Siti Noerbaja

film Hindia Belanda 1941

Siti Noerbaja (EYD: Siti Nurbaya) adalah film Hindia Belanda tahun 1942 yang disutradarai Lie Tek Swie. Ini merupakan film pertama yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Marah Roesli tahun 1922. Film ini dibintangi Asmanah, Momo, dan Soerjono, dan mengisahkan perjalanan hidup sepasang kekasih.

Siti Noerbaja
Iklan koran, Surabaya
SutradaraLie Tek Swie
ProduserTan Khoen Yauw
Berdasarkan
Sitti Nurbaya
oleh Marah Roesli
Pemeran
  • Asmanah
  • Momo
  • Soerjono
Perusahaan
produksi
Standard Film
Tanggal rilis
  • 1941 (1941) (Hindia Belanda)
NegaraHindia Belanda
BahasaIndonesia

Di Padang, sahabat lama Samsoelbahri dan Siti Noerbaja jatuh cinta dan berciuman di teras, tetapi dipisahkan orang tuanya. Samsoelbahri pergi menuntut ilmu ke Batavia (Jakarta), sedangkan Noerbaja dipaksa menikah dengan Datuk Meringgih agar ia mau menghapus utang ayahnya.

Dalam suratnya kepada Samsoelbahri, Noerbaja memberitahu bahwa mereka takkan bisa bersatu karena ia sudah menikah. Akan tetapi, setelah ia mengetahui sifat Meringgih yang keras, ia kabur ke Batavia untuk hidup bersama Samsoelbahri. Mereka jatuh cinta lagi, tetapi harus berpisah setelah Noerbaja mendengar kabar kematian ayahnya. Ia buru-buru pulang ke Padang dan dibunuh oleh tangan kanan Meringgih menggunakan makanan beracun. Setelah mengetahui kabar kematian Noerbaja, Samsoe seolah ingin bunuh diri.

Sepuluh tahun kemudian, Meringgih memimpin pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda untuk memprotes kenaikan pajak. Saat pemberontakan berlangsung, Samsoelbahri (sekarang tentara Belanda) bertemu Meringgih dan membunuhnya, tetapi ia sendiri terluka parah. Setelah Samsoe meninggal, jasadnya dikuburkan di sebelah makam Noerbaja.

Produksi

sunting
 
Cuplikan film Siti Noerbaja

Siti Noerbaja disutradarai Lie Tek Swie dan diproduseri Touw Ting Iem dari Standard Film. Film ini dibintangi Asmanah, Momo, Soerjono, A Thys, dan HA Rasjid. Film hitam putih ini direkam tahun 1941[1] dan diiklankan sebagai film pencak bergaya Padang.[2]

Siti Noerbaja adalah adaptasi pertama dari novel Sitti Nurbaya karya Marah Roesli tahun 1922.[1] Kritikus Indonesia Zuber Usman menulis bahwa buku ini terinspirasi oleh pengalaman patah hati si penulis setelah keluarganya menolak keputusannya untuk menikah dengan istri non-Minangkabau.[3] Buku ini adalah salah satu karya terlaris yang diterbitkan Balai Pustaka dan sebelumnya sempat diangkat ke panggung drama.[4][5] Lie Tek Swie sebelumnya menyutradarai dua film adaptasi, Njai Dasima tahun 1929 dan Melati van Agam tahun 1931.[6][7]

Rilis dan tanggapan

sunting

Siti Noerbaja dirilis pada akhir 1941[8] dan ditayangkan di Surabaya tanggal 23 JAnuari 1942.[2] Film ini adalah karya terakhir Lie bersama Standard Film. Ia kemudian keluar dari perusahaan. Henry L. Duarte menyutradarai film terakhir studio ini, Selendang Delima.[8]

Ceritanya telah difilmkan dua kali dalam bentuk sinetron. Sinetron pertama, tahun 1991, disutradarai Dedi Setiadi dan dibintangi Novia Kolopaking, Gusti Randa, dan HIM Damsyik.[9] Sinetron kedua, mulai tayang Desember 2004, disutradarai Encep Masduki dan dibintangi Nia Ramadhani, Ser Yozha Reza, dan Anwar Fuady; inilah seri TV yang memperkenalkan tokoh baru yang menjadi pesaing Siti Noerbaja.[10]

Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[11] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[12]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Filmindonesia.or.id, Siti Noerbaja.
  2. ^ a b Soerabaijasch Handelsblad 1942, (untitled).
  3. ^ Foulcher 2002, hlm. 101.
  4. ^ Foulcher 2002, hlm. 88–89.
  5. ^ Cohen 2003, hlm. 215–216.
  6. ^ Biran 2009, hlm. 99–100.
  7. ^ Said 1982, hlm. 142–143.
  8. ^ a b Biran 2009, hlm. 238.
  9. ^ Eneste 2001, hlm. 48.
  10. ^ KapanLagi 2004, broadcast.
  11. ^ Heider 1991, hlm. 14.
  12. ^ Biran 2009, hlm. 351.

Kutipan

sunting