Patung Buddha Bamiyan

Patung Buddha Hancur di Bamiyan
(Dialihkan dari Buddha Bamiyan)

Patung Buddha dari Bamiyan dahulu merupakan monumen yang terdiri dari dua patung Buddha yang berdiri dan diukir di sisi sebuah jurang di lembah Bamiyan, di tengah Afganistan. Lokasi patung berada kurang lebih 230 km arah barat laut Kabul pada ketinggian 2500 meter. Kemungkinan besar patung-patung ini dibuat pada abad ke-5 atau ke-6 dan merupakan perpaduan klasik antara seni gaya Yunani dan seni Buddha.[3]

Pemandangan Budaya dan Peninggalan Arkeologi di Lembah Bamiyan
Situs Warisan Dunia UNESCO
Buddha Barat 55 meter lebih besar
Buddha Timur lebih kecil 38 meter
Buddha Bamiyan (ditampilkan sebelum 2001) di ditanggalkan 591–644 M (Buddha Barat) dan 544–595 M (Buddha Timur).[1][2]
KriteriaBudaya: i, ii, iii, iv, vi.
Nomor identifikasi208
Pengukuhan2003 (ke-27)
Endangered2003-

Tubuh-tubuh utama ditatah secara langsung dari batu tebing, namun detailnya dibuat dengan lumpur yang dicampur dengan jerami dan dilapisi dengan semacam semen. Lapisan ini yang sebagian besar praktis sudah hilang semenjak dahulu kala, kemudian dicat untuk mewujudkan ekspresi wajah, tangan dan lipatan-lipatan jubah secara lebih mendetail. Bagian bawah tangan-tangan patung juga dibuat dari campuran lumpur dan jerami yang sama, sementara didukung dengan kayu-kayu penopang. Diduga keras bagian atas wajah patung-patung dibuat dari topeng-topeng kayu raksasa. Deretan lubang yang bisa dilihat di foto merupakan tempat untuk menopang steger kayu yang mendukung lapisan semen luar.

Sejarah

sunting
 
Salah satu patung Buddha Bamiyan sebelum dihancurkan di Afganistan

Karena terletak di Jalur Sutra yang menghubungkan Tiongkok dan India dengan dunia barat, Bamiyan berkembang menjadi pusat agama dan filsafat. Daerah ini juga merupakan situs beberapa biara Buddha. Kemudian daerah ini juga penting karena merupakan tempat berpadu budaya Barat dan Timur untuk menciptakan bentuk-bentuk baru Seni Buddha-Yunani. Daerah ini merupakan salah satu pusat Buddha yang besar dari abad ke-2 SM sampai masuknya Islam ke lembah ini pada abad ke-9. Para biksu di biara-biara (vihara) tinggal sebagai pertapa di gua-gua kecil yang dibuat di tepi-tepi tebing sepanjang lembah Bamiyan. Banyak dari para biarawan ini menatah patung-patung di dalam gua-gua mereka. Banyak patung-patung Buddha dalam pose berdiri maupun duduk yang ukurannya bermacam-macam ditemukan menghadap jurang sedangkan gua-gua ini banyak pula yang dihiasi oleh para biksu dengan fresco yang berwarna-warni. Dua patung utama adalah Buddha dalam pose berdiri yang berukuran 55 dan 37 meter, contoh-contoh patung Buddha berdiri yang dipahat dan terbesar di dunia. Kedua patung ini merupakan marka tanah budaya untuk beberapa tahun dan situs ini bahkan disenaraikan di Daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Seorang peziarah Buddhis dari Tiongkok yang bernama Hsüan-tsang (Xuanzang) melewati daerah ini sekitar tahun 630 dan menulis bahwa Bamiyan adalah sebuah pusat Buddha yang berkembang "dengan lebih dari sepuluh biara dan lebih dari seribu biksu", ia juga menulis bahwa kedua patung Buddha ini "dihias dengan emas dan batu permata mulia" (Wriggins, 1996).

Penghancuran dan pembangunan kembali

sunting
 
Perbandingan patung Buddha Bamiyan sebelum dan sesudah penghancuran

Ketika Mahmud dari Ghazni menaklukkan Afganistan pada abad ke-12, patung-patung Buddha dan fresco-fresco tetap terlestarikan dari pengrusakan. Walau begitu, dalam kurun waktu bertahun-tahun para pengrusak simbol (iconoclast) Muslim, merusak beberapa detail patung, terutama wajah dan tangan.

Pada Juli 1999, Mullah Mohammed Omar menyerukan agar patung Buddha Bamiyan dilestarikan, karena potensial sebagai sumber pendapatan dari pengunjung internasional. Namun para pemuka agama Afgan melakukan kampanye untuk melarang semua hal yang dianggap bertentangan dengan Islam, termasuk patung berhala.

Pada tahun 2001 Mahkamah Agung Taliban memutuskan bahwa semua patung di Afganistan harus dihancurkan karena telah atau dapat menjadi berhala. Hal ini didukung oleh keputusan dari 400 pemuka agama Afganistan.

Akhirnya pada tahun 2001, setelah bisa terlestarikan selama lebih dari 1.500 tahun, pemerintahan Taliban mengeluarkan fatwa bahwa patung-patung ini adalah berhala, dan kemudian dihancurkan dengan dinamit dan tembakan tank. Pada bulan Maret 2001, kedua patung terbesar Buddha ini hancur setelah usaha pengeboman secara intensif selama hampir satu bulan.

Pada saat penghancuran, Menteri Penerangan Taliban, Qudratullah Jamal mengeluhkan bahwa, "pekerjaan pengrusakan ini tidaklah semudah apa yang dipikirkan oleh orang. Tidaklah mungkin untuk merusak patung-patung ini dengan menembakinya saja karena keduanya dipahat pada tebing jurang, mereka lekat sekali pada gunung."

Dalam wawancara dengan Mainichi Shimbun, Wakil Ahmad Mutawakel, menteri luar negeri Afganistan, menegaskan bahwa penghancuan patung Buddha adalah sesuai dengan hukum Islam, dan murni merupakan masalah religius (bukan pembalasan ekonomi).

Meski kedua patung-patung Buddha terbesar ini hampir seluruhnya rusak, sketsa figurnya dan beberapa ciri khasnya masih tampak. Bahkan para pengunjung masih bisa menjelajahi gua-gua para biksu dan lorong-lorong yang menghubungkan gua-gua ini. Maka sebagai bagian dari usaha internasional untuk membangun kembali Afganistan setelah perang Taliban, pemerintah Jepang sudah bertekad untuk membangun kembali kedua patung Buddha yang dihancurkan ini.

Reaksi Dunia

sunting

Dunia Internasional mengutuk keras perbuatan rezim Taliban ini, terutama negara-negara yang dihuni banyak umat Buddha seperti India, Sri Lanka, Taiwan, Jepang, dan Thailand. Tindakan biadab rezim Taliban ini juga mendapat kecaman dari Dunia Islam, termasuk semua anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam) seperti Pakistan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, karena memperburuk citra Islam di mata dunia dan tidak mencerminkan pendapat sebagian besar kaum Muslim di dunia yang mendukung toleransi antar umat beragama.

Perkembangan terakhir

sunting

Pada bulan Mei 2002, sebuah patung Buddha gunung, dipahat di sebuah lereng gunung di Sri Lanka. Patung ini sengaja didesain supaya mirip dengan salah satu patung Buddha di Bamiyan.

Pada bulan Desember 2004, para peneliti Jepang menemukan bahwa lukisan tembok Bamiyan sebenarnya dilukis antara abad ke-5 dan abad ke-9, bukan antara abad ke-6 dan ke-8 seperti diduga sebelumnya. Penemuan ini dilakukan dengan menganalisis isotop radioaktif yang terkandung dalam serat-serat jerami yang ditemukan di bawah lukisan. Penemuan selanjutnya diharapkan akan terjadi setelah membandingkan tanggal-tanggal yang tertera di lukisan dan gaya-gaya lukis.

Pada 8 September 2008, seorang arkeolog mengumumkan penemuan patung "Buddha tidur" (menggambarkan masuknya Buddha ke nirwana) setinggi 19 meter. Penemuan ini telah mengkonfirmasi catatan Xuanzang mengenai Buddha besar yang berposisi tidur di wilayah ini 14 abad yang lalu.[4]

Referensi

sunting
  1. ^ Blänsdorf, Catharina (2015). "Dating of the Buddha Statues – AMS 14C Dating of Organic Materials". 
  2. ^ Petzet, Michael, ed. (2009). The Giant Buddhas of Bamiyan. Safeguarding the remains (PDF). ICOMOS. hlm. 18–19. 
  3. ^ Morgan, Kenneth W. The Path of the Buddha. Pg.43. Google Books. Diakses tanggal 2 Juni 2009. 
  4. ^ "Archaeologists Find Giant 'Sleeping' Buddha In Afghanistan". rferl.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-07. Diakses tanggal 29 Oktober 2008. 

Lihat pula

sunting