Syair Siti Zubaidah Perang Cina

(Dialihkan dari Syair Siti Zubaidah)

Syair Siti Zubaidah Perang Cina atau juga dikenal hanya Syair Siti Zubaidah adalah syair berbahasa Melayu abad ke-19 yang ditulis oleh penulis yang tidak dikenal. Syair ini berkisah tentang seorang wanita yang menyamar sebagai laki-laki dan menaklukkan negeri Tiongkok untuk menyelamatkan suaminya. Beberapa orang berpendapat bahwa syair ini didasarkan pada peristiwa-peristiwa dalam sejarah.

Syair Siti Zubaidah Perang Cina
PengarangTidak diketahui
NegaraMalaya Britania
BahasaMelayu
GenreSyair
Tanggal terbit
Pada atau sebelum 1940

Setelah bertahun-tahun berusaha, Sultan Darman Syah dari Kembayat Negara dan istrinya akhirnya memiliki seorang putra, yang mereka beri nama Zainal Abidin. Mereka membesarkannya agar menjadi seorang Muslim yang saleh, dan pada usia enam, Zainal Abidin yang dikirim pergi untuk belajar membaca Al-Quran dan mempelajari seni bela diri. Di tempat lain di kerajaan itu, setelah sebuah kerusuhan di pasar menyebabkan dieksekusinya seorang pedagang Tiongkok, semua etnis Tionghoa mengungsi dari kerajaan itu dan kembali ke negeri Tiongkok. Permaisuri Tiongkok, marah pada perlakuan kerajaan tersebut pada rakyatnya, memerintahkan ketujuh putrinya untuk mempersiapkan perang terhadap Kembayat Negara.

Setelah sebuah mimpi tentang seorang wanita cantik, Zainal Abidin dewasa berangkat pergi dari Kembayat Negara untuk menemukan wanita cantik dalam mimpinya tersebut. Setelah tiba di sebuah pulau ia mendengar suara yang indah membaca Al-Quran. Mengikuti suara itu dia menemukan bahwa suara itu milik Siti Zubaidah, putri pemimpin agama pulau itu dan mantan raja. Dia tak berdaya melihat kecantikannya dan mereka berdua pun menikah. Dalam perjalanan mereka kembali ke Kembayat Negara Zainal Abidin membantu Raja Yaman mengusir serangan musuh, dan ia pun diberikan Putri Sajarah untuk dinikahi. Bersama dengan istri-istrinya, Zainal Abidin kembali ke Kembayat Negara.

Kemudian, ketika tentara Tiongkok menyerang Kembayat Negara, Zainal Abidin dan Sajarah ditangkap. Namun Siti Zubaidah yang sedang hamil mampu melarikan diri ke hutan. Melahirkan di hutan, dia kemudian meninggalkan anaknya dan meneruskan perjalanannya, anak tersebut kemudian diambil oleh kakak Siti Zubaidah. Siti Zubaidah bergabung dengan Putri Rukiah dari Yunan, yang diasingkan dari kerajaannya oleh penjajah. Keduanya berlatih seni bela diri, menyamar sebagai laki-laki, dan mampu merebut kembali Yunan. Sebagai imbalannya, Rukiah setuju untuk membantu Siti Zubaidah dalam perang melawan Tiongkok.

Dengan kekuatan Negeri Yunan dan sekutu-sekutunya, Siti Zubaidah - masih menyamar sebagai seorang laki-laki - mampu menaklukkan negeri Tiongkok. Zainal Abidin dan Siti Sajarah dibebaskan. Sementara itu, permaisuri Tiongkok dan putri-putrinya ditangkap dan dipaksa masuk Islam.[1] Zainal Abidin kemudian menikahi permaisuri Tiongkok dan Siti Rukiah. Siti Zubaidah melepaskan penyamarannya dan kembali ke sisi suaminya, menjadi ratu Kembayat Negara.

Naskah

sunting

Menurut sejarawan sastra Melayu-Tionghoa Liaw Yock Fang, naskah paling awal Syair Siti Zubaidah berasal dari tahun 1840 (1256 Hijrah). Manuskrip yang bernomor MS 37083 tersebut disimpan di perpustakaan SOAS di London, Inggris. Ada beberapa manuskrip yang masih bertahan.[2] Namun, syair ini kala itu populer dalam bentuk cetak, terutama di Singapura, Bombay (sekarang Mumbay), dan Kairo.[3]

Tema dan gaya

sunting

Alur tentang seorang wanita yang tampil sebagai pria untuk melakukan perang, seperti dalam Syair Siti Zubaidah, adalah sebuah alur yang umum dalam sastra Melayu dan sastra Jawa kala itu, termasuk Cerita Pandji dari Jawa; hikayat dan syair dari Melayu. Contoh lain adalah Hikayat Panji Semirang, Hikayat Jauhar Manikam, dan Syair Abdul Muluk. Karya tulis setelah karya tersebut berbagi beberapa kemiripan alur dengan Syair Abdul Muluk. Pakar sastra Prancis Monique Zaini - Lajoubert berpendapat bahwa karena Syair Siti Zubaidah adalah tidak bertanggal, tidak mungkin untuk menentukan mana yang ditulis lebih dahulu.[4] Namun, sejarawan sastra Melayu-Tionghoa Liaw Yock Fang mencatat bahwa Syair Abdoel Moeloek diterbitkan pada tahun 1847, sekitar tujuh tahun setelah naskah paling awal yang diketahui dari Syair Siti Zubaidah.[5]

Pakar sastra Malaysia Siti Hawa Salleh menulis bahwa Syair Siti Zubaidah adalah salah satu dari beberapa cerita Melayu yang menggabungkan unsur-unsur dari Pengaruh India dan Timur Tengah, sebanding dengan Syair Bidasari dan Syair Dandan Setia.[6] Pakar sastra G. Koster menunjukkan pandangan serupa, berpendapat bahwa Syair Siti Zubaidah dan Syair Abdul Muluk harus dianggap sebagai "Cerita Pandji yang telah diislamkan".[7] Dalam Syair ini, Siti Zubaidah menekankan kesetiaan kepada suaminya dan Tuhan, menelantarkan tugasnya sebagai ibu untuk melanjutkan perang. Pada akhirnya, menurut pakar sastra Malaysia Barbara Watson Andaya, "kesetiaan, kesalehan, dan kepasrahan kepada nasib, bahkan ketika suami tidak setia, memberikan [Siti Zubaidah] status sebagai permaisuri."[8]

Abdul Mutalib menulis bahwa Syair Siti Zubaidah mungkin telah didasarkan pada peristiwa sejarah yang sebenarnya; beberapa ulama Malaysia berpendapat bahwa Kembayat Negara merupakan representasi dari Champa (sekarang bagian Selatan dari Vietnam). Namun Liaw mengkritik pendapat tersebut.[2]

Syair ini berisi banyak kata rima yang tidak ditemukan dalam kamus.[3] Pola berima tersebut juga digunakan sebagai alasan untuk tidak memberikan rincian sebuah kejadian seksual dalam cerita ini; Dalam satu adegan penulis menulis "Cerita itu tidak akan dijabarkan / karena terlalu sulit untuk menemukan rima."[8] Namun Syair ini juga menarik kesejajaran antara perang dan seks: dalam satu adegan Zainal Abidin mengatakan kepada salah satu penawan Tiongkoknya "Kita harus bertarung di bawah kelambu / keris dan tombak kita dielus dan dibelai."[8]

Publikasi

sunting

Sebuah versi transliterasi dicetak pada tahun 1983.[9] Abdul Rahman al-Ahmadi menulis edisi lain pada tahun 1994, sebagian besar didasarkan pada koleksi Ml 727 (disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) dan koleksi MSS 25 (disimpan di Perpustakaan Nasional Malaysia).[3]

Penerimaan

sunting

Syair Siti Zubaidah telah diadaptasi ke panggung, dengan menggunakan litograf atau catatan tulisan tangan sebagai sumber dialog.[10]

Referensi

sunting
  1. ^ Liaw 2011, hlm. 602.
  2. ^ a b Liaw 2011, hlm. 601.
  3. ^ a b c ANU, Bibliography.
  4. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 104–105.
  5. ^ Liaw 2011, hlm. 576.
  6. ^ Salleh 2010, hlm. 180.
  7. ^ Koster 1998, hlm. 99.
  8. ^ a b c Andaya 2013, hlm. 157.
  9. ^ Liaw 2011, hlm. 612.
  10. ^ Millie 2004, hlm. 9.

Rujukan

sunting

Bacaan lainnya

sunting
  • Al-Ahmadi, Abdul Rahman. Syair Siti Zubaidah Perang China: Perspektif Sejarah (dalam bahasa Malaysian). Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.