Prasen

wadah air suci dari zaman Jawa Kuno

Prasen (bahasa Jawa: prasèn; aksara Jawa: ꦥꦿꦱꦺꦤ꧀) adalah artefak berupa cawan air suci yang digunakan para pendeta Hindu zaman kerajaan Majapahit sebagai perlengkapan upacara keagamaan. Cawan ini umumnya berbahan perunggu atau kuningan, tetapi juga ditemukan artefak berbahan batu dan emas. Sisi luar prasen dihiasi dengan rangkaian gambar 12 zodiak (baris bawah) dan 11 figur mirip wayang dan satu gambar burung (baris atas). Pada dasar bagian dalam cawan, terdapat gambaran matahari dengan lidah-lidah api. Benda sejenis pernah atau masih digunakan dalam kebudayaan Tengger, Osing, dan Bali untuk upacara keagamaan.[1][2][3][4][5][6][7]

Zodiak-beker dari periode Jawa Timur (Majapahit), ditemukan oleh Charles Sayers di Bali. Tropenmuseum

Penamaan

sunting

Peneliti dan museum Belanda umumnya menyebut artefak ini sebagai Zodiakbeker;[8][9] sedangkan peneliti dan museum berbahasa Inggris menyebutnya Zodiac beaker.[1][10] Di Indonesia sendiri, beberapa museum dan peneliti menamainya sesuai dengan cara Belanda, yakni Zodiak beker.[11][12] Sebagian lainnya menerjemahkan kata Belanda beker[a] secara beragam, di antaranya cawan, bokor, piala, jambang dan bejana. Sementara itu, laman Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menyebut artefak ini dengan bejana Mintakulburuj.[3] Ada juga padanan dalam bahasa daerah tempat cawan sejenis ini pernah atau masih dipergunakan. Suku Tengger menyebut benda ini sebagai ꦥꦿꦱꦺꦤ꧀ Prasèn, kemungkinan diambil dari kata Sanskerta राशि rāśi yang mendapat impitan pa dan -an.[5][13] Kata prasèn sendiri masih dikenal dalam bausastra Jawa masa kini, seperti yang termaktub dalam kamus Jawa SEAlang[14] dan Javanese English Dictionary terbitan 2013.[15] Selain disebut prasèn, oleh sebagian kalangan cawan ini juga dikenal dengan sebutan siwamba, wadah air suci untuk membasuh kaki para dewa atau leluhur.[16][b] Suku Bali menamainya sebagai ᬲᬂᬓᬸ Sangku, sama seperti suku Osing.[17]

Ukuran

sunting
 
Koleksi zodiakbeker Tropenmuseum

Prasen dapat dikelompokkan menjadi tiga ukuran, yakni:[18]

  • Ukuran kecil: garis tengah atas 10-11,5 cm, garis tengah bawah 8-9,5 cm, tinggi 9-10,5 cm
  • Ukuran sedang: garis tengah atas 10-12,5 cm, garis tengah bawah 8,5-11 cm, tinggi 8,5-11,5 cm
  • Ukuran besar : garis tengah atas 12,5-14,5 cm, garis tengah bawah 10-12 cm, tinggi 10-12,5 cm

Sebaran

sunting

Stamford Raffles dalam Sejarah Pulau Jawa menuliskan bahwa cawan perunggu sejenis ini telah ia jumpai di beberapa tempat di Jawa pada masa itu.[10] Verhandelingen van het Bataviaasch Genotschap van Kunsten en Wetenschappen deel XLIX 1897 (Risalah Masyarakat Seni dan Sains Batavia) mencatat banyak zodiakbeker dibuat pada kisaran abad ke-14 di Jawa Timur.[9]

Tafsiran

sunting
 
Gambar jiplakan dari permukaan prasen, History of the Indian Archipelago vol. 1. (1820) oleh John Crawfurd

Baris bawah

sunting
 
Gambar jiplakan prasen yang dipamerkan dalam pameran temporer Museum Sonobudoyo "Angkasa Raya: Ruang & Waktu" 2020

Para peneliti umumnya sependapat bahwa dua belas gambar pada sisi luar prasen bagian bawah adalah sungguh rangkaian lambang rasi bintang. Lambang-lambang zodiak di sekeliling prasen digambarkan sesuai dengan urutan rasi bintang yang dilalui matahari setiap tahunnya. Akan tetapi, sebagian pengamat menafsirkan secara berbeda beberapa lambang zodiak versi Jawa Kuno yang lain daripada zodiak India/Yunani umum. Gemini yang biasanya dilambangkan sosok kembar, pada prasen digambarkan sebagai makhluk laut berupa mimi/belangkas, tetapi Raffles mendapati lambang tersebut sebagai kupu-kupu. Pises yang umumnya dilambangkan dengan dua ikan, pada prasen dilambangkan ikan berkepala gajah/berbelalai, tetapi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mendeskripsikannya sekadar ikan saja. Zodiak lainnya yang berbeda dari tradisi India/Yunani umum adalah kaprikornus yang digambarkan sebagai udang. Dua belas zodiak selengkapnya sebagai berikut:[3][10][19]

Uraian gambar[c] Talaga[d] Tengger[13] Sanskerta[20] Latin Indonesia
Kambing berjanggut Misa Mesaris मेष Meṣa Aries
Lembu jantan berkalung M'risa Mresaba वृषभ Vṛṣabha Taurus
Mimi M'ri Kogo Mrikaga मिथुन Mithuna Gemini
Ketam Calicata Malakata कर्क Karka Kanser
Singa Singha Grigeson सिंह Siṃha Leo
Gadis Canya Kangroso कन्या Kanyā Virgo
Timbangan Tula Tuluressi तुला Tulā Libra
Kalajengking Privata Triwitoressi वृश्चिक Vṛścika Skorpio
Busur panah Wanu Wanok धनुष Dhanuṣa Sagitarius
Udang Macara Mangkara मकर Makara Kaprikornus
Guci Cuba Kubo कुम्भ Kumbha Akuarius
Ikan Ména Menoh मीन Mīna Pises

Di atas rasi bintang sagitarius (busur dan panah) umumnya ada simbol ayam/burung, di atasnya lagi biasanya ada tahun pembuatan prasen dalam aksara Jawa Kuno.[3]

Baris atas

sunting
 
Gambaran 12 zodiak bersama dengan 11 sosok mirip wayang dan 1 unggas di atasnya, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Makna gambar-gambar mirip wayang pada prasen masih belum jelas juntrungannya. Belum ada penafsiran yang memuaskan untuk menggambarkan bagian ini.[6] Beberapa peneliti kiwari bahkan sengaja mengabaikan rangkaian figur misterius ini.[21] Kendatipun demikian, terdapat beberapa interpretasi ihwal sosok yang digambarkan pada sisi luar-atas prasen ini. Dalam diskusi Ilmiah Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia 1987, bentuk-bentuk bergaya wayang ini ditafsirkan sebagai dewa-dewa penjaga arah mata angin, lengkap dengan senjatanya. Dewa-dewa ini dikenal dengan sebutan Dewata Nawa Sangha atau sembilan dewa penguasa penjuru mata angin.[22][e] Pendapat lain mengidentifikasikannya sekadar gambaran "Batara Guru dan burung yang dikelilingi zodiak."[21] Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sosok-sosok di bagian atas merupakan dewa yang mengendalikan/memimpin masing-masing zodiak di bawahnya.[23] John Crawfurd dalam History of the Indian Archipelago vol. 1. mengatakan bahwa rangkaian gambar baris atas mewakili lambang-lambang bulan Jawa atau musim.[24]

Dalam adat orang-orang Osing di Cungking, Banyuwangi, gambar kedua belas figur tersebut dikenal sebagai gambaran dewa-dewa penyakit yang dikenal sebagai pangiwa yang nama masing-masing sosoknya dirahasiakan. Dewa-dewa ini bersemanyam di tempat-tempat keramat pada dua belas penjuru. Istilah pangiwa juga dikenal dalam masyarakat Bali sebagai 'sosok-sosok kiri' yang merupakan perlambang penyihir dan setan.[17]

Dasar dalam

sunting

Gambaran matahari pada dasar dalam prasen dianggap memiliki hubungan dengan pengukuran waktu. Penggunaannya sebagai kelengkapan peribadatan berhubungan dengan rasi bintang dan sankranti, yakni berpindahnya letak matahari dari satu rasi ke rasi lainnya. Dalam kaitannya dengan hal itu, sankranti masih dirayakan secara luas di India hingga hari ini. Akan tetapi, matahari bukanlah lambang yang muncul di semua artefak prasen. Beberapa menampilkan lambang kura-kura pada bagian dasarnya. Bentuk cangkangnya yang lonjong oleh sebagian peneliti dianggap mewakili bentuk orbit planet-planet. Di contoh lainnya, terdapat gambaran bunga dengan empat kelompak yang dianggap sebagai perlambangan dari empat saudara spiritual dengan rasa sejati sebagai pusatnya.[6]

Penggunaan

sunting

Ditemukannya prasen hingga ke pelosok memberikan gambaran bahwa Majapahit memiliki standardisasi tata cara dan perlengkapan ritual yang kuat. Persebarannya yang luas juga membuktikan kekuatan pusat pemerintahan Majapahit dalam menciptakan suatu praktik keagamaan yang konsisten/resmi atau paling tidak mendapatkan pengakuan dari daerah-daerah kekuasaannya yang beraneka ragam sebagai sumber keabsahan spiritual. Hal ini juga membuktikan bahwa praktik peribadatan yang dilakukan oleh pendeta-pendeta di daerah berada dalam kendali istana Majapahit.[25] Hal ini dilakukan Majapahit dalam rangka mempersatukan masyarakat yang bersuku-suku dengan kepercayaan yang beraneka ragam di bawah satu kesatuan negara.[26] Meski penggunaan prasen masih bisa dijumpai hari ini di Tengger, Osing, dan Bali, tetapi hal ini tidak menyediakan banyak petunjuk tentang bagaimana sebenarnya prasen digunakan pada masa Majapahit.[6]

Tengger

sunting
 
Suku Tengger menggunakan prasen ketika upacara keagamaan di Lautan Pasir, Bromo, sekitar 1915
 
Melasti suku Tengger tahun 2018 tampak tidak menggunakan prasen sebagai wadah air suci.

Pendeta-pendeta dalam masyarakat Tengger masih menggunakan prasen hingga hari ini, khususnya pada upacara Kasada. Kebanyakan prasen yang ditemukan di masyarakat Tengger bertahun 1243 dan 1352 Saka (1321-1440 Masehi), yakni masa-masa keemasan Majapahit.[27][28] Prasen digunakan untuk mewadahi air suci yang akan dipercikkan pada sesajian dan sebagainya.[29] Meski demikian, prasen buatan yang lebih baru tidak memiliki ukiran tahun lagi di atas lambang burung,[6] dan bahkan telah tergantikan oleh jenis cawan lainnya yang memiliki lambang berbeda atau tanpa hiasan sama sekali.

Dalam pengamatannya terhadap ritual di daerah Cungking, tidak ada orang yang menyadari bahwa cawan tersebut adalah prasen yang juga digunakan dalam kebudayaan Tengger dan tidak ada pula yang menyadari bahwa tradisi tersebut berkaitan dengan agama Hindu saat ini atau tradisi pra-Islam dahulu kala. Hubungan pengetahuan antarzamannya telah terputus.[17]

Prasen digunakan dalam ritual penyembuhan melawan penyakit atau kekuatan jahat. Prasen ditelakkan di tangan kiri dan diputar perlahan untuk melawan balik dewa-dewa penyakit sambil lirih merapal nama masing-masingnya.[17]

Cawan dengan hiasan zodiak juga ditemukan di pura daerah Bungkulan, Buleleng, yang dipercaya diberikan oleh pihak Pura Jati. Para pendeta Pura Jati dahulunya berkewajiban untuk menentukan awal permulaan tahun, sebagaimana banyak kebudayaan agraris lainnya, bersamaan dengan terbitnya gugusan bintang Pleiades. Para pendeta ini mengandalkan pengamat bintang yang diposisikan di dekat pantai utara pulau Bali di mana langitnya jarang mendung. Begitu para pengamat bintang mendapati Pleiades terbit, mereka mengirim utusan ke Pura Jati. Kemudian pihak Pura Jati mengadakan perayaan besar untuk menyambut tahun baru dan musim tanam.[30]

Sebagian orang Bali juga mewariskan prasen ke keturunannya sebagai benda pusaka keluarga.[1]

Koleksi

sunting

Koleksi prasen salah satunya disimpan di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Prasen adalah salah satu koleksi unggulan yang dimiliki museum tersebut.[31] Artefak perunggu ini berasal dari Tengger dan diperkirakan dibuat pada era Majapahit abad ke-14 atau ke-15 M.[32]

Prasen lainnya disimpan di Museum Talaga Manggung. Cawan ini berbahan perunggu dan memiliki tinggi 111 mm, diameter atas 144 mm dan diameter bawah 133 mm.[33] Di Indonesia, selain Museum Talaga Manggung dan Sonobudoyo, prasen juga tersimpan di Museum Nasional Indonesia sebanyak 10 buah dan di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.[3]

Beberapa koleksi prasen juga masih disimpan di Tropenmuseum dan Nationaal Museum van Wereldculturen, Belanda.[34][35] Beberapa artefak prasen juga tersimpan di British Museum, Inggris, Los Angeles County Museum of Art dan Honolulu Museum of Art, Amerika Serikat.[36][37]

Sejumlah prasen asal Indonesia bisa dengan mudah ditemukan dijual atau dilelang di beberapa situs daring barang antik internasional, di antaranya Deutscher and Hackett, Veiling Catawiki, Bertolami Fine Arts, Find Lots Online, Trocadero hingga balai lelang Christie's dengan harga yang bervariasi.[38][39][40][41][42][43]

Perbandingan

sunting
 
Permukaan wadah air suci gereja Santo Agustinus memperlihatkan gambar zodiak dan kegiatan pertanian.

Contoh penggambaran zodiak pada wadah air suci juga ditemukan di Inggris. Wadah air pembaptisan utama di gereja Santo Agustinus, Brookland, Inggris, berkisar tahun 1200 Masehi, menampilkan lambang 12 zodiak pada sisi atas dan gambaran kegiatan pertanian yang lazim dilakukan tiap bulannya pada sisi bawah. Kegiatan-kegiatan yang digambarkan seperti mencangkul, menanam, dan memanen.[44][45]

 
Ornamen Kumudawati, Pura Mangkunegaran

Penggambaran 12 tanda perbintangan Jawa Kuno seperti yang tertera di prasen-prasen zaman Majapahit juga menginspirasi ornamen Kumudawati yang menghiasi langit-langit Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran, Surakarta. Dalam ornamen Kumudawati, terdapat lukisan kedua belas lambang perbintangan, delapan atribut dewa, dan dua belas kepala kala yang mengelilingi delapan bidang bujur sangkar di tengahnya.[47]

Galeri

sunting

Dokumentasi penggunaan

sunting

Koleksi museum

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ kata beker sebenarnya sudah masuk KBBI dengan makna serupa, tetapi berhomofon dengan beker yang berarti jam alarm."Hasil Pencarian - KBBI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  2. ^ Siwamba dalam Wiktionary bahasa Jawa dan Kamus Bahasa Jawa bermakna air kehidupan.
  3. ^ berdasarkan artikel dalam laman situs Pusat Penelitian Arkeologi Indonesia.
  4. ^ berdasarkan catatan Raffles tentang cawan Zodiak Talaga, kemungkinan besar dieja dengan cara Inggris.
  5. ^ Pendapat ini patut dipertanyakan karena figur yang ditampilkan ada 12, bukan 9.

Lihat juga

sunting

Daftar pustaka

sunting
  1. ^ a b c Scheurleer, Pauline Lunsingh (1988). "Ancient Indonesian Bronzes; A Catalogue of the Exhibition in the Rijksmuseum Amsterdam with a General Introduction": 45–46. 
  2. ^ Griffiths, Arlo. "Griffiths & Lunsingh Scheurleer 2014 Ancient Indonesian Ritual Utensils with Inscriptions: Bells and Slitdrums". Arts Asiatiques 69 (dalam bahasa Inggris). 
  3. ^ a b c d e "Mintaqulburuj". arkenas.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  4. ^ P. Lunsingh Scheurleer - M.J. Klokke, Ancient Indonesian Bronzes, Leiden 1988, hal. 45.
  5. ^ a b Rangkuti, Nurhadi. "Benda-benda Upacara Kematian pada Masa Indonesia Kuno" dalam Prosiding Analisis Hasil Penelitian Arkeologi 1987: Religi dalam Kaitannya dengan Kematian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal.49-58
  6. ^ a b c d e Casparis, J. G. De (1978). Indonesian Chronology (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 9789004057524. 
  7. ^ Yahya, Farouk (2015-10-21). Magic and Divination in Malay Illustrated Manuscripts (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-30172-6. 
  8. ^ Drewes, Gerardus Willebrordus Joannes (1946). Eenvoudig Hedendaagsch Javaansch Proza (dalam bahasa Belanda). Brill Archive. 
  9. ^ a b Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Museum of Comparative Zoology (1779). Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen. Batavia : Egbert Heemen. 
  10. ^ a b c Thomas Stamford Raffles. The History of Java (dalam bahasa English). 
  11. ^ Pameran ragam hias tradisional dari mana kemasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Permuseuman. 1988. 
  12. ^ Retno, Devita (2019-05-06). "Sejarah Museum Sonobudoyo Yogyakarta Beserta Koleksi". Sejarah Lengkap (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-09-23. 
  13. ^ a b Suyono, Capt R. P. (2009-01-01). Mistisisme Tengger. Lkis Pelangi Aksara. ISBN 9789791283823. 
  14. ^ "SEAlang Library Javanese Lexicography". sealang.net. Diakses tanggal 2021-02-25. 
  15. ^ Dr, Stuart Robson; Wibisono, Singgih (2013-02-05). Javanese English Dictionary (dalam bahasa Inggris). Tuttle Publishing. ISBN 978-1-4629-1061-8. 
  16. ^ Sukmawan, Sony; Rizal, Maulfi Saiful; Nurmansyah, M. Andhy (2018-09-30). Green Folklore. Universitas Brawijaya Press. ISBN 978-602-432-561-9. 
  17. ^ a b c d Beatty, Andrew; Beatty, British Academy Postdoctoral Fellow Andrew (1999-04-08). Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 9780521624732. 
  18. ^ Gentur Wisnubaroto. 1990. Fungsi dan Peranan Zodiakbeker dalam Masyarakat Tengger (Skripsi). Ilmu Arkeologi, Fakultas Sastra UGM.
  19. ^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles : particularly in the government of Java, 1811-1816, and of Bencoolen and its dependencies, 1817-1824 : with details of the commerce and resources of the Eastern archipelago, and selections from his correspondence. London : J. Murray. 
  20. ^ Dalal, Roshen (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide (dalam bahasa Inggris). Penguin Books India. ISBN 9780143414216. 
  21. ^ a b Irina R. Katkova. Mountains in Javanese Sacral Topography. Hal. 441
  22. ^ Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. 1987. Diskusi Ilmiah Arkeologi II: Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hal.205
  23. ^ Peter Worsley, S. Supomo, Thomas Hunter and Margaret Fletcher†: Mpu Monagua's Sumanasāntaka: An Old Javanese Epic Poem, its Indian Source and Balinese Illustrations. (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Biblioteca Indonesica 36.) xviii, 714 pp. Leiden and Boston: Brill, 2013. €155. ISBN 978 90 04 25203 5.
  24. ^ Crawfurd, John. History Of The Indian Archipelago Vol. 1. 
  25. ^ Hall, Kenneth (1996). "Ritual Networks and Royal Power in Majapahit Java". Archipel. 52 (1): 95–118. doi:10.3406/arch.1996.3357. 
  26. ^ Ristvet, Lauren (2015). Ritual, Performance, and Politics in the Ancient Near East (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 9781107065215. 
  27. ^ Yuliati, Yayuk (2011-04-12). Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah Pegunungan Tengger. Universitas Brawijaya Press. ISBN 978-602-8960-69-4. 
  28. ^ Hartono, Tuji (2019-10-19). "Menyelami Sejarah Tengger (2)". WartaBromo. Diakses tanggal 2021-02-25. 
  29. ^ Djoko (1980). Gunung Bromo dan Pegunungan Tengger: (untuk sekolah lanjutan tingkat pertama). Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  30. ^ Hauser-Schäublin, Brigitta (2005). "Temple and King: Resource Management, Rituals and Redistribution in Early Bali". Royal Anthropological Institute. 
  31. ^ Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. (2014). Koleksi Unggulan Museum Yogyakarta. Yogyakarta, Indonesia: Penulis.
  32. ^ Admin. "Museum Sonobudoyo – Malioboro Pos". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-26. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  33. ^ Talagamanggung, Museum (2015-05-04). "MUSEUM TALAGAMANGGUNG: CAWAN / WADAH AIR SUCI KONO "ZODIAK TALAGA"". MUSEUM TALAGAMANGGUNG. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  34. ^ "NMVW-collectie". collectie.wereldculturen.nl. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  35. ^ "Collectie Nederland: Musea, Monumenten en Archeologie". data.collectienederland.nl. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  36. ^ "Gallery | Indonesia by The British Museum Images stock photo and image search". British Museum Images (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-07-26. 
  37. ^ "Zodiac Beaker with Lid | LACMA Collections". collections.lacma.org. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  38. ^ "TENGGER MOUNTAINS, EAST JAVA, possibly 14th-15th century | Deutscher and Hackett". www.deutscherandhackett.com. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  39. ^ "Zodiac beker met wayang motieven Bali Indonesia". 
  40. ^ "A COPPER ALLOY ZODIAC BEAKER Indonesia 11,5 x 15 ... - Bertolami Fine Arts". auctions.bertolamifinearts.com. Diakses tanggal 2019-07-26. 
  41. ^ "Zodiac Holy Water Beaker (Prasen), Possibly 14th–15th Century". Find Lots Online. 
  42. ^ "Bronze Majapahit Zodiac Beaker (item #1371904)". Trocadero. Diakses tanggal 2019-07-26. [pranala nonaktif permanen]
  43. ^ "a javanese bronze zodiac beaker , 14TH CENTURY". www.christies.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-09-14. 
  44. ^ Torrens, HarrietM Sonnede (2017-07-05). The Visual Culture of Baptism in the Middle Ages: "Essays on Medieval Fonts, Settings and Beliefs " (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-351-53965-4. 
  45. ^ "Brookland". www.greatenglishchurches.co.uk. Diakses tanggal 2021-02-25. 
  46. ^ Analisis hasil penelitian arkeologi I, Plawangan, 26-31 Desember 1987: religi dalam kaitannya dengan kematian : proceedings. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. 
  47. ^ 粤港澳大湾区数字经济研究院(福田). "[PDF] Simbol Zodiak pada Motif Ornamen Kumudawati Pura Mangkunenagaran-论文阅读讨论-ReadPaper - 轻松读论文 | 专业翻译 | 一键引文 | 图表同屏". ReadPaper论文阅读平台. Diakses tanggal 2023-12-29.