Paduka adalah sejenis lapik kaki kuno di India, terdiri atas ketapak dan pasak berpentol untuk dikepit di sela jempol dan telunjuk kaki.[2] Lapik kaki semacam inilah yang dulu lazim dikenakan orang-orang Asia Selatan dan Asia Tenggara. Bentuk dan bahan bakunya bermacam-macam. Ada yang berbentuk telapak kaki manusia dan ada pula yang dibuat menyerupai ikan. Bahan bakunya bisa berupa kayu, gading, maupun perak. Ada yang dihias sangat indah untuk dijadikan pernik dandanan mempelai putri, untuk dipersembahkan kepada dewata, bahkan untuk dipuja.[1]

Paduka berpenyangga tinggi yang diukir halus, salah satu pernik dandanan mempelai putri yang menjadi bagian dari harta sesannya[1]

Orang kebanyakan boleh-boleh saja mengenakan paduka sederhana berbahan baku kayu, tetapi paduka dari kayu jati, kayu hitam, dan kayu cendana yang ditatahi gading atau kawat merupakan tanda bahwa pemakainya adalah orang terkemuka.[2] Pada zaman modern, paduka menjadi lapik kaki yang lazim dikenakan para fakir dan orang suci Hindu, Budha, maupun Jaina. Signifikansi paduka di dalam agama Hindu berkaitan erat dengan wiracarita Ramayana. Paduka dapat pula dimaknai sebagai lambang jejak kaki dewata dan para resi[3][4][5][6] yang dipuja di rumah-rumah pribadi dan kuil-kuil yang dibangun khusus untuk memujanya. Salah satu kuil semacam itu adalah Mandira Wisnupada di Gaya, India. Jejak kaki Budha juga dipuja di bawah Pohon Bodhi di Budhagaya.[6][7]

Paduka menyiratkan kemuliaan raja di Malaysia. Seri Paduka, yang bermakna 'Yang Mulia', adalah gelar yang dianugerahkan sebagai tanda penghargaan kepada orang-orang kalangan istana yang dihormati di Malaysia.[8][9]

Paduka dalam karya seni pahat, Museum Negara Bagian Orisa, Bubaneswara

Etimologi

sunting
 
Paduka buatan Indian yang dihias dengan cat, koleksi Hans Sloane (1660–1753), sekarang menjadi koleksi Museum Inggris
 
Patung perempuan mengenakan paduka, abad ke-11

Kata Sangsekerta pāduka berasal dari akar dasar pāda yang berarti 'kaki'. Istilah ini sudah lazim dimaknai sebagai sebutan bagi purwarupa lapik kaki India Kuno.[1]

Legenda

sunting

Kata pada (kaki) mengemuka di dalam Kitab Suci Regweda sebagai representasi jagat raya, sebut saja Pertiwi (tanah), Bayu (udara), Angkasa (langit), dan unsur-unsur alam di atas angkasa.[7]

Di dalam wiracarita Ramayana, Prabu Dasarata mengucilkan putra sulungnya, Rama (titisan Batara Wisnu), selama 14 tahun atas permintaan istri ketiganya, Kekayi, yang menghendaki agar anak kandungnyalah yang dinobatkan menjadi Raja. Meskipun demikian, Barata, anak kandung Kekayi, tidak sudi menuruti keinginan ibunya. Barata menjumpai Rama di pembuangan dan memohon-mohon kepadanya supaya sudi pulang ke Ayodya, akan tetapi Rama bersikukuh tidak akan pulang sebelum purna masa pembuangannya. Barata akhirnya meminta paduka Rama untuk dibawa pulang dan disemayamkan di atas singgasana mewakili diri Rama sehingga dapat disembah bakti kawula negeri. Paduka emas Rama dibawa pulang Barata dengan cara dijunjung sebagai wujud kesetiaannya kepada sang kakanda. Barata kemudian menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Kosala atas nama Rama dengan gelar 'Paduka Rama'.[7][8]

Pembuatan

sunting
 
Foto seorang pedanda istri di Kasmir mengenakan paduka bertali, sekitar tahun 1922

Pada hakikatnya paduka adalah sandal, dan pada umumnya berupa ketapak kayu dengan pasak berpentol untuk dikepit di antara jempol dan telunjuk kaki. Paduka tidak memiliki tali penahan, oleh karena itu jempol dan telunjuk kaki harus tunak mengepit pasak paduka saat si pemakai mengayun langkah.[10]

Paduka juga dikenal dengan sebutan khadau, karow, kharawan, maupun karom, dan di Anak Benua India lazim dikenakan para fakir, orang suci, maupun orang kebanyakan.[1] Dengan ketapaknya yang dibuat menyerupai tapak kaki manusia dan ditambahi dua penyangga yang pipih dan melengkung, paduka dirancang sedemikian rupa agar pemakainya tidak melanggar asas ahingsa – amalan orang-orang suci Hindu maupun Jaina – lantaran tanpa sengaja menginjak serangga dan tumbuh-tumbuhan. Para Brahmana yang mengenakan paduka semacam ini biasanya terdengar melisankan kalimat "mohon ampun Ibunda Pertiwi, atas dosa mencelakai, atas tingkah mencederai, lantaran sahaya memijak Ibunda pagi hari ini."[11]

Paduka dari gading jamak dikenakan kaum bangsawan dan orang-orang suci. Adab agamawi Hindu mengharuskan gading tersebut diambil dari bangkai gajah yang mati secara alami atau dikerat dari gajah-gajah peliharaan dengan cara-cara yang jauh dari kejam.[12] Orang-orang kalangan atas mengenakan paduka dari kayu jati, kayu hitam, dan kayu cendana yang ditatahi gading atau kawat. Paduka dapat pula dibuat menyerupai ikan, lambang kesuburan.[13]

Paduka yang dikenakan pada kesempatan-kesempatan istimewa dapat saja ditatahi perak atau dilapisi lembaran perak, dan kadang-kadang dihiasi giring-giring yang bergemerincing pada saat pemakainya mengayunkan langkah. Paduka dari perunggu dan kuningan dikenakan untuk kepentingan ritual dan seremonial.[14]

Pentol pasak paduka ditatahi potongan gading membentuk kembang seroja. Setiap kali pemakainya menapak, mekanisme yang terpasang pada ketapak terpicu sehingga hiasan kembang seroja yang tadinya tampak menguncup berubah merekah. Ada pula yang diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai jam pasir atau dihiasi dengan ukiran jemari kaki.[4]

Telah ditemukan pula lapik kaki abad ke-18 untuk keperluan ritual, dengan ketapak "kayu penuh paku-paku besi yang tajam mencuat". Diduga lapik kaki ini sengaja dibuat untuk menyakiti si pemakai guna menunjukkan keteguhan imannya dalam menanggung rasa sakit.[4]

Pemujaan

sunting
 
Paduka Dnyaneswara disemayamkan di dalam joli di atas kereta perak yang dihela lembu kebiri, dan diarak dengan meriah dari Alandi ke Pandaripura

Paduka kerap dihadiahkan kepada mempelai putri sebagai salah satu di antara sekian banyak harta sesannya. Paduka juga dipuja dan dipersembahkan sebagai penunai nazar.[11]

Pada perayaan yang berkaitan dengan Batara Witoba, kuilnya di Pandaripura diziarahi umat Hindu dari Alandi, kota yang erat kaitannya dengan pujangga Dnyaneswara, dan Dehu, kota yang erat kaitannya dengan pujangga Tukarama, sembari mengarak paduka kedua orang suci tersebut yang disemayamkan di dalam palkhi (joli).

Ada pula keyakinan populer seputar menyentuh (sparsa) kaki arca yaksini salabanjika. Konon apabila sang yaksini berjalan mengitari sebatang pohon yang sedang meranggas, pohon itu akan kembali bersemi dan berbuah. Yaksini salabanjika juga merupakan salah satu ragam hias pada siku-siku penyangga di bagian atas tiang banyak kuil Hindu.[7]

Amalan terkenal lainnya yang masih berkaitan dengan pemujaan paduka adalah upacara mengundang Batari Lasmi, dewi kemakmuran. Pada hari raya Dipawali, Batari Lasmi diundang masuk ke rumah dengan sarana sederet jejak kaki (paduka) yang digambar di lantai dengan cat atau kolam dan diterangi lampu-lampu minyak, mulai dari pintu depan sampai ke sanggah pemujaan. Amalan ini dijalankan dengan harapan Batari Lasmi berkenan melimpahkan kemujuran kepada orang-orang seisi rumah tersebut.[5]

Di bawah pohon Bodhi di Budhagaya, tempat Sang Budha mendapatkan pencerahan, terdapat sebuah singgasana kosong dengan ukiran jejak kaki pada tumpuan kakinya. Tempat ini sangat disucikan.[7]

Mandira Wisnupada

sunting
 
Paduka sederhana yang dikenakan para fakir dan orang-orang suci

Konon sepasang jejak kaki yang disucikan di Mandira Wisnupada[15] adalah bekas pijakan Batara Wisnu di dada raksasa Gayasura. Jejak kaki sepanjang 40 sentimeter itu terdapat pada sebongkah batu padas yang dibingkai pembatas astakona dari perak.[16] Mandira setinggi 30 meter (98 ft) ini memiliki 8 jajar tiang berukir indah yang menyangga langit-langit mandapa.[17] Di halaman mandira, persis di tempat pelaksanaan upacara pelepasan jenazah, tumbuh sebatang pohon beringin yang dinamakan 'Aksayawata' (beringin langgeng).

Paduka Sahasram

sunting

Paduka Sahasram (seribu bait puja paduka Batara) adalah seloka puja yang menyanjung-nyanjung pemujaan terhadap paduka (kaki) Batara Wisnu di Kuil Sri Rangganataswami di Sriranggam, Tamil Nadu. Karya tulis yang dipandang sebagai kitab suci golongan Sri Sampradaya atau Sri Waisnawa Sampradaya ini terdiri atas 1.008 ayat dalam 32 bab, gubahan Swami Wedanta Desika, salah seorang penganut filsafat Wisistadwaita. Konon Swami Wedanta Desika menggubahnya sebagai tantangan kepada kubu lawannya, golongan Ayenggar Tengkalai (dari perguruan filsafat Sri Waisnawa aliran selatan), hanya dalam waktu seperempat malam. Puja-puji kepada paduka Batara berkisar seputar paduka Rama, yang bersemayam laksana raja di atas singgasana Ayodya selama 14 tahun. Swami Wedanta Desika berdalil bahwa kawula Ayodya selamat sentosa sepanjang hayat lantaran bersembah bakti kepada paduka Rama.[18][19]

 
Padukapujana pada perayaan Satcidananda Utsawa

Guru Paduka Stotram

sunting

Adi Sangkaracarya menulis lima bait seloka puja berjudul Guru Paduka Stotram sebagai tanda bakti kepada gurunya. Bait pertama berbunyi demikian:[20]

Andika biduk guna layari sengsara bhaya,
pemberi karsa bakti menjunjung Guru sahaya,
Guru terpuja demi kuasa jagat wairagya,
luhur luhurlah sira paduka Guru sahaya.

Satcidananda Utsawa

sunting

Satcidananda Utsawa (perayaan kebenaran, kesadaraan, dan sukacita) diselenggarakan Yayasan Sadguru Sri Aniruda Upasana (Mumbai, India) setiap tahun pada hari Sabtu kedua bulan Margasirsa (bulan kesembilan menurut penanggalan Hindu). Perayaannya berlangsung selama dua sampai lima hari berturut-turut. Pada perayaan ini, orang memuja paduka suci berbahan baku bubur kertas dari buku-buku Rama Nama yang diterbitkan Bank Universal Aniruda Rama Nama dan ditulis ribuan umat yang tersebar di seluruh dunia.[21][22][23][24]

Galeri

sunting

Baca juga

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ a b c d "britishmuseum.org". 
  2. ^ a b "All About Shoes – The Bata Shoe Museum". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-29. Diakses tanggal 2022-07-02. 
  3. ^ "The Paduka". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-29. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  4. ^ a b c "Paduka". Fashion Encyclopedia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Februari 2010. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  5. ^ a b "Feet and Footwear in the Indian Tradition". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-17. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  6. ^ a b Monier Monier-Williams. "Sanskrit Lexicon". hlm. 618. Diakses tanggal 27 Desember 2009. 
  7. ^ a b c d e "In the Footsteps of the Divine". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-13. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  8. ^ a b Kampar (1969). Sri Paduka: the exile of the Prince of Ayodhya. Paduka. Ohio University, Center for International Studies. hlm. 3, 4. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  9. ^ Rigg, Jonathan (1862). A Dictionary of the Sunda language. Batavia, Java: Lange & Co. 
  10. ^ Jutta Jain-Neubauer, Feet and Footwear in Indian Culture, 2000, Bata Shoe Museum
  11. ^ a b "The Paduka". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-12. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  12. ^ "The Ivory Padukas". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-13. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  13. ^ "The sandalwood Padukas". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-13. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  14. ^ "Metal Padukas". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-13. Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  15. ^ "Vishnupad Temple". Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  16. ^ "Discover Bihar". Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 September 2009. Diakses tanggal 26 December 2009. 
  17. ^ "About Gaya". Diakses tanggal 26 Desember 2009. 
  18. ^ "Swami Swami Desikan's Sri Ranganatha Paadhuka Sahsram". Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diberi penjelasan oleh Oppilippan Koil Sri Varadachari Sahtakopan. Scribd. Diakses tanggal 29 Desember 2009. 
  19. ^ "Mediating role". The Hindu. 20 September 2006. Diakses tanggal 29 Desember 2009. [pranala nonaktif]
  20. ^ "Guru Paduka stotram". Diakses tanggal 29 December 2009. 
  21. ^ https://www.linkedin.com/pulse/shree-satchidanand-utsav-given-sadguru-aniruddha-bapu-mihir-nagarkar [pranala nonaktif]
  22. ^ "Shree Sacchinandotsav". 24 November 2015. 
  23. ^ worldhistory.org
  24. ^ "The Ramayana index". 

Pranala luar

sunting