Boenga Roos dari Tjikembang (film)

Boenga Roos dari Tjikembang adalah sebuah film drama Hindia Belanda tahun 1931 yang disutradarai, diproduksi, dan difilmkan oleh The Teng Chun. Diadaptasi dari novel tahun 1927 berjudul sama, film ini mengisahkan suasana romantis yang rumit yang dialami dua generasi etnis Tionghoa di Hindia Belanda. Film ini merupakan contoh awal film suara dalam negeri. Film ini mengalami daur ulang pada tahun 1975 dengan judul Bunga Roos.

Boenga Roos dari Tjikembang
SutradaraThe Teng Chun
ProduserThe Teng Chun
Ditulis olehKwee Tek Hoay
SinematograferThe Teng Chun
Perusahaan
produksi
Cino Motion Pictures
Tanggal rilis
  • 1931 (1931) (Hindia Belanda)
NegaraHindia Belanda

Buruh perkebunan Oh Ay Ceng harus meninggalkan kekasihnya, Marsiti, setelah ayahnya menjodohkan Oh dengan putri bosnya, Gwat Nio. Sambil bersedih menerimanya, Marsiti memberitahu Oh agar memenuhi keinginan ayahnya dan pergi; Marsiti kemudian meninggalkan perkebunan dan meninggal dunia. Ayah Gwat mengungkapkan bahwa Marsiti adalah putrinya yang beribukan pribumi dan memberikan petunjuk untuk satu rahasia lain yang tidak boleh diberitahukan sebelum ia meninggal.[1][2]

Oh dan Gwat dikaruniai anak bernama Lily. Setelah dewasa, Lily dipertunangkan dengan Sim Bian Koen, putra pemilik perkebunan yang kaya raya. Selepas kematian Lily, Sim mengancam pergi ke Guangdong dan bergabung dengan pasukan bersenjata di sana. Sebelum berangkat, ia pulang ke perkebunan ayahnya. Dalma perjalanan, ia terkejut saat bertemu Roosminah, anak haram Oh dengan Marsiti yang sangat mirip adik tirinya, di sebuah pemakaman. Akhirnya Sim dan Roosminah menikah.[1]

Latar belakang

sunting

Boenga Roos dari Tjikembang diproduseri, disutradarai, dan difilmkan oleh The Teng Chun, seorang importir film peranakan Cina yang belajar di Hollywood pada awal 1920-an sebelum pindah ke Shanghai untuk bekerja di industri perfilman;[1][3] untuk film ini ia mendirikan studionya sendiri, Cino Motion Pictures.[4] Kamera sistem tunggal yang dipakai untuk pembuatan film ini dipinjam dari Mr Lemmens, staf pengajar di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung).[5] Film ini diadaptasi dari novel laris berjudul sama karya Kwee Tek Hoay yang telah diterbitkan beberapa kali di Panorama pada tahun 1927. Kisahnya kemudian diadaptasi menjadi drama panggung oleh Union Dalia Opera.[1][6]

Pada waktu itu, film suara sudah ditayangkan di Hindia Belanda selama beberapa tahun, diawali oleh Fox Movietone Follies of 1929 dan The Rainbow Man (keduanya tahun 1929).[7] Sutradara film Indo G. Kruger merilis Karnadi Anemer Bangkong pada tahun sebelumnya. Meski Karnadi dianggap sebagai film suara pertama di Hindia Belanda,[8] sinolog Leo Suryadinata berpendapat bahwa Boenga Roos dari Tjikembang-lah film suara pertama di koloni ini.[3] Film-film awal tersebut memiliki kualitas suara yang buruk dan banyak adegan statik.[9]

Rilis dan tanggapan

sunting

Boenga Roos dari Tjikembang dirilis pada tahun 1931. Film ini kabarnya ditanggapi positif oleh penonton yang ditargetkan, yaitu etnis CIna, meski tiket untuk pribumi tetap tidak dijual.[2] Kritikus film Andjar Asmara dari Doenia Film sangat kritis terhadap film ini. Ia menganggap kualitas suaranya lumayan buruk.[1] Pada tahun berikutnya The kembali dengan film lain yang berorientasi Cina, Sam Pek Eng Tay, didasarkan pada legenda Cina The Butterfly Lovers.[10]

Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[11] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[12]

Pada tahun 1975, Boenga Roos dari Tjikembang dibuat ulang oleh Fred Young dengan judul yang disesuaikan Bunga Roos dari Cikembang. Meski poin utama ceritanya sama, beberapa nama tokoh Cinanya diindonesiakan: Oh Ay Cheng, misalnya, berganti nama menjadi Wiranta, sedangkan Gwat Nio menjadi Salmah.[13]

Referensi

sunting

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e Filmindonesia.or.id, Boenga Roos.
  2. ^ a b Biran 2009, hlm. 95.
  3. ^ a b Suryadinata 1995, hlm. 43.
  4. ^ Biran 2009, hlm. 94.
  5. ^ Biran 2009, hlm. 135.
  6. ^ Setiono 2008, hlm. 393.
  7. ^ Biran 2009, hlm. 131–132.
  8. ^ Biran 2009, hlm. 137.
  9. ^ Biran 2009, hlm. 136.
  10. ^ Biran 2009, hlm. 97.
  11. ^ Heider 1991, hlm. 14.
  12. ^ Biran 2009, hlm. 351.
  13. ^ Filmindonesia.or.id, Bunga Roos.

Daftar pustaka

Pranala luar

sunting