Puraca

sejenis ular sancaka pendek dari Kalimantan
(Dialihkan dari Ular puraca)
Ular Puraca
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Subfilum:
Kelas:
Ordo:
Subordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
P. breitensteini
Nama binomial
Python breitensteini
Agihan ular puraca (warna hijau)
Sinonim
  • Python breitensteini Steindachner, 1880[1] (basionym)
  • Python curtus breitensteini
    Stull, 1935
  • Python curtus breitensteini
    — Stimson, 1969[2]
  • Python breitensteini
    —Keogh, Barker & Shine, 2001

Puraca, atau peraca (Python breitensteini) adalah sejenis ular tak berbisa sebangsa sanca (suku Pythonidae) yang hidup endemik di Pulau Kalimantan. Nama-nama lainnya, di antaranya, ular sanca pendek, ular sanca gendang, atau ular gendang saja. Orang Dayak Iban dan beberapa suku lain yang berkerabat menyebutnya sebagai ular ripung, ripong, lipung, lepung, lepong, depung dan panggilan-panggilan yang serupa. Dalam bahasa Inggris ia dikenal dengan sebutan Bornean short python,[3] Borneo short-tailed python, atau Borneo python.

Sebelumnya ular ini dianggap sebagai salah satu dari tiga anak jenis Python curtus; akan tetapi kini ketiga-tiganya telah dianggap sebagai spesies yang berlainan.[4]

Pengenalan

sunting
 
Kepala

Python breitensteini berkerabat erat dengan P. curtus. Kedua spesies ini dibedakan dari P. brongersmai melalui perisai ventralnya yang berjumlah kurang dari 166 buah (P. brongersmai ≥ 167); perisai supralabialnya yang tidak bersinggungan dengan sisi bawah perisai mata (diantarai oleh sisik-sisik subokular; sementara pada P. brongersmai perisai mata bersentuhan dengan beberapa perisai bibir atasnya); serta perisai supraokularnya yang hanya satu buah (P. brongersmai: (1-)2 supraokular).[4]

Meskipun kajian DNA mitokondria menunjukkan perbedaan genetik yang signifikan pada kedua taksa, secara fisik hanya sedikit perbedaan yang dapat diamati antara ular puraca dengan ular dipong. Pada kebanyakan kasus, P. breitensteini dapat dibedakan karena memiliki garis perlekatan perisai parietal pertama (terdepan, kanan dan kiri) yang lebar di tengah kepala, sementara pada P. curtus garis persinggungan ini tidak ada (parietal pertama kanan dan kiri tidak bersentuhan) atau hanya sempit saja. Dari segi warna, P. curtus dewasa selalu mengalami melanisme, yakni menjadi kehitaman; sementara P. breitensteini jarang mengalaminya. Warna-warna terang di tubuh P. breitensteini khas kuning pucat atau cokelat samak (tan, cokelat pucat kemerahan); sementara pada P. curtus cenderung putih atau keabu-abuan. Dasar cekungan (fundus) dekik penghidu bahang pada perisai rostral dan dua perisai supralabial yang terdepan milik P. breitensteini tidak berpigmen; pada P. curtus dasar cekungan ini berpigmen gelap.[4]

Ular yang bertubuh pendek gemuk; panjang tubuh keseluruhan mencapai—namun jarang-jarang—lebih sedikit dari 2 m,[3][4] dengan ekor sekitar 10% dari panjang total.[5] Kepalanya kecil dan sedikit memipih, sebagaimana lazimnya sanca. Matanya kecil dengan pupil vertikal. Memiliki dekik-dekik yang peka bahang di moncongnya (pada perisai rostral, dua perisai supralabial (bibir atas) yang terdepan, dan berupa celah pada perisai-perisai bibir bawah di bawah dan di belakang mata).[5]

Perisai rostral lebih lebar daripada tinggi; dengan dua dekik, di pinggir kanan dan kiri. Perisai supralabial 9-11, dua yang pertama dengan dekik peka bahang. Perisai loreal (pipi) besar, perisai postokular 1-4. Sisik-sisik dorsal dalam 53-57 deret di tengah badan; sisik-sisik ventral antara 154-165 buah; sisik anal tunggal; sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 27-33 pasang.[3]

Pola pewarnaan mirip dengan ular bakas; akan tetapi dengan warna dasar cokelat hingga cokelat gelap, divariasikan dengan bercak-bercak berwarna cokelat samak dan atau kuning pucat.

Agihan dan ekologi

sunting

P. breitensteini menyebar terbatas (endemik) di Pulau Kalimantan; termasuk di wilayah Brunei, Sabah, dan Sarawak.[3]

Ular puraca cenderung pemalu, dan istimewanya hidup di habitat yang basah, baik di hutan maupun di lahan pertanian.[5] Reptil ini terutama menghuni hutan hujan dataran rendah; tinggal di tepian badan-badan air seperti sungai yang mengalir lambat, rawa, dan paya-paya, untuk mengintai mamalia dan burung yang menjadi mangsanya.[3] Meskipun demikian, puraca juga sering ditemukan di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, termasuk kebun-kebun kelapa sawit, kelapa, dan kakao; ular ini belum pernah ditemui di atas ketinggian 1.000 m dpl.[6]

Meskipun puraca tampak lamban dalam gerak-geriknya, namun ular ini dapat bergerak cepat bila menyerang mangsa.[5]

Manfaat

sunting

Ular puraca banyak diburu orang. Ular-ular yang muda diperdagangkan sebagai hewan timangan. Kulitnya berkualitas baik dan berharga tinggi, sehingga ular ini acap ditangkapi untuk diambil kulitnya. Orang-orang tertentu juga menggemari dagingnya; di perkebunan-perkebunan kelapa sawit ular ini biasa dikenal sebagai 'ular sayur'. Bahkan di Sintang, ada warung makan yang menjual masakan ular ripung ini[7]

Dengan mangsa utamanya berupa hewan pengerat, ular puraca juga berfungsi sebagai pengendali hama di perkebunan kelapa sawit.

Etimologi

sunting

Nama penunjuk jenisnya (epitet spesifik), breitensteini, diambil dari nama seorang dokter dan naturalis berkebangsaan Jerman, Heinrich Breitenstein, yang mengoleksi reptil dan amfibi dari Kalimantan.[8]

Kerabat dekat

sunting

Ular ini berkerabat dekat dengan Python curtus (ular dipong) dan P. brongersmai (ular bakas). Ketiga-tiga jenis itu pada masa lalu dianggap merupakan anak jenis Python curtus.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Steindachner, F. 1881. "Über eine neue Pythonart (Python Breitensteini) aus Borneo". Sitzungsberichte der Kaiserlichen Akademie der Wissenschaften. Mathematisch-Naturwissenschaftliche Classe. Abt. 1, Mineralogie, Botanik, Zoologie, Geologie und Paläontologie. v. 82: 267-68 [1880]. Wien :K.-K. Hof- und Staatsdruckerei in Commission bei C. Gerold's Sohn, 1872-
  2. ^ McDiarmid RW, Campbell JA, Touré T. 1999. Snake Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference, Volume 1. Washington, District of Columbia. Herpetologists' League. 511 pp. ISBN 1-893777-00-6 (series). ISBN 1-893777-01-4 (volume).
  3. ^ a b c d e Das, I. 2006. A Photographic Guide to Snakes and Other Reptiles of Borneo. London: New Holland Publishers. 144 pp. ISBN 0-88359-061-1. (Python breitensteini, p. 16).
  4. ^ a b c d Keogh, J.S., D.G. Barker, & R. Shine. 2001. "Heavily Exploited but Poorly Known: Systematics and Biogeography of Commercially Harvested Pythons (Python curtus group) in Southeast Asian". Biological Journal of the Linnean Society 73: 113-29.
  5. ^ a b c d Stuebing, R.B. & R.F. Inger. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo: 65-7. Kota Kinabalu: Natural History Publications (Borneo). ISBN 983-812-031-6
  6. ^ Inger, R.F., D. Iskandar, Lilley, R., Jenkins, H. & Das, I. 2012. Python breitensteini. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 25 April 2015.
  7. ^ Kalimantan News: "Penggemar Ular Ripung Semakin Meningkat." Diarsipkan 2016-06-24 di Wayback Machine., berita tgl. 24 Juni 2010, 23:24:42 WIB.
  8. ^ Beolens, B., M. Watson, & M. Grayson. 2011. The Eponym Dictionary of Reptiles. Baltimore: Johns Hopkins University Press. xiii + 296 pp. ISBN 978-1-4214-0135-5. (Python breitensteini, p. 38).

Pranala luar

sunting