, lengkeng, leci, kesemek dan "pok-pok" (juga disebut voanantsindrana [vunˈtsinɖʳanə̥] ), buah yang mirip dengan physalis. Untuk wilayah pesisir barat, buah pohon baobab biasa dikonsumsi ketika periode singkat menjelang akhir musim hujan.[76]
Sementara itu, Madagaskar juga terkenal sebagai negara pengekspor kakao [77] dan vanili.[78] Di daerah pesisir Madagaskar atau di restoran pedalaman kelas atas, vanili dapat digunakan untuk membuat saus gurih saat memasak hidangan berbahan unggas.[79]
Koban-dravina ([ˌkubanˈɖʳavʲnə̥]) atau koba ([ˈkubə̥]) adalah makanan khas Malagasi yang terbuat dari kacang tanah dan gula merah yang digiling dan dimasukkan ke dalam pasta tepung beras guna membentuk buntalan silinder. Buntalan silinder tersebut kemudian dibungkus menggunakan daun pisang dan direbus selama 24 hingga 48 jam atau lebih guna memastikan gula berubah menjadi karamel dan kacang bertekstur lunak. Koba yang telah jadi selanjutnya disajikan dalam bentuk irisan tipis.
Bonbon coco adalah permen populer Madagaskar yang terbuat dari kelapa parut dan dimasak dengan cara mengkaramelisasikan gula yang kemudian dibentuk menjadi bola kenyal. Sementara itu, ada juga kue godro-godro ([ɡuɖʳˈɡuɖʳʷ]) atau sejenis puding santan kental khas Madagaskar yang sangat populer dan dapat ditemukan di Komoro.[80]
Kemudian, masuknya budaya Prancis dalam hidangan penutup Madagaskar dapat dilihat dari banyaknya Patiseri yang menjual kue kering dan olahan roti khas Prancis baik di kota besar maupun wilayah kecil di seantero Madagaskar.[81]
Minuman
suntingRanon'ampango ([ˌranʷnamˈpaŋɡʷ])[82] dan ranovola ([ranʷˈvulə̥])[83] adalah minuman paling umum dan tradisional di Madagaskar. Keduanya merupakan minuman yang dibuat setelah proses menanak nasi. Cara pembuatannya ialah lapisan tipis nasi yang dibakar dibiarkan di bagian bawah panci dan dipanaskan bersama dengan air. Minuman ini menjadi alternatif air tawar dengan rasa tambahan dan aman dikonsumsi.[74]
Selain itu, terdapat berbagai minuman lain yang diproduksi secara lokal.[84] Kopi misalnya, ditanam di bagian timur pulau dan telah menjadi standar minuman manakala sarapan. Kopi yang disajikan ini biasanya berupa kopi hitam murni atau dengan tambahan susu kental manis dan dijajakan di sepanjang jalan.
Sementara untuk teh yang paling populer di Madagaskar ialah teh hitam murni atau yang terkadang diracik dengan vanili dan teh herbal khususnya yang terbuat dari serai dan lemon bush (ravin'oliva[ˌravʲnoˈlivə̥]. Sedangkan jus ala Madagaskar biasanya terbuat dari jambu biji, markisa, nanas, asam jawa, baobab, dan buah lainnya.
Susu segar merupakan barang mewah, sehingga penduduk Madagaskar mengonsumsi yogurt lokal, es krim, atau susu kental manis yang diseduh dengan air panas sebagai sumber utama kalsium.
Sementara itu, minuman ringan Madagaskar terdiri dari kola dan soda jeruk yang diproduksi secara lokal. Misalnya, Bonbon Anglais, soda lemon lokal yang memiliki cita rasa manis dan produk Coca-Cola yang sangat populer dan telah dikonsumsi di seluruh pulau.[85]
Selanjutnya, ada banyak minuman beralkohol yang diproduksi untuk keperluan konsumsi lokal dan ekspor terbatas.[65] Contohnya saja, produk lokal Pilsner seperti Three Horses Beer yang sangat populer dan ada di mana-mana. Produksi anggur dilakukan di dataran tinggi selatan sekitar kota Fianarantsoa. Sementara, rum (toaka gasy [ˌtokə̥ ˈɡasʲ]) diproduksi secara luas dan dapat diminum secara murni, ditambahkan perasa dari buah-buahan dan rempah-rempah eksotis guna menghasilkan rhum arrangé, dan atau dicampur dengan santan untuk membuat koktail punch coco.[85] Bentuk rum paling tradisional disebut dengan "betsabetsa" dan terbuat dari sari tebu yang difermentasi. Rum disajikan untuk keperluan ritual di banyak wilayah Madagaskar. Di mana tradisinya dilakukan dengan cara membuang tutup pertama dari botol rum yang baru dibuka ke sudut timur laut ruangan sebagai persembahan dan tanda penghormatan kepada arwah leluhur.[86]
Pada pertemuan sosial, minuman beralkohol biasanya juga disajikan bersama camilan goreng dengan rasa gurih yang dikenal secara kolektif sebagai tsakitsaky. Tsakitsaky.biasanya terdiri dari kacang goreng, keripik kentang, nems, sambos, dan kaka pizon.[87]
Lihat pula
suntingCatatan kaki
sunting- ^ a b c Espagne-Ravo 1997, hlm. 79–83.
- ^ a b c d e Gade 1996, hlm. 105.
- ^ a b Blench 1996, hlm. 420–426.
- ^ Campbell 1993, hlm. 113–114.
- ^ a b Sibree 1896, hlm. 333.
- ^ a b Stiles, D. (1991). "Tubers and Tenrecs: the Mikea of Southwestern Madagascar". Ethnology. 30 (3): 251–263. doi:10.2307/3773634. JSTOR 3773634.
- ^ Presenter: David Attenborough; Director: Sally Thomson; Producer: Sally Thomson; Executive Producer: Michael Gunton (2 Maret 2011). BBC-2 Presents: Attenborough and the Giant Egg. BBC.
- ^ Virah-Sawmy dkk (2010). "Evidence for drought and forest declines during the recent megafaunal extinctions in Madagascar". Journal of Biogeography. 37 (3): 506–519. doi:10.1111/j.1365-2699.2009.02203.x.
- ^ Perez dkk (2005). "Evidence of early butchery of giant lemurs in Madagascar". Journal of Human Evolution. 49 (6): 722–742. doi:10.1016/j.jhevol.2005.08.004. PMID 16225904.
- ^ Butler, R (2005). "Lemur hunting persists in Madagascar: Rare primates fall victim to hunger". mongabay.com. Mongabay. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 April 2011. Diakses tanggal 10 Januari 2022.
- ^ a b c d Campbell 1993, hlm. 116.
- ^ Olson, S. (1984). "The robe of the ancestors: Forests in the history of Madagascar". Journal of Forest History. 28 (4): 174–186. doi:10.2307/4004807. JSTOR 4004807.
- ^ Linton 1928, hlm. 386.
- ^ Linton 1928, hlm. 367.
- ^ a b Raison-Jourde, F (1983). Les Souverains de Madagascar (dalam bahasa Prancis). Antananarivo, Madagascar: Karthala Editions. hlm. 29. ISBN 978-2-86537-059-7.
- ^ Grandidier (1899), p. 521
- ^ Kent, Raymond (1970). Early Kingdoms in Madagascar: 1500–1700. New York: Holt, Rinehart and Winston. hlm. 93. ISBN 978-0-03-084171-2.
- ^ Bloch, M (1997). Placing the dead: tombs, ancestral villages and kinship organization in Madagascar. London: Berkeley Square House. hlm. 179–180. ISBN 9780881337662.
- ^ Campbell 1993, hlm. 131.
- ^ Jones, W (1957). "Manioc: An example of innovation in African economies". Economic Development and Cultural Change. 5 (2): 97–117. doi:10.1086/449726.
- ^ Campbell 1993, hlm. 117.
- ^ Campbell 1993, hlm. 127, 142.
- ^ Kaufmann, J.C. (2000). "Forget the Numbers: The Case of a Madagascar Famine". History in Africa. 27 (1): 143–157. doi:10.2307/3172111. JSTOR 3172111.
- ^ Campbell 1993, hlm. 125.
- ^ Sibree, J (1885). The Antananarivo annual and Madagascar magazine. Volume 3. Antananarivo, Madagascar: London Missionary Society Press. hlm. 405.
- ^ Robinson, H (1831). Narrative of Voyages to Explore the Shores of Africa, Arabia, and Madagascar. Volume 1. New York: J & J Harper. hlm. 112.
- ^ Mutibwa & Esoavelomandroso (1989). "Madagascar: 1800–1880". Dalam Ade Ajayi, Jacob Festus. General History of Africa VI: Africa in the Nineteenth Century until the 1880s . Paris: UNESCO. hlm. 412–447. ISBN 978-0-520-06701-1.
- ^ Campbell 2005, hlm. 107.
- ^ Karner, J (2006). The Biography of Vanilla. New York: Crabtree Publishing Company. hlm. 22. ISBN 978-0-7787-2490-2.
- ^ Wildeman, E (1902). Les plantes tropicales de grande culture (dalam bahasa Prancis). Paris: Maison d'édition A. Castaigne. hlm. 147–148.
- ^ Auzias et al. 2009, hlm. 150.
- ^ a b Bradt 2011, hlm. 312.
- ^ a b c d e Spolsky, B (2004). Language Policy. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. hlm. 137. ISBN 978-0-521-01175-4.
- ^ Auzias et al. 2009, hlm. 92.
- ^ Campbell 2005, hlm. 107–111.
- ^ Donenfeld 2007, hlm. 19.
- ^ McLean Thompson & Adloff (1965). The Malagasy Republic: Madagascar today . Stanford, California: Stanford University Press. hlm. 271. ISBN 978-0-8047-0279-9.
- ^ Andrew dkk (2008). Madagascar & Comoros. Melbourne, Australia: Lonely Planet. hlm. 44. ISBN 978-1-74104-608-3.
- ^ Savoir Cuisiner 2004, hlm. 5.
- ^ Oliver 1885, hlm. 115.
- ^ Martin, F (1916). "Madagascar". The Statesman's Year-book: Statistical and Historical Annual of the States of the World for the Year 1916. London: St. Martin's Press. hlm. 905–908.
- ^ Espagne-Ravo 1997, hlm. 97.
- ^ Espagne-Ravo 1997, hlm. 21–27.
- ^ a b Middleton, K (1997). "Death and Strangers". Journal of Religion in Africa. 27 (4): 341–373. doi:10.1163/157006697x00199.
- ^ Faublée 1942, hlm. 157.
- ^ a b c Sibree, J (1915). A Naturalist in Madagascar. London: J.B. Lippincott Company. hlm. 106.
- ^ Boissard 1997, hlm. 30.
- ^ Savoir Cuisiner 2004, hlm. 26.
- ^ Savoir Cuisiner 2004, hlm. 30–31.
- ^ Savoir Cuisiner (2004), p. 46
- ^ a b Ficarra dkk (2006). Universalisme du lien mère-enfant et construction culturelle des pratiques de maternage (PDF). Cours OIP-505A Semiotique de la culture et communication interculturelle (dalam bahasa Prancis). INALCO-CFI/OIPP. hlm. 51. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 16 Januari 2011. Diakses tanggal 10 Januari 2022.
- ^ Faublée 1942, hlm. 194–196.
- ^ Espagne-Ravo 1997.
- ^ Savoir Cuisiner 2004.
- ^ Savoir Cuisiner 2004, hlm. 7.
- ^ Faublée 1942, hlm. 192, 194–196.
- ^ Jacob & Michael (2006). The World Cookbook for Students. Volume 3, Iraq to Myanmar. Westport, Connecticut: Greenwood Press. hlm. 128–133. ISBN 978-0-313-33454-2.
- ^ Chan Tat Chuen 2010, hlm. 37–38.
- ^ Chan Tat Chuen 2010, hlm. 42.
- ^ Chan Tat Chuen 2010, hlm. 39.
- ^ Boissard 1997, hlm. 32.
- ^ a b Boissard 1997, hlm. 34.
- ^ Boissard 1997, hlm. 36–40.
- ^ Boissard 1997, hlm. 80.
- ^ a b Bradt 2011, hlm. 101–102.
- ^ Donenfeld 2007, hlm. 7.
- ^ Chan Tat Chuen 2010, hlm. 97–98.
- ^ Savoir Cuisiner 2004, hlm. 18–19.
- ^ Espagne-Ravo 1997, hlm. 131–132.
- ^ Jeanguyot & Ahmadi (2002). Grain de riz, grain de vie (dalam bahasa Prancis). Paris: Editions Quae. hlm. 87. ISBN 978-2-914330-33-6.
- ^ Ranaivoson, D (2007). 100 mots pour comprendre Madagascar (dalam bahasa Prancis). Paris: Maisonneuve & Larose. hlm. 18–19. ISBN 978-2-7068-1944-5.
- ^ a b Weber, K (2010). True Confections. New York: Random House. hlm. 149. ISBN 978-0-307-39586-3.
- ^ Pitcher & Wright (2004). Madagascar & Comoros. Melbourne, Australia: Lonely Planet. hlm. 37. ISBN 978-1-74104-100-2.
- ^ a b Sandler, B (2001). The African Cookbook. New York: Citadel Press. hlm. 85–94. ISBN 978-0-8065-1398-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 April 2011. Diakses tanggal 10 Januari 2022.
- ^ Faublée 1942, hlm. 174.
- ^ Janick, Jules; Paull, Robert E., ed. (2008). "Bombacaceae: Adansonia Digitata Baobab". The Encyclopedia of Fruit & Nuts. Cambridge, Massachusetts: Cabi Publishing. hlm. 174–176. ISBN 978-0-85199-638-7.
- ^ Motavalli, J (November–December 2007). "Sweet Dreams: Fair trade cocoa company Theo Chocolate". E: The Environmental Magazine. hlm. 42–43. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Juli 2012. Diakses tanggal 10 Januari 2022.
- ^ Ecott, T (2004). Vanilla: Travels in search of the Luscious Substance. London: Penguin Books. hlm. 222. ISBN 978-0-7181-4589-7.
- ^ Chan Tat Chuen 2010, hlm. 62.
- ^ Nativel & Rajaonah 2009, hlm. 152.
- ^ Bradt & Austin 2007, hlm. 165–166.
- ^ Espagne-Ravo 1997, hlm. 39.
- ^ Savoir Cuisiner 2004, hlm. 27.
- ^ Bradt & Austin 2007, hlm. 115.
- ^ a b Bradt & Austin 2007, hlm. 114.
- ^ Nativel & Rajaonah 2009, hlm. 165.
- ^ Chan Tat Chuen 2010, hlm. 49–57.
Referensi
sunting- Auzias, Dominique; Labourdette, Jean-Paul; Mauro, Didier; Raholiarisoa, Emeline (2009). Le Petit Futé Madagascar (dalam bahasa Prancis). Paris: Petit Futé. ISBN 978-2-7469-2684-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2022-01-23.
- Blench, Roger (1996). "The Ethnographic Evidence for Long-Distance Contacts Between Oceania and East Africa" (PDF). Dalam Reade, Julian. The Indian Ocean in Antiquity. London: British Museum. hlm. 417–438. ISBN 978-0-7103-0435-3. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 April 2011. Diakses tanggal 10 Januari 2022.
- Boissard, Pierre (1997). Cuisine Malgache, Cuisine Creole (dalam bahasa Prancis). Antananarivo, Madagascar: Librairie de Tananarive.
- Bradt, Hilary; Austin, Daniel (2007). Madagascar (edisi ke-9th). Guilford, Connecticut: The Globe Pequot Press Inc. ISBN 978-1-84162-197-5.
- Bradt, Hilary (2011). The Bradt Travel Guide - Madagascar (edisi ke-11th). Guilford, Connecticut: The Globe Pequot Press Inc. hlm. 1–424. ISBN 978-1-84162-341-2.
- Campbell, Gwyn (1993). "The Structure of Trade in Madagascar, 1750–1810". The International Journal of African Historical Studies. 26 (1): 111–148. doi:10.2307/219188. JSTOR 219188.
- Campbell, Gwyn (2005). An economic history of Imperial Madagascar, 1750–1895: the rise and fall of an island empire. London: Cambridge University Press. hlm. 1–434. ISBN 978-0-521-83935-8.
- Chan Tat Chuen, W (2010). Ma Cuisine de Madagascar (dalam bahasa Prancis). Paris: Jean-Paul Rocher Editeur. ISBN 978-2-917411-32-2.
- Donenfeld, Jill (2007). Mankafy Sakafo:Delicious meals from Madagascar. New York: iUniverse. hlm. 19. ISBN 978-0-595-42591-4.
- Espagne-Ravo, Angéline (1997). Ma Cuisine Malgache: Karibo Sakafo (dalam bahasa Prancis). Paris: Edisud. hlm. 1–159. ISBN 978-2-85744-946-1.
- Faublée, Jacques (1942). "L'alimentation des Bara (Sud de Madagascar)". Journal de la Société des Africanistes (dalam bahasa Prancis). 12 (12): 157–202. doi:10.3406/jafr.1942.2534. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 April 2011. Diakses tanggal 10 Januari 2022.
- Gade, Daniel W. (1996). "Deforestation and its effects in Highland Madagascar". Mountain Research and Development. 16 (2): 101–116. doi:10.2307/3674005. JSTOR 3674005.
- Grandidier, A. (1899). Guide de l'immigrant à Madagascar (dalam bahasa Prancis). Paris: A Colin et cie. hlm. 1–476. ISBN 978-1246576498.
- Linton, R. (1928). "Culture Areas in Madagascar". American Anthropologist. 30 (3): 363–390. doi:10.1525/aa.1928.30.3.02a00010 .
- Nativel, Didier; Rajaonah, Faranirina (2009). Madagascar revisitée: en voyage avec Françoise Raison-Jourde (dalam bahasa Prancis). Paris: Editions Karthala. ISBN 978-2-8111-0174-9.
- Oliver, Samuel Pasfield (1885). The True Story of the French Dispute in Madagascar. London: T.F. Unwin. hlm. 1–328. ISBN 978-1378237236.
- Savoir Cuisiner: La Cuisine de Madagascar (dalam bahasa Prancis). Saint-Denis, Reunion: Editions Orphie. 2004. hlm. 1–10. ISBN 978-2-87763-020-7.
- Sibree, James (1896). Madagascar Before the Conquest: The Island, the Country and the People. London: T.F. Unwin. hlm. 1–20. ISBN 978-0404121402.