Suku Dayak Benuaq

suku bangsa di Indonesia

Benuaq (alias Dayak Benuaq secara suku sakat) adalah kelompok etnis atau suku bangsa yang berasal dari daerah Kutai Barat di Kalimantan Timur, Indonesia.[2][3]

Benuaq
Para wanita etnis Benuaq sedang melakukan tarian tradisional di Desa Tanjung Isuy, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Indonesia
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah)
Bahasa
Agama
1%
Kelompok etnik terkait

Sejarah

sunting

Berdasarkan pendapat beberapa ahli suku ini dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah. Benuaq sendiri berasal dari kata Benua dalam arti luas berarti suatu wilayah/daerah teritori tertentu, seperti sebuah negara/negeri. pengertian secara sempit berarti wilayah/daerah tempat tinggal sebuah kelompok/komunitas. Menurut cerita pula asal kata Benuaq merupakan istilah/penyebutan oleh orang Kutai, yang membedakan dengan kelompok Dayak lainnya yang masih hidup nomaden. Orang Benuaq telah meninggalkan budaya nomaden. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di "Benua", lama-kelamaan menjadi Benuaq. Sedangkan kata Dayak menurut aksen Bahasa Benuaq berasal dari kata Dayaq atau Dayeuq yang berarti hulu.

Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan kelompok dialek bahasa dalam Bahasa Benuaq, diyakini oleh bahwa Orang Benuaq justru tidak berasal dari Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu. Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka di bumi langsung di tempat mereka sekarang. Tidak pernah bermigrasi seperti pendapat para ahli.

  1. Salah satu versi cerita leluhur mereka adalah Aji Tulur Jejangkat dan Mook Manar Bulatn. Keduanya mempunyai keturunan Nara Gunaq menjadi orang Benuaq, Sualas Gunaq leluhurnya orang Tonyoy/Tunjung, Puncan Karnaq leluhurnya orang Kutai.
  2. Orang Benuaq di kawasan hilir Mahakam dan Danau Jempang dan sekitarnya hingga Bongan dan Sungai Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Seniang Bumuy.
  3. Seniang Jatu dipercaya merupakan leluhur orang Benuaq di kawasan Bentian dan Nyuatan. Dikisahkan bahwa Seniang Jatu diturunkan di Aput Pererawetn, tepi Sungai Barito, sebelah hilir Kota Muara Teweh (Olakng Tiwey). Kedatangan suku (mungkin orang Lewangan, Teboyan, Dusun dan sebagainya) dari Kalimantan Tengah justru berasimilasi dengan Orang Benuaq, dan ini menyebabkan Orang Benuaq mempunyai banyak dialek.
  4. Sedangkan orang Benuaq di kawasan hulu Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Ningkah Olo. Menurut legenda Ningkah Olo pertama kali turun ke bumi, menginjakkan kakinya di daerah yang disebut dalam Bahasa Benuaq, Luntuq Ayepm (Bukit Trenggiling). Tempat ini diyakini sebagai sebuah bukit yang merupakan ujung dari Jembatan Mahakam, Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Sisa Suku Dayak Benuaq di Kota Samarinda, akhirnya menyingkir ke utara kota, di kawasan Desa Benangaq, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. Jadi menurut orang Dayak Benuaq justru merekalah yang pertama menjejakkan kaki di Bumi Samarinda jauh sebelum Kerajaan Kutai resmi berdiri pada abad 4 M. Selanjutnya sebagian keturunannya berangsung-angsur menuju muara Sungai Mahakam bermukim di Jahitan Layar dan Tepian Batu dan sekitarnya. Sebagian yang menuju muara Mahakam, selanjutnya berlayar/berjalan ke arah selatan (Balikpapan, Paser dan Penajam). Hal ini mungkin bisa menjelaskan hubungan kekerabatan Dayak Benuaq dan Paser. Orang Benuaq di Kecamatan Bongan, Kutai Barat, berbahasa Benuaq berdialeq Paser Bawo. Sebagian lagi menuju pedalaman Sungai Mahakam. Sebagian keturunan yang masih 'tertinggal' di Tenggarong, bermukim di Kecamatan Tenggarong dan Tenggarong Seberang.

Tokoh Dayak Benuaq

sunting
  1. Korrie Layun Rampan, Sastrawan.
  2. Yurnalis Ngayoh, Wakil Gubernur Kalimantan Timur 1998-2003, 2003-2006, Gubernur Kalimantan Timur 2006-2008
  3. Fransiskus Xaverius Yapan, Politikus dan MANTAN Ketua DPRD Kutai Barat, Kalimantan Timur dan Bupati Kutai barat priode 2016-2020
  4. Ir. Rama A Asia, Bupati Pertama Kab. Kutai Barat
  5. Petrus Asuy, pejuang Hutan adat penerima penghargaan Equator Prize dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Development Programme/UNDP).
  6. Erika Siluq S.H, M.k.n Ketua Umum Organisasi GERDAYAK(gerakan pemuda dayak indonesia) kaltim
  7. Prof. Dr. Laurentius Dyson P.(Alm). Pendidik (Guru Besar) Ilmu Antropologi Di Universitas Airlangga, Surabaya.
  8. Dahrani (Empu Gelow) Seniman Pengukir Patung Belontang, Pengrajin Mandau dan juga penggagas Parade 1000 Mandau di Samarinda
  9. Prof. Dr.Ir. Paulus Matius, M.Sc. Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
  10. Drs. Martinus Nanang, MA. Dosen Fakultas Fisip, Universitas Mulawarman
  11. Damianus Apon, SE Kepala Adat Benuaq Samarinda
  12. Dra. Rina Laden, MM Ketua Yayasan Sempekat Tonyooi Benuaq Kaltim
  13. Rahman Nempur, SE, MM
  14. Drs Syaidirahman, MM
  15. Ir. Barnabas Asrani, MM
  16. Dalmasius Madrah tokoh adat
  17. Emanuel, S.Pd. Penulis buku budaya dan Pelaksana Upacara Beliatn dan Wara
  18. Dr. Yahya Marthan, MM anggota DPRD Kutai Barat, mantan Sekda Kutai Barat
  19. Elisason, SH tokoh masyarakat adat
  20. Hengky, SH Ketua STB Kaltim
  21. Drs. Sudhiyanto, Staf Ahli Bupati Kubar dan tokoh adat
  22. Manar Gamas, SH Kepala Adat Besar Kutai Barat
  23. Rudi Ranaq, SH Advokat Kaltim
  24. Agus Sopian, SE, M. Kes (Kincan) anggota DPRD Kutai Barat
  25. Eric Lenyooq, SE, MM Direktur Perusda Ketua PKB Kubar
  26. Drs Petrus Jamhuri, MM
  27. Aloysius Nerekng (Alm). Tokoh Dayak Tonyoy-Benuaq di Kota Balikpapan
  28. Santi (Pe-Rijoq). yang merupakan Pelopor awal Budaya Rijoq, yang sedemikian berkembang di awal tahun 2000 an, kemudian ada Grup Datai Munte dari Kampung Dasaq yang kemudian melahirkan lagu Rijoq yang cukup indah didengar diciptakan oleh Miyati (Dasaq) yaitu Peruko Nalau, dipopularkan oleh penyanyi Rijoq yang mumpuni yaitu Sigum.
  29. Petrus Bien. Pencipta Lagu-lagu Rijoq yang Popular, terutama album Tonau. Pada penyelenggaraan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi 2022) di Jogjakarta Lagu Rijoq Ciptaan Petrus Bien dinyanyikan Oleh Paduan Suara Dayak Tonyoy-Benuaq dengan sangat membanggakan di Hall Universitas Gajah Mada (UGM) https://www.youtube.com/watch?v=8VJKAvuuYV0&ab_channel=GKSTSIONTOLAI
  30. Herry Pemangku. pencipta lagu dan aransemen musik yang mumpuni, tokoh muda di bidang seni melahirkan album Pune nete, termasuk Album Rijoq Melan, penyanyi Rijoq Popular ini, bahwa Album ini diaransemen oleh Herry Pemangku, yang memiliki ciri etnic, Rijoq, kombinasi dangdut, dan kreasi musik popular yang menjadi pembeda dari para pelaku seni yang lebih otodidak.
  31. Melan. Penyanyi Rijoq Popular
  32. Franky Lawendatu. (Pelatih, Aransemen, dan Konduktor) yang sangat mumpuni, Aktif untuk Paduan Suara Rohani. beliau sukses menghantarkan anak-anak Dayak Tonyoy-Benuaq berkiprah bahkan secara Nasional dan Internasional untuk Paduan Suara. yang menarik dari Franky adalah pandangan hidupnya mengenai memperjuangkan anak-anak Dayak supaya menggapai tarap kehidupan yang berkarya positif, mengutip yang ia katakan "Sikap yang disiplin, dan mau berkembang, usaha keras, keteladanan yang positif sangat penting, kalau saya merokok, saya tidak dapat melarang anak-anak saya untuk itu, karenanya nilai positif yang kita ajarkan, lebih kuat disampaikan dengan keteladanan moral karakter yang baik" salah satu dari lagu Dayak yang dinyanyikan dalam Pesparawi dari Kontingen Kalimantan Timur adalah ciptaannya, mengaransemen, melatih sampai membawa Tim tampil dalam berbagai event. beliau ini orang Sanger yang sudah kita terima sebagai Orang Dayak Tonyoy-Benuaq
  33. SILUQ. Siluq tokoh Wanita Kuasa, pintar yang lemah lembut. dalam Tradisi Benuaq menjadi Icon wanita teladan, sehingga dipandang sebagai Nama yang menginspirasi, sehingga mingkin kita melihat perwujudannya pada masa ini dalam ketokohan Tokoh Wanita Muda Dayak Benuaq yaitu Saudari Erika Siluq. SILUQ, Ia sangat dikenal bersama dengan Saudara Lelakinya yang dikenal kuat dalam Legenda turun-temurun Dayak Benuaq.
  34. Melky Kamuntik (Alm) Tokoh yang dikenal luas dalam bimas Kristen Kalimantan Timur- karya Monumental adalah mendirikan sebuah Perguruan Tinggi untuk pengajar Agama Kristen STAK

Penyebaran Geografis Suku Dayak Benuaq

sunting

Suku Dayak Benuaq dapat ditemui di sekitar wilayah Sungai Kedang Pahu di pedalaman Kalimantan Timur dan di daerah danau Jempang. Di Kalimantan Timur, sebagian besar mendiami Kutai Barat dan merupakan salah satu etnis terbesar di Kutai Barat, (+/- 25%). Mendiami di Kecamatan Bongan, Jempang, Siluq Ngurai, Muara Pahu, Muara Lawa, Damai, Nyuwatan (Nyuwatatn), sebagian (Bentiatn) Bentian Besar, Mook Manar Bulatn serta Barong Tongkok, di Kabupaten Kutai Kartanegara mendiami daerah Jonggon hingga Pondok Labu, Kecamatan Tenggarong, kawasan Jongkang hingga Perjiwa, Kecamatan Tenggarong Seberang. Bahkan Bupati Pertama Kutai Barat adalah putra Dayak Benuaq, termasuk Doktor (DR) pertama Dayak Indonesia dalam studi non-teologi juga dari putra Dayak Benuaq dari Kutai Barat.

Karena kedekatan kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Lawangan dan warga di sepanjang Sungai Barito umumnya, maka terdengar selentingan pada Orang Benuaq, mereka merasa layak jika Kabupaten Kutai Barat bergabung dengan wacana Provinsi Barito Raya.

Kedekatan orang Benuaq dengan orang Paser dapat disimak dari cerita rakyat Orang Paser "Putri Petung" dan "Mook Manor Bulatn" cerita rakyat orang Tonyoy-Benuaq, kedua-duanya terlahir di dalam "Betukng" atau "Petung" salah satu spesies/jenis bambu. Selanjutnya dialek orang Benuaq yang berdiam di Kecamatan Bongan sama dengan bahasa orang Paser.

Kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Suku Kutai

Mengenai nama Kutai, ada pendapat bahwa itu memang bukan menunjuk nama etnis seperti yang menjadi identitas sekarang. Sebaliknya ada yang berpendapat nama Kutai selain menunjuk pada teritori. Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai. Dulu dalam buku sejarah Kutai ditulis Kutei, padahal istilah Kutei justru merupakan istilah dalam Bahasa Tunjung Benuaq, entah kapan istilah tersebut berubah menjadi Kutai. Istilah Kutai erat pula dengan istilah Kutaq – Tunjung Kutaq dalam bahasa Benuaq. Di pedalaman Mahakam terdapat nama pemukiman (kota kecamatan) bernama Kota Bangun – sekarang didiami etnis Kutai. Menurut catatan Penjajah Belanda dulu daerah ini diami orang-orang yang memelihara babi, dan mempunyai rumah bertiang tinggi. Menurut Orang Tunjung Benuaq, istilah Kota Bangun yang benar adalah Kutaq Bangun. Demikian pula di sekitar Situs Sendawar ada daerah yang namanya Raraq Kutaq (di Kec. Barong Tongkok, Kota Sendawar ibu kota Kutai Barat). Kutaq dalam bahasa Tunjung atau Benuaq berarti Tuan Rumah, jadi orang Tunjung Benuaq lebih dahulu/awal menyebut istilah ini dibandingkan versi lain yang menyebut Kutai berasal dari Bahasa Tionghoa – Kho dan Thai artinya tanah yang luas/besar.

Nama Tenggarong (ibu kota Kutai Kartanegara) menurut bahasa Dayak Orang Benuaq adalah Tengkarukng berasal dari kata tengkaq dan karukng, tengkaq berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti meniti anak tangga), bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran. Menurut Orang Benuaq ketika sekolompok orang Benuaq (mungkin keturunan Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di suatu tempat dipinggir tepian Mahakam, dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng, itulah sebabnya disebut Tengkarukng, lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah menjadi Tenggarong sesuai aksen Melayu.

Perhatikan pula nama-nama bangsawan Kutai Martadipura dan Kutai Kartenagara, menggunakan gelar Aji(Indonesia)[1] Diarsipkan 2015-02-22 di Wayback Machine. – bandingkan dengan nama Aji Tullur Jejangkat pendiri Kerajaan Sendawar (Dayak) – ayah dari Puncan Karna leluhur orang Kutai. Sisa kebudayaan Hindu yang sama-sama masih tersisa sebagai benang merah adalah Belian Kenjong, Belian Dewa serta Belian Melas/Pelas. Ketiga belian tersebut syair/mantranya menggunakan bahasa Kutai.

Dayak Benuaq dahulu memeluk Agama Kaharingan barulah pada awal 1990 an Suku ini memeluk Kekristenan dan Islam.

Agama Islam lebih dahulu diperkenalkan ke kalangan suku Dayak Benuaq melalui kontak langsung dalam hubungan ekonomi dengan suku Kutai dan Kerajaan Islam Kartanegara, akan tetapi Islam tidak diterima secara luas hal ini dikarenakan Suku Dayak Benuaq sangat memegang teguh adat istiadat mereka, hingga akhir abad ke-19 sangat jarang ditemukan Suku Dayak Benuaq penganut Islam kecuali karena menikah dengan suku suku beragama Islam.

Agama Kristen disebarkan dikalangan Dayak Benuaq pada awal pertengahan abad ke-19, Misi Kristen Protestan dimulai oleh Gereja Kemah Injil Indonesia dan Gereja Kesebangunan Kalam Allah Indonesia dikawasan Kecamatan Nyuatatn, Damai, Muara Lawa, Siluq Ngurai dan Bentian Besar, sementara Misi Katolik tiba belakangan melalui desa Tanjung Jaan di Jempang dan Barong Tongkok, agama Kristen, baik Kristen Protestan maupun Katolik Roma mendominasi secara menyeluruh di kawasan komunitas Dayak Benuaq, Gereja lain yang juga ditemukan diantara komunitas Dayak Benuaq adalah Gereja beraliran Pentakostalisme Karismatik. Sekitar 52.5% populasi Dayak Benuaq berafiliasi dengan Kristen Protestan (Gereja Kemah Injil Indonesia, Gereja Kesebangunan Kalam Allah Indonesia, Gereja Pentakosta di Indonesia dll) sekitar 42.5% anggota Gereja Katolik Roma, 4% menganut Islam dan 1% mempraktikkan Kaharingan.

Sistem Kepercayaan

sunting

Dalam buku pelajaran Sejarah Indonesia, Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia. Namun bagi orang Dayak khususnya penganut agama Kaharingan meyakini adanya Tuhan dan percaya bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup mempunyai roh dan perasaan sama seperti manusia, kecuali soal akal.

Oleh sebab itu bagi Suku Dayak Benuaq segenap alam semesta termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan harus diperlakukan sebaik-baiknya dengan penuh kasih sayang. Mereka percaya perbuatan semena-mena dan tidak terpuji akan dapat menimbulkan malapetaka. Itu sebabnya selain sikap hormat, mereka berusaha mengelola alam semesta dengan se-arif dan se-bijaksana mungkin.

Dayak Benuaq percaya bahwa alam semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh penguasa atau Tuhan tunggal yaitu Letalla (dalam bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Sangiang disebut Ranying Hatalla). Letalla mendelegasikan tugas-tugas tertentu sesuai dengan bidang-bidang tertentu, kepada para Seniang, Nayuq, Mulakng dll. Seniang memberikan pembimbingan, sedangkan Nayuq akan mengeksekusi akibat pelanggaran terhadap adat dan norma.

Fungsi Patung (Belontakng) dalam Kepercayaan Dayak Benuaq

sunting

Terjadi kesalahan anggapan termasuk para ahli, bahwa Suku Dayak membuat patung untuk mereka sembah sebagai symbol sesembahan masyarakat Dayak Benuaq. Oleh karena kesalahan persepsi ini, sering kali masyarakat Dayak Benuaq dianggap suku penyembah berhala.

Banyak jenis patung yang dibuat Suku Dayak Benuaq bukan untuk disembah atau dipuja, tetapi justru harus diludahi setiap orang yang melewatinya. Ada juga patung yang dibuat untuk mengelabui roh jahat atau makhluk halus agar tidak menggangu manusia. Jadi patung lebih daripada wujud/tanda peringatan baik untuk berbuat baik atau larangan terhadap perbuatan jahat.

Sistem Sosial dan Adat Istiadat

sunting

Masyarakat Suku Dayak Benuaq menganut system matrilineal.

Dalam rangka pengelolaan alam semesta termasuk hubungan antar mahluk hidup dan kematiannya serta hubungan dengan kosmos, haruslah sesuai dengan adat istiadat dan tata karma yang telah diwariskan oleh nenek moyang orang Benuaq. Adat istiadat dan tata karma diwariskan sama tuanya dengan keberadaan Suku Dayak Benuaq di Bumi. Orang Suku Dayak Benuaq percaya bahwa Sistem Adat yang ada bukanlah hasil budaya, tetapi mereka mendapatkan dari petunjuk langsung dari Letalla melalui para Seniang maupun melalui mimpi.

Orang Dayak Benuaq, percaya bahwa system adatnya telah ada sebelum negara ini lahir. Itu sebabnya mereka tidak menerima begitu saja, pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan aturan dapat menghilangkan aturan Adat Istiadat Suku Dayak Benuaq.

Paling tidak ada 5 pilar/tiang adat Suku Dayak Benuaq:

  1. Adet
  2. Purus
  3. Timekng
  4. Suket
  5. Terasi

Kelimanya harus dijalankan / menjadi pegangan dalam melaksanakan adat istiadat di Bumi, jika tidak akan terjadi ketidak adilan dan kekacauan di masyarakat. Selain itu penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja oleh pemangku adat akan mendapat kutukan dari Nayuk Seniang. Perwujudan dari kutukan ini bias berbentuk kematian baik mendadak maupun perlahan-lahan, juga bias berbentuk kehidupan selalu mendapat bencana/malapetaka serta susah mendapatkan rejeki.

Lou (dibaca: lo-uu ; Lamin)

sunting

Sebagaimana masyarakat Dayak umummya, Dayak Benuaq juga mempunyai tradisi rumah panjang. Dalam masyarakat Dayak Benuaq, tidak semua rumah panjang dapat disebut Lou (Lamin).

Rumah panjang dapat disebut lou (lamin) jika mempunyai minimal 8 olakng. Olakng merupakan bagian/unit lou. Dalam satu olakng terdapat beberapa bilik dan dapur. Jadi olakng bukan bilik/kamar sebagaimana rumah besar, tetapi olakng merupakan sambungan bagian dari lou.

Banyaknya olakng dalam rumah panjang bagi Suku Dayak Benuaq dapat menunjukkan level/bentuk kepemimpinannya. Itu sebabnya rumah panjang yang besar (lou) sering disebut kampong besar atau benua. Berdasarkan pengertian ini lou sering kali berkonotasi dengan kampong atau benua.

Berdasarkan ukuran dan system kepemimpinan rumah panjang, masyarakat adapt Dayak Benuaq membedakan rumah panjang sekaligus model pemukiman masyarakat sebagai:

  1. Lou (lamin)
  2. Puncutn Lou / Puncutn Benua
  3. Puncutn Kutaq
  4. Tompokng
  5. Umaq (Huma / Ladang).

Tanaa Adeut (Tanah Ulayat - Tanah Adat)

sunting

Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan benda/barang adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Benuaq mengalami zaman yang paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang Benuaq dengan berdalih pada Undang-Undang terutama pada Undang-Undang Agraria. Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan Suku Dayak Benuaq dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah lagi dengan disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-perusahaan HPH. Namun menjadi keanehan bahwa Orang Dayak (Benuaq)lah yang menyebabkan degradasi hutan besar-besaran sebagai dampak system perladangan bergulir, yang disebut-sebut sebagai perladangan berpindah.

Berdasarkan ciri/status hutan dapat dibedakan atas:

  • Urat Batekng
  • Simpukng Munan (Lembo)
  • Kebon Dukuh
  • Ewei Tuweletn
  • Lati Rempuuq
  • Lati Lajah

Berdasarkan suksesi hutan dapat dibedakan atas:

  • Bengkar Bengkalutn – Bengkaar Tuhaaq (Hutan Primer)
  • Bengkaar Uraaq (Hutan Sekunder Tua; 15-35 tahun)
  • Urat Batekng / Batekng (Hutan Sekunder Muda ; 10-15 tahun)
  • Balikng Batakng (7-10 tahun)
  • Kelewako (2-3 tahun)
  • Baber (1-2 tahun)
  • Umaaq (huma/ladang) 0 – 1 tahun

Prosesi Adat Kematian

sunting

Prosesi adat kematian

sunting

Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat).

Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya.

Secara garis besar terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian:

  1. Parepm Api
  2. Kenyauw
  3. Kwangkay

Upacara saat kematian

sunting

Tindakan awal yang dilakukan para keluarga pada saat kematian :[4]

  1. Sebelum dianggap mati betul, keluarga akan memukul gong cepat-cepat sebagai tanda ada orang sakit parah. Bagi keluarga yang belum mengetahuinya, mereka akan diberitahukan dengan suara gong itu.
  2. Setelah dianggap mati/meninggal dunia, mereka akan memukul tambur dup-dup sebagai tanda bahwa orang itu telah mati. Memukul tambur tadi disebut neruak.
  3. Titi yaitu memukul sejumlah gong dengan irama silih berganti lambat-lambat. Titi berlangsung lama untuk memberitahukan para keluarga warga desa yang jauh, sebagai tanda penyertaan keluarga yaitu bersama arwah penunjuk jalan.
  4. Mayat ditutup sementara dengan kain lalu dipagari dengan kelambu mayat berwarna-warni dan ditambal kain berwarna-warni. Biasanya warna merah/hitam yang paling dominan. Lalu, keluarga menyiapkan air pencuci mayat. Para warga yang datang membantu dengan sukarela. Air dimasukkan ke dalam antang dicampur dengan bahan pewangi seperti jeruk; daun selasih; air kelapa muda; langir wakaai sejenis akar; mayang dari pinang; dan umbut teniq.
  5. Memandikan mayat yang dilakukan oleh keluarga terdekat mayat sementara yang lain memulai titi lagi. Lalu, mayat didudukkan di atas gong, di atas kepala dibentangkan kain putih yang telah dilobangi kecil-kecil sebagai saringan waktu menjatuhkan air. Mayat dilap agar kering dan bersih lalu dikenakan pakaian, baju dan celana.
  6. Neruhuq. Jika yang meninggal itu orang dewasa maka dilanjutkan dengan acara neruhuq yaitu doa kepada dewa sahabat, tangai tamui dan arwah leluhur agar mereka menjemput dan bila ia mati kena sihir supaya arwah membalasnya (tangan mayat menggenggam sebuah Mandau & daun biyowo) bersamaan dengan alat itu ada tombak, ayam jantan merah disatukan dengan Mandau.
  7. Matik, yaitu mencap mayat dengan darah ayam. Ambil sepotonh rotan ujungnya dibelah 4 lalu dibakar dan dicelupkan dalam darah ayam. Tempay yang dicap adalah : dahi mayat, pelipis kanan dan kiri, sepanjang tangan, di dada, di belakang dan dipaha/kakinya. Tujuan dari matik adalah pada waktu ia mati banyak dewa sahabat mengatakan ia mati, namun ia menyangkal bahwa ia pulang ke rumah leluhurnya. Lalu para dewa menunjuk tanda mati pada tubuhnya. Pada saat itu ia mengaku bahwa ia memang telah meninggal dunia dan ia memohon pada para dewa untuk mendoakan para keluarga si arwah agar mereka hidup baik, murah rezeki dan umur panjang.
  8. Mayat dibungkus dengan kain jika ada sampai 7 lapis, dengan bagian luar kain putih. Mayat diiikat, dagu mayat, kedua ibu jari, disatukan agar tidak renggang tetapi rapi. Setelah dibungkus diikat sampai tujah ikat dengan sobekan kain. Mayat ditutupi dengann kain lagi dan payung terbuat dari daun biru sejenis nipah.
  9. Papaat Buhur. Buhur ialah tali dari kulit kayu yang dikeringkan dan dibuat delapan simpul atau ikitan. Tali itu digantungkan, lalu sambil berdoa tali itu dibakar ujung bawahnya. Kita lihat sampai mana api itu mati. Jika api mati pada simpul pertama berarti dia meninggal karena umur sudah menentukan. Bila api mati pada tingkat kedua berarti dia mati karena melanggar aturan dalam hidupnya. Bila api mati pada tingkat ketiga maka ia mati karena disihir dengan sesama manusia. Bila api mati pada tingkat keempat maka ia mati karena kepohonan. Bila api mati pada tingkat kelima maka ia mati karena dewa sahabat (tangai tamui). Bila api mati pada tingkat pada tingkat keenam maka ia mati karena dewa air yaitu juwata. Bila api mati pada tingkat ketujuh maka ia mati karena dewa jin harimau (nayuq timang). Pada tempat api mati itu tukang memohon kepada para dewa dan arwah roh leluhur menuju jalan baru dan janganlah ia lengah dijalan, sebab ditengah jalan bernama saikng serentenapm ada hantu yang suka menyesatkan, inilah tanda dari keluarga mu yaitu sebuah tali, dan alat penuntun untuk menerangi arwah dijalan.
  10. Musyawarah keluarga. Para keluarga yang telah datang bermusyawarah bersama. Tahap pertama mencari kayu untuk lungun. Biasanya para keluarga/warga desa datang siap membawa alat untuk membuat lungun yaitu tempat dari sebuah batang kayu, dilubangi dan diberi tutup dengan rapi. Kaum wanita datang membawa sumbangan berupa beras, garam dan lainnya bila ada dan bila tidak ada mereka juga datang untuk menyatakan rasa dukacita mereka yang sangat mendalam. Pekerjaan dibagi-bagi, ada yang ikut membuat lungun, ada yang tinggal dirumah membuat tangga mayat/lungun, tempat membawa lungun ke atas rumah. Pokoknya hari itu sebagai hari berkabung orang sekampung. Biar hanya hadir, kehadiran warga menunjukkan rasa turut berdukacita, saling memperhatikan diwaktu terkena musibah dan saling membantu yang dalam bahasa suku Benuaq disebut “sempekat”. Setelah lungun selesai, lungun dimasukkan ke dalam rumah melalui tangga baru tadi.

Bahasa Benuaq

sunting

Bahasa Benuaq termasuk dalam dialek Bahasa Lawangan dengan kode bahasa lbx-ben.[1]

Dayak Benuaq Dayak Paser Indonesia
aro/aruh/iro ene itu
awat awat bantu/membantu
eso aso lagi
balo balo rambut
bayuq bayu baru
bawe bawe cewek/perempuan
belay Lou/belay rumah
bejagur bejagur berkelahi
boliq/moliq boli beli
boyas bias beras
bolupm bolum hidup
boruk boruk kera/beruk
botikng/otikng boting kenyang
oyat boyat berat
butukng buntung perut
bura bura putih
danum danum air
dawetn/dawatn daon daun
dotuq/Jelow dotu siang
lola dola lidah
pare Pare Padi
Liaw Liaw Roh
Bangkei Bangkei Mayat
Selelek ko Latak ko Peler kamu
Man Kuman Makan
Isep Ngisop Minum
Turi Turi Tidur
Uat Uat Bangun

Budaya Benuaq

sunting

Kain Ulap Doyo

Selain Keseniannya, Suku Dayak Benuaq, terkenal dengan kain khasnya yang disebut Ulap Doyo. Ini merupakan satu-satunya kelompok Dayak yang memiliki seni kerajinan kain. Dewasa ini kerajinan Ulap Doyo hanya dijumpai di Kecamatan Jempang.

  • Lagu:
  1. Bedone
  • Seni Suara:
  1. Bedeguuq
  2. Berijooq
  3. Ninga
  • Seni Berpantun:
  1. Perentangin
  2. Ngelengot
  3. Ngakey
  4. Ngeloak
  • Seni Tari:
  1. Tari Gantar
  2. Tari Ngeleway
  3. Tari Ngerangkaw
  1. Beliatn Bawo
  2. Beliatn Bawe
  3. Beliatn Sentiyu
  4. Beliatn Kenyong
  5. Beliatn Luangan
  6. Beliatn Bejamu
  • Tolak Bala / Hajatan / Selamatan:
  1. Nuak
  2. Bekelew
  3. Nalitn Tautn
  4. Paper Maper
  5. Besamat
  6. Pakatn Nyahuq
  • Perkawinan:
  1. Ngompokng
  • Upacara Adat Kematian:
  1. Kwangkey/Kuangkay
  2. Kenyeuw
  3. Parepm Api/Tooq

Lagu Daerah Dayak Benuaq

sunting

Organisasi Benuaq

sunting


Peta teritorial atau geografi suatu Suku tidak sama dengan geografi administrasi resmi pemerintah, Dayak Benuaq menarik karena kekerabatannya yang kental dengan Kalimantan Tengah. dalam konteks Benuaq, Bahasa (Ongau) Benuaq, (1.) Dayak Taboyan (Dialek Benuaq "Teboyatn), (2.) Dayak Lawangan, (3.) Dayak Dusutn) - yang secara administratib berada di Wilayah Kalimantan Tengah, dan Dayak Paser (WIlayah Kab. Penajam Paser Utara, dan Kab. Paser Gerogot (Kalimantan Timur) berbahasa sama dengan Dayak Benuaq, hal ini menjelaskan bahwa kami merupakan satu Suku sekalipun di kenal dalam penyebutan yang berbeda, menariknya lagi bahwa sebaran Suku ini jelas dalam tarikan Geografi nya, Baik Suku yang ada di Kalimantan Tengah, dan yang di Kalimantan Timur bisa disebutkan sebagai "titik besar" geografi dari satu Suku bahasa ini dari Sungai Teweh (Dayak "Tiwey) (Kalteng), ke Kutai Barat, Kutai Kertanegara, Samarinda, dan sampai ke Paser (PPU dan Tanah Gerogot) WIlayah Kaltim berada dalam satu garisan besar.

Dalam Dayak Benuaq sendiri terbagi dalam ciri besar, Yaitu Benuaq Bentiatn, Benuaq Ohookng, lalu Benuaq beneeq -Umum- (Benuaq Pahu, Benuaq Jelau, Benuaq Dayaaq, Benuaq Lingau, Benuaq tana mo, Benauq Lawa, Benuaq bila Bongan/ Benuaq Bawo). yang masih ditelusuri yaitu Suku Dayak Basap (Kutai Timur - Kaltim) yang memiliki bahasa yang cenderung sama dengan Dayak Benuaq. Tentang Suku Kutai dalam pandangan dan pendekatan peradaban dan Budaya Dayak Benuaq, benar bahwa Kutai secara dasar berkembang dari Dayak Benuaq, Kudungga Raja Kutai, dikenal dalam tradisi Benuaq sebagai Raja KUDUKNG, hanya Kutai yang menurut Dayak Benuaq sebagai Kutaq (Ngutaq-Benuaq) yang berarti Tuan Rumah/ atau pemilik kuasa. Kutai ini kemudian berkembang dengan asimilasi budaya Melayu sehingga membentuk Suku baru yang mengambil akar dari kerajaan Kutai yang lebih awal, tentu kerjaan Kutai yang lebih awal jelas apiliasi kepada ciri khas umum Dayak dan Nusantara yaitu Hindu Nusantara. hal ini perlu membuat kita menyadari kuatnya pengaruh Melayu dalam peradaban dunia ini. demikian juga yang terjadi pada separuh Suku Paser, bahwa sebagian dari Suku Paser terpengaruh oleh asimilasi sehingga membentuk Suku Paser dengan Budaya tertentu.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b http://multitree.org/codes/lbx-ben
  2. ^ [https://web.archive.org/web/20140518091008/http://books.google.co.id/books?id=fcOQX8cJtxUC&lpg=PA50&dq=dayak%20banjar&pg=PA50#v=onepage&q=dayak%20banjar&f=true Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine.
  3. ^ (Inggris) Michaela Haug, Poverty and Decentralisation in East Kalimantan, Centaurus Verlag & Media KG, ISBN 3-8255-0770-X, 9783825507701].
  4. ^ bpcbkaltim (2016-03-03). "DESKRIPSI MAKAM SUKU DAYAK BENUAQ KEL LAMBENG KEC MUARALAWA". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Kalimantan Timur (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-12-27. 

Pranala luar

sunting

Rujukan

sunting