Tugu Pembebasan
Tugu Pembebasan atau Tugu PRRI adalah sejumlah tugu yang dibangun oleh militer Indonesia selama operasi penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dari 1958 hingga 1961 di Sumatra Tengah, khususnya Sumatera Barat. Tugu-tugu ini didirikan oleh Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI, atau dijuluki "tentara pusat") di setiap daerah yang berhasil mereka duduki. Tidak terdapat daftar yang memuat jumlah pasti seluruh tugu, tetapi keberadaannya tersebar di setiap nagari dan mencapai ribuan.[1][2][3][4]
Latar belakang
suntingPRRI didekalrasikan oleh Letkol Ahmad Husein di Padang pada tanggal 15 Februari 1958. Gerakan ini dianggap oleh pemerintah pusat sebagai sebuah pemberontakan. Tentara Indonesia (ketika itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia atau APRI) melakukan operasi gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara untuk memadamkan kekuatan PRRI. Pengerahan kekuatan militer untuk menumpas kekuatan PRRI merupakan yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.[1][5]
Selama tiga tahun lamanya, terjadi perang saudara antara tentara pusat dan pasukan PRRI yang memakan banyak korban di pihak PRRI. Jumlah korban akibat konflik PRRI yang singkat jauh lebih besar daripada korban perang dengan Belanda pada zaman revolusi kemerdekaan.[6] Selain itu, banyak yang tak terlibat PRRI tetapi menjadi korban kekerasan seperti penyiksaan, perampokan, dan pemerkosaan.[5][7][8]
Pembangunan
suntingOrang membaca masa lalu
Dari tonggak disebut tugu
Bentuknya mirip seperti peluru
Karena dibuat penguasa serdadu
Abraham Ilyas, 45 Kisah PRRI di Ranah Bunda[4]
Operasi penaklukan daerah yang dikuasai PRRI oleh APRI disebut pula sebagai operasi pembebasan atau Operasi 17 Agustus. Di daerah yang berhasil diduduki, APRI membangun tugu yang terbuat dari semen. Tugu-tugu tersebut, menurut perkiraan A.A. Navis, terdapat di setiap nagari dan berjumlah "ribuan".[2] Salah satu bentuk tugu yang umum adalah seperti peluru, disertai keterangan tanggal dan nama kesatuan yang melakukan operasi.[1][4]
A.A. Navis menyebut kehadiran Tugu Pembebasan di setiap nagari sebagai "lambang penindasan" dan meninggalkan kesan traumatis bagi orang Minangkabau. Tugu-tugu tersebut mengingatkan mereka akan "mengerikannya perang saudara PRRI" dan menjadi "impitan jiwa yang tidak berkesudahan".[2]
Penghancuran
suntingHampir seluruh Tugu Pembebasan yang jumlahnya "ribuan" telah dihancurkan semasa kepemimpinan Gubernur Sumatera Barat Harun Zain dan Komando Daerah Militer III/17 Agustus R. Widodo pada era 1970-an.[9] A.A. Navis merupakan salah seorang yang mendesak gubernur untuk melakukan penghancuran tersebut.[2] Keberadaan tugu dianggap dapat mempertajam trauma akibat PRRI, sementara masyarakat berupaya melenyapkannya.[10] Awalnya, tugu yang ada dikapuri, sehingga kata "Pembebasan" menjadi hilang. Lama kelamaan, tugu-tugu dibongkar berhubung di atas bekas lahannya didirikan kantor desa, pos, dan sebagainya.[11]
Meskipun Tugu Pembebasan dalam jumlah besar sudah lenyap, terdapat beberapa yang masih tersisa, seperti di Indarung, Padang;[12][13] Kurai Taji, Padang Pariaman;[14] Muaro Paneh, Koto Gadang Guguak, dan Sulit Air, Solok;[4] Paninjauan, Tanah Datar; Air Bangis, Pasaman Barat;[15] serta Muaro Sakai, Pesisir Selatan. Namun, berkembang kesalahkaprahan terhadap Tugu Pembebasan yang berdiri saat ini sehingga ada yang malah menyebutnya sebagai Tugu Persatuan, Tugu Pancasila, Tugu Perjuangan, dan Tugu PDRI.
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ a b c Saafroedin Bahar. ETNIK, ELITE DAN INTEGRASI NASIONAL: MINANGKABAU 1945-1984 REPUBLIK INDONESIA 1985-2015. Gre Publishing.
- ^ a b c d A.A. Navis; Yusra, Abrar (1994). Otobiografi A.A. Navis: satiris dan suara kritis dari daerah. Panitia Peringatan 70 Tahun Sastrawan A.A. Navis & Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 391.
- ^ Gusti Asnan (2003). Kamus sejarah Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN 978-979-97407-0-0.
- ^ a b c d Ilyas, Drg Abraham (2016-05-19). 45 Kisah PRRI di Ranah Bunda : Tuah Sekata, Celaka Bersilang. Lembaga Kekerabatan Datuk Soda. ISBN 978-602-71254-0-7.
- ^ a b Syamdani (2009). PRRI, pemberontakan atau bukan?. Media Pressindo. ISBN 978-979-788-032-3.
- ^ Abrar Yusra (2011). Azwar Anas: teladan dari ranah Minang. Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-585-7.
- ^ Nuryanti, Reni; Akob, Bachtiar (2019-10-01). Perempuan Dalam Historiografi Indonesia (Eksistensi Dan Dominasi). Deepublish. ISBN 978-623-02-0688-7.
- ^ Mestika Zed (2001). Ahmad Husein: perlawanan seorang pejuang. Pustaka Sinar Harapan. ISBN 978-979-416-721-2.
- ^ Marthias Dusky Pandoe (2010). Jernih melihat cermat mencatat: antologi karya jurnalistik wartawan senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-487-4.
- ^ Marthias Dusky Pandoe (2001). A nan takana (apa yang teringat): memoar seorang wartawan. Kompas. ISBN 978-979-709-002-9.
- ^ Yusra, Abrar (1997). Tokoh yang berhati rakyat: biografi Harun Zain. Yayasan Gebu Minang. ISBN 978-979-8428-01-2.
- ^ http://www.semenpadang.co.id/forum_nagari_2019/indarung/files/basic-html/page7.html
- ^ https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pasukan-tank-tni-menggempur-musuh-bak-film-fury.html
- ^ https://talogondan.files.wordpress.com/2016/01/img.pdf
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-30. Diakses tanggal 2020-10-26.