Yasadipura I

(Dialihkan dari Yosodipuro)

Raden Ngabei Yasadipura Tus Pajang atau yang lebih terkenal dengan sebutan Yasadipura I (lahir 1729 – wafat 1803) adalah pujangga besar dari Kasunanan Surakarta yang hidup pada masa awal berdirinya kerajaan tersebut.

Riwayat hidup

sunting

Dalam Tus Pajang disebutkan bahwa Yasadipura secara genealogis merupakan keturunan dari Sultan Adiwijaya, pendiri Kerajaan Pajang, yang memerintah sejak 1568 sampai 1586. Yasadipura adalah anak Raden Tumenggung Arya Padmanegara, bupati (abdi dalem bupati jaksa) di Pengging pada masa pemerintahan Pakubuwana I (1704-1719). Ia dilahirkan di Pengging pada Jumat-Pahing, Sapar pada tahun Jimakir (1654 Jawa atau 1729).[1]

Di masa kecil, Yasadipura diberi nama Bagus Banjar, sedangkan nama panggilannya adalah Jaka Subuh, karena ia lahir pada waktu subuh. Ketika berusia delapan tahun, ia dikirim ke sebuah pesantren di Kedu di bawah bimbingan Kiai Anggamaya. Dalam usia yang relatif muda itu, Bagus Banjar sudah memperlihatkan bakat yang luar biasa dalam pelajaran ilmu agama dan kesusastraan. Ia menamatkan pendidikan pesantren pada usia empat belas tahun, kemudian ia menjadi abdi dalem Keraton Kartasura pada masa raja Pakubuwana II dengan nama Kudapangawe yang bertugas menjaga Kyai Cakra, senjata pusaka milik keraton. Di lingkungan keraton ini pula ia meraih pengetahuan yang sangat mendalam tentang adat istiadat dan etika Jawa.[1]

Pada masa pemindahan ibukota kerajaan dari Kartasura menuju Solo ia ditunjuk sebagai sekretaris raja dibawah bimbingan Pangeran Wijil dengan nama Yasadipura. Oleh Pakubuwana IV ia sempat ditawarkan menjadi patih namun ditolak karena alasan usia. Yasadipura wafat pada 14 Maret 1803, ia dimakamkan di tempat kelahirannya, Pengging.[1]

Hasil karya

sunting

Yasadipura I dianggap sebagai pujangga terbesar Pulau Jawa selama abad ke-18. Ia menghasilkan sejumlah karya sastra yang bernilai tinggi. Empat karyanya yang paling monumental berupa saduran dari karya sastra bahasa Jawa Kuno terkenal, yaitu:

Keempat naskah di atas digubah dalam bentuk syair macapat dengan bahasa Jawa baru. Beberapa baitnya masih sering dikumandangkan sebagai suluk oleh para dalang dalam pementasan wayang hingga sekarang.

Karya Yasadipura I lainnya adalah Serat Menak, berupa saduran dari Hikayat Amir Hamzah yang berbahasa Melayu. Cerita yang dalam versi Melayu hanya satu halaman, pada versi ini diceritakan dalam sepuluh halaman dan ditambah dengan cerita-cerita yang berupa komentar atau suatu penjelasan kejadian dalam cerita atau merupakan penggambaran berulang-ulang dalam setiap peristiwa.[2]

Selain itu, Yasadipura I juga menghasilkan dokumen sejarah yang teliti, berjudul Babad Giyanti, yaitu berkisah tentang pembelahan wilayah Kasunanan Surakarta tahun 1755 yang menandai lahirnya Kesultanan Yogyakarta.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Hamid Nasuhi (2006). "Yasadipura I (1729-1803): Biografi dan Karya-karyanya". Al-Turas. Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 12 (3): 213-214. ISSN 0853-1692. 
  2. ^ Kun Zachrun Istanti (2006). "Warna Lokal Teks Amir Hamzah Dalam Serat Menak". Humaniora. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada. 18 (2): 117. ISSN 0852-0801. 

Bacaan lanjutan

sunting
  • Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press