Temu lawak

jenis tanaman

Temu lawak (nama ilmiah: Curcuma zanthorrhiza) adalah tumbuhan obat yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae).[2] Tanaman ini berasal dari Pulau Jawa dan tersebar di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Tiongkok, India, Jepang, Korea, serta beberapa negara di Eropa. Tidak hanya tumbuh pada daerah Jawa saja, rempah ini juga tumbuh pada dataran di Pulau Maluku dan Kalimantan.[3].

Temu lawak
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Monokotil
Klad: Komelinid
Ordo: Zingiberales
Famili: Zingiberaceae
Genus: Curcuma
Spesies:
C. zanthorrhiza
Nama binomial
Curcuma zanthorrhiza

Rempah khas Nusantara ini memiliki beberapa sebutan. Pada daerah Jawa disebut Temulawak[4], di daerah Sunda dikenal sebagai koneng gede, sedangkan di Madura disebut temu labak.[2] Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut dan berhabitat di hutan tropis.[3] Rimpang temu lawak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah yang gembur.[5][6]

Ciri Morfologi

sunting
 
Bunga temulawak yang mekar di akhir musim kemarau

Terna berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari satu meter, tetapi kurang dari dua meter. Batang semu merupakan bagian dari pelepah daun yang tegak dan saling bertumpang tindih,[7] warnanya hijau atau cokelat gelap. Rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berukuran besar, bercabang-cabang, dan berwarna cokelat kemerahan, kuning tua atau berwarna hijau gelap. Tiap tunas dari rimpang membentuk daun 2–9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43–80 cm, pada setiap helaian dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun agak panjang. Bunganya berwarna kuning tua, berbentuk unik dan bergerombol yakni perbungaan lateral,[2] tangkai ramping, dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9–23 cm dan lebar 4–6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25–2 cm dan lebar 1 cm, sedangkan daging rimpangnya berwarna jingga tua atau kecokelatan, beraroma tajam yang menyengat, dan rasanya pahit.[7]

Sentra penanaman

sunting

Tanaman ini ditanam secara konvensional dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi budi daya yang sederhana, karena itu sulit menentukan letak sentra penanaman temu lawak di Indonesia. Hampir di setiap daerah pedesaan, terutama di dataran sedang dan tinggi, dapat ditemukan temu lawak terutama di lahan yang teduh.

Aspek Budi Daya

sunting

Bibit diperoleh dari perbanyakan secara vegetatif yaitu anakan yang tumbuh dari rimpang tua yang berumur 9 bulan atau lebih, kemudian bibit tersebut ditunaskan terlebih dahulu di tempat yang lembap dan gelap selama 2–3 minggu sebelum ditanam.[2] Cara lain untuk mendapatkan bibit adalah dengan memotong rimpang tua yang baru dipanen dan sudah memiliki tunas (setiap potongan terdiri dari 2–3 mata tunas), kemudian dikeringkan dengan cara dijemur selama 4–6 hari.[3] Temu lawak sebaiknya ditanam pada awal musim hujan agar rimpang yang dihasilkan besar, sebaiknya tanaman juga diberi naungan.[2]

Lahan penanaman diolah dengan cangkul sedalam 25–30 cm, kemudian dibuat bedengan berukuran 3–4 m dengan panjang sesuai dengan ukuran lahan, untuk mempermudah drainase agar rimpang tidak tergenang dan membusuk.[8] Lubang tanam dibuat dengan ukuran 20 cm × 20 cm × 20 cm dengan jarak tanam 100 cm × 75 cm, pada setiap lubang tanam dimasukkan 2–3 kg pupuk kandang.[2] Penanaman bibit dapat pula dilakukan pada alur tanam/ rorak sepanjang bedengan, kemudian pupuk kandang ditaburkan di sepanjang alur tanam, kemudian masukkan rimpang bibit sedalam 7,5–10 sentimeter dengan mata tunas menghadap ke atas.[8]

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiangan gulma sebanyak 2–5 kali, tergantung dari pertumbuhan gulma, sedangkan pembumbunan tanah dilakukan bila terdapat banyak rimpang yang tumbuh menyembul dari tanah.[2] Waktu panen yang paling baik untuk temu lawak yaitu pada umur 11–12 bulan karena hasilnya lebih banyak dan kualitas lebih baik daripada temu lawak yang dipanen pada umur 7–8 bulan.[8] Pemanenan dilakukan dengan cara menggali atau membongkar tanah di sekitar rimpang dengan menggunakan garpu atau cangkul.[2]

Pertumbuhan

sunting
  • Secara alami temu lawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari teriknya sinar matahari. Di habitat alami rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu atau jati. Namun, temu lawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat yang terik seperti tanah tegalan. Secara umum tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis.
  • Suhu udara yang baik untuk budidaya tanaman ini 19–30 °C
  • Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000–4.000 mm/tahun.

Media tanam

sunting

Perakaran temu lawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir maupun tanah-tanah berat yang berliat. Namun, untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur, gembur, dan berdrainase baik. Dengan demikian pemupukan anorganik dan organik diperlukan untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur. Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air.

Ketinggian

sunting

Temu lawak dapat tumbuh pada ketinggian tempat 5–1.000 mdpl dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 mdpl. Kandungan pati tertinggi di dalam rimpang diperoleh pada tanaman yang ditanam pada ketinggian 240 mdpl. Temu lawak yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan rimpang yang hanya mengandung sedikit minyak atsiri. Tanaman ini lebih cocok dikembangkan di dataran sedang.

Hama dan penyakit

sunting

Hama temu lawak adalah[butuh rujukan]:

Cara pengendaliannya dengan penyemprotan insektisida Kiltop 500 EC atau Dimilin 25 WP dengan konsentrasi 0,1–0,2%.

Penyakit

sunting
  • Jamur Fusarium disebabkan oleh fungus oxysporum Schlecht dan Phytium sp serta bakteri Pseudomonas sp yang berpotensi untuk menyerang perakaran dan rimpang temulawak baik di kebun atau setelah panen. Gejala Fusarium dapat menyebabkan busuk akar rimpang dengan gejala daun menguning, layu, pucuk mengering, dan tanaman mati. Akar rimpang menjadi keriput dan berwarna kehitam-hitaman dan bagian tengahnya membusuk. Jamur Phytium menyebabkan daun menguning, pangkal batang dan rimpang busuk, berubah warna menjadi cokelat dan akhirnya keseluruhan tanaman menjadi busuk. Cara pengendalian dengan melakukan pergiliran tanaman yaitu setelah panen tidak menanam tanaman yang berasal dari keluarga Zingiberaceae. Fungisida yang dapat dipakaikan adalah Dimazeb 80 WP atau Dithane M-45 80 WP dengan konsentrasi 0,1–0,2%.
  • Penyakit layu disebabkan oleh Pseudomonas sp, gejala berupa kelayuan daun pada bagian bawah yang diawali menguningnya daun, pangkal batang basah dan rimpang yang dipotong mengeluarkan lendir seperti getah. Cara pengendaliannya dengan pergiliran tanaman dan penyemprotan Agrimycin 15/1,5 WP atau grept 20 WP dengan konsentrasi 0,1–0,2%.

Gulma potensial pada pertanaman temu lawak adalah gulma kebun antara lain adalah rumput teki, alang-alang, ageratum, dan gulma berdaun lebar lainnya.

Pengendalian hama/penyakit secara organik

sunting

Dalam pertanian organik yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya melainkan dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan biasanya dilakukan secara terpadu sejak awal pertanaman untuk menghindari serangan hama dan penyakit tersebut yang dikenal dengan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang komponennya adalah sbb:

  • Mengusahakan pertumbuhan tanaman yang sehat yaitu memilih bibit unggul yang sehat bebas dari hama dan penyakit serta tahan terhadap serangan hama dari sejak awal pertanaman
  • Memanfaatkan semaksimal mungkin musuh-musuh alami

Pemanfaatan

sunting
 
Rimpang temu lawak dijual di pasar.

Di Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang. Rimpang temu lawak diekstrak untuk dibuat jamu godog/rebus. Rimpang ini mengandung 48–59,64 % zat tepung, 1,6–2,2 % kurkumin, dan 1,48–1,63 % minyak atsiri yang dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal serta antiinflamasi. Manfaat lain rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, antikolesterol, antiinflamasi, anemia, antioksidan, pencegah kanker, dan antimikroba.

 
Botol-botol minuman energi berkarbonasi dari olahan temulawak di sebuah warung Mie Ayam di Jakarta

Minuman ekstrak rimpang temu lawak berkarbonasi (limun temu lawak) juga dikenal di Indonesia, khususnya di Jawa. Minuman penyegar ini diproduksi mulai akhir dekade 1960-an dan mengalami kejayaan di sekitar 1970 sampai 1980-an.[9]

Rimpang temu lawak dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dengan mengambil patinya, kemudian diolah menjadi bubur makanan untuk bayi dan orang-orang yang mengalami gangguan pencernaan.[10] Pada sisi lain, temu lawak juga mengandung senyawa pengusir (repellant) nyamuk, karena tumbuhan tersebut menghasilkan minyak atsiri yang mengandung linalool, suatu geraniol yaitu golongan fenol yang tidak disukai Aedes aegypti.[11]

Kandungan

sunting

Kandungan utama rimpang temu lawak adalah protein, karbohidrat, dan minyak atsiri yang terdiri atas kamfer, glukosida, turmerol, dan kurkumin.[3] Kurkumin bermanfaat sebagai antiinflamasi (antiradang) dan anti hepototoksik (anti-keracunan empedu).

Temu lawak memiliki efek farmakologi yaitu hepatoprotektor (mencegah penyakit hati), menurunkan kadar kolesterol, antiinflamasi (antiradang), laxative (pencahar), diuretik (peluruh kencing), dan menghilangkan nyeri sendi.[2] Manfaat lainnya yaitu, meningkatkan nafsu makan, melancarkan ASI, dan membersihkan darah.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ IUCN Detail 117233930
  2. ^ a b c d e f g h i Mahendra, B: “13 Jenis Tanaman Obat Ampuh”, halaman 95. Penebar Swadaya, 2005
  3. ^ a b c d e Rukmana, R: “Temu-Temuan”, halaman 14. Kanisius, 2004
  4. ^ têmu : I. N. pangguh, KW. panggih, K. vinding; ontmoeting, bijeenkomst, samenkomst van twee personen, die elkander vinden op dezelfde plaats. têmuning pangantèn, de samenkomst van bruid en bruidegom op den avond (J. vóór, gew. tusschen 5 en 6 uur Wk.) van den bruiloftsdag BTDj. 578, wanneer de bruidegom in feestelijken optocht (pangarak) zonder zijn ouders met zijn gevolg ten huize van de ouders zijner bruid ontvangen wordt (vgl. ijab, nikah); hierop volgt ngundhuh mantu, zie bij undhuh, (bij iemand komen, om iemand op te zoeken of een bezoek te brengen? R.; ook in de spreektaal zva. katêmu, kêpanggih, BTDj. 476). anyar panggih, in poëzie: nieuw gevonden BS. 215. têmu pèk, zie pèk. têmu ros, of ° rose, sirihbladen welker aderen elkander op éen punt, aan de verlenging van den steel, ontmoeten; als medicijn gebruikt Wk. têmu gêlang, zva. têpung gêlang, zie gêlang. têmu, ook zva. pêndhak, bv. têmu taun, eigl. terugkeerend jaar, vgl. WS. 135. — II. KN. naam van een wortel, Curcuma Zerumbet Rxb., nat. fam. der Zingibaraceae Fil., die tot medicijn gebruikt wordt, en waarvan verschillende soorten met bijzondere bijnamen onderscheiden worden, zooals têmu poh, (Tj. I, 708) têmu putih, têmu ireng, têmu kuning, têmulawak, têmu lathi, (PL. II, 137) en andere (vrg. êmpon-êmpon); volg. Wk. een Orchis; van sommige soorten wordt het zetmeel (pathi) als arrowroot tot pap of salèp gemaakt. — têtêmu, pêpanggih, bij iemand komen, om een bezoek te brengen of hem te komen opzoeken K. 13, 26; JBr. n°. 52, AS. — nêmu, mangguh, poët., manggih, iets vinden BTDj. 38, JZ. II; ondervinden van iets dat iemand treft, wedervaart of overkomt; BTDj. 13 ongeluk, 64 den dood, BG. 331: de hemelsche zaligheid; iets uitvinden JR.; iem. dien men toevallig bij een ander ontmoet, tegelijk (of ter loops) met dezen inviteeren Wk. nêmu kêluputan, schuld beloopen, zich schuldig maken, zonder opzet om te misdoen. mangguh swarga, den hemel erlangen BG. 496, WG. 74. anak nênêmu, een vondeling Isk. 24. nêmu kelangan, wangs. voor iwak sili, [ili-ili] JZ. II, 277. tinêmu, pinangguh, BS. pinanggih, te vinden; wat door iemand te ondervinden is of ondervonden of bevonden wordt BTDj. 50; vgl. nog WG. 74. ora tinêmu ing budi, onbegrijpelijk SR.; niet in overeenstemming met (iems.) gevoelen K. 7, 184; Rh. pinanggih, K. ook voor kêpanggih. têmu-tinêmu, van weêrskanten bij elkander komen, ook in den zin van bij elkander passen Wk., elkander ontmoeten RP. 8. — katêmu, kêpangguh, poët., kêpanggih, (tundhuk, KI., Wk.?) gevonden, te vinden; iemand aantreffen, ontmoeten op een plaats; overeenkomen (vgl. trus), bv. van een hoedanigheid, die goed bij een andere komt, daarmee overeenkomt Waj. I, 63; bij iemand komen, ook om iemand te spreken JZ. I, 198; iets ondervinden van wat iemand wedervaart of overkomt RP. 158; bevonden worden aan de eischen te beantwoorden; zich laten vinden, zich wel schikken RP. 38. kang katêmu rêmbuge, het besluit van de beraadslaging. apa wis katêmu atimu, ben je al tot een besluit kunnen komen? R. (volg. Rh. ben je het met je zelf eens?). katêmune ing atiku, wat mij dunkt (of wat ik zou denken). — nêmoni, manggihi, iemand of iets aantreffen, vgl. tundhuk, (bv. zulk een persoon, of zulk een gast); iets op zijn weg aantreffen of vinden; bij iemand gaan of komen, naar iemand toegaan BTDj. 5, bv. om iemand te spreken; ook iemand, die bij iemand aan huis komt, ontvangen of recipieeren (met naar hem toe te gaan). anêmoni dhayoh, BG. 426, 427; pass. BTDj. 636. — nêmokake, manggihakên, personen elkander doen ontmoeten, bij elkander brengen BG. 412; een kind in het huwelijk verbinden met iemand Prěg. 6; bruid en bruidegom op den avond van den bruiloftsdag bij elkander brengen; maken dat iets, dat verloren is, gevonden wordt; iets, dat te zoek is, terecht brengen, terug bezorgen; de draden of koorden inééndraaien of inéénslaan, bij het touwdraaien, vgl. tampar. ° idêp, de pinkers elkander doen ontmoeten, voor slapen Wk. ° pangasahe lading, de snede van een mes scherp maken; dit geschiedt op een fijne slijpsteen, na bladhah, Wk. — têmon, panggihan, gevonden, vondst; wat gevonden wordt of is. bocah têmon, een vondeling of têtêmon, (ook têmonan, Wk.) pêpanggihan, samenkomst; met een ander, of met elkander, een samenkomst hebben. — panêmu, pamanggih, het vinden, ondervinden, uitvinden; iemands bevinden; uitvinding, bv. om zich te reden; streken, die men bedenkt WP. — patêmon, (ook elkaar ontmoeten Waj. I, 40, en een veld met têmu, II) (pê)panggihan, een samenkomst Bab. Jo. I, 601, Waj. II, 127: v. bruid en bruidegom, huwelijk? zóo althans BG. 439; de uitrekening van den dag, die als een gelukkige beschouwd wordt voor de samenkomst van bruid en bruidegom Wk. dina patêmon bêcik, dag waarop alles gelukkig samentreft DN. I, 158. dèrèng sapatêmon, ongeveer zva. dèrèng atut, nog geen gemeenschap hebben gehad van man en vrouw Rs. 12. — panêmuan, pamanggihan, plaats van een bijeenkomst R. Sumber: Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek, Gericke en Roorda, 1901, #918.[1]
  5. ^ Hidayat, S. dan Tim Flona: “Khasiat Tumbuhan Berdasar Warna, Bentuk, Rasa, Aroma, dan Sifat”, halaman 105. PT Samindra Utama, 2008
  6. ^ Manfaat Temu Lawak Rempah Khas Nusantara
  7. ^ a b Tim Penulis Martha Tilaar Innovation Center: “Budidaya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang”, halaman 79. Penebar Swadaya, 2002
  8. ^ a b c Syukur, C. dan Hernani: "Budi Daya Tanaman Obat Komersial", halaman 117-118. PT Penebar Swadaya, 2002
  9. ^ "Temulawak Berkarbonasi". Kompas.com. 26 Mei 2012. Diakses tanggal 8 Juni 2020. 
  10. ^ Sastrapradja, S., Naiola, BP, Rasmadi, ER, Roemantyo, Soepardjono, EK, Waluyo, EB: "Tanaman Pekarangan", halaman 67-68. Jakarta. Balai Pustaka, 1981
  11. ^ Ningsih SU: Pengaruh konsentrasi ekstrak temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) terhadap jumlah nyamuk Aedes aegypti yang hinggap pada tangan manusia [skripsi]. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008

Pustaka

sunting