Raden Asnawi

Ulama Indonesia

Asy-Syaikh al-'Allamah Shahibul-fadhilah Haji Raden Muhammad Asnawi bin Abdullah Husnin al-Qudsi atau Raden Asnawi Kudus adalah seorang ulama kharismatik pendiri dan penggerak Nahdlatul 'Ulama[1] dari Kudus, Jawa Tengah.[2] Dalam aktivitas kesehariannya, Kiai Asnawi selalu istikamah dalam mengembangkan dakwah dan penanaman rasa nasionalisme yang tinggi.[3]

Raden Asnawi bin Abdullah
Raden Asnawi Kudus
NamaRaden Asnawi bin Abdullah
Nisbahal-Qudsi al-Jawi
Nama lainRaden Asnawi Kudus, Raden Haji Ilyas, Raden Ahmad Syamsyi
KebangsaanIndonesia Indonesia
EtnisJawa, Arab
ZamanAbad ke-19 hingga 20 Masehi
Wilayah aktifJawa
OrganisasiSarekat Islam, Nahdlatul 'Ulama
Karya yang terkenalKitab Fashalatan, Shalawat Asnawiyah
Mempengaruhi
IstriNyai Hj. Hamdanah
KeturunanZuhri, Azizah, Alawiyah

Jika dirunut silsilahnya, Kiai Asnawi masih merupakan keturunan ke-14 Sunan Kudus (Sayyid Ja'far Shadiq ) dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad Mutamakkin, Kajen, Pati.[4]

Biografi

sunting

Kehidupan awal

sunting

Raden Asnawi lahir pada tahun 1861 di desa Damaran, Kudus dengan nama Raden Ahmad Syamsyi.[4] Ia terlahir dari pasangan Haji Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah, keduanya merupakan pedagang konveksi yang cukup besar di kota Kudus.[5] Sejak kecil Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orang tuanya, dikenalkan pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut syariat Islam, Serta diajarkan berdagang sejak dini.[2]

Pada kisaran tahun 1876, orang tuanya pindah ke Tulungagung, Jawa Timur ketika Ahmad Syamsyi menginjak usia 15 tahun. Di sana, Abdullah Husnin mengajari anaknya berdagang dari pagi hingga siang hari.[4]

Pendidikan

sunting

Sejak kecil, Raden Asnawi sudah terlihat kegemaran dalam belajar dan melakukan perjalanan keilmuan. Pendidikan keagamaan perdana seperti ilmu tajwid dan penguasaan bacaan al-Qur’an diperoleh dari ayahnya. Ketika keluarganya pindah ke Tulungagung, Asnawi kemudian melanjutkan pendidikan agamanya di Pondok Pesantren Mangunsari.[6] Sebelum menunaikan ibadah Haji, ia kemudian berguru kepada Kiai Haji Irsyad Naib di kawasan Mayong, Jepara. Pada usia 25 tahun dia menunaikan ibadah haji yang pertama, dan berguru kepada ulama-ulama nusantara di Mekkah saat itu seperti Syekh Nawawi al-Bantani[1], Syekh Sholeh Darat as-Samarani (Semarang), Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi (Tremas, Pacitan), dan Sayyid Umar Syatha.[7]

Pergi haji

sunting

Pada usia 25 tahun Raden Asnawi menunaikan ibadah haji yang pertama, Sepulang dari haji pertamanya nama Raden Ahmad Syamsi kemudian diganti menjadi Raden Haji Ilyas. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya.[8]

Pada usia sekitar 30 tahun Raden Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat bermukim di tanah suci, namun ayahnya wafat di saat melakukan ibadah haji. Meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun (dari tahun 1891 - 1911[9]). Selama itu Raden Asnawi juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibu beserta adiknya. Ibunya wafat di Kudus sewaktu Raden Asnawi telah kembali ke tanah suci.

Keluarga

sunting

Raden Asnawi menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah (janda Syekh Nawawi al-Bantani[10]) di Mekkah dan dikaruniai 9 orang putra-putri[9].

Aktivitas

sunting

Mengajar

sunting

Sejak berusia 25 tahun, Raden Asnawi sudah mulai mengajar pada setiap Jumat Pahing sesudah salat Jumat. Raden Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Sunan Muria yang berjarak sekitar 18 kilometer dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang menanjak tersebut ditempuhnya dengan berjalan kaki. Raden Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat salat Subuh.[4]

Secara khusus Raden Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman Tafsir al-Jalalain setiap bulan Ramadan di Pondok Pesantren Bendan Kudus, Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam setiap bulan Ramadan di Tajuk Makam Sunan Kudus, Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan sesudah berjamaah subuh selama bulan Ramadan di Masjid Al Aqsha Manarat Qudus.[2]

Selain itu, selama mukim di Mekkah Raden Asnawi juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, di antara yang ikut belajar padanya antara lain adalah Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), Kiai Haji Bisri Sansuri (Pati/Jombang), Kiai Haji Dahlan (Pekalongan), KH. Shaleh (Tayu, Pati), Kiai Haji Chambali (Kudus), Kiai Haji Mufid (Kudus), dan Kiai Haji Ahmad Mukhit (Sidoarjo).[5]

Mendirkan madrasah dan pesantren

sunting

Pada tahun 1919, Raden Asnawi resmi mendirikan Madrasah Qudsiyyah.[11] Madrasah Qudsiyyah Menara Kudus merupakan madrasah salafiyah murni yang didirikan Raden Asnawi di kelurahan Kerjasan, Kota Kudus.[12]

Raden Asnawi juga mendirikan sebuah pondok pesantren bernama Raudlatuth Tholibin pada tahun 1927. Pesantren tersebut didirikan di atas tanah wakaf dari bapak mertuanya yang bernama Kiai Haji Abdullah Faqih di dukuh Bendan, kelurahan Kerjasan, kota Kudus. Pendirian pondok tersebut didukungan para saudagar dan para dermawan Muslim di Kudus, yang saat itu masih dalam masa penjajahan Belanda.[13]

Organisasi

sunting

Sarekat Islam

sunting

Pada masa sebelum kemerdekaan, Raden Asnawi pernah bergabung dengan pergerakan Sarekat Islam sebagai komisaris di Makkah. Raden Asnawi dekat dengan beberapa aktifis pergerakan, di antaranya Agus Salim, Oemar Said Tjokroaminoto, dan beberapa tokoh lainnya[14]. Sepulang dari Makkah, Raden Asnawi dipercaya sebagai penasihat Sarekat Islam cabang Kudus pada 1918.[15]

Nahdlatul Ulama

sunting
 
Pimpinan Muktamar NU tahun 1958. Dari kiri ke kanan: KH. Bisri Syansuri, KH. Muhammad Dahlan, KH. Abdulwahab Hasbullah, dan KH. Raden Asnawi.

Pada tahun 1924, Raden Asnawi ditemui oleh Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah untuk bermusyawarah guna membentengi pertahanan akidah Ahlussunah wal Jamaah dan menyetujui gagasan Kiai Wahab tersebut. Selanjutnya, bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 Masehi Raden Asnawi turut membidani lahirnya jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Raden Asnawi termasuk sebagai tokoh sentral pendirian Nahdlatul 'Ulama yang didirkan pada tahun 1926 tersebut[16].

Pemikiran

sunting

Akidah

sunting

Raden Asnawi menulis mengenai akidah (tauhid) dalam kitabnya yang berjudul Jawab Sualipun Mu'taqad Seked Miwah Sakdalilipun Saha Ringkesipun Pindah Ngangge Dalil Ijmali 'Aqli Karanganipun Kiyahi Raden Asnawi Kampung Bendan Kudus atau yang lebih dikenal di kalangan santri dengan sebutan Mu'taqad seket.[17]

Dengan merujuk pada pendapat Syekh Nawawi al-Bantani, Raden Asnawi menyebutkan bahwa terdapat empat tanda orang yang memiliki agama: Pertama, menjalankan ibadah dengan niat dan ikhlas. Kedua, menjalankan perintah yang wajib (fardu). Ketiga, menjauhi barang yang diharamkan, dan keempat, percaya sepenuhnya dengan akidah ahlussunnah wal jama'ah sesuai yang dijalankan oleh Imam Asy'ari dan Imam Maturidi[18].

Bagi Raden Asnawi, mempelajari ilmu tauhid bagi seorang Muslim hukumnya adalah Fardu Ain, yakni kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu. Lebih lanjut menurutnya, mengetahui dan mengenal (ma'rifat) Tuhan harus memakai dalil naqli (dasar-dasar yang berasal dari al-Qur'an dan Sunnah) dan dalil 'aqli (dari akal pikiran)[18].

Berkaitan dengan bidang fikih, Raden Asnawi menganut Mazhab Syafi'i dan kemudian menulis kitab Fashalatan. Kitab kecil tersebut memuat tuntutan praktis salat secara lengkap dengan bahasa Jawa dan aksara Pegon.[17] Bagi Raden Asnawi, masalah paling pokok dalam fikih ibadah adalah Salat. Ia dikenal luas sangat teguh dalam menegakkan prinsip-prinsip Islam, terutama yang berkaitan dengan ibadah.

Pada akhir 1930-an, Raden Asnawi terpaksa dihadapkan ke depan pengadilan atas tuduhan menghina orang yang tidak melakukan salat dengan menganggapnya sebagai kafir atau orang gila[19]. Oleh karena sang hakim merasa kasihan melihat Raden Asnawi yang sudah tua dan sangat berpengaruh dalam masyarakat Kudus, secara persuasif ia berusaha membujuknya agar mau mencabut kata-kata yang pernah dilontarkan dalam pidatonya. Akan tetapi, Raden Asnawi menolak dengan tegas bujukan hakim tersebut. Menurutnya, ia hanya sekadar menyampaikan apa yang ada dalam kitab fikih, yakni fala tajibu 'ala kafirin ashliyin wa shabiyin wa majnunin (shalat tidak wajib bagi orang kafir, kanak-kanak, dan orang gila). Dengan demikian, orang yang merasa tidak dibebani kewajiban salat berarti telah menyamakan dirinya sendiri dengan gila.[20] Ketika sang hakim akhirnya memutuskan bahwa Raden Asnawi dijatuhi hukuman denda 100 gulden, ia pun menolak karena ia merasa yakin bahwa ia tidak bersalah. Akhirnya, menghadapi sikap teguh pendirian dari Raden Asnawi, sang hakim kemudian merogoh uang dari kantongnya. Uang 100 gulden tersebut diserahkan kepada jaksa untuk diberikan kepada Raden Asnawi, selanjutnya dibayarkan sebagai denda yang telah diputuskan[21].

Tasawuf

sunting

Pemikiran tasawuf Raden Asnawi pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syariat dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah, akidah, fikih, dan tasawuf. Gagasan tasawuf Raden Asnawi pun tidak kemudian membentuk komunitas yang disebut tarekat, tetapi hanya sebatas ajaran tentang pembinaan akhlak melalui pengisian diri dengan akhlak yang baik (mahmudah) dan peniadaan diri dari akhlak yang jelek (madzmumah) dalam rangka mencapai kedekatan pada Allah (taqarrub dan ma'rifat) yang dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus melalui tata cara sebagaimana lazim terjadi dalam dunia tarekat. Hasil penelusuran pada apa yang ditulis dan dialami oleh Raden Asnawi, tidak pernah ditemukan bahwa ia menganut tarekat tertentu[22].

Corak pemikiran tasawuf Raden Asnawi termasuk dalam kategori 'amali (akhlaki). Hal ini atas dasar pertimbangan bahwa isi ajaran tasawuf Raden Asnawi, baik yang tercantum dalam karya maupun yang terlihat dalam kebiasaan dan keseharian, memberlakukan aturan yang ketat terhadap aturan syariat (fikih). Di samping itu, ia juga menerapkan latihan-latihan rohani dalam bentuk wirid dan dzikir tertentu[22].

  • Syari'atul Islam Lit Ta'limin Nisa' wal Ghulam (1934)
  • Kitab Fashalatan (1954)[17]
  • Kitab Soal Jawab Mu'takad Seket
  • Syair Nasionalisme Relijius
  • Shalawat Asnawiyah
  • Srengenge Nyata
  • Syiir Sekar Melathi
  • Syiir Nashihat

Raden Asnawi wafat pada tanggal 25 Jumadilakhir 1378 Hijriah, bertepatan dengan 26 Desember 1959 Masehi. Raden Asnawi meninggal dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putera, 23 cucu dan 18 cicit (buyut). Kabar wafatnya Raden Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI Abdul Wahab Hasbullah.[2]

Sampai saat ini, wafatnya Raden Asnawi selalu diperingati pada tanggal 24 atau 25 Jumadil Akhir setiap tahunnya di Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Kudus.[23][24]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b c Amin (2009), hlm. 95.
  2. ^ a b c d Amin, Syaifullah (2013-04-15). "KH Raden Asnawi". Website Resmi Qudsiyyah. Diakses tanggal 2017-09-13. 
  3. ^ Administrator (2017-06-08). "Belajar Bela Negara dari KH Raden Asnawi Kudus". balitbangdiklat.kemenag.go.id (dalam bahasa Inggris). Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-13. Diakses tanggal 2017-09-13. 
  4. ^ a b c d Amin, Syaifullah (2009-12-12). "Berjalan Kaki 18 Km. ke Gunung Muria untuk Mengajar". nu.or.id (dalam bahasa Inggris). NU Online. Diakses tanggal 2017-09-13. 
  5. ^ a b Aziz, Munawir (2016-01-27). "Raden Asnawi, Kiai Pejuang di Masa Kolonial". nu.or.id (dalam bahasa Inggris). NU Online. Diakses tanggal 2017-09-13. 
  6. ^ Islamindonesia.id (2017-03-25). "Kiai Haji Raden Asnawi Kudus dan Beragam Karomahnya". Islam Indonesia: Satu Islam untuk Semua. Diakses tanggal 2017-09-13. 
  7. ^ Said, SM (2017-03-10). "Karomah Kiai Haji Raden Asnawi". Sindonews.com. Diakses tanggal 2017-09-13. 
  8. ^ Hazami, Akrom (2016-06-14). "Karomah KH R Asnawi Kudus, Penjajah Mendadak Takut Saat Hendak Memenjarakannya". www.murianews.com. Muria News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-13. Diakses tanggal 2017-09-13. 
  9. ^ a b Amin (2008), hlm. 190.
  10. ^ Dematra (2011), hlm. 120.
  11. ^ Firdausillah, Fahri (2011-09-22). "Profil dan Sejarah Madrasah Qudsiyyah". Website Resmi Qudsiyyah. Diakses tanggal 2017-09-19. 
  12. ^ bin Abdul Muid, Madan (2016-12-10). "KHR Asnawi dan Narasi Sejarah Satu Abad Madrasah Qudsiyyah Kudus". Pustaka Compass. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-06-01. Diakses tanggal 2017-09-19. 
  13. ^ seputarkudus.com (2016-06-06). "Raudlatuth Tholibin, Ponpes yang Didirikan KHR Asnawi pada Masa Penjajahan Belanda". Seputar Kudus. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-19. Diakses tanggal 2017-09-19. 
  14. ^ Tholibin (2008), hlm. 3.
  15. ^ Ektanabe (2017-04-29). "Spiritualitas dan Mentalitas Gusjigang dalam Sarekat Islam: Refleksi Historis Gerakan Sarekat Islam Cabang Kudus (1912-1918)". ektanabe.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-23. Diakses tanggal 2017-09-19. 
  16. ^ Tholibin (2008), hlm. 4.
  17. ^ a b c seputarkudus.com (2016-08-03). "Kitab Fasholatan KHR Asnawi Hingga Kini Masih Dimalkan Masyarakat di Indonesia". Seputar Kudus. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-19. Diakses tanggal 2017-09-19. 
  18. ^ a b Amaruli (2012), hlm. 180.
  19. ^ Amaruli (2012), hlm. 184.
  20. ^ Isnaeni, Hendri F. (2017-02-18). "Sebut Kafir, Kiai Diadili". historia.id. Diakses tanggal 2017-09-20. 
  21. ^ Amaruli (2012), hlm. 185.
  22. ^ a b Amaruli (2012), hlm. 189.
  23. ^ Adib, Qomarul (2012-05-16). "Haul KH R. Asnawi Diperingati". NU Online. Diakses tanggal 2017-09-20. 
  24. ^ Sofiyanto, Aris (2017-03-24). "Ulama & Santri Gelar Tahlil Umum Peringati Haul Pendiri NU KH. Raden Asnawi Ke – 59". isknews.com. Diakses tanggal 2017-09-20. 

Bibliografi

sunting

Pranala luar

sunting