Banjir besar Tiongkok

Banjir Besar Tiongkok (Hanzi: 大洪水; Pinyin: Dà Hóngshuǐ atau hanya Hanzi: 洪水; Pinyin: Hóngshuǐ) merupakan suatu tema banjir besar yang terjadi di Tiongkok. Derk Bodde (1961) menyatakan bahwa "Dari semua tema mitologis Tiongkok kuno, yang paling awal dan sejauh ini paling perfasif adalah mengenai banjir."[1] Mitologi ini juga memiliki ciri-ciri yang dimiliki kisah-kisah banjir besar lain di seluruh dunia,[2] meskipun juga memiliki ciri-ciri unik atau fokus yang berbeda. Lu Yilu (2002) mengelompokkan berbagai versi mitologi banjir besar menjadi tiga tema: "para pahlawan mengendalikan banjir"; "pernikahan saudara untuk mengisi kembali dunia"; dan "banjir yang menenggelamkan seluruh kota beserta seluruh penduduknya".[1]

Sejarah dan mitologi

sunting

Sejarah dalam literatur

sunting

Sejarah Tiongkok dituangkan dalam bentuk suatu catatan tertulis yang berkelanjungan dalam tiap generasi. Catatan sejarah ini diawali dengan suatu dokumen kuno berjudul Catatan Sejarah Agung yang ditransmisikan kepada anak-cucu. Menurut dokumen ini, cicit (atau pengganti keempat) dari Kaisar Kuning adalah Yao. Semenjak pemerintahan Yao, sumber-sumber literatur menjadi bertambah, diantaranya adalah Shu Jing (dikumpulkan dan diedit oleh Konghucu), yang dimulai dengan "Kanon Yao" (Hanzi: 堯典) yang mendeskripsikan perisitiwa-peristiwa dalam pemerintahan Yao.[3] Meskipun demikian, naskah "Kanon Yao" cukup bermasalah karena transmisi tekstualnya (kemungkinan terbaik, dokumen ini merepresentasikan rekonstruksi tekstual awal, dan kemungkinan terburuknya merupakan dokumen palsu yang disusun dari pengetahuan atau sumber-sumber yang tersedia pada abad ke-3 hingga 4 M). "Nasihat-nasihat Yu Agung" 大禹謨 dianggap sebagai naskah yang diyakini berasal dari masa sebelum Qin. Bagaimanapun, naskah-naskah di atas serta naskah lain yang masih tersedia hingga sekarang menandakan dimulainya tradisi sejarah Tiongkok. Naskah-naskah penting lain yang dimaksudkan misalnya adalah puisi Pertanyaan-pertanyaan Surgawi dalam Chu Ci yang ditulis oleh Qu Yuan serta ringkasan mitologi terkenal Shan Hai Jing. Berabad-abad selanjutnya, para cendekiawan berusaha menyusun cerita-cerita dari potongan-potongan yang ditemukan dalam sumber-sumber yang tersedia, yang terkadang mengalami perubahan editorial besar-besaran karena dikisahkan dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda.

Kumpulan mitologi

sunting

Cerita-cerita mitologi diperoleh dalam bentuk literatur maupun dari berbagai versi tradisi oral yang sebagian masih diceritakan hingga sekarang. Sumber-sumber tersebut berasal dari masyarakat beretnis Han maupun etnis lainnya.[1]

Perjuangan mengendalikan banjir

sunting

Kisah-kisah mengenai usaha para pahlawan atau dewa dalam mengendalikan banjir terdapat pada naskah-naskah dari Dinasti Zhou. Dari semua kisah ini, perjuangan Yao, Shun, Gun, dan Yu merupakan kisah yang paling jelas menggambarkan beratnya perjuangan manusia dalam mengatasi air bah.[1] Beberapa versi yang lebih baru dari periode Negara Perang (Shi Ben) dan abad ke-3 Masehi (Di wang shi ji) menjadikan Yu dan Nuwa sebagai sepasang suami istri sehingga kedua kisah perjuangan mereka yang awalnya tidak memiliki korelasi menjadi saling melengkapi satu sama lain.[2]

Banjir besar Gun-Yu

sunting

Tema banjir besar ini berpusat pada usaha-usaha yang dilakukan oleh Yu yang Agung (dan Gun) untuk mengendalikan banjir, terkadang juga diasosiasikan dengan Kaisar Yao dan Shun serta usaha awal manusia dalam rangka memanfaatkan binatang sebagai hewan pikul dan ternak.[2] Garis besar mitologi mengisahkan Gun mencuri xirang untuk menahan banjir serta Yu mengalirkan air bah ke lautan sehingga banjir mereda dan bumi dapat dikultivasi.[1] Banyak mitologi-mitologi lain yang berhubungan dengan mitologi ini, salah satunya adalah Gerbang Naga, sebuah terusan yang digali Yu melintasi pegunungan. Saat menggali terusan itu, banyak ikan mas yang terseret jatuh dan kecewa karena tidak bisa berenang kembali ke atas. Yu berkata bahwa jika ada ikan mas yang berhasil melompati bendungan yang ia bangun, ikan tersebut akan menjadi naga. Itulah sebabnya tempat itu disebut dengan nama Gerbang Naga.[4]

Tema ini memiliki latar belakang politik. Huainanzi menyebutkan bahwa banjir disebabkan oleh Gong Gong yang menggunakan air untuk membuat kekacauan di wilayah kekuasaan Kaisar Yao. Namun, Shan Hai Jing mengisahkan bahwa banjir disebabkan oleh salah satu menteri Gong Gong, yaitu Xiangliu, dan bukan oleh Gong Gong sendiri.[2]

Nuwa menambal langit

sunting

Kisah ini terjadi setelah dewi Nüwa menciptakan (membentuk) menusia dari lumpur kuning dan memberi mereka kehidupan serta kemampuan untuk bereproduksi. Gong Gong membentur kepalanya ke Gunung Buzhou yang merupakan pilar penahan langit sehingga menyebabkan terjadinya banjir besar. Nüwa menambal langit dengan batu-batu lima warna dan menimbun abu gelagah untuk menghentikan banjir.[1]

Punahnya umat manusia

sunting

Chen Jianxian (1996) menyatakan bahwa tema ini merupakan salah satu legenda yang cukup populer dan masih diceritakan oleh lebih dari 40 etnis di Tiongkok. Terdapat kemungkinan bahwa mitologi ini relatif baru karena tulisan paling kuno yang menceritakannya adalah naskah-naskah dari Enam Dinasti, tetapi tidak diketahui sejauh apa kisah mitologi ini diceritakan secara lisan.[1]

Meskipun ada banyak versi, secara garis besar tema ini menceritakan mengenai banjir besar yang memusnahkan seluruh manusia kecuali sepasang kakak-beradik, atau bibi dan keponakan. Keduanya terpaksa menikah untuk mengisi kembali dunia dengan manusia. Sebagian versi menyebutkan anak-anak mereka adalah manusia normal, sementara yang lain mengisahkan anak mereka berupa gumpalan daging, labu, melon, atau batu pengasah; yang setelah dibuka, dipotong, atau dihancurkan, muncul manusia.[1]

Kota yang tenggelam

sunting

Tema ini memiliki beberapa ciri spesifik: satu atau dua orang yang selamat, patung yang menangis darah, dan seluruh kota yang tenggelam beserta seluruh penduduknya. Orang yang selamat biasanya diceritakan memiliki kebaikan sehingga dewa-dewa bersedia menolongnya, bisa seorang ibu tua, anak yang berbakti, dan sebagainya. Patung yang menangis darah biasa berupa patung singa batu (terkadang penyu).[1]

Mitologi banjir yang lain

sunting

Laut Timur dan Ladang Murbei

sunting

Legenda banjir besar lain yang tidak terlalu populer adalah legenda yang melibatkan dewi Magu: mitologi ini meliputi naik dan turunnya permukaan air laut selama bereon-eon, terkadang dasar samudra berada di bawah air dan pada waktu yang lain menjadi taman murbei. Namun, dasar cerita mengenai Mogu sepertinya tidak sama dengan gagasan mengenai banjir besar di daratan Tiongkok.[1]

Salah satu tradisi mengisahkan bahwa Magu adalah seorang wanita Taois yang baik hati, hidup pada abad kedua Masehi. Ia mereklamasi wilayah perairan tepi pantai yang sangat luas di Kiangsu dan mengubahnya menjadi kebun murbei.[4]

Shan Hai Jing menyebutkan seekor makluk yang berwujud mirip babi, berwajah manusia, bertubuh kuning dan ekor berwarna merah, bersuara seperti orang menyanyi. Makluk tersebut bernama Heyu yang bertabiat memangsa manusia, reptil, dan ular. Jika ia menampilkan diri, hal tersebut menjadi penanda bahwa akan terjadi banjir besar di seluruh dunia.[5]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j Lihui, Yang; Deming, An; Anderson, Jessica (2005). Handbook of Chinese Mythology. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-533263-6. 
  2. ^ a b c d Mark Edward Lewis (2006). The flood myths of early China. New York: State University of New York Press. ISBN 0-7914-6663-9. 
  3. ^ Wu, K.C. (1982). The Chinese Heritage. New York: Crown Publishers. ISBN 0-517-54475-X. 
  4. ^ a b Jeremy Roberts (2010). Chinese Mythology A to Z, Edisi kedua. New York: Chelsea House Publishers. ISBN 978-1-4381-2799-6. 
  5. ^ Richard E. Strassberg (2002). A Chinese bestiary : strange creatures from the guideways through mountains and seas. Berkeley dan Los Angeles, California: University of California Press. ISBN 0-520-21844-2.