W.J.S. Poerwadarminta

Ahli bahasa Indonesia

Welfridus Josephus Sabarija Poerwadarminta (12 September 1904 – 28 November 1968) adalah salah satu tokoh sastra Indonesia, ahli perkamusan, dan penulis kamus-kamus bahasa Indonesia, Jawa, Kawi, dan lain-lain. Ia juga menggunakan nama samaran Ajirabas, Semplak atau Sabarija.

W.J.S. Poerwadarminta
Lahir(1904-09-12)12 September 1904
Yogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal28 November 1968(1968-11-28) (umur 64)
Yogyakarta, Indonesia
PekerjaanPenulis
KebangsaanIndonesia

Walaupun karya sastra yang ditulisnya tidak terlalu banyak, dia hanya menulis satu puisi, tiga prosa, dan dua drama yang semuanya dimuat dalam majalah, ia justru lebih dikenal sebagai leksikograf di Indonesia. Kamusnya yang paling terkenal adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dicetak pertama kali pada tahun 1953 dan telah dicetak ulang sebanyak lima belas kali sampai dengan tahun 2017

W.J.S. Poerwadarminta juga pernah menjadi redaktur Balai Pustaka bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Sabarija Poerwadarminta juga memperoleh Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia atas jasanya dalam bidang kebudayaan dan bidang bahasa yang disampaikan oleh Sri Paku Alam VII kepada istrinya pada tanggal 15 Juni 1970.

Latar belakang keluarga

sunting

Welfridus Joseph Sabarija Poerwadarminta dilahirkan pada tanggal 12 September 1904 di Kota Yogyakarta. Keluarganya berasal dari suku Jawa dan beragama Katolik.[1] Sabarija adalah anak dari Bapak Raden Ngabehi Kudawiharja, seorang abdi dalem Kraton yang bertugas sebagai Gamel yang artinya petugas pemelihara kuda Kraton. Ibunya bekerja sebagai pembuat pola batik. Adapun Sabariya tidak memiliki saudara sekandung, berikut saudara dalam keluarganya:

  1. Sastra Sutrasna: saudara se - ayah lain ibu - tinggal di Yogyakarta
  2. Sastradihardja: saudara se - ibu lain ayah - tinggal di Jakarta
  3. Wilfrida Mudjilah: saudara se - ibu lain ayah - tinggal di Purworejo
  4. Sutardjana: saudara se - ibu lain ayah - tinggal di Bandung

Masa kecil

sunting

Sabariya hidup ikut neneknya, dan neneknya termasuk rakyat jelata yang serba kekurangan, oleh karenanya ia tidak bisa sekolah, dan pada masa penjajahan Belanda, untuk bersekolah sangatlah tidak mungkin kerena Sabariya bukanlah keluarga bangsawan, dan bukannya dari keluarga yang berpangkat Semasa kecilnya, bila ingin bermain apa saja, maka alat-alat mainnya dibuat sendiri, sejak kecil Sabarija sudah memiliki daya kreatif tinggi.

Pernah terjadi sewaktu kanak-kanak sekitar umur 7 tahun ia diajak orang yang tidak dikenal (istilah sekarang mungkin diculik), kemudian dilepas/dibuang di pinggiran kota Solo. Tetapi karena ia mempunyai naluri yang tinggi, jalan pikirnya bila ia mengikuti jalan kereta api ke arah barat maka akan sampai ke Yogyakarta. Berjalanlah ia menyusuri jalan KA tersebut, akhirnya sampai dekat desa Prambanan ia pingsan karena kelelahan dan tidak makan (hanya mengunyah batang tebu yang tumbuh sepanjang kebun tebu di lintasan Kereta Api). Kemudian ditolong oleh kusir andong (kereta kuda khas Yogyakarta) diantar sampai kerumahnya di jalan Gamelan.

Semenjak kejadian tersebut neneknya sangat prihatin, kebetulan ada seorang pastor yang iba melihat nasib Sabariya, maka pastor tersebut meminta izin untuk mengambil Sabariya untuk di sekolahkan di Sekolah Angka Loro (Tweede Inlandsche School ) di Kintelan Yogyakarta (sekarang lokasi tersebut berada di sekitar daerah kecamatan Gondomanan) dan ia dapat menyelesaikan di sekolah tersebut pada tahun 1919.

Atas seizin orang tuanya Sabariya, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru (Normal School Rooms Katholiek) di Moentilan sampai kelas dua, dan dilanjutkan lagi di Ambarawa sampai kelas tiga, biaya pendidikan di sekolah tersebut ditanggung oleh Gereja Katolik. Mulai saat itulah ia mengenal dan belajar agama Katolik.

Selama dalam pendidikan di asrama Ambarawa, ia mempunyai prestasi belajar yang sangat mengagumkan melebihi dari teman-teman sekolahnya, ia berbakat juga di dalam seni tari, seni karawitan, dan memainkan alat musik gamelan, juga ia senang bermain drama dan pernah mendapat hadiah nomor satu pada saat ia bermain drama di sekolah tersebut. Ia sangat disukai oleh teman-teman sekolahnya karena sangat sopan, lemah lembut, jujur, tekun dan cerdas, dan ia tamat disekolah tersebut dengan predikat murid yang terpandai, lulus pada tahun 1923.

Karier

sunting

Setelah tamat Sekolah Guru, ia mendapat pekerjaan sebagai guru Sekolah Dasar Kanisius di Kumendaman – Yogyakarta, pada masa itu gaji seorang guru lulusan Normaal School hanya sekitar 27,50 gulden sedangkan lulusan Kweekschool gajinya sekitar 45 Gulden, sehingga ia sering jadi bahan ejekan para gadis-gadis.

Karier W.J.S. Poerwadarminta mulai dirintis sejak ia bekerja sebagai guru Sekolah Dasar hingga akhir hayatnya. Ia lulus Sekolah Dasar Angka Loro (Tweede Inlandsche School) di Yogyakarta pada tahun 1919. Lulus dengan predikat baik dan nilai tertinggi dari Sekolah Guru ( Normaal School Rooms Katholiek ) Muntilan dan Ambarawa pada 25 April 1923.

Pada tanggal 31 Mei 1923, ia di angkat menjadi guru Sekolah Dasar Kanisus di kampung Kumendaman ( sekarang lokasinya di daerah kecamatan Mantri Jeron ) di Yogyakarta. W.J.S. Poerwadarminta adalah orang yang tertib, disiplin dalam pengaturan waktu, sehingga ia sempat mengkuti kursus-kursus seperti Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, Bahasa Prancis, Bahasa Jerman. Ia juga belajar Filsafat sekaligus memperdalam Bahasa Belanda dibawah asuhan Pater J. Van Rijkckevorsel S.J. dan belajar Sastra Jawa Kuno dibawah asuhan Pater L.C. Kock S.J, mahaguru Filsafat Kolese Igantius di Yogyakarta. Selain itu ia juga belajar bahasa Sanskerta dan bahasa Melayu.

Untuk mempraktikan bahasa-bahasa yang telah dipelajari, maka ia menjadi pramuwisata bagi para wisatawan asing ( turis ) yang berkunjung di Kraton dan Tamansari di Yogyakarta. Banyak para turis terkagum-kagum karena ada orang Jawa pakai blangkon, kain dan baju lurik, telanjang kaki bisa berbicara dengan fasih beberapa bahasa asing.

Pada tahun 1929, W.J.S. Poerwadarminta ditugaskan mengajar di Sekolah Dasar Kanisius di Wirobrajan – Yogyakarta, disitulah ia mempunyai teman-teman yang sehaluan dan mendukung Pak Poerwa untuk mencurahkan pengetahuan tentang bahasa. Lalu didirikan organisasi Ikatan Tri Wikrama dan W.J.S. Poerwadarminta menjadi ketuanya. Di situlah ia merintis penerbitan majalah yang bernama Bausastra Jawa dan pemimpin redaksinya yaitu dirinya sendiri.

Pada tahun 1930, diterbitkanlah Kamus Bahasa Jawa ( Bau Sastra Jawa ) yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta dibantu oleh rekan-rekannya C.S. Hardjosoedarmo dan J.Chr. Pujosudiro. Setelah itu berturut-turut disusun buku karangan tunggal W.J.S. Poerwadarminta antara lain Serat Mardi Kawi dan novel berjudul Pacoban. Ia masih sempat dalam kesibukannya sehari-hari mengajar bahasa di Sekolah Seminari Agung dan Sekolah Tionghoa ( Maleisch Chineesche School ) di Yogyakarta.

Buku pertamanya adalah Mardi Kawi, berisi pelajaran bahasa Kawi (1930); sedangkan kamusnya yang pertama adalah Kawi Djarwa (1931), disusul dengan Baoesastra Indonesia-Jawi, dengan penerbit Balai Pustaka. Ia juga membuat buku Puntja Bahasa Nippon yang berisi pelajaran bahasa Jepang. Ia juga pernah mengajar pada Gaikoku-go Gakko, sekolah Bahasa Asing di Tokyo (1932-1938), dan setelah kontraknya habis ia kembali ke Indonesia dan bekerja di Balai Pustaka.[2]

Pada tahun 1932, ia mendapat tawaran dari Pemerintah Jepang yang mencari tenaga pengajar bahasa Indonesia, atas dorongan dari teman-temannya dan seizin orang tuanya, maka berangkatlah ia bersama istrinya dan putrinya yang masih berumur 9 bulan ( C Soetantri ) ke negara Jepang sebagai duta bangsa. Di sana, ia selalu menyatakan kepada orang-orang Jepang bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa Nasional, yaitu Bahasa Indonesia. Di Jepang, ia ditugaskan sebagai dosen di Guko Hugo Gakko, Tokyo dan di situ, ia masih sempat mengikuti kuliah Kesusastraan Inggris dan juga mengikuti kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Sophia.

Pada tahun 1937, W.J.S. Poerwadarminta kembali ke Indonesia, dan untuk sementara waktu ia tinggal di Yogyakarta, kemudian pergi ke Batavia untuk mencari pekerjaan dan diterima menjadi pegawai di Balai Pustaka. Pada tahun 1938, di Balai Pustaka, ia bersama-sama dengan temannya menerbitkan majalah Kedjawen dengan dirinya sebagai pimpinan redaksi, hal ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh bahasa saat itu.

Ia ditugasi memimpin redaksi majalah mingguan Kedjawen yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda. Saat pendudukan Jepang, Kedjawen berhenti berproduksi, tetapi Balai Pustaka masih menerbitkan Pandji Pustaka. Pada masa tersebut ia sempat menerbitkan Kamus Harian Jepang-Indonesia.[2]

Pada tahun 1942, pada masa pendudukan Jepang, ia dicari-cari oleh bala tentara Jepang karena ia dianggap bisa menjadi penerjemah bahasa Jepang, maka ia diangkat sebagai juru bahasa di kantor Kempetai. Dan ia diberi tugas untuk menyusun Kamus Bahasa Jepang dan buku-buku pelajaran bahasa Jepang, maka diterbitkanlah buku “ Poentjak Bahasa Nippon “ susunan W.J.S. Poerwadarminta. Meskipun dalam keadaan sibuk, ia masih sempat mengajar di sekolah-sekolah di Jakarta untuk bahasa Jepang dan mengajar di Sekolah Teknik di Bandung.

Pada tanggal 7 Maret 1946, dengan surat keputusan No 183/Bhg. Oemum, terbitlah surat keputusan Kepala Departemen Pengajaran dan Kebudayaan atas nama Presiden Republik Indonesia terhitung 28 Februari 1946, ia ditugaskan di Kantor Musium Jakarta, membantu Volkslectuur bagian Bibliotheek. Disamping tugas di kantor tersebut, ia masih memberikan kuliah beberapa Perguruan Tinggi di Jakarta.

Pada tanggal 1 Juni 1949, berdasarkan surat keputusan No 50/P.K.F/L.B.K/U.P, W.J.S. Poerwadarminta diangkat sebagai pembantu dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan untuk sementara ditugaskan untuk bidang Kamus Melayu pada Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan dari Fakultet Kesusastraan dan Filsafat dari Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia Serikat.

Pada tanggal 10 Januari 1953, berdasarkan surat keputusan No 1075/C.III, W.J.S. Poerwadarminta ditugaskan di Lembaga Bahasa dan Budaya Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia di Jakarta di Bagian Leksikografi, di situlah ia menyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia ( KUBI ) dan diterbitkan pada tahun 1954. Dan Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta dijadikan sebagai kamus standar bahasa Indonesia, hingga terbitnya Kamus Besar Bahasa Indonesia milik Pusat Bahasa.

Dia pernah dicalonkan untuk menerima gelar Honoris Causa, tetapi ditolaknya, dan oleh pemerintah ia diberi penghargaan Satya Lencana Kebudayaan (1969). Jabatan terakhirnya adalah sebagai pegawai Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan. Karya terbesarnya adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Latin yang disusun bersama drs. K. Prent C.M. dan drs. J. Adisubrata.[2]

Prof. Dr. A Teeuw memberi kesan terhadap Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta sebagai berikut:

Of the Indonesia explanatory dictionaries, Poerwadarminta’s Kamus Umum (1952 ) deserves mention before all others: a standard work, Coming right at the beginning of the history of Bahasa Indonesia lexicography, and excelling in the large number of well chosen examples of the use of words. The dictionary by Zain is by no means so good.

Buku (kamus, novel)

Karya sastra lainnya:

  • puisi Di Mana Tempat Bahagia, prosa Tiga Kelamin, prosa Membela Kewadjiban, prosa Sadar akan Dirinja, drama Azaz Hidup, dan drama Bangsacara dan Ragapadmi.

Referensi

sunting
  1. ^ Sugono, D., dkk., ed. (2003). Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 21. ISBN 979-685-308-6. 
  2. ^ a b c "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-14. Diakses tanggal 2014-07-02. 

Pranala luar

sunting