Samaun Bakri (28 April 1908 – 10 Oktober 1948) adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia.[1] Samaun merupakan teman akrab dan utusan kepercayaan presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ia pernah bertugas sebagai Wakil Residen Banten.[2][3]

Samaun Bakri
Lahir(1908-04-28)28 April 1908
Belanda Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman, Hindia Belanda
Meninggal10 Oktober 1948(1948-10-10) (umur 40)
Indonesia Bukit Punggur, Way Kanan, Lampung
KebangsaanIndonesia Indonesia
PekerjaanWartawan, Wakil Residen Banten
Dikenal atas- Pejuang kemerdekaan Indonesia
- Kawan kepercayaan Soekarno
Suami/istriSiti Maryam
AnakAbdul Muis, Fuad S. Bakri, Farida Sirlan,
Orang tuaBagindo Abu Bakar
Siti Syarifah

Riwayat perjuangan

sunting

Pada awal 1926, Samaun muda bekerja di kantor Residen Padang, tetapi tidak lama kemudian ia keluar karena tidak suka dengan keangkuhan orang Belanda. Semangat anti-penjajahannya kemudian membuat ia menjadi aktivis di berbagai partai politik di Sumatera Barat, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Ia kemudian bergabung dengan ormas Muhammadiyah setelah partai-partai politik pergerakan dibubarkan pemerintah kolonial.[2]

Perjuangan Samaun juga dilakukan melalui media massa dengan menjadi wartawan surat kabar Persamaan pada tahun 1929. Ia mengkritik kebijakan pemerintah kolonial sehingga membuat kontrolir Pariaman, Spits, marah dan mengusir Samaun dari tanah kelahirannya melalui Wali Nagari Kurai Taji, Moehammad Noer Majolelo yang masih berkerabat dengannya.[2]

Samaun kemudian disarankan untuk meninggalkan kampung halaman, karena menurut pandangan Wali Nagari Kurai Taji itu Samaun akan menjadi orang besar kalau pergi meninggalkan kampung halaman. Moehammad Noer Majolelo kemudian memberikan bekal senilai tujuh ringgit sambil berkata: "Samaun, sebenarnya kau terlalu besar, sedang daerah ini terlalu kecil untuk perkembangan bakatmu. Lebih baik kau pergi ke kota besar. Ini uang sekadar biaya. Pergilah!. Saya aman dari semburan Spits dan kau bisa berkembang, mungkin nanti kau jadi orang besar".[2]

Dengan membawa istrinya, Siti Maryam, dan anaknya, Abdul Muis, Samaun kemudian memulai perantauannya menuju Medan, namun tak lama kemudian ia hijrah ke Bengkulu. Di kota ini Samaun aktif sebagai anggota Muhammadiyah dan sebagai wartawan pada surat kabar Sasaran. Ia kemudian mendirikan surat kabar Penabur setelah media sebelumnya dibreidel oleh pemerintah kolonial Belanda. Samaun juga pernah menjadi wakil majelis pemuda Muhammadiyah daerah Bengkulu.[2]

Semasa di Bengkulu inilah Samaun berperan sebagai pimpinan dalam penyambutan Soekarno ketika tempat pengasingannya dipindahkan ke Bengkulu dari Ende, Nusa Tenggara, pada 14 Februari 1938. Selanjutnya, ia pun berteman akrab dan kemudian menjadi orang yang sangat dipercaya oleh Soekarno.[2]

Ketika Jepang masuk dan menduduki wilayah Nusantara, Samaun menjadi pembantu KH Mas Mansoer, yang bersama Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara (Empat Serangkai) memimpin organisasi bentukan Jepang yang bernama Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Ia juga sempat menjadi anggota Jawa Hokokai, organisai bentukan Jepang lainnya.[2] Samaun merupakan salah seorang saksi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia bersama beberapa pejuang muda lainnya, seperti Sayuti Melik, B.M. Diah, Adam Malik, dan Sukarni.[2]

Setelah kemerdekaan, ia sempat menjadi pembantu Wali kota Jakarta Suwiryo. Ketika tentara Sekutu datang pasca kekalahan Jepang, Samaun dan keluarga hijrah ke Jawa Barat. Ia aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai wakil dari Jawa Barat, juga sebagai anggota Badan Pekerja KNIP, dan sempat pula menjadi sekretaris penjabat Gubernur Jawa Barat Mr Datuk Djamin merangkap anggota Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) yang memutuskan pembumihangusan kota Bandung pada 23 Maret 1946. Setahun kemudian Samaun menulis buku Setahoen Peristiwa Bandoeng untuk mengenang peristiwa yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api itu. Pada tahun 1947, Samaun dipercaya menjabat sebagai Wakil Residen Banten, yang merupakan bagian dari Jawa Barat.[2]

Misteri RI 002

sunting

Pada tahun 1948, dari Yogyakarta sebagai ibu kota negara ketika itu, Presiden Soekarno menugaskannya mengambil emas seberat 20 kg dari Cikotok, Banten, untuk membeli pesawat ke India. Setelah itu ia kemudian berangkat dengan pesawat Dakota RI 002 milik Bobby Earl Freeberg dari lapangan udara Gorda, Serang, menuju Tanjung Karang, Lampung. Dalam perjalanan dari Tanjung Karang menuju Bukittinggi sebelum ke India, pesawatnya rusak dan jatuh di tengah hutan di wilayah Lampung Tengah pada 1 Oktober 1948.[2][3][4]

Seorang pencari rotan menemukan bangkai pesawat tersebut 30 tahun kemudian, tepatnya pada 14 April 1978 di bukit Punggur, Lampung, lalu melaporkan penemuannya kepada Pemerintah Lampung Tengah. Semua kerangka jenazah penumpang dan awak pesawat berhasil ditemukan, kecuali kerangka Bobby Earl Freeberg. Kerangka Samaun bersama empat kerangka jenazah lainnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang pada 29 Juli 1978. Pada tahun 2002 ia dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra Utama oleh pemerintah Indonesia.[2][4][5][6]

Untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangannya, anaknya Fuad S. Bakri bersama Teguh Wiyono menulis buku dengan judul Samaun Bakri, Sang Jurnalis dan Misteri Jatuhnya RI 002. Buku yang diterbitkan oleh Rajawali Konsultan itu diluncurkan pada 20 September 2014 di Museum Teks Proklamasi, Jakarta.[7][8]

Kehidupan pribadi

sunting

Samaun Bakri lahir pada 28 April 1908 di Nagari Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman, Sumatera Barat, putra dari pasangan Bagindo Abu Bakar dan Siti Syarifah. Kakeknya dari garis ayah adalah Bagindo Tan Labiah, seorang dubalang Tuanku Imam Bonjol.[9]

Ia menempuh pendidikan menengah pertama di Vervolgschool, lalu di Sumatra Thawalib Padang Panjang. Selain itu, Samaun juga memperbanyak ilmunya dengan berbagai kursus, sepert kursus ilmu politik, bahasa asing, dan lainnya. Ia menikah tiga kali. Dengan istri pertamanya ia dikaruniai anak yang bernama Abdul Muis. Sedangkan istri ketiganya bernama Siti Maryam. Selain Abdul Muis, Samaun juga punya anak lainnya, diantaranya Fuad S. Bakri.[2]

Samaun juga berperan besar pada awal hubungan antara Soekarno dengan Fatmawati. Ketika Soekarno berada di Jakarta setelah bebas dari pengasingan di Bengkulu, Samaun diutus Soekarno untuk membawa pesan dan bingkisan untuk Fatmawati di Bengkulu. Ia bersama Abdul Karim Oei dan dr. Djamil kemudian juga berperan mengurus pernikahan Fatmawati dengan Soekarno pada 1 Juni 1943, yang diwakilkan teman dekatnya, opseter (pengawas) Sarjono. Setelah pernikahan itu, Samaun kemudian membawa dan mengawal Fatmawati dan rombongannya yang terdiri dari orang tua, serta paman dari ibu Fatmawati, Moh. Kancil, yang juga penjahit pakaian Bung Karno saat di Bengkulu, ke Jakarta.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ "Minang Saisuak #205 - Samaun Bakri: Pahlawan Nasional Putra Kuraitaji" Surya Suryadi - Singgalang, 11 Januari 2015. Diakses 28-04-2021.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m "Samaun Bakri, Utusan dan Kepercayaan Sukarno"[pranala nonaktif permanen] Majalah Historia, 07-10-2014. Diakses 28-04-2021.
  3. ^ a b "Yahya Ganti SH Sandang Datuk Tamin Alam, Generasi Ke-14, Bijo Raji Ulakan Tapakis" Diarsipkan 2014-12-31 di Wayback Machine. Korantransaksi.com, 17-11-2011. Diakses 31-12-2014.
  4. ^ a b "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Petit Kartodirdjo dan Bobby Freeberg" Kompas.com, 06-05-2009. Diakses 01-01-2015.
  5. ^ "Presiden Megawati Anugerahkan Penghargaan bagi Bapak Mertuanya"[pranala nonaktif permanen] Tempo.co, 08-11-2002. Diakses 01-01-2015.
  6. ^ "Samaun Bakri Ditetapkan Wartawan Perintis Kemerdekaan, Menyandang Gelar Bintang Mahaputra Utama" Diarsipkan 2014-12-31 di Wayback Machine. Matakepri.com, 31-08-2014. Diakses 31-12-2014.
  7. ^ "Samaun Bakri, Sang Jurnalis Pejuang" Wartatv.com, 23-09-2014. Diakses 01-01-2015.
  8. ^ "Peluncuran Buku Samaun Bakri"[pranala nonaktif permanen] Kominfo.go.id, 01-09-2014. Diakses 01-01-2015.
  9. ^ Salam, Abdul (2018-05-31). "Samaun Bakri: Nationalist Portrait in 1925-1948". Yupa: Historical Studies Journal. 2 (1): 44–54. doi:10.30872/yupa.v2i1.115. ISSN 2549-8754. 

Pranala luar

sunting