Tan Khoen Swie (Hanzi: 陳坤瑞; Pinyin: Chén Kūnruì; 1883/1894–1953) dulu adalah seorang Tionghoa Indonesia yang melalui perusahaannya, Boekhandel Tan Khoen Swie, menerbitkan sejumlah buku dalam bahasa Jawa dan bahasa Melayu.

Tan Khoen Swie
Tan pada tahun 1935
Lahir1883 atau 1894
Wonogiri, Karesidenan Surakarta, Hindia Belanda
Meninggal1953
Kediri, Jawa Timur, Indonesia
PekerjaanPenerbit
Tanda tangan
Tanda tangan

Lahir di Wonogiri, Tan telah tertarik dengan budaya Jawa sejak kecil, dengan belajar kepada Mas Ngabehi Mangoenwidjaja dari Wonogiri dan belajar di Kasunanan Surakarta. Setelah sempat bekerja di sebuah penerbit Tionghoa di Surakarta, ia pindah ke Kediri dan mendirikan perusahaan penerbitannya sendiri. Hingga ia meninggal, perusahaan tersebut menerbitkan setidaknya 279 karya yang ditulis oleh sejumlah penulis dan membahas berbagai topik. Putranya kemudian mengambil alih Boekhandel Tan Khoen Swie, tetapi perusahaan tersebut tidak dapat bertahan lama.

Kehidupan awal

sunting

Tan lahir di Wonogiri, yang saat itu merupakan bagian dari Karesidenan Surakarta. Beberapa sumber menyebutkan tahun lahir yang berbeda. Koran Kompas serta penulis Sam Setyautama dan Suma Mihardja menyebut bahwa Tan lahir pada tahun 1883,[1][2] sementara sinolog Leo Suryadinata menyebut bahwa Tan lahir pada tahun 1894.[3] Sejak masih kecil, Tan telah tertarik dengan budaya Jawa, sehingga ia kerap mengunjungi kasunanan di Surakarta. Ia juga belajar kepada Mas Ngabehi Mangoenwidjaja.[3]

Saat beranjak muda, Tan pindah ke Surakarta dan mulai bekerja di penerbit Sie Dhien.[3] Ia lalu menikahi Lie Gien Nio dan dikaruniai tiga orang anak.[1] Tan memiliki penampilan yang unik. Suryadinata memiripkan rambut dan kumis panjang Tan dengan rambut dan kumis dari "hippie modern",[3] sementara Ardus M. Sawega dari Kompas menyebut bahwa gaya rambut Tan dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda.[1]

Penerbitan

sunting

Tan kemudian pindah ke Kediri, di Jawa Timur, dan mendirikan perusahaan penerbitannya sendiri dengan nama Boekhandel Tan Khoen Swie.[2] Melalui perusahaan tersebut, Tan menerbitkan karya dari sejumlah sejumlah penulis, seperti Ranggawarsita, Mangkunegara IV, Ki Padmosusastro, dan Yosodipuro. Penulis dari berbagai daerah pun kerap pergi ke Kediri untuk bertemu dengannya. Tan juga menerbitkan buku yang ia akui sebagai karyanya, tetapi pada sebuah wawancara tahun 2002, cicitnya menyatakan bahwa Tan tidak menulis karya tersebut, tetapi Tan hanya mengkompilasi teks dari berbagai sumber anonim.[1]

Tiap tahun, Tan juga merilis katalog terbitan.[3] Setyautama dan Mihardja menulis bahwa setidaknya 279 buku telah diterbitkan oleh Tan. Buku terbitannya meliputi berbagai macam topik, seperti wayang, hukum, teologi, filosofi, dan pertanian. Buku terbitannya biasanya tidak terlalu tebal dan ditulis dalam bahasa Jawa atau bahasa Melayu.[1][3]

Terbitan Tan, yang berada di luar jaringan Balai Pustaka, pun dapat memperkenalkan karya dari para penulis ke lebih banyak pembaca daripada jika diterbitkan dengan menggunakan metode tradisional manuskrip salinan tangan. Walaupun terbitan berbahasa Jawa telah ada sejak pertengahan abad ke-19, terbitan berbahasa Jawa masih tetap jarang dijumpai di Jawa, dan bahasa Jawa masih dalam proses transisi dari sastra lisan ke sastra lesan.[1]

Kehidupan akhir dan kematian

sunting

Selain penerbitan, Tan juga berbisnis di bidang vulkanisasi ban bermerek Dunlop dan memiliki minimarket bernama Soerabaia.[1] Dalam komunitas Tionghoa di Kediri, Tan juga terlibat di Tiong Hoa Hwe Koan dan Hoa Chiao Tsing Nien Hui, serta menjadi guru di sekolah perempuan Hoe Lie Hiap Hwee.[2] Tan juga dikenal sebagai seorang mistikus, dengan membangun sebuah goa di halamannya untuk digunakan sebagai lokasi meditasi.[3]

Menikah dengan Liem Gien Nio, Mereka Mempunyai 3 orang Anak<ref>"SERIAL TAN KHOEN SWIE: BOEKHANDEL TAN KHOEN SWIE DIWARISKAN PADA SI BUNGSU (Tulisan VI)". Diakses tanggal 2024-01-14. :

  • Tan Poo Hwa Nio ( Menikah dengan Kwee Djie Hoo, mempunyai 6 orang anak, pindah ke Kanada)
  • Tan Bian Hoo ( Menikah dengan Njoo Kiem Nio)
  • Tan Bian Liong (Michael Tanzil)

Tan akhirnya meninggal pada tahun 1953. Putranya, Michael Tanzil (Tan Bian Liong) kemudian melanjutkan mengelola perusahaan penerbitan, tetapi perusahaan tersebut tidak dapat bertahan lama. Keluarga Tan tetap tinggal di Kediri, tepatnya di Jl. Dhoho no. 165, hingga dekade 2000-an.[1]

Warisan

sunting

Sawega menulis bahwa nama Tan tetap sangat terkait dengan sastra populer di Indonesia pada awal abad ke-20. Namun, karena kurangnya dokumentasi mengenai terbitan Tan, pada tahun 2002, Pemerintah Kota Kediri pun membentuk sebuah tim untuk meneliti kehidupan dan karya Tan. Juru bicara dari tim tersebut menyatakan bahwa mereka berniat menjadikan bekas rumah Tan sebagai obyek wisata.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i Sawega 2002.
  2. ^ a b c Setyautama & Mihardja 2008, hlm. 363.
  3. ^ a b c d e f g Suryadinata 1995, hlm. 172.

Rujukan

sunting

Pranala luar

sunting