Sistem tanda (bahasa Inggris: sign system) merupakan konsep semiotika bahasa-bahasa pada bidang linguistik. Kridalaksana dalam (Kushartanti, 2005) menulis bahwa bahasa merupakan sistem tanda. Bahasa selalu merepresentasikan sesuatu, dari yang abstrak sampai yang konkret[1]. Bahasa bisa menjadi tanda sesuatu yang abstrak misalnya senang, sedih, marah, kesal, dan lain sebagainya. Di sisi lain, bahasa juga merupakan tanda dari benda-benda nyata, seperti halnya kata pohon yang berarti tumbuhan dengan batang dan daun kayu. kata meja yang berarti sebuah mebel atau perabotan yang memiliki permukaan datar dan kaki-kaki sebagai penyangga.

Penanda dan Petanda Ferdinand de Saussure

sunting

Ferdinand de Saussure menerbitkan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics (1913). Dalam buku itu de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ferdinand de Saussure membagi tanda menjadi dua yaitu signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer. Maksud dari arbitrer yakni imaji bunyi dan konsep sebagai tanda bahasa berhubungan secara manasuka atau sewenang-wenang.

Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa terdiri dari sejumlah tanda yang terdapat pada jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Dengan demikian, bahasa sebagai sebuah sistem dapat dirtikan tercipta dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang. Misalnya, kata meja yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang meja dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan.

Analisis Semiotika Pierce

sunting

Dalam analisis semiotiknya, Pierce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok, yaitu qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisign adalah tanda-tanda berdasarkan karakteristik sifat. Sinsigns adalah tanda yang didasarkan pada tampilan yang benar-benar ada dalam kenyataan. Sinsigns adalah semua pernyataan individu yang tidak dilembagakan misalnya jeritan berarti rasa sakit, kejutan, dan kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode misalnya mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.[2]

Ciri-Ciri Tanda

sunting

Menurut Van Zoest (1993) terdapat lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat inter-pretatif. Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda.[3]

Hierarki Sistem Tanda

sunting

Hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna.[4]

Orientasi budaya sebagai anggota masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem bahasa dan sistem kode yang digunakan. Adanya kesadaran mengenai sistem bahasa, sistem kode dan penggunaannya, selain itu menjadi dasar dalam komunikasi antaranggota masyarakat bahasa itu sendiri. Pada kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, tentunya dilakukan identifikasi. Identifikasi dalam hal ini tidak terbatas pada tanda-tanda kebahasaan, tetapi juga untuk tanda berupa ang kuat dan khas, serta untuk konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya identifikasi ini, komunikasi menjadi sesuatu yang bermakna baik untuk penutur maupun bagi pendengar.

Referensi

sunting
  1. ^ Yuwono dan Lauder, Yuwono (2005). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 
  2. ^ Sartini, Ni Wayan (2007). "Tinjauan Teoritik Tentang Semantik" (PDF). Jurnal Filsafat. 
  3. ^ Aart, Van Zoest (1993). Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. 
  4. ^ Sartini, Ni Wayan (2007). "Tinjauan Teoritik Tentang Semantik" (PDF). Jurnal Filsafat.