Teruo Nakamura (中村 輝夫, Nakamura Teruo, lahir dengan nama Attun Palalin;[1][2] juga dikenal sebagai Suniuo;[3][4] 8 Oktober 1919 – 15 Juni 1979) adalah prajurit dua Angkatan Darat Kekaisaran Jepang kelahiran Taiwan yang bertempur demi Jepang di dalam Perang Dunia II dan baru menyerah pada tahun 1974 di Pulau Morotai, Indonesia. Ia merupakan salah satu dari sekian banyak Tentara Jepang yang menolak menyerah setelah berakhirnya Perang Dunia II dan juga yang dikonfirmasi sebagai yang terakhir.

Teruo Nakamura
Lahir(1919-10-08)8 Oktober 1919
Taiwan di bawah pemerintahan Jepang
Meninggal15 Juni 1979(1979-06-15) (umur 59)
Taiwan, Republik Tiongkok
PengabdianJepang Kekaisaran Jepang
Dinas/cabang Angkatan Darat Kekaisaran Jepang
Lama dinas1943–1974
PangkatTamtama
KesatuanUnit Sukarelawan Takasago ke-4 (高砂義勇隊)
Perang/pertempuranPertempuran Morotai

Nakamura terlahir dengan Attun Palalin, sementara Media Taiwan menyebutnya dengan nama Lee Guang-Hui 李光輝, sebuah nama yang baru ia ketahui setelah ia direpatriasi pada tahun 1975.

Dinas militer

sunting

Nakamura berasal dari suku penduduk asli Taiwan, yaitu suku Ami, dari Pulau Formosa yang saat itu menjadi koloni Jepang. Lahir pada tahun 1919, ia terkena wajib militer dan dimasukkan ke dalam sebuah Unit Sukarela Takasago dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada bulan November 1943. Ia ditempatkan di Pulau Morotai, di Hindia Belanda yang diduduki Jepang, tak lama sebelum pulau tersebut ditaklukkan oleh Sekutu pada bulan September 1944 dalam Pertempuran Morotai. Ia dinyatakan tewas pada bulan Maret 1945.

Setelah pulau itu direbut, kelihatannya Nakamura tinggal bersama sejumlah prajurit Jepang lain yang tidak mau menyerah di pulau tersebut hingga dekade 1950-an, walau juga beberapa kali hidup sendirian selama jangka waktu cukup lama. Pada tahun 1956, ia kelihatannya berkeputusan untuk tak mengikatkan diri lagi dengan para prajurit lain yang tak mau menyerah di pulau tersebut, dan mulai membangun sebuah kamp kecil miliknya sendiri, yang terdiri dari sebuah pondok kecil di dalam ladang berpagar seluas 20 kali 30 meter. Ketika ditanyakan alasannya meninggalkan para prajurit yang lain, Nakamura mengklaim mereka mencoba membunuh dirinya; tapi, klaim ini disangkal oleh tiga prajurit lain dari kelompoknya, yang telah ditemukan pada dekade 1950-an.

Penemuan

sunting

Pada pertengahan tahun 1974, Seorang warga Desa Pilowo, Pulau Morotai, Kabupaten Maluku Utara bernama Luther Goge datang ke Markas Komando Sektor Kepolisian (Makosek) Pulau Morotai. Komandan Sektor (Dansek), Kapten Polisi Lawalata, yang menerima laporan tentang adanya prajurit Jepang tua yang hidup bersembunyi di hutan hujan tropis di kaki Pegunungan Galoka.

Luther mengatakan, bahwa ayahnya yang bernama Baicoli, bersahabat dengan Nakamura selama puluhan tahun. Ayahnya bertemu Nakamura saat sedang berburu babi hutan. Baicoli kerap mengunjungi Nakamura di tempat persembunyiannya untuk membawakan bahan-bahan makanan yang dibutuhkan seperti gula, garam, atau teh. Kegiatan Baicoli itu pada awalnya sama sekali tak diketahui oleh keluarganya. Hingga akhirnya, menjelang ayahnya meninggal, Luther diberi wasiat untuk melanjutkan persahabatan dengan Nakamura dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkannya.

Luther kemudian dikenalkan oleh ayahnya kepada Nakamura. Setelah ayahnya meninggal, Luther yang melanjutkan persahabatannya itu. Namun Luther mulai merasakan khawatir dengan keadaan Nakamura. Luther tak memiliki anak yang akan melanjutkan hubungannya dengan Nakamura. Akhirnya, ia melaporkan tentang persahabatannya itu kepada Kosek Pulau Morotai. Pada awalnya, Kapten Polisi Lawalata selaku Dansek belum meyakini laporan Luther tersebut. Sehingga, ia meneruskan laporan tersebut kepada Komandan Pangkalan Udara TNI AU (Lanud) Morotai. Laporan penemuan ini kemudian diteruskan ke Markas Besar TNI-AU di Jakarta yang segera menghubungi Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Awal November 1974, pihak Kedutaan Besar Jepang di Jakarta meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk mengorganisasi sebuah misi pencarian, yang kemudian dilakukan oleh TNI-AU. Tim pencari tersebut beranggotakan 20 orang, dan dipimpin oleh Kapten Supardi AS dari KODAU XII/Morotai, Tim berangkat pada 18 Desember 1974 pagi hari. Namun, keberangkatan itu dirahasiakan dari penduduk. Tim berjalan dari pagi hingga petang mulai dari pusat kota Pulau Morotai ke kawasan hutan di Desa Pilowo, tempat persembunyian Nakamura.

Pada saat beristirahat malam harinya, seorang anggota tim yang fasih berbahasa Jepang, Sersan Mayor Hanz Anthony, mulai merancang merancang skenario penangkapan Nakamura. Ia mengajarkan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, kepada seluruh tim. Selain lagu, tim juga membawa foto Presiden Soeharto, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, bendera merah putih dan bendera Jepang. Skenarionya adalah, saat Nakamura muncul, maka tim penjemput menyanyikan lagu kebangsaan Jepang dan mengibarkan bendera Jepang dan Merah putih serta menunjukkan foto Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.

Pagi harinya, tim penjemput kembali bergerak mencari Nakamura. Setelah beberapa saat berjalan, tim menemukan gubuk persembunyian Nakamura. Pada waktu ditemukan, Nakamura sedang tidak ada di tempat. Tim penjemput pun kemudian bersembunyi. Saat Nakamura kembali, tim kemudian mengepung gubuk itu.Nakamura terkejut dan raut wajahnya terlihat sangat tegang dan berusaha masuk ke dalam gubuk.

Sesuai sekenario, tim menyanyikan lagu Kimigayo dan mengibarkan foto serta bendera. Mendengar itu, Nakamura langsung berdiri tegak dan dalam keadaan siap. Saat itulah, Serma Hanz Anthony menyergap Nakamura. Tim kemudian menodongkan senjata ke arah Nakamura dan menyuruhnya angkat tangan. Sersan Mayor Hanz Anthony kemudian berbicara kepada Nakamura dalam bahasa Jepang. Hanz menginformasikan bahwa perang telah usai sejak 29 tahun lalu. Jepang, sebagai negara yang dibela Nakamura juga kalah dalam perang tersebut oleh Sekutu.

Hanz juga menginformasikan bahwa Pulau Morotai saat ini adalah daerah merdeka dan bergabung dengan negara yang bernama Indonesia. Hanz pun menunjukkan foto Presiden Soeharto sebagai kepala negara Indonesia saat itu. Tak lupa, Hanz juga menunjukkan foto Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sebagai kepala pemerintahan Jepang.

Kondisi Nakamura saat ditemukan hanya memakai baju yang terbuat dari karung goni. Tubuhnya tinggi besar dan terawat. Kulitnya putih seperti kebanyakan orang Asia Timur. Tim kemudian masuk ke dalam gubuk Nakamura. Gubuk itu hanya seluas 2x2 meter. Terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Di dalam gubuk, terdapat tumpukan kayu yang sudah melengkung. Kayu itu melengkung karena dijadikan tempat tidur Nakamura. Selain itu, Nakamura menggunakan itu untuk membakar dirinya sendiri, jika suatu saat ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

Di langit-langit gubuknya, ditemukan sepucuk senapan Arisaka yang disimpan dan dirawat sejak masa perang, 30 tahun sebelumnya. Di lantai yang terbuat dari tanah itu, ditemukan 14 peluru aktif. Di dalam rumahnya juga terdapat satu botol besar yang berisi minyak babi. Digunakan Nakamura untuk merawat senjatanya dan untuk bumbu makanan. Di sekitar gubuk itu, Nakamura menanam berbagai macam tanaman. Ia menanam jenis umbi-umbian seperti ubi dan singkong. Ia membangun pagar terbuat dari kayu untuk mengelilingi gubug dan pekarangannya itu.

Setelah ditangkap, Nakamura diberikan baju seragam oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Tanpa diikat atau diborgol, Nakamura dibawa oleh tim ke pangkalan TNI AU melalui jalur laut menggunakan speed boat. Sampai di pelabuhan, warga ternyata sudah ramai. Pulau Morotai pun dihebohkan oleh penemuan Nakamura. Di Lanud Morotai, Nakamura dicek kesehatannya, dan hasilnya luar biasa, meskipun 30 tahun bersembunyi di dalam hutan, kesehatannya sangat baik.

Melalui terjemahan Serma Hanz, Nakamura mengaku bahwa ia bertahan di hutan untuk menghindari penangkapan Sekutu, yang menyerang Morotai pada awal 1945. Ia masih beranggapan pulau tersebut dikuasai oleh Sekutu, karena sering melihat pesawat-pesawat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara terbang di atas Morotai, yang disangkanya pesawat-pesawat milik Amerika Serikat. Ia kemudian diterbangkan ke Jakarta ditemani KSAU waktu itu, Marsekal Saleh Basarah, lalu ditempatkan di Rumah Sakit PELNI, Jakarta, untuk beristirahat. Berita penemuannya diumumkan di Jepang pada tanggal 27 Desember 1974.[5]

Repatriasi

sunting

Setiba di Jakarta, Nakamura diserahkan kepada Kedutaan Besar Jepang. Namun setelah diwawancarai lebih lanjut, ternyata Teruo Nakamura (中村 輝夫) bernama asli Attun Palalin, yang berasal dari etnis Amis, penduduk asli Pulau Formosa (sekarang Republik China Taipei), yang sebelum Perang Dunia II menjadi jajahan dari Kekaisaran Jepang.

Pemerintah Jepang pun kebingungan dengan status kewarganegaraan Nakamura. Baik Jepang maupun Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Republik Tiongkok yang menguasai Pulau Formosa (Taiwan) sekarang. Secara formal, Nakamura berstatus sukarelawan militer yang direkrut Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (Rikugun), sehingga ia tidak punya hak pensiun atau tunjangan apapun. Repatriasi dan persepsi publik Jepang atas Nakamura waktu itu sangat berbeda dari yang dialami serdadu yang terus bertahan sebelumnya, seperti Letnan Hiroo Onoda, yang baru ditemukan hanya beberapa bulan sebelumnya di Pulau Lubang, Filipina. Salah satu alasannya adalah pertanyaan soal kewarganegaraan Nakamura. Ia lahir di Taiwan, secara etnis berasal dari suku Amis, dan secara legal tak punya negara asal; pertanyaan soal kewarganegaraan dianggap penting oleh publik Jepang pada waktu itu. Selain itu, walaupun Kedutaan Besar Jepang menawarkan untuk merepatriasinya, muncul pula masalah diplomatis tentang bagaimana memperlakukan dirinya jika seandainya ia lebih suka kembali ke Taiwan.

Pada saat ia diamankan, ia tak bisa berbahasa Jepang ataupun bahasa Cina. Kedua, jika Onoda adalah seorang perwira, pangkat Nakamura yang hanya Prajurit dan statusnya sebagai wamil dari sebuah koloni Jepang tak menggugah imajinasi publik, dan kemungkinan justru membangkitkan pertanyaan soal peran kolonialisme Jepang selama perang. Satu isu sensitif lain adalah soal uang rapel dari tunjangan prajurit atas namanya. Sebagai prajurit kena wajib militer, Nakamura tak berhak menerima berbagai tunjangan setelah sebuah perubahan atas undang-undang tentang pensiun pada tahun 1953, sehingga ia hanya menerima jumlah minimal sebesar ¥68,000 (US$227.59 pada saat itu).[6] Ini menimbulkan kegemparan yang cukup besar di kalangan pers, sehingga memotivasi pemerintah untuk mendonasikan jumlah yang lebih besar, kira-kira menyamai yang telah diberikan kepada Onoda. Hal ini menghasilkan sejumlah pertanyaan diantara para serdadu asal Taiwan yang sempat bertahan tapi menyerah lebih dulu, dan memicu perdebatan publik yang cukup luas seputar perbedaan perlakuan oleh pemerintah atas para prajurit yang bertahan asal Jepang dengan yang berasal dari Taiwan.

Nakamura sendiri sebenarnya ingin direpatriasi langsung ke Taiwan, tanpa singgah di Jepang. Tetapi setelah melalui perundingan yang cukup alot, akhirnya Nakamura alias Attun Palalin alias Lee Guang-Hui pun dipulangkan ke Republik Tiongkok. Dia pun bertemu kembali dengan istrinya dan keluarga besarnya. Hingga akhirnya ia meninggal karena kanker paru-paru di kampung halamannya pada 15 Juni 1979.

Saat ini, di Desa Deheglia, Morotai berdiri sebuah monumen tentang dirinya, dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara.[7]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "The Last Last Soldier?", Time, 13 January 1975, diarsipkan dari versi asli tanggal 1 February 2009 
  2. ^ Munsterhjelm, Mark (2014). Living Dead in the Pacific: Racism and Sovereignty in Genetics Research on Taiwan Aborigines. University of British Columbia Press. hlm. 224 fn.8. ISBN 978-0-7748-2659-4. 
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama holdout
  4. ^ Han Cheung (16 September 2018). "Taiwan in Time: Abandoned by the rising sun". Taipei Times. Diakses tanggal 16 September 2018. 
  5. ^ "Hari Terakhir di Morotai"[pranala nonaktif permanen] Tempo. 10 Januari 1975.
  6. ^ "The Last Last Soldier?" Diarsipkan 2013-05-22 di Wayback Machine. Time. January 13, 1975.
  7. ^ Monumen Teruo Nakamura, Wisata Sejarah di Morotai

Daftar pustaka

sunting