Analisis bahaya dan pengendalian titik kritis

Menurut WHO, Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (bahasa Inggris: Hazard Analysis and Critical Control Points; HACCP) didefinisikan sebagai suatu pendekatan ilmiah, rasional, dan sistematik untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengendalikan bahaya.[1] Pada awalnya, prinsip HACCP dibuat untuk keamanan pangan, tetapi sistem ini akhirnya dapat diaplikasikan lebih luas dan mencakup industri lainnya.[2] Aplikasi HACCP, terutama yang diperuntukkan bagi pangan, dilaksanakan berdasarkan beberapa pedoman, yaitu prinsip umum kebersihan pangan Codex, Codex yang sesuai dengan kode praktik, dan undang-undang keamanan pangan yang sesuai.[2]

Prinsip HACCP

sunting

Sistem HACCP terdiri dari tujuh prinsip, yaitu:

  1. Melakukan analisis bahaya: segala macam aspek pada mata rantai produksi pangan yang dapat menyebabkan masalah keamanan pangan harus dianalisis. Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah keberadaan pencemar (kontaminan) biologis, kimiawi, atau fisik bahan pangan. Selain itu, bahaya lain mencakup pertumbuhan mikrorganisme atau perubahan kimiawi yang tidak dikehendaki selama proses produksi, dan terjadinya kontaminasi silang pada produk antara, produk jadi, atau lingkungan produksi.[3]
  2. Menentukan Titik Pengendalian Kritis (Critical Control Point, CCP): suatu titik, tahap, atau prosedur dimana bahaya yang berhubungan dengan pangan dapat dicegah, dieliminasi, atau dikurangi hingga ke titik yang dapat diterima (diperbolehkan atau titik aman).[4] Terdapat dua titik pengendalian kritis yaitu Titik Pengendalian Kritis 1 sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan, dan Titik Pengendalian Kritis 2 dimana bahaya dapat dikurangi.[3]
  3. Menentukan batas kritis: kriteria yang memisahkan sesuatu yang bisa diterima dengan yang tidak bisa diterima. Pada setiap titik pengendalian kritis, harus dibuat batas kritis dan kemudian dilakukan validasi. Kriteria yang umum digunakan dalam menentukan batas kritis HACCP pangan adalah suhu, pH, waktu, tingkat kelembaban, Aw, ketersediaan klorin, dan parameter fisik seperti tampilan visual dan tekstur.[2]
  4. Membuat suatu sistem pemantauan (monitoring) CCP: suatu sistem pemantauan (observasi) urutan, operasi, dan pengukuran selama terjadi aliran makanan. Hal ini termasuk sistem pelacakan operasi dan penentuan kontrol mana yang mengalami perubahan ketika terjadi penyimpangan. Biasanya, pemantauan harus menggunakan catatan tertulis.[4]
  5. Melakukan tindakan korektif apabila pemantauan mengindikasikan adanya CCP yang tidak berada di bawah kontrol. Tindakan korektif spesifik yang diberlakukan pada setiap CCP dalam sistem HACCP untuk menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakan korektif tersebut harus mampu mengendalikan membawa CCP kembali dibawah kendali dan hal ini termasuk pembuangan produk yang mengalami penyimpangan secara tepat.[2]
  6. Menetapkan prosedur verifikasi untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Prosedur verifikasi yang dilakukan dapat mencakup peninjauan terhadap sistem HACCP dan catatannya, peninjauan terhadap penyimpangan dan pengaturan produk, konfirmasi CCP yang berada dalam pengendalian, serta melakukan pemeriksaan (audit) metode, prosedur, dan uji. Setelah itu, prosedur verifikasi dilanjutkan dengan pengambilan sampel secara acak dan menganalisisnya. Prosedur verifikasi diakhiri dengan validasi sistem untuk memastikan sistem sudah memenuhi semua persyaratan Codex dan memperbaharui sistem apabila terdapat perubahan di tahap proses atau bahan yang digunakan dalam proses produksi.[2]
  7. Melakukan dokumentasi terhadap seluruh prosedur dan catatan yang berhubungan dengan prinsip dan aplikasinya. Beberapa contoh catatan dan dokumentasi dalam sistem HACCP adalah analisis bahaya, penetapan CCP, penetapan batas kritis, aktivitas pemantauan CCP, serta penyimpangan dan tindakan korektif yang berhubungan.

Keuntungan dan Kerugian

sunting

Penerapan HACCP sebagai alat pengatur keamanan pangan dapat memberikan keuntungan, yaitu mencegah terjadinya bahaya sebelum mencapai konsumen, meminalkan risiko kesehatan yang berkaitan dengan konsumsi makanan, meningkatkan kepercayaan akan keamanan makanan olahan sehingga secara tidak langsung mempromosikan perdagangan dan stabilitas usaha makanan.[3] Beberapa kerugian dari HACCP adalah tidak cocok bila diaplikasikan untuk bahaya atau proses yang hanya sedikit diketahui, tidak melakukan kuantifikasi (penghitungan) atau memprioritaskan risiko, dan tidak melakukan kuantifikasi dampak dari tambahan kontrol terhadap penurunan risiko.[1]

ISO 22000

sunting

ISO 22000 bertindak sebagai standar yang dibentuk untuk membantu penekanan isu berkaitan dengan kesehatan pangan dengan HACCP. Walau beberapa perusahaan, khususnya perusahaan-perusahaan besar, telah mengimplementasikan atau dalam proses implementasi ISO 22000, adapula perusahaan yang ragu dalam menerapkan standar ini. Alasan utama adalah kurangnya informasi dan kekhawatiran bahwa standar baru ini menuntut pekerjaan birokratis, dari kepastian akan studi kasus.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Risk Management Training Guides: Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) Diarsipkan 2012-12-24 di Wayback Machine., Manufacturing Technology Committee – Risk Management Working Group.
  2. ^ a b c d e Hazard analysis and critical control point generic models for some traditional foods: A manual for the Eastern Mediterranean Region, World Health Organization. 2008. ISBN 978-92-9021-590-5
  3. ^ a b c Sudarmaji (2005). "ANALISIS BAHAYA DAN PENGENDALIAN TITIK KRITIS (HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT )" (PDF). JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN. 1 (2): 183–190. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-11-01. Diakses tanggal 2010-10-16. 
  4. ^ a b Health Practices on Cruise Ships: Training for Employees Transcript: Hazard Analysis Critical Control Point, Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Environmental Health: Vessel Sanitation Program.
  5. ^ Critical Reviews in Food Science and Nutrition, "A Comparative Presentation of Implementation of ISO 22000 Versus HACCP and FMEA in a Small Size Greek Factory Producing Smoked Trout: A Case Study" (PDF).  Volume 49, 2009, pages 176 - 201