Be Biauw Tjoan
Be Biauw Tjoan, Mayor-tituler Cina (Hanzi: 馬淼泉; Pinyin: mǎ miǎo'quán;1826–1904; juga ditulis sebagai Bhe Biauw Tjoan) dulu adalah salah satu tokoh Tionghoa-Indonesia paling penting pada paruh kedua abad ke-19.[1] Bekerja sebagai birokrat, pemungut pajak (pachter), dan pebisnis, ia memimpin keluarga Be dari Bagelen, salah satu keluarga ‘Cabang Atas’ di Hindia Belanda.[1][2]
Letnan Cina | |
---|---|
Masa jabatan 1846–1854 | |
Daerah pemilihan | Semarang, Jawa Tengah |
Kapitan-tituler Cina | |
Masa jabatan 1854–1862 | |
Mayor-tituler Cina | |
Masa jabatan 1862–1863 | |
Mayor-tituler Cina | |
Masa jabatan 1872–1904 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1826 Bagelen, Hindia Belanda |
Meninggal | 1904 Semarang, Hindia Belanda |
Suami/istri | Tan Ndjiang Nio |
Hubungan |
|
Anak |
|
Orang tua |
|
Pekerjaan | Birokrat dan pemungut pajak |
Penghargaan sipil |
|
Sunting kotak info • L • B |
Kehidupan dan karir
suntingLahir di Jawa Tengah, Hindia Belanda (kini Indonesia), Be adalah anak sulung dari seorang migran Tionghoa generasi pertama atau 'totok', Be Ing Tjioe, Mayor-tituler Cina (1803–1857) melalui pernikahannya dengan istri 'Peranakan', Tjoa Tjoe Nio.[3] Be Biauw Tjoan memiliki dua orang adik, yakni Be Ik Sam dan Be Soe Ie.[3] Derajat sosial dan ekonomi dari keluarga Be dari Bagelen kemudian naik berkat hubungan dekat mereka dengan keluarga Tan dari Semarang, salah satu keluarga Cabang Atas paling kuat di Jawa.[1][2]
Sebagai bagian dari aliansi strategis dengan keluarga Tan dari Semarang, Be Biauw Tjoan dan saudaranya, Be Ik Sam, lalu masing-masing bertunangan dan menikah dengan anak dari Tan Hong Yan, Mayor Cina kedua Semarang, yakni Tan Ndjiang Nio dan Tan Bien Nio.[3]
Be Biauw Tjoan, yang saat itu masih berusia 21 tahun, lalu diangkat menjadi Letnan Cina Semarang pada tahun 1846, di bawah bapak mertuanya.[1] Ia kemudian diangkat menjadi Kapitan-tituler Cina pada tahun 1854, dan diangkat menjadi Mayor-tituler pada tahun 1862.[3]
Keterlibatan Be di dunia birokrasi tidak terlalu besar, karena ia lebih aktif sebagai pemungut pajak dan pebisnis.[3] Menurut sejarawan James R. Rush, Be memimpin Tan-Be Kongsi, yang mendominasi kebun opium di Jawa, yang merupakan kebun paling menguntungkan di Hindia Belanda, mulai dekade 1860-an hingga 1880-an.[1] Be juga memiliki bisnis lain, seperti beras, gula, kebun, pengapalan, pergudangan, dan properti hingga di Singapura, di mana ia dituduh memegang saham dari kebun opium di sana secara diam-diam.[1]
Pada dekade 1860-an, Christian Castens, Residen Bagelen, berhasil mengumpulkan bukti mengenai keterlibatan Be pada penyelundupan dan distribusi opium berskala besar, tidak hanya untuk menambah alokasi resmi dari Tan-Be Kongsi, tetapi juga untuk merusak kebun opium di sekitarnya.[1] Pada tahun 1863, Ludolph Anne Jan Witt, Baron Sloet van de Beele, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, akhirnya mencabut gelar Mayor-tituler yang dipegang oleh Be, serta menjatuhkan denda kepada Be dan mitranya karena melakukan distribusi opium secara ilegal.[1] Mereka juga dilarang untuk terlibat di kebun opium manapun.[1]
Setelah mengajukan kasasi ke mahkamah agung kolonial, Be kemudian dibebaskan dari semua tuntutan pada tahun 1872, dan dikembalikan ke jabatannya semula.[3] Pada tahun 1876, walaupun kompetitornya mengajukan keluhan kepada Tweede Kamer dari Dewan Negara Belanda mengenai kerusakan yang ditimbulkan oleh Be pada kebun opium mereka, tidak ada yang akhirnya terbukti secara meyakinkan terhadap Be.[1] Secara hukum, Be tetap tidak dapat dijangkau, sehingga Be dapat mempertahankan posisinya di hierarki birokrasi dan di bisnisnya hingga ia meninggal.[1]
Pada bulan Maret 1895, Be menjamu Raja Chulalongkorn dari Siam di rumah keluarganya, Kebon Dalem, di Semarang.[2] Raja Chulalongkorn kemudian menanugerahkan Orde Gajah Putih kepada Be, sehingga meningkatkan reputasi Be di Jawa.[2] Persahabatan antara keluarga Be dan kerajaan Thai pun terus berlanjut hingga pertengahan abad ke-20.[2]
Kehidupan pribadi
suntingMayor-tituler Be Biauw Tjoan dan istrinya, Tan Djiang Nio, hanya memiliki seorang anak, yakni Be Tiong Khing.[1][3] Menantunya, Liem Liong Hien, kemudian menjabat sebagai Mayor Cina Semarang.[1] Be dan istrinya juga mengadopsi empat orang keponakan mereka.[2] Melalui seorang gundik, Be juga memiliki seorang anak, yakni Kapitan Be Kwat Kong.[3]
Mayor-tituler Be Biauw Tjoan akhirnya meninggal pada tahun 1904.[1] Pada tahun 1914, keluarga Be mendirikan Be Biauw Tjoan Bank, yang kemudian menjadi salah satu bank komersial terpenting di Hindia Belanda hingga dilikuidasi pada tahun 1927 akibat krisis gula.[2] Walaupun begitu, keluarga Be dari Bagelen tetap menjadi salah satu keluarga Cabang Atas terkemuka hingga revolusi Indonesia pada tahun 1945.
Referensi
sunting- ^ a b c d e f g h i j k l m n Rush, James R. (2007). Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910 (dalam bahasa Inggris). Sheffield: Equinox Publishing. ISBN 978-979-3780-49-8. Diakses tanggal 3 December 2019.
- ^ a b c d e f g Post, Peter (2010). "Java's Capitan Cina and Javanese Royal families: Status, Modernity and Power- Major Titular Be Kwat Koen and Mungkunegoro VII". International Journal of Asia-Pacific Studies. 13: 49–66. Diakses tanggal 3 December 2019.
- ^ a b c d e f g h Haryono, Steve (2017). Perkawinan Strategis: Hubungan Keluarga Antara Opsir-opsir Tionghoa Dan 'Cabang Atas' Di Jawa Pada Abad Ke-19 Dan 20 (dalam bahasa Inggris). Utrecht: Steve Haryono. ISBN 978-90-90-30249-2. Diakses tanggal 3 December 2019.