Iganyana
Iganyana (Lycaon pictus), yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai African wild dog atau painted wolf, adalah hewan liar dari subfamili caninae yang berasal dari kawasan Afrika Sub-Sahara. Sebagai canine terbesar di Afrika, iganyana merupakan satu-satunya spesies yang masih ada dalam genus Lycaon. Genus ini dapat dibedakan dari genus Canis melalui struktur gigi dan kuku mereka. Gigi iganyana dirancang khusus untuk mendukung pola makan hiperkarnivora, sedangkan pada bagian kaki, mereka hanya memiliki empat kuku (tak ada dewclaw).
Iganyana Rentang waktu: Pleistosen Tengah – sekarang (200,000-saat ini)[1]
| |
---|---|
![]() | |
Seekor iganyana | |
Klasifikasi ilmiah ![]() | |
Domain: | Eukaryota |
Kerajaan: | Animalia |
Filum: | Chordata |
Kelas: | Mammalia |
Ordo: | Carnivora |
Famili: | Canidae |
Subfamili: | Caninae |
Tribus: | Canini |
Genus: | Lycaon |
Spesies: | L. pictus
|
Nama binomial | |
Lycaon pictus | |
![]() | |
Persebaran iganyana menurut IUCN
Masih ada
Kemungkinan masih ada
|
Meski nama dalam bahasa Inggris "African wild dog" dapat diterjemahkan sebagai "Anjing liar afrika", sementara nama "Painted Wolf" diterjemahkan menjadi "Serigala yang dicat", nyatanya iganyana bukanlah anjing ataupun serigala. Mereka sebenarnya hanya termasuk dalam keluarga yang sama, yaitu famili Canidae.[4]
Diperkirakan terdapat sekitar 6.600 ekor iganyana, di mana 1.400 di antaranya merupakan hewan dewasa yang tersebar di 39 subpopulasi. Setiap subpopulasi ini menghadapi ancaman serius akibat fragmentasi habitat, penganiayaan oleh manusia, serta wabah penyakit. Dengan subpopulasi terbesar yang terdiri dari kurang dari 250 ekor, iganyana telah dikategorikan sebagai spesies terancam punah dalam Daftar Merah IUCN sejak tahun 1990.
Iganyana adalah pemburu ulung yang khusus menangkap ungulata terestrial. Mereka umumnya berburu pada waktu fajar dan senja, meskipun tidak jarang juga diurnal (aktif di siang hari). Dalam berburu, iganyana memanfaatkan stamina dan kerjasama untuk mengelilingi dan menyudutkan mangsanya. Di alam, mereka memiliki pesaing seperti singa dan dubuk. Singa akan membunuh iganyana jika ada kesempatan, sementara dubuk sering kali bertindak sebagai kleptoparasit, mencuri hasil buruan mereka. Seperti halnya famili canidae lainnya, iganyana juga memuntahkan makanan untuk anak-anaknya. Namun, tidak hanya untuk anak-anak, mereka juga memberikan makanan yang telah dimuntahkan kepada anggota dewasa dalam kelompok sosial mereka. Meskipun demikian, anak-anak tetap mendapatkan perhatian lebih.
Iganyana termasuk hewan yang dihormati oleh masyarakat pemburu-pengumpul, terutama orang San, serta pada era Mesir prasejarah.
Etimologi
suntingNama "iganyana" berasal dari kata "iganyana" (nama spesies ini di habitat alaminya). Kata ini dipinjam dari Bahasa Ndebele Utara (sebuah bahasa di Afrika yang dituturkan di Zimbabwe.[5][6]
Taksonomi dan evolusi
suntingTaksonomi
suntingPohon filogenetik hewan-hewan dari subfamili Canidae berbentuk seperti serigala dalam rentang waktu jutaan tahun[a] | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sumber tertulis paling awal mengenai spesies ini berasal dari karya Oppian, yang menuliskan tentang thoa, sebuah hibrida antara serigala dan macan tutul. Hewan ini memiliki bentuk seperti serigala, namun dengan warna yang mirip dengan macan tutul. Dalam karyanya yang berjudul Memorabilium Collea rerum, Solinus dari abad ketiga Masehi juga menggambarkan hewan yang mirip serigala berwarna-warni dengan surai yang berasal dari Etiopia.[7]
Iganyana pertama kali dideskripsikan secara ilmiah pada tahun 1820 oleh Coenraad Jacob Temminck, setelah ia memeriksa spesimen yang ditemukan di pantai Mozambik. Temminck memberi nama spesies ini Hyaena picta.[3] Selanjutnya, pada tahun 1827, Joshua Brookes mengklasifikasikan kembali spesies ini sebagai bagian dari keluarga canidae dan mengganti nama ilmiahnya menjadi Lycaon tricolor. Akar kata "Lycaon" berasal dari bahasa Yunani λυκαίος (lykaios), yang berarti 'seperti serigala'. Sementara itu julukan "pictus" (bahasa Latin yang berarti 'dicat') berasal dari asal kata 'picta' yang menjadi 'pictus'. Ini disesuaikan dengan Aturan Internasional tentang Tata Nama Taksonomi. [8]
Ahli paleontologi George G. Simpson mengelompokkan iganyana, ajak, dan mbetapa ke dalam subfamili Simocyoninae berdasarkan kesamaan ketajaman gigi carnassial yang dimiliki oleh ketiga spesies tersebut. Namun, Juliet Clutton-Brock mengajukan argumen yang menentang pengelompokan ini. Ia menekankan bahwa selain kekhasan pada bentuk gigi, terdapat terlalu banyak perbedaan di antara ketiga spesies itu, sehingga seharusnya hewan-hewan ini tidak dikelompokkan kedalam satu subfamili.[9]
Evolusi
suntingIganyana menunjukkan adaptasi yang paling khas di antara spesies canidae lainnya, baik dalam hal warna bulu, pola makan, maupun cara menangkap mangsa berkat kemampuan berlarinya. Dengan kerangka yang gesit dan tanpa adanya "dewclaw" pada kakinya, hewan ini mampu meningkatkan langkah dan kecepatannya. Adaptasi ini memungkinkan iganyana untuk mengejar mangsa di medan terbuka dalam jarak yang cukup jauh. Gigi pada hewan ini umumnya memiliki bentuk carnassial. Bagian premolarnya merupakan yang terbesar di antara semua karnivora yang ada saat ini, kecuali dubuk. Pada gigi carnassial bagian bawah (gigi geraham pertama bawah), talonid-nya telah mengalami evolusi menjadi pemotong daging yang tajam, disertai dengan pengurangan atau hilangnya molar post-carnassial. Adaptasi serupa juga ditemukan pada dua hewan hiperkarnivora lainnya yaitu ajak dan mbetapa. Iganyana memiliki variasi warna bulu yang paling beragam di antara mamalia lainnya. Setiap individu menunjukkan pola warna yang berbeda-beda, yang mengindikasikan adanya keragaman genetik yang mendasarinya. Tujuan dari pola bulu ini mungkin berkaitan dengan adaptasi dalam hal komunikasi, kamuflase, serta pengaturan suhu tubuh. Pada tahun 2019, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa garis keturunan lycaon bercabang dari Cuon dan Canis sekitar 1,7 juta tahun yang lalu. Proses ini terjadi melalui serangkaian adaptasi dan bertepatan dengan diversifikasi yang signifikan pada spesies ungulata besar, yang merupakan mangsa bagi lycaon. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa Iganyana sebagian besar terisolasi dari pertukaran gen dengan spesies canidae lainnya.[10]
Fosil iganyana yang tertua diperkirakan berasal dari sekitar 200.000 tahun yang lalu dan ditemukan di Gua HaYonim, Israel.[11][1] Proses evolusi iganyana masih kurang dipahami karena keterbatasan penemuan fosil hewan ini. Beberapa penulis berpendapat bahwa Xenocyon, yang merupakan subgenus dari canis yang telah punah, bisa jadi merupakan nenek moyang bagi genus Lycaon dan genus Cuon;[12][13][14][15] yang hidup di berbagai belahan Eurasia dan Afrika mulai dari masa Pleistosen Awal hingga Pleistosen Tengah Awal. Namun, beberapa penulis yang memiliki pandangan berbeda mengusulkan agar "Xenocyon" diklasifikasikan kembali sebagai "Lycaon".[1] Spesies "Canis" ("Xenocyon") "falconeri" menunjukkan kemiripan dengan iganyana, terutama karena tidak memiliki metakarpal pertama (dewclaw). Meskipun demikian, struktur gigi Xenocyon relatif tidak khas.[1] Salah satu penulis menolak hubungan ini, berpendapat bahwa ketiadaan metakarpal pertama (dewclaw) pada C. (X. ) falconeri merupakan indikasi yang kurang meyakinkan untuk menyimpulkan kedekatan filogenetis spesies ini dengan iganyana, mengingat struktur giginya yang terlalu berbeda untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.[16]
Kandidat nenek moyang iganyana modern lainnya adalah iganyana plio-pleistosen (Lycaon sekowei) yang berasal dari Afrika Selatan. Hal ini didasarkan pada perbedaan aksesori kuspis gigi pada gigi premolar atas serta pada aksesori kuspis gigi di bagian anterior premolar bawah. Adaptasi ini hanya ditemukan pada genus Lycaon di antara canidae yang masih hidup, yang menunjukkan pola makan hiperkarnivora yang serupa. L. sekowei (iganyana pilo-pleistoesn) belum kehilangan metakarpal pertama seperti yang terjadi pada L. pictus dan memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan spesies modern. Selain itu, gigi iganyana pilo-pleistosen memiliki ukuran 10% lebih besar dibandingkan dengan iganyana yang ada saat ini.[16]
Pembastaran dengan ajak
suntingIganyana memiliki 78 kromosom, jumlah yang sama dengan kromosom pada genus Canis. [17] Pada tahun 2018, dilakukan penelitian pengurutan keseluruhan genom untuk membandingkan ajak (Cuon alpinus) dengan iganyana. Hasil penelitian ini mengungkapkan adanya percampuran genetik purba antara kedua spesies tersebut. Saat ini, wilayah jelajah mereka terpisah cukup jauh, namun pada era Pleistosen, ajak dapat ditemukan hingga ke barat Eropa. Penelitian ini mengusulkan bahwa persebaran ajak bisa jadi pernah mencakup wilayah Timur Tengah, di mana kemungkinan terjadi pembastaran antara ajak dan iganyana di Afrika Utara. Walau begitu, hingga kini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ajak pernah hidup di Timur Tengah maupun Afrika Utara.[18]
Subspesies
suntingBerikut ini adalah lima subspesies yang diakui oleh MSW3 pada tahun 2005,:[19]
Subspecies | Description | Synonyms |
---|---|---|
Iganyana Tanjung Harapan L. p. pictus Temminck, 1820 |
Subspesies ini merupakan iganyana terbesar di antara spesies iganyana lainnya, dengan bobot tubuh mencapai 20-25 kg (44-55 lb).[20] Iganyana ini memiliki variasi warna yang lebih kaya dibandingkan dengan iganyana dari Afrika Timur.[20] Dalam spesies ini sendiri terdapat beragam variasi warna bulu yang bergantung pada sebaran geografisnya. Spesimen yang tinggal di daerah Tanjung Harapan memiliki karakteristik khas, dengan banyak bulu berwarna jingga-kuning yang tumpang tindih dengan warna hitam. Bagian belakang telinga, serta bagian bawahnya, juga berwarna kuning, sedangkan pada surai area tenggorokannya terdapat sejumlah bulu yang berwarna keputih-putihan.[21] | cacondae (Matschie, 1915), fuchsi (Matschie, 1915), gobabis (Matschie, 1915), krebsi (Matschie, 1915), lalandei (Matschie, 1915), tricolor (Brookes, 1827), typicus (A. Smith, 1833), venatica (Burchell, 1822), windhorni (Matschie, 1915), zuluensis (Thomas, 1904) |
Iganyana Afrika Timur L. p. lupinus Thomas, 1902 |
Subspesies ini dapat dibedakan dari subspesies iganyana lainnya karena memiliki bulu yang sangat gelap, dengan warna kuning yang kurang jelas.[21] | dieseneri (Matschie, 1915), gansseri (Matschie, 1915), hennigi (Matschie, 1915), huebneri (Matschie, 1915), kondoae (Matschie, 1915), lademanni (Matschie, 1915), langheldi (Matschie, 1915), prageri (Matschie, 1912), richteri (Matschie, 1915), ruwanae (Matschie, 1915), ssongaeae (Matschie, 1915), stierlingi (Matschie, 1915), styxi (Matschie, 1915), wintgensi (Matschie, 1915) |
Iganyana Somali L. p. somalicus Thomas, 1904 |
Subspesies ini memiliki bentuk tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan Iganyana Afrika Timur. Ciri khasnya adalah bulu yang lebih pendek dan kasar serta gigi yang lebih lemah. Dalam hal warna, subspesies ini cenderung mirip dengan spesies Tanjung Harapan, di mana bagian kuningnya bertransisi menjadi warna bungalan.[21] | luchsingeri (Matschie, 1915), matschie (Matschie, 1915), rüppelli (Matschie, 1915), takanus (Matschie, 1915), zedlitzi (Matschie, 1915) |
Iganyana Chad L. p. sharicus Thomas and Wroughton, 1907 |
Iganyana Chadian memiliki warna yang lebih cerah, serta bulu yang sangat pendek, hanya sekitar 15 mm (0,6 inci) panjangnya. Selain itu, tempurung kepalanya juga terlihat lebih penuh dibandingkan dengan L. p. pictus (Iganyana Tanjung Harapan).[22] | ebermaieri (Matschie, 1915) |
Iganyana Afrika Barat L. p. manguensis Matschie, 1915 |
Iganyana Afrika Barat dulunya memiliki wilayah sebaran yang luas, mencakup dari Afrika Barat hingga Afrika Tengah, mulai dari Senegal hingga Nigeria. Sekarang spesies ini hanya tersisa pada dua subpopulasi yang masih bertahan: satu di Taman Nasional Niokolo-Koba di Senegal, dan yang lainnya di Taman Nasional W yang terletak di Benin, Burkina Faso, dan Niger.[2][23] Diperkirakan saat ini spesies L. p. maguensis hanya memiliki sekitar 70 individu dewasa yang tersisa di alam liar.[24] | mischlichi (Matschie, 1915) |
Meskipun spesies iganyana memiliki keragaman genetik yang luas, istilah subspesifik tersebut belum diterima secara universal. Iganyana Afrika Barat dan Iganyana Afrika Selatan dulunya dianggap memiliki perbedaan genetik berdasarkan sejumlah kecil sampel. Namun, penelitian terbaru dengan sampel yang lebih banyak menunjukkan adanya pembastaran alami pada masa lampau antara populasi Iganyana Afrika Timur dan Iganyana Afrika Selatan. Beberapa DNA inti dan alel DNA mitokondria yang unik telah diidentifikasi pada populasi di Afrika Selatan dan Afrika Timur Laut. Di antara kedua populasi ini terdapat zona transisi yang meliputi Botswana, Zimbabwe, dan bagian tenggara Tanzania. Populasi Iganyana di Afrika Barat mungkin memiliki haplotipe yang khas sehingga dapat dianggap sebagai subspesies yang benar-benar terpisah.[25] Di sisi lain, populasi asli iganyana yang ada di Ekosistem Serengeti dan Maasai Mara memiliki genotipe yang unik, meskipun ada kemungkinan genotipe tersebut telah punah.[26]
Referensi
sunting- ^ a b c d Martínez-Navarro, B.; Rook, L. (2003). "Gradual evolution in the African hunting dog lineage: systematic implications". Comptes Rendus Palevol. 2 (8): 695–702. Bibcode:2003CRPal...2..695M. doi:10.1016/j.crpv.2003.06.002 . Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "MN_R" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b Woodroffe, R.; Sillero-Zubiri, C. (2020). "Lycaon pictus": e.T12436A166502262. doi:10.2305/IUCN.UK.2020-1.RLTS.T12436A166502262.en.
- ^ a b Temminck, C. J. (1820). "Sur le genre hyena, et description d'une espèce nouvelle, découverte en Afrique". Annales générales des sciences physiques. 3: 46–57.
- ^ Kiniry, Laura (12 Februari 2025). "What's the Difference Between Hyenas and African Wild Dogs?". Wine and Wild Dogs. Diarsipkan dari versi asli tanggal 08 Maret 2025. Diakses tanggal 08 Maret 2025.
- ^ Forkel, Robert. "i-ganyana". Tsammalex. Diarsipkan dari versi asli tanggal 06 Maret 2025. Diakses tanggal 06 Maret 2025.
- ^ ""wild dogs"; what's in a name?…a rose by any other name would smell as sweet…". Wine and Wild Dogs. Diarsipkan dari versi asli tanggal 06 Maret 2025. Diakses tanggal 06 Maret 2025.
- ^ Smith, C. H. (1839). Dogs, W.H. Lizars, Edinburgh, p. 261–269
- ^ Bothma, J. du P. & Walker, C. (1999). Larger Carnivores of the African Savannas, Springer, pp. 130–157, ISBN 978-3-540-65660-9
- ^ Clutton-Brock, J.; Corbet, G. G.; Hills, M. (1976). "A review of the family Canidae, with a classification by numerical methods". Bull. Br. Mus. (Nat. Hist.). 29: 119–199. doi:10.5962/bhl.part.6922 .
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaChavez2019
- ^ Stiner, M. C.; Howell, F. C.; Martınez-Navarro, B.; Tchernov, E.; Bar-Yosef, O. (2001). "Outside Africa: Middle Pleistocene Lycaon from Hayonim Cave, Israel" (PDF). Bollettino della Societa Paleontologica Italiana. 40 (2): 293–302.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamamoulle2006
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamabaryshnikov2012
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamacherin2013
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamawang2008
- ^ a b Hartstone-Rose, A.; Werdelin, L.; De Ruiter, D. J.; Berger, L. R.; Churchill, S. E. (2010). "The Plio-pleistocene ancestor of Wild Dogs, Lycaon sekowei n. sp". Journal of Paleontology. 84 (2): 299–308. Bibcode:2010JPal...84..299H. doi:10.1666/09-124.1.
- ^ Enenkel, K.A.E.; Smith, P. J. (2014). Zoology in Early Modern Culture: Intersections of Science, Theology, Philology, and Political and Religious Education: Intersections of Science, Theology, Philology, and Political and Religious Education. Brill. hlm. 83. ISBN 978-90-04-27917-9.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamagopalakrishnan2018
- ^ Wozencraft, W. C. (2005-11-16). Wilson, D. E., and Reeder, D. M. (eds), ed. Mammal Species of the World (edisi ke-3rd edition). Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-8221-4.
- ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaestes1992
- ^ a b c Bryden, H. A. (1936), Wild Life in South Africa, George G. Harrap & Company Ltd., pp. 19–20
- ^ Thomas, Oldfield; Wroughton, R.C. (1907). "XLIII.—New mammals from Lake Chad and the Congo, mostly from the collections made during the Alexander-Gosling expedition". Magazine of Natural History. 19: 375.
- ^ Victor Montoro (14 July 2015). "Lions, cheetahs, and wild dogs dwindle in West and Central African protected areas". Mongabay. Diakses tanggal 10 January 2016.
- ^ "West African wild dog". Zoological Society of London (ZSL) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-05-03.
- ^ Edwards, J. (2009). Conservation genetics of African wild dogs Lycaon pictus (Temminck, 1820) in South Africa (Tesis Magister Scientiae). Pretoria: University of Pretoria. https://repository.up.ac.za/handle/2263/29439.
- ^ Woodroffe, Rosie; Ginsberg, Joshua R. (April 1999). "Conserving the African wild dog Lycaon pictus. II. Is there a role for reintroduction?". Oryx. 33 (2): 143–151. doi:10.1046/j.1365-3008.1999.00053.x . See p 147.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan