Tari Nyambai adalah tari kelompok berpasangan yang dilakukan oleh gadis (muli) dan bujang (meghanai) sebagai ajang pertemuan atau ajang silahturahmi untuk mencari jodoh. Sebagai tarian adat pada masyarakat saibatin (pesisir), kehadirannya menjadi bagian dari rangkaian upacara perkawinan yang disebut dengan upacara Nayuh/Penayuhan. Nyambai adalah acara pertemuan khusus yang diselenggarakan untuk Meghanai (bujang) dan Muli (gadis) sebagai ajang silaturahmi, berkenalan, dengan menunjukkan kemampuan dalam menari dan berpantun.[1] Dalam pelaksanaannya, tari nyambai menggunakan kain selendang sebagai alat/properti saat menari. Selendang yang disediakan oleh panitia pelaksana nyambai juga digunakan sebagai penentu siapa saja yang nantinya akan maju mewakili untuk menari dan berpantun.[2]

Tari Nyambai diperkirakan lahir bersamaan dengan kebiasaan masyarakat untuk meresmikan gelar adat, pelaksanaanya diselenggarakan bersamaan dengan upacara perkawinan. Nama Nyambai sendiri diambil dari kata Cambai dalam Bahasa Lampung berarti Sirih. Sirih merupakan simbol keakraban bagi masyarakat Lampung pada umumnya.[3]

Di lain pihak, kehadiran Tari Nyambai digunakan sebagai salah satu sarana komunikasi dan media untuk mencari jodoh antara Muli dan Meghanai. Selain itu, Tari Nyambai juga merupakan sarana untuk mempererat kekerabatan adat Saibatin. Upacara Nayuh/Penayuhan adalah upacara perkawinan adat besar-besaran yang diadakan oleh masyarakat Lampung yang beradat Saibatin/pesisir. Metode analisis bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan teori fungsi dan teori sosio-budaya. Ada tiga kategori fungsi dalam kebudayaan yakni:

  1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi.
  2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan, dan
  3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.

Dalam sosiologi budaya ada tiga komponen pokok, yaitu:

  1. Institution atau lembaga budaya yang menanyakan: siapa yang mengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan.
  2. Isi budaya menanyakan produk atau simbol apa yang dihasilkan, dan
  3. Efek budaya menanyakan apa yang diusahakan.[4]

Tari Nyambai dan upacara Nayuh pada masyarakat Saibatin di Pesisir Barat Lampung mencerminkan adanya keharmonisan komunikasi masyarakat dan bentuk peneguhan upacara pernikahan sebagai kebijakan adat yang harus dipatuhi seluruh warga pesisir Barat, Lampung sebagai basis sosialnya. Namun pada perkembangannya, Tari Nyambai ditarikan oleh semua anggota masyarakat, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Adapun tempat pertunjukannya dapat diselenggarakan di ruang-ruang publik maupun balai adat. Perubahan ini menjadikan Tari Nyambai tetap eksis ditengah-tengah masyarakat.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ Ningrum, Cintia Restia (2017-10-25). "Fungsi Tari Nyambai Pada Upacara Perkawinan Adat Nayuh Pada Masyarakat Saibatin Di Pesisir Barat Lampung". JOGED. 10 (2): 533–546. doi:10.24821/joged.v10i2.1887. ISSN 1858-3989. 
  2. ^ Katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 Buku Dua (PDF). Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. hlm. 69. 
  3. ^ "Tari Nyambai, Tarian Khas Lampung dalam Upacara Perkawinan Adat di Lampung Barat". Lampung Helau. Diakses tanggal 2018-09-08. 
  4. ^ Ningrum, Cintia Restia (2017-10-25). "Fungsi Tari Nyambai Pada Upacara Perkawinan Adat Nayuh Pada Masyarakat Saibatin Di Pesisir Barat Lampung". JOGED. 10 (2): 533–546. doi:10.24821/joged.v10i2.1887. ISSN 1858-3989. 
  5. ^ "Tari Nyambai, Tarian Khas Lampung dalam Upacara Perkawinan Adat di Lampung Barat". Lampung Helau. Diakses tanggal 2018-09-08.