Dampak pandemi COVID-19 terhadap politik

Pandemi COVID-19 memengaruhi sistem politik beberapa negara yang menyebabkan skorsing kegiatan legislatif, isolasi atau kematian beberapa politisi, dan penjadwalan ulang pemilihan karena kekhawatiran menyebarkan virus.

Dampak umum

sunting

Respons terhadap pandemi ini menghasilkan perluasan kekuasaan pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para pendukung pemerintahan kecil khawatir bahwa negara akan enggan menyerahkan kekuasaan itu setelah krisis berakhir, seperti yang sering terjadi dalam sejarah.[1]

Bentuk kapitalisasi politik luar negeri yang dilakukan oleh masing-masing negara di tengah masa pandemi ini menjadi sebuah fenomena yang tak terelakan. Kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia melakukan gerakan secara intensif yang disebut dengan Gerakan Organisasi Non-Blok karena merupakan pilihan yang strategis dan paling tepat. Dengan bersikap tidak memihak pada salah satu kubu akan lebih mudah bagi kelompok negara berkembang untuk mendapatkan dukungan dari kubu barat (Amerika Serikat dan sekutunya), sekaligus mendapatkan manfaat dari kubu timur (Cina dan sekutunya). Terlebih dalam pandemi ini semakin mengukuhkan bahwa global health menjadi satu instrumen politik, karena kondisi ini juga membuat pemetaan negara dengan model kapital kuat dan berkembang menjadi lebih jelas dengan indikator kapasitas kesehatan publik yang dimiliki oleh negara itu sendiri.[2]

Dampak yang ditimbulkan oleh pandemi ini memiliki potensi besar untuk mengganggu kondisi sosial-politik di daerah-daerah terdampak. Implikasi politik-keamanan bisa jadi bersinggungan dan beragam bentuknya di berbagai negara, tergantung pada kemampuan respon pemerintah dan efektivitas keterlibatan masyarakat sipil di negara tersebut. Kondisi ideal yang harus dilakukan pemerintah dan negara adalah negara mampu membangun kerja sama dengan masyarakat sipil dalam menangani wabah dan mengurangi dampak implikasi terhadap sosial-politiknya.[3]

Dampak pada politik nasional

sunting

Korea Selatan

sunting

Hubungan diplomatik antara Jepang dan Korea Selatan memburuk, karena Korea Selatan mengkritik "upaya karantina pasif dan ambigu Jepang", setelah Jepang mengumumkan siapa pun yang datang dari Korea Selatan akan ditempatkan dalam karantina dua minggu di sebuah lokasi isolasi yang dirancang pemerintah.[4]

Setelah wabah virus di Korea Selatan, lebih dari 1.450.000 orang menandatangani petisi yang mendukung pemakzulan Presiden Moon Jae-in karena dia mengirim masker dan perlengkapan medis ke Tiongkok untuk membantu mereka dalam menanggapi wabah virus.[5] Penanganan krisis terus-menerus oleh pemerintahan Moon telah dicatat di sektor-sektor lain oleh masyarakat Korea dan internasional. Sebuah jajak pendapat oleh Gallup Korea pada bulan Maret 2020 menunjukkan peringkat persetujuan Moon naik dari 5% menjadi 49%.[6]

Indonesia

sunting

Pilkada Indonesia 2020 yang rencananya akan diadakan pada 23 September ditunda, dan Komisi Pemilihan Umum Indonesia mengusulkan penundaan paling cepat hingga 9 Desember, yang kemudian disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan kemudian ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 5 Mei. Anggaran pemilu sebelumnya yang sekitar US$550 juta dialokasikan kembali untuk pengelolaan dan pengendalian pandemi.[7][8]

Kekhawatiran pemerintah terhadap pandemi COVID-19 pada pesta demokrasi di Indonesia setiap lima tahun sekali baik itu persiapan dari setiap partai politik dan para calon kontestan politik menimbulkan dilema bagi sejumlah kelompok politik. Setiap partai politik dan kontestan perlu mengadakan pendekatan terhadap pemilih seperti melakukan kampanye dan sosialisasi program kerja, visi dan misi namun disisi lain dengan adanya pandemi Covid-19 ini mengharuskan partai politik, para kontestan dan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan Covid-19 berdasarkan anjuran dari pemerintah setempat. Hal ini membuat setiap partai politik dan kontestan harus bekerja lebih keras lagi untuk mengumpulkan suara dalam pemilihan, karena tidak diadakannya kampanye dan sosialiasi oleh partai politik dan kontestan akan sulit meyakinkan pemilih untuk menentukan pilihan.[9]

Pandemi Covid-19 yang telah terjadi di Indonesia telah membawa perubahan dalam berbagai bidang, salah satunya di dunia politik. Pemerintah seharusnya memanfaatkan kondisi darurat ini mendekatkan diri atau kembali lagi kepada konstituennya sebagai perwakilan rakyat, bukan malah mencari keuntungan dari segi materi maupun politis. Selain itu, peran media juga menjadi pusat perhatian dalam melihat situasi ini karena banyak media hanya menyebarkan informasi yang memperburuk kondisi masyarakat. Media hanya memperhatikan rating saja tanpa mengutamakan informasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.[10]

Pada bidang politik seperti pemilihan umum, pandemi Covid-19 membuat para akademisi di kampus-kampus progresif seperti di University of Diponegoro mengadakan pertemuan untuk membahas proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Beberapa akademisi mengusulkan tetap mengadakan pemilu dengan sistem pemilihan perwakilan atau Representative Democracy dengan berbasis digitalisasi. Hal itu dilakukan untuk efisiensi dan efektifitas dalam penyelenggaraan pemilu yang dimana adanya pandemi Covid-19 yang memaksa segala sesuatu dilakukan secara digital atau bahkan online.[11] Dalam hal konsensus yang diakibatkan pandemi Covid-19 adalah banyak kegiatan yang menghasilkan suatu keputusan dilakukan secara online dan menggunakan data serta perangkat digital elektronik. Digitalisasi yang terjadi di masa pandemi ini membuat sistem pemilihan umum memungkinkan dilakukan di masa depan secara online.[12]

Dengan adanya pandemi Covid-19 ini, Indonesia dipaksa untuk mulai menjalin kembali hubungan politik dengan berbagai negara lain. Hubungan diplomasi yang dibangun Indonesia bertujuan untuk memaksimalkan dalam hal penyelamatan warga negara Indonesia yang berada di luar negeri salah satunya dengan cara kerjasama dalam pencarian vaksin Covid-19. Dengan adanya hubungan diplomasi Indonesia dengan negara luar seperti China maka akan menimbulkan ketidaknyamanan dengan Amerika Serikat karena berbeda kubu dalam hal politik.[13]

Pilkada pada era pandemi Covid-19 banyak memunculkan beberapa tantangan bagi pelaksana maupun kontestan pilkada seperti meningkatnya pendanaan pilkada sebagai praktik demokrasi langsung karena melibatkan masyarakat dan di sisi lain negara masih memerlukan pendanaan untuk penyelesaian dan penanggulangan pandemi Covid-19 serta pelaksanaan praktik demokrasi melalui pilkada harus memenuhi beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain keterlibatan masyarakat, bagaimana masyarakat turut serta dalam pesta demokrasi dengan berbagai pembatasan melalui kebijakan Physical Distancing yang diterapkan pemerintah.[14]

Referensi

sunting
  1. ^ The Economist, March 28th 2020, page 7.
  2. ^ Sushanti 2020, hlm. 18.
  3. ^ Gindarsah 2020, hlm. 2.
  4. ^ "Coronavirus quarantine plans ignite row between South Korea and Japan". The Guardian. 6 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 March 2020. Diakses tanggal 9 April 2020. 
  5. ^ "South Korea's President Tried to Help China Contain the Coronavirus. Now People Want Him Impeached". Foreign Policy. 9 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 March 2020. Diakses tanggal 9 April 2020. 
  6. ^ "데일리 오피니언 제392호(2020년 3월 2주) - 총선 기대, 차기 정치 지도자, 코로나19, 마스크 관련 인식" (PDF). 한국갤럽. 13 March 2020. 
  7. ^ "Govt, House agree to reschedule 2020 regional elections' voting day to Dec. 9". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). 15 April 2020. Diakses tanggal 10 May 2020. 
  8. ^ Prasetia, Andhika (5 May 2020). "Jokowi Resmi Terbitkan Perppu, Pilkada 2020 Digeser ke Desember". detiknews. Diakses tanggal 10 May 2020. 
  9. ^ Dari dan Humau 2020, hlm. 96.
  10. ^ Jiwandono, Setiawan dan Oktaviyanti 2020, hlm. 298.
  11. ^ Wibawa 2016, hlm. 287-288.
  12. ^ Wisnaeni 2020, hlm. 188-189.
  13. ^ Setiawan 2020, hlm. 69-70.
  14. ^ Hilman, Khoirurrosyidin dan Lestarini 2020, hlm. 143.

Daftar pustaka

sunting