Badak jawa

spesies mamalia
(Dialihkan dari Badak Jawa)
Ini adalah versi stabil, terperiksa pada tanggal 17 November 2024.


Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), dikenal juga sebagai badak Sunda atau badak bercula satu kecil, adalah anggota terancam kritis dari genus Rhinoceros, dari keluarga badak, Rhinocerotidae, dan salah satu dari lima spesies badak yang masih ada di kawasan Asia Selatan dan Afrika. Badak Jawa adalah salah satu spesies badak terkecil, bersama dengan badak Sumatra, atau badak "berbulu". Mereka secara superficial mirip dengan badak India, karena memiliki lipatan kulit pelindung yang menyerupai pelindung "berlapis baja", tetapi sedikit lebih kecil, dengan panjang rata-rata 31–32 m (102–105 ft) dan tinggi 14–17 m (46–56 ft). Spesimen terberat memiliki bobot sekitar 2.300 kg/2,3 ton (2,54 ton pendek), mirip dengan badak hitam.[4] Namun, berbeda dengan cula panjang dan berpotensi mematikan dari badak hitam atau badak putih di Afrika, cula tunggal spesies Jawa (hanya ada pada jantan) biasanya lebih pendek dari 25 cm (9,8 in).

Badak Jawa[1]
Rentang waktu: Pleistosen Awal – Sekarang 1.5–0 jtyl
R. s. sondaicus di Kebun Binatang London dari Maret 1874 hingga Januari 1885
CITES Apendiks I (CITES)[2]
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Domain: Eukaryota
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Perissodactyla
Famili: Rhinocerotidae
Genus: Rhinoceros
Spesies:
R. sondaicus
Nama binomial
Rhinoceros sondaicus
Subspesies
Peta sebaran Badak Jawa

Hingga pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, badak Jawa menyebar hingga melampaui pulau Jawa dan Sumatra ke daratan Asia Tenggara dan Indochina, barat laut hingga India Timur, Bhutan, dan selatan Tiongkok. Saat ini, badak Jawa adalah yang paling langka dari semua spesies badak, dan salah satu spesies hewan hidup yang paling langka, dengan hanya satu populasi liar yang diketahui saat ini, dan tidak ada individu yang berhasil dipelihara di penangkaran. Badak Jawa termasuk di antara mamalia besar paling langka di planet Bumi,[5]:21 dengan populasi sekitar 74 badak di Taman Nasional Ujung Kulon, di ujung paling barat Jawa, Indonesia.[6] Pada tahun 2023, otoritas Indonesia menangkap dua kelompok pemburu yang mengaku telah membunuh 26 badak dari periode 2019–2023.[7]. Tidak ada sensus yang dirilis sejak 2019. Populasi badak Jawa di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam dinyatakan punah secara lokal pada tahun 2011.[8]

Penurunan populasi badak Jawa terutama disebabkan oleh perburuan liar, karena cula jantan yang—meskipun hanya terbuat dari keratin—sangat dihargai dalam pengobatan tradisional Tiongkok, dengan harga mencapai US$30.000 per kg di pasar gelap.[5]:31 Seiring dengan meningkatnya kehadiran orang Belanda kolonial dan Eropa lainnya di wilayahnya, terutama pada 1700-1800an, perburuan trofi juga menjadi ancaman serius. Hilangnya habitat dan pertumbuhan populasi manusia yang masif (terutama pasca perang, seperti Perang Vietnam) juga turut menyebabkan penurunan populasinya dan menghambat pemulihan spesies.[9] Wilayah yang tersisa berada dalam satu wilayah yang dilindungi secara nasional, dan Ujung Kulon juga merupakan UNESCO Situs Warisan Dunia. Namun demikian, batas taman yang pedesaan dan berpotensi kasar berarti penegakan hukum tidak dapat hadir secara merata di semua tempat setiap saat; di beberapa area, kurangnya keamanan ini masih menempatkan spesies pada risiko dari pemburu liar, paparan penyakit, dan, pada akhirnya, hilangnya keragaman genetik—yang mengarah pada "penyempitan leher botol" genetik (yaitu, depresi inbreeding).[10]

Badak Jawa dapat hidup sekitar 30–45 tahun di alam liar. Secara historis mereka menghuni hutan hujan dataran rendah yang lebat, padang rumput basah, dan dataran banjir luas di tepi hutan. Mereka sebagian besar soliter, kecuali saat kawin dan membesarkan anak, meskipun kelompok kadang-kadang berkumpul di dekat kubangan dan tempat menjilat garam. Selain manusia, yang biasanya mereka hindari, badak dewasa tidak memiliki predator alami di wilayahnya. Anak-anak yang sangat kecil mungkin dimangsa, jika ditinggalkan tanpa pengawasan, biasanya oleh macan tutul, harimau Sumatra atau, jarang, oleh buaya. Para ilmuwan dan konservasionis jarang mempelajari hewan ini secara langsung karena kelangkaannya yang ekstrem dan bahaya mengganggu spesies yang terancam punah. Peneliti lebih mengandalkan kamera jebak dan sampel feses untuk mengukur kesehatan dan perilaku. Akibatnya, badak Jawa adalah spesies badak yang paling sedikit dipelajari. Dua badak Jawa betina dewasa, masing-masing dengan seekor anak, difilmkan menggunakan kamera jejak yang dipicu oleh gerakan, dan videonya dirilis pada 28 Februari 2011 oleh WWF dan Otoritas Taman Nasional Indonesia, membuktikan bahwa mereka masih berkembang biak di alam liar.[11] Pada April 2012, Otoritas Taman Nasional merilis lebih banyak video kamera jebak yang menunjukkan 35 individu, termasuk pasangan induk-anak dan badak dewasa yang sedang kawin.[12]

Penamaan dan taksonomi

sunting

Nama genus Rhinoceros berasal dari dua kata Yunani kuno ῥίς (ris) yang berarti "hidung" dan κέρας (keras) yang berarti "cula binatang".[13][14] Sementara itu, sondaicus berasal dari sunda, sebuah wilayah biogeografis yang meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau kecil lainnya. Badak jawa juga dikenal sebagai badak bercula satu kecil, untuk membedakaanya dengan badak bercula satu besar, yang meripakan nama lain dari badak India.[15]

Penelitian pertama badak Jawa dilakukan pada 1787, ketika dua binatang ditembak di Jawa. Tulang badak Jawa dikirim ke Petrus Camper (Belanda), tetapi ia meninggal pada 1789 sebelum sempat menerbitkan penemuannya bahwa badak jawa merupakan spesies tersendiri. Badak Jawa lainnya ditembak di Pulau Sumatra oleh Alfred Duvaucel, dan mengirim spesimen ke ayah tirinya, Georges Cuvier (Prancis). Cuvier menyadari binatang ini sebagai spesies tersendiri pada 1822, dan pada tahun yang sama diidentifikasi oleh Anselme Gaëtan Desmarest.

Anselme Gaëtan Desmarest menggunakan nama ilmiah Rhinoceros sondaicus untuk mendeskripsikan badak dari Jawa yang dikirim ke Museum Nasional Sejarah Alam di Prancis oleh Pierre-Médard Diard dan Alfred Duvaucel.[3][16] Sepanjang abad ke-19, berbagai spesimen badak tak bercula juga dideskripsikan:

  • Rhinoceros inermis, diusulkan oleh René Lesson pada1838 untuk badak betina tanpa cula yang ditembak di Sundarbans.[17]
  • Rhinoceros nasalis dan Rhinoceros floweri, diusulkan oleh John Edward Gray pada 1867, dua nama untuk tengkorak badak yang masing-masing ditemukan di Kalimantan dan Sumatra.[18]
  • Rhinoceros annamiticus, diusulkan oleh Pierre Marie Heude pada 1892 untuk spesimen yang ditemukan di Vietnam.[19]

Pada 2005, tiga subspesies badak jawa dianggap sebagai taksa yang valid:

  • R. s. sondaicus, subspesies yang dicalonkan, dikenal sebagai badak jawa indonesia, yang pernah hidup di Pulau Jawa dan Sumatra. Kini populasinya hanya sekitar 40-50 di Taman Nasional Ujung Kulon. Satu peneliti mengusulkan bahwa badak Jawa di Sumatra masuk ke dalam subspesies yang berbeda, R.s. floweri, tetapi ahli-ahli banyak yang belum menyetujuinya.[20][21]
  • R. s. inermis, dikenal sebagai badak jawa india atau badak india kecil, pernah hidup di Benggala sampai Burma (Myanmar), tetapi dianggap punah pada awal 1900-an. Inermis berarti tanpa cula, karena karakteristik badak ini yaitu bercula kecil pada badak jantan, dan tak ada cula pada betina. Spesimen spesies ini adalah betina yang tidak bercula. Situasi politik di Burma membuat tidak diketahui jumlah spesies ini di negara itu, tetapi keselamatannya tak dapat dipastikan.[22][23][24]
  • R. s. annamiticus, dikenal sebagai badak jawa vietnam atau badak vietnam, yang pernah hidup di sepanjang Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand dan Malaysia. Annamiticus berasal dari nama deretan pegunungan Annam, yang merupakan bagian dari tempat hidup spesies ini. Kini populasinya diperkirakan kurang dari 12, hidup di hutan daratan rendah di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Analisis genetika menunjukkan bahwa dua subspesies yang masih ada, memiliki leluhur yang sama antara 300.000 dan 2 juta tahun yang lalu.[21][25]

Evolusi

sunting
 
Badak India berhubungan dekat dengan badak Jawa; mereka adalah dua anggota tipe genus badak.

Nenek moyang awal badak bercabang dari Perissodactyl lainnya selama periode Eosen awal. Perbandingan DNA mitokondria menunjukkan bahwa leluhur badak modern terpisah dari nenek moyang Equidae sekitar 50 juta tahun yang lalu.[26] FamiliRhinocerotidae yang masih ada saat ini, pertama kali muncul di Eurasia pada periode Eosen akhir, dan nenek moyang spesies badak yang ada saat ini mulai berpindah dari Asia pada awal masa Miosen.[27]

Badak jawa dan badak India adalah satu-satunya spesies dalam genus Rhinoceros, dan pertama kali muncul dalam catatan fosil di Asia pada masa Pleistosen Awal. Catatan paling awal tentang keberadaan mereka berasal dari endapan berusia 1,5 juta tahun di Trinil, Jawa. Namun, perkiraan molekuler menunjukkan bahwa kedua spesies ini berbeda satu sama lain jauh lebih awal, sekitar 11,7 juta tahun yang lalu.[26][28] Walaupun termasuk dalam genus yang sama, badak iawa dan badak india diperkirakan tidak berkerabat dekat dengan spesies badak lainnya. Berbagai penelitian telah menunjukkan berbagai kemungkinan hubungan evolusi mereka, seperti berkerabat dekat dengan spesies yang telah punah seperti Gaindetherium atau Punjabitherium. Sebuah analisis klad terperinci tentang Rhinocerotidae telah mengelompokkan Rhinoceros dan Punjabitherium dengan Dicerorhinus, badak sumatra. Penelitian lain menunjukkan bahwa badak sumatra lebih dekat hubungannya dengan dua spesies badak di Afrika.[29] Badak sumatra diyakini terpisah dari badak-badak Asia lainnya sekitar 15 juta tahun yang lalu atau bahkan lebih awal lagi, hingga 25,9 jutahun yang lalu berdasarkan data mitokondria.[5][27]

Deskripsi

sunting

Badak Jawa lebih kecil daripada Badak India, dan memiliki besar tubuh yang dekat dengan badak hitam. Panjang tubuh badak Jawa (termasuk kepalanya) dapat mencapai 3,1–3,2 m dan tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan memiliki berat antara 900 dan 2.300 kilogram. Penelitian untuk mengumpulkan pengukuran akurat badak Jawa tidak pernah dilakukan dan bukan prioritas.[5] Tidak terdapat perbedaan besar antara jenis kelamin, tetapi ukuran tubuh Badak Jawa betina dapat lebih besar. Badak di Vietnam lebih kecil dibandingkan di Jawa berdasarkan penelitian bukti melalui foto dan pengukuran jejak kaki mereka.[30]

Seperti sepupunya di India, badak Jawa memiliki satu cula (spesies lain memiliki dua cula). Culanya adalah cula terkecil dari semua badak, biasanya lebih sedikit dari 20 cm dengan yang terpanjang sepanjang 27 cm. Badak Jawa jarang menggunakan culanya untuk bertarung, tetapi menggunakannya untuk memindahkan lumpur di kubangan, untuk menarik tanaman agar dapat dimakan, dan membuka jalan melalui vegetasi tebal. Badak Jawa memiliki bibir panjang, atas dan tinggi yang membantunya mengambil makanan. Gigi serinya panjang dan tajam; ketika badak Jawa bertempur, mereka menggunakan gigi ini. Di belakang gigi seri, enam gigi geraham panjang digunakan untuk mengunyah tanaman kasar. Seperti semua badak, badak Jawa memiliki penciuman dan pendengaran yang baik tetapi memiliki pandangan mata yang buruk. Mereka diperkirakan hidup selama 30 sampai 45 tahun.[30]

Kulitnya yang sedikit berbulu, berwarna abu-abu atau abu-abu-coklat membungkus pundak, punggung dan pantat. Kulitnya memiliki pola mosaik alami yang menyebabkan badak memiliki perisai. Pembungkus leher badak Jawa lebih kecil daripada badak india, tetapi tetap membentuk bentuk pelana pada pundak. Karena risiko mengganggu spesies terancam, badak Jawa dipelajari melalui sampel kotoran dan kamera. Mereka jarang ditemui, diamati atau diukur secara langsung.[31]

Penyebaran dan habitat

sunting
 
Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa adalah habitat bagi sisa badak Jawa yang masih hidup.

Perkiraan yang paling optimistis memperkirakan bahwa lebih sedikit dari 100 badak Jawa masih ada di alam bebas. Mereka dianggap sebagai mamalia yang paling terancam; walaupun masih terdapat badak Sumatra yang tempat hidupnya tidak dilindungi seperti badak Jawa, dan beberapa pelindung alam menganggap mereka memiliki risiko yang lebih besar. Badak Jawa diketahui masih hidup di dua tempat, Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa dan Taman Nasional Cat Tien yang terletak sekitar 150 km sebelah utara Kota Ho Chi Minh.[21][32]

Binatang ini pernah menyebar dari Assam dan Benggala (tempat tinggal mereka akan saling melengkapi antara badak Sumatra dan India di tempat tersebut[24]) ke arah timur sampai Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan ke arah selatan di semenanjung Malaya, serta pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan.[33] Badak Jawa hidup di hutan hujan dataran rendah, rumput tinggi dan tempat tidur alang-alang yang banyak dengan sungai, dataran banjir besar atau daerah basah dengan banyak kubangan lumpur. Walaupun dalam sejarah badak Jawa menyukai daerah rendah, subspesies di Vietnam terdorong menuju tanah yang lebih tinggi (diatas 2.000 m), yang disebabkan oleh gangguan dan perburuan oleh manusia.[22]

Tempat hidup badak Jawa telah menyusut selama 3.000 tahun terakhir, dimulai sekitar tahun 1000 SM, tempat hidup di utara badak ini meluas ke Tongkok, tetapi mulai bergerak ke selatan secara kasar pada 0.5 km per tahun karena penetap manusia meningkat di daerah itu.[34] Badak ini mulai punah di India pada dekade awal abad ke-20.[24] Badak Jawa diburu sampai kepunahan di semenanjung Malaysia tahun 1932.[35] Pada akhir perang Vietnam, badak Vietnam dipercaya punah sepanjang tanah utama Asia. Pemburu lokal dan penebang hutan di Kamboja mengklaim melihat badak Jawa di Pegunungan Cardamom, tetapi survey pada daerah tersebut gagal menemukan bukti.[36] Populasi badak Jawa juga mungkin ada di pulau Kalimantan, walaupun spesimen tersebut mungkin merupakan badak Sumatra, populasi kecil yang masih hidup di sana.[33]

Badak Jawa adalah binatang tenang dengan pengecualian ketika mereka berkembang biak dan apabila seekor inang mengasuh anaknya. Kadang-kadang mereka akan berkerumun dalam kelompok kecil di tempat mencari mineral dan kubangan lumpur. Berkubang di lumpur adalah sifat umum semua badak untuk menjaga suhu tubuh dan membantu mencegah penyakit dan parasit. Badak Jawa tidak menggali kubangan lumpurnya sendiri dan lebih suka menggunakan kubangan binatang lainnya atau lubang yang muncul secara alami, yang akan menggunakan culanya untuk memperbesar. Tempat mencari mineral juga sangat penting karena nutrisi untuk badak diterima dari garam. Wilayahi jantan lebih besar dibandingkan betina dengan besar wilayah jantan 12–20 km² dan wilayah betina yang diperkirakan 3–14 km². Wilayah jantan lebih besar daripada wilayah wanita. Tidak diketahui apakah terdapat pertempuran teritorial.[37]

Jantan menandai wilayah mereka dengan tumpukan kotoran dan percikan urin. Goresan yang dibuat oleh kaki di tanah dan gulungan pohon muda juga digunakan untuk komunikasi. Anggota spesies badak lainnya memiliki kebiasaan khas membuang air besar pada tumpukan kotoran badak besar dan lalu menggoreskan kaki belakangnya pada kotoran. Badak Sumatra dan Jawa ketika buang air besar di tumpukan, tidak melakukan goresan. Adaptasi sifat ini diketahui secara ekologi; di hutan hujan Jawa dan Sumatra, metode ini mungkin tidak berguna untuk menyebar bau.[37]

Badak Jawa memiliki lebih sedikit suara daripada badak sumatra; sangat sedikit suara badak Jawa yang diketahui. Badak Jawa dewasa tidak memiliki musuh alami selain manusia. Spesies ini, terutama sekali di Vietnam, adalah spesies yang melarikan diri ke hutan ketika manusia mendekat sehingga sulit untuk meneliti badak.[9] Ketika manusia terlalu dekat dengan badak Jawa, badak itu akan menjadi agresif dan akan menyerang, menikam dengan gigi serinya di rahang bawah sementara menikam keatas dengan kepalanya.[37] Sifat anti-sosialnya mungkin merupakan adaptasi tekanan populasi; bukti sejarah mengusulkan bahwa spesies ini pernah lebih berkelompok.[21]

Makanan

sunting

Badak Jawa adalah herbivora yang mengonsumsi berbagai jenis tanaman, terutama bagian pucuk, ranting, dedaunan muda, dan buah yang jatuh. Badak Jawa biasanya mencari makan di daerah yang cerah di dalam pembukaan hutan, semak belukar, dan jenis vegetasi lain yang tidak memiliki pohon besar. Untuk mendapatkan makanannya, badak merobohkan anakan pohon dan menggunakan bibir atasnya yang lentur untuk mencengkeram pohon. Badak ini merupakan pemakan yang paling mudah beradaptasi di antara semua spesies badak dan mungkin pernah menjadi penjelajah sekaligus penggembala dalam sejarahnya. Badak ini mengkonsumsi sekitar 50 kg makanan per hari dan membutuhkan garam dalam makanannya, mirip dengan badak sumatera. Meskipun jilatan garam adalah hal yang umum di wilayah jelajah badak Jawa, hal ini tidak ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon. Pengamatan menunjukkan bahwa badak di Ujung Kulon meminum air laut untuk mendapatkan asupan nutrisi yang dibutuhkan.[30]

Reproduksi

sunting

Sifat seksual badak Jawa sulit dipelajari karena spesies ini jarang diamati langsung dan tidak ada kebun binatang yang memiliki spesimennya. Betina biasanya mencapai kematangan seksual pada usia 3-4 tahun, sementara jantan mencapai kematangan seksual pada usia 6 tahun. Periode kemungkinan untuk hamil diperkirakan terjadi antara 16-19 bulan. Interval kelahiran spesies ini adalah 4-5 tahun dan anaknya biasanya disapih pada usia sekitar 2 tahun. Sifat pasangan dari empat spesies badak lainnya serupa.[37]

Konservasi

sunting
 
Lukisan tahun 1861 menggambarkan perburuan badak Jawa.

Faktor utama berkurangnya populasi badak Jawa adalah perburuan untuk culanya, masalah yang juga menyerang semua spesies badak. Cula badak menjadi komoditas perdagangan di Tiongkok selama 2.000 tahun yang digunakan sebagai obat untuk pengobatan tradisional Tiongkok. Secara historis kulitnya digunakan untuk membuat baju baja tentara Tiongkok dan suku lokal di Vietnam percaya bahwa kulitnya dapat digunakan sebagai penangkal racun untuk bisa ular.[38] Karena tempat hidup badak mencakupi banyak daerah kemiskinan, sulit untuk penduduk tidak membunuh binatang ini yang dapat dijual dengan harga tinggi.[34] Ketika Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora pertama kali diberlakukan tahun 1975, badak Jawa dimasukan kedalam perlindungan Appendix 1: semua perdagangan internasional produk badak Jawa dianggap ilegal.[39] Survey pasar gelap cula badak telah menentukan bahwa badak Asia memiliki harga sebesar $30.000 per kilogram, tiga kali harga cula badak Afrika.[5]

Hilangnya habitat akibat pertanian juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa, walaupun hal ini bukan lagi faktor signifikan karena badak hanya hidup di dua taman nasional yang dilindungi. Memburuknya habitat telah menghalangi pemulihan populasi badak yang merupakan korban perburuan untuk cula. Bahkan dengan semua usaha konservasi, prospek keselamatan badak Jawa suram. Karena populasi mereka tertutup di dua tempat kecil, mereka sangat rentan penyakit dan masalah perkembangbiakan. Ahli genetika konservasi memperkirakan bahwa populasi 100 badak perlu perlindungan pembagian genetika spesies.[32]

Ujung Kulon

sunting
 
Pemburu Eropa dengan R. s. sondaicus yang terbunuh di Ujung Kulon, 1895

Semenanjung Ujung Kulon dihancurkan oleh letusan gunung Krakatau tahun 1883. Badak Jawa mengkolonisasi kembali semenanjung itu setelah letusan, tetapi manusia tidak pernah kembali pada jumlah yang besar, sehingga menjadi tempat berlindung.[32] Pada tahun 1931, karena badak Jawa berada di ambang kepunahan di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa badak merupakan spesies yang dilindungi, dan masih tetap dilindungi sampai sekarang.[22] Pada tahun 1967 ketika sensus badak dilakukan di Ujung Kulon, hanya 25 badak yang ada. Pada tahun 1980, populasi badak bertambah, dan tetap ada pada populasi 50 sampai sekarang. Walaupun badak di Ujung Kulon tidak memiliki musuh alami, mereka harus bersaing untuk memperebutkan ruang dan sumber yang jarang dengan banteng liar dan tanaman Arenga[40] yang dapat menyebabkan jumlah badak tetap berada dibawah kapasitas semenanjung.[41] Ujung Kulon diurus oleh menteri Kehutanan Republik Indonesia.[22] Ditemukan paling sedikit empat bayi badak Jawa pada tahun 2006.[42][43]

Foto induk Badak Jawa beserta bayinya, diperkirakan berumur sekitar 4 – 6 bulan, berhasil diabadikan oleh tim WWF pada November 2007. Ketika difoto, bayi badak tersebut sedang menyusu ibunya. Keberadaan badak tersebut diketahui ketika ditemukan jejak badak berukuran 15/16 cm di sekitar daerah aliran sungai Citadahan pada tanggal 30 Oktober 2007. Hal ini merupakan kabar gembira karena membuktikan adanya kelahiran badak baru di Ujung Kulon.[43]

Pertumbuhan populasi badak Jawa di Ujung Kulon
Tahun Minimum Maksimum Rata-rata
1967 21 28 24.5
1968 20 29 24.5
1971 33 42 37.5
1982 53 59 56
1993 35 58 47
Sumber: Strategi Konservasi Badak Indonesia - Dirjen PHPA Dephut RI.[44]

Cat Tien

sunting

Sedikit anggota R.s. annamiticus yang tersisa hidup di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Badak ini pernah menyebar di Asia Tenggara. Setelah perang Vietnam, badak Jawa dianggap punah. Taktik digunakan pada pertempuran menyebabkan kerusakan ekosistem daerah: penggunaan Napalm, herbisida dan defolian dari Agen Oranye, pengeboman udara dan penggunaan ranjau darat. Perang juga membanjiri daerah dengan senjata. Setelah perang, banyak penduduk desa miskin, yang sebelumnya menggunakan metode seperti lubang perangkap, kini memiliki senjata mematikan yang menyebabkan mereka menjadi pemburu badak yang efisien. Dugaan kepunahan subspesies mendapat tantangan ketika pada tahun 1988, seorang pemburu menembak betina dewasa yang menunjukan bahwa spesies ini berhasil selamat dari perang. Pada tahun 1989, ilmuwan meneliti hutan Vietnam selatan untuk mencari bukti badak lain yang selamat. Jejak kaki badak segar yang merupakan milik paling sedikit 15 badak ditemukan di sepanjang sungai Dong Nai.[45] Karena badak, daerah tempat mereka tinggal menjadi bagian Taman Nasional Cat Tien tahun 1992.[38] Pada awal tahun 2000-an, populasi mereka dikhawatirkan telah sangat berkurang di Vietnam; beberapa pelindung alam memperkirakan hanya 3-8 badak saja yang masih bertahan hidup, dan mungkin tidak ada yang jantan.[32][42] Para pelindung alam memperdebatkan apakah badak Vietnam memiliki kemungkinan selamat; beberapa berdebat bahwa badak dari Indonesia harus dibawa masuk untuk menyelamatkan populasi di Vietnam, dan lainnya berdebat bahwa populasinya dapat pulih kembali.[9][46]

Di penangkaran

sunting

Tidak terdapat satupun badak Jawa di kebun binatang. Pada tahun 1800-an, setidaknya empat badak dipamerkan di Adelaide, Kolkata dan London. 22 badak Jawa telah didokumentasikan dan disimpan di penangkaran, dan mungkin jumlahnya lebih besar karena spesies ini terkadang dikira sebagai badak India.[47] Badak Jawa tidak pernah ditangani dengan baik di penangkaran: badak tertua yang hidup hanya mencapai usia 20 tahun, sekitar setengah dari usia yang dapat dicapai badak di alam bebas. Badak Jawa terakhir yang ada di penangkaran mati di Kebun Binatang Adelaide, Australia tahun 1907, tempat spesies tersebut sedikit diketahui karena telah ditunjukkan sebagai badak India.[30] Akibat dari program panjang dan mahal tahun 1980-an dan 1990-an untuk mengembangbiakkan badak Sumatra di kebun binatang gagal, usaha untuk melindungi badak Jawa di kebun binatang tidak dapat dipercaya.[5]

Usaha persiapan habitat kedua

sunting

Badak Jawa yang hidup berkumpul di satu kawasan utama sangat rentan terhadap kepunahan yang dapat diakibatkan oleh serangan penyakit, bencana alam dan lain sebagainya. Selain itu, badak ini juga kekurangan ruang jelajah dan sumber akibat invasi tumbuhan langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng.

Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu merupakan habitat Badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat, baik, dan memenuhi kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru. Habitat ini juga akan menjamin keamanan populasinya.[40]

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) Grubb, P. (2005). "Species Rhinoceros sondaicus". Dalam Wilson, D.E.; Reeder, D.M. Mammal Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference (edisi ke-3rd). Johns Hopkins University Press. hlm. 636. ISBN 978-0-8018-8221-0. OCLC 62265494. 
  2. ^ a b Ellis, S.; Talukdar, B. (2020). "Rhinoceros sondaicus": e.T19495A18493900. doi:10.2305/IUCN.UK.2020-2.RLTS.T19495A18493900.en. 
  3. ^ a b Desmarest, A. G. (1822). "Rhinocéros des Îles de La Sonde". Mammalogie, ou, Description des espèces de mammifères. 2. Paris: Mme Agasse. hlm. 399–400. 
  4. ^ Dinerstein, Eric (24 April 2009). "Javan Rhinoceros Population, Habitat, & Facts (Britannica)". Britannica.com. 
  5. ^ a b c d e f Dinerstein, Eric (2003). The Return of the Unicorns; The Natural History and Conservation of the Greater One-Horned Rhinoceros. New York: Columbia University Press. ISBN 0-231-08450-1. 
  6. ^ "Rhino population figures". SaveTheRhino.org. Diakses tanggal 2 February 2021. 
  7. ^ "Poachers claim to have killed one-third of all Javan rhinos, Indonesian police say". Mongabay Environmental News (dalam bahasa Inggris). 2024-05-31. Diakses tanggal 2024-06-06. 
  8. ^ Brook, S. M.; Dudley, N.; Mahood, S. P.; Polet, G.; Williams, A. C.; Duckworth, J. W.; Van Ngoc, T.; Long, B. (2014). "Lessons learned from the loss of a flagship: The extinction of the Javan rhinoceros Rhinoceros sondaicus annamiticus from Vietnam" (PDF). Biological Conservation. 174: 21–29. Bibcode:2014BCons.174...21B. doi:10.1016/j.biocon.2014.03.014. 
  9. ^ a b c Santiapillai, C. (1992). "Javan rhinoceros in Vietnam" (PDF). Pachyderm. 15: 25–27.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Santiapillai" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  10. ^ Centre, UNESCO World Heritage. "Ujung Kulon National Park". UNESCO World Heritage Centre (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-09-07. 
  11. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama panda.org Javan calves
  12. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Mongabay video
  13. ^ Liddell, H. G.; Scott, R. (1940). "ῥίς". A Greek-English Lexicon (edisi ke-Revised and augmented). Oxford: Clarendon Press. 
  14. ^ Liddell, H. G.; Scott, R. (1940). "κέρᾳ". A Greek-English Lexicon (edisi ke-Revised and augmented). Oxford: Clarendon Press. 
  15. ^ "Javan Rhino (Rhinoceros sondaicus)". International Rhino Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 July 2011. Diakses tanggal 17 December 2014. 
  16. ^ Rookmaaker, L.C. (1982). "The type locality of the Javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822)" (PDF). Zeitschrift für Säugetierkunde. 47 (6): 381–382. 
  17. ^ Lesson, R. P. (1838). "Le Rhinocéros sans cornes ou Gaindar". Compléments de Buffon. 1 (edisi ke-Deuxième, revue, corrigée et augmentée). Paris: Pourrat Frères. hlm. 514–515. 
  18. ^ Gray, J. E. (1864). "Observations on the preserved specimens and skeletons of the Rhinocerotidae in the collection of the British Museum and Royal College of Surgeons, including the descriptions of three new species". Proceedings of the Zoological Society of London. 1867: 1003–1032. 
  19. ^ Heude, P. M. (1892). "Étude sur les suillens. Chapitre II". Mémoires concernant l'Histoire naturelle de l'Empire chinois; par des Pères de la Compagnie de Jésus. 2: 85–115, XIX–XXIX. 
  20. ^ Asian Rhino Specialist Group (1996). "Rhinoceros sondaicus ssp. sondaicus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2007. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 16 Oktober 2007.  Diakses pada 16 Oktober 2007.
  21. ^ a b c d Fernando, Prithiviraj (2006). "Genetic diversity, phylogeny and conservation of the Javan hinoceros (Rhinoceros sondaicus)". Conservation Genetics. 7 (3): 439–448. 
  22. ^ a b c d Foose, Thomas J. (1997), Asian Rhinos – Status Survey and Conservation Action Plan., IUCN, Gland, Switzerland, and Cambridge, UK, ISBN 2-8317-0336-0 
  23. ^ Rookmaaker, Kees (1997). "Records of the Sundarbans Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus inermis) in India and Bangladesh". Pachyderm. 24: 37–45. 
  24. ^ a b c Rookmaaker, L.C. (2002). "Historical records of the Javan rhinoceros in North-East India". Newsletter of the Rhino Foundation of Nature in North-East India (4): 11–12. 
  25. ^ Asian Rhino Specialist Group (1996). "Rhinoceros sondaicus ssp. annamiticus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2007. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 16 Oktober 2007.  Diakses pada 16 Oktober 2007.
  26. ^ a b Xu, Xiufeng. "The Complete Mitochondrial DNA Sequence of the Greater Indian Rhinoceros, Rhinoceros unicornis, and the Phylogenetic Relationship Among Carnivora, Perissodactyla, and Artiodactyla (+ Cetacea)". Molecular Biology and Evolution. 13 (9): 1167–1173. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  27. ^ a b Lacombat, Frédéric (2005). "The evolution of the rhinoceros". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 46–49. 
  28. ^ Tougard, C. (2001). "Phylogenetic relationships of the five extant rhinoceros species (Rhinocerotidae, Perissodactyla) based on mitochondrial cytochrome b and 12s rRNA genes". Molecular Phylogenetics and Evolution. 19 (1): 34–44. 
  29. ^ Cerdeño, Esperanza (1995). "Cladistic Analysis of the Family Rhinocerotidae (Perissodactyla)" (PDF). Novitates. American Museum of Natural History (3143). ISSN 0003-0082. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-03-27. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  30. ^ a b c d van Strien, Nico (2005). "Javan Rhinoceros". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 75–79. 
  31. ^ Munro, Margaret (10 Mei 2002). "Their trail is warm: Scientists are studying elusive rhinos by analyzing their feces". National Post. 
  32. ^ a b c d Derr, Mark (July 11, 2006). "Racing to Know the Rarest of Rhinos, Before It's Too Late". The New York Times. Diakses tanggal 2007-10-14. 
  33. ^ a b Cranbook, Earl of (2007). "The Javan Rhinoceros Rhinoceros Sondaicus in Borneo" (PDF). The Raffles Bulletin of Zoology. University of Singapore. 55 (1): 217–220. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-04-15. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  34. ^ a b Corlett, Richard T. (2007). "The Impact of Hunting on the Mammalian Fauna of Tropical Asian Forests". Biotropica. 39 (3): 202–303. 
  35. ^ Ismail, Faezah (9 Juni 1998). "On the horns of a dilemma". New Straits Times. 
  36. ^ Daltry, J.C. (2000). Cardamom Mountains biodiversity survey. Cambridge: Fauna and Flora International. 
  37. ^ a b c d Hutchins, M. (2006). "Rhinoceros behaviour: implications for captive management and conservation". International Zoo Yearbook. Zoological Society of London. 40: 150–173. 
  38. ^ a b Stanley, Bruce (1993-6-22). "Scientists Find Surviving Members of Rhino Species". Associated Press. 
  39. ^ Emslie, R. (1999), African Rhino. Status Survey and Conservation Action Plan., IUCN/SSC African Rhino Specialist Group. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK, ISBN 2831705029 
  40. ^ a b "Mempersiapkan rumah kedua badak jawa". WWF. 12 Juni 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-29. Diakses tanggal 2007-10-16. 
  41. ^ Dursin, Richel (16 Januari 2001). "Environment-Indonesia: Javan Rhinoceros Remains At High Risk". Inter Press Service. 
  42. ^ a b Williamson, Lucy (1 September, 2006). "Baby boom for near-extinct rhino". BBC News. Diakses tanggal 2007-10-16. 
  43. ^ a b "Kamera Intai WWF Berhasil Abadikan Foto Induk Badak Jawa dan Anaknya". WWF. 16 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-22. Diakses tanggal 2007-10-16. 
  44. ^ "Pertumbuhan Populasi Badak Jawa di Semenanjung Ujung Kulon dari Data Hasil Sensus (1967 - 1993)". Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-11-08. Diakses tanggal 2007-11-26. 
  45. ^ Raeburn, Paul (24 April, 1989). "World's Rarest Rhinos Found In War-Ravaged Region of Vietnam". Associated Press. 
  46. ^ "Javan Rhinoceros; Rare, mysterious, and highly threatened". World Wildlife Fund. 2007-3-28. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  47. ^ Rookmaaker, L.C. (2005). "A Javan rhinoceros, Rhinoceros sondaicus, in Bali in 1839". Zoologische Garten. 75 (2): 129–131. 
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "IUCN2008" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Catatan kaki

sunting

Pranala luar

sunting