Berlintas-busana (bahasa Inggris: cross-dressing) merupakan perilaku saat seseorang mengenakan pakaian, berpenampilan, dan berperilaku sesuai dengan gender yang berbeda daripada gendernya sendiri, pada umumnya berdasarkan latar kebudayaan tertentu.[1][2] Hampir setiap kelompok masyarakat manusia sepanjang sejarah memiliki norma tertentu terkait dengan pakaian dan penampilan untuk setiap gender. Lintas-busana ditemukan di berbagai kebudayaan dunia sepanjang sejarah hingga masa kini. Seseorang yang berlintas-busana dapat memiliki tujuan yang beragam dari sebagai penyamaran hingga sebagai hiburan atau ekpresi diri. Berlintas-busana tidak sama dengan kondisi transgender.[3]

Nyi Bei Mardusari berlintas busana menjadi Gatotkaca
Tiga[pranala nonaktif permanen] orang perwira militer Amerika Serikat berlintas-busana dalam pertunjukan musikal This is the Army, 1942.

Sejarah

sunting
 
Wartawan perang Inggris, Dorothy Lawrence, menyamar sebagai pria agar dapat menjadi prajurit pada Perang Dunia I.

Episode Akhilles di Skyros dari mitos Akhilles zaman Yunani Kuno bercerita mengenai Akhilles yang disamarkan oleh ibunya, Thetis, sebagai anak perempuan agar ia tidak ikut pergi bertempur di Perang Troya.[4] Saturnalia yang ditulis oleh Macrobius menyebutkan wujud laki-laki dari Afrodit yang bernama Afroditus. Peribadatan kepada Afroditus disebut melibatkan laki-laki dan perempuan saling bertukar pakaian. Catatan lainnya oleh Filostratos menyebutkan bahwa dalam perayaan untuk Afroditus, laki-laki dan perempuan tidak dipisah karena perempuan dapat berperilaku seperti laki-laki serta laki-laki dapat berperilaku seperti perempuan.[5] Dalam kisah Mahabharata, Urwasi mengutuk Arjuna menjadi seorang kasim setelah Arjuna menolak kasih Urwasi. Arjuna menggunakan kutukan ini untuk menyamar sebagai perempuan bernama Brihannala yang menjadi guru tari dan menyanyi bagi Putri Uttara.[6] William Shakespeare dalam sandiwaranya yang berjudul The Merchant of Venice menceritakan tokoh Portia yang berlintas-busana sebagai pria agar dapat berbicara di pengadilan.[7] Kerusuhan Rebecca di Wales abad ke-19 dilakukan oleh para petani lokal yang mengenakan pakaian perempuan.[8]

Seksolog Jerman, Magnus Hirschfeld, meneliti mengenai pria yang berlintas-busana pada awal abad ke-20 dan mencetuskan istilah transvestisme (trans- "lintas" dan vestis "pakaian" dalam bahasa Latin). Hirschfeld membedakan transvestisme dengan perilaku homoseksual dan menyebutkan bahwa orang yang berlintas-busana dapat memiliki orientasi seksual yang tidak harus homoseksual.[2][9] Istilah tersebut kini tidak digunakan lagi karena dinilai tidak sopan dan ofensif berdasarkan penggunaannya dahulu sebagai sebuah diagnosis gangguan jiwa.[10]

Di dalam kebudayaan

sunting

Peran onnagata, dalam sandiwara kabuki dari Jepang, adalah peran wanita yang dimainkan oleh pemeran pria yang muncul setelah pelarangan pemeran wanita untuk bermain di sandiwara kabuki. Peran onnagata kemudian mengembangkan teknik dan gayanya sendiri dengan beberapa aktor berfokus dalam memerankan onnagata.[11] Burrnesha di Albania adalah wanita yang mengambil sumpah keperawanan dan hidup sebagai pria. Seorang burrnesha dapat mengambil sumpah tersebut karena berbagai alasan di antaranya seperti akibat norma kultural yang membatasi hak wanita. Burrnesha dianggap penuh sebagai pria dan dapat melakukan hal-hal yang tabu bagi wanita seperti merokok, memakai senjata api, menerima warisan, dan bergaul dengan pria lainnya.[12] Di Banyumas, Jawa Tengah, lengger lanang merupakan seni tari yang dipentaskan oleh pria yang berpenampilan wanita. Lengger lanang juga dianggap sebagai sebuah bagian dari ritus kesuburan.[13] Di Negara Bagian Kerala, India, terdapat Perayaan Kottakulangara yang melibatkan pria berpakaian wanita.[14]

Referensi

sunting
  1. ^ Gerstner, D. A. (2006). Routledge International Encyclopedia of Queer Culture. Routledge. hlm. 568. ISBN 978-0313393686. 
  2. ^ a b Beemyn, B. G. (2004). "Cross-Dressing" (PDF). glbtq Project. Diakses tanggal 2019-03-27. 
  3. ^ GLAAD. "GLAAD Media Reference Guide - Transgender". Diakses tanggal 2019-03-27. 
  4. ^ Hagedorn, S. C. (2003). Abandoned Women: Rewriting the Classics in Dante, Boccaccio, and Chaucer. University of Michigan Press. hlm. 232. ISBN 9780472113491. 
  5. ^ Bullough, V. L.; Bullough, B. (1993), Cross Dressing, Sex, and Gender, University of Pennsylvania Press, hlm. 29, ISBN 9780812214314 
  6. ^ Pendit, N. S. (2003). Mahabharata. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 204. ISBN 9789792203523. 
  7. ^ Bulman, J. C. (1991). The Merchant of Venice. Manchester University Press. hlm. 9. ISBN 9780719027468. 
  8. ^ Gross, D. M. (2014). 99 Tactics of Successful Tax Resistance Campaigns. Picket Line Press. hlm. 68–69. ISBN 978-1490572741. 
  9. ^ Ekins, R. (1997). Male Femaling: A grounded theory approach to cross-dressing and sex-changing. Routledge. hlm. 27. ISBN 9780415106252. 
  10. ^ Vaccaro, A.; August, G.; Kennedy, M. S. (2011). Safe Spaces: Making Schools and Communities Welcoming to LGBT Youth. ABC-CLIO. hlm. 142. ISBN 9780313393686. 
  11. ^ "History of Kabuki - Development of Yaro-Kabuki". Invitation to Kabuki. Dewan Kesenian Jepang. Diakses tanggal 2019-03-28. [pranala nonaktif permanen]
  12. ^ Murray, S. O.; Roscoe, W.; Allyn, E. (1997). Islamic Homosexualities: Culture, History, and Literature. New York University Press. hlm. 198, 201. ISBN 0814774687. 
  13. ^ "Tragedi 1965 dan Kebencian LGBT Meminggirkan Lengger Lanang". Tempo.co. Tempo.co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-28. Diakses tanggal 2019-03-28. 
  14. ^ "Cross-dressing for the Goddess". The Times of India. 2008-04-06. Diakses tanggal 2019-03-27. 

Lihat juga

sunting

Bacaan lebih lanjut

sunting