Pesantren Tegalsari

sekolah di Indonesia
(Dialihkan dari Pondok Tegalsari)

Pesantren Tegalsari atau Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari adalah salah satu pesantren bersejarah di Indonesia yang terletak di desa Tegalsari, kecamatan Jetis, kabupaten Ponorogo pada abad ke-17 sampai abad ke-19. Pesantren ini didirikan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari. Pesantren ini memiliki ribuan santri yang berasal dari seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Di antara santri-santrinya yang terkenal adalah Pakubuwono II, Ranggawarsita, Pangeran Diponegoro, dan H.O.S. Cokroaminoto.[1][2]

Sejarah

sunting

Pada Awalnya tahun 1669 Kiai Ageng Muhammad Besari melakukan Babat alas di wilayah timur sungai Jetis dengan dibangunnya sebuah masjid di Coper, tahun 1680 Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari resmi didirikan, selanjutnya tahun 1724 didirikannya masjid Kedua.tahun 1747 Kiai Ageng Muhammad Besari meninggal dunia, kepemimpinan pondok diteruskan ke putra dan cucunya dengan jumlah Santri 3.000 orang setiap tahunnya.[1]

Dalam sejarahnya, Pesantren Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kiai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pesantren ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini.

Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Pakubuwono II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Keraton Kartasura terjadi Pemberontakan Tionghoa-Jawa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, seorang sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Pakubuwono II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Pakubuwono II berserah diri kepada Kiai Ageng Muhammad Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kiai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakur dan bermunajat kepada Allah, penguasa dari segala penguasa di semesta alam.

Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kiai Besari, Allah mengabulkan doa Pakubuwono II. Api pemberontakan akhirnya reda. Pakubuwono II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.[1]

Pemimpin pesantren

sunting

Berikut adalah para pemimpin Pesantren Tegalsari dari tahun 1742–1964:[3]

Keberadaan pesantren ini berawal dari Kiai Ageng Muhammad Besari yang membangun pertapaan di hutan lebat yang membentang dari kaki Pegunungan Wilis sampai ke wilayah dataran Ponorogo.[4] Di sana ia hidup menyendiri dan mengabdikan diri pada Tuhan. Tak lama, rekan seimannya datang untuk berguru padanya. Jumlah pengikutnya berangsur-angsur bertambah dan berkembang. Pertapaan tersebut kemudian berubah menjadi sebuah desa bernama Tegalsari.[5]

Sekitar tahun 1742, Tegalsari diangkat sebagai desa perdikan oleh Pakubuwono II. Kiai Ageng kemudian mendirikan sebuah masjid dan tempat tinggal. Lambat laun, kompleks ini bertransformasi menjadi pesantren yang terkenal. Kiai Ageng meninggal pada usia lanjut sekitar tahun 1773.[6] Namun, ada pula yang berpendapat ia meninggal pada tahun-tahun sebelumnya yaitu 1747 atau 1760.[4]

Posisi pemimpin pesantren digantikan oleh putra sulung Kiai Ageng Muhammad Besari yaitu Kiai Ilyas, yang menjabat dari 1773–1800.[7] Kiai Ilyas sangat meneladani langkah ayahnya. Ia bekerja keras mengembangkan pesantren hingga kematiannya pada 1800. Ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Kiai Yahya.[8]

Kiai Yahya

sunting

Di bawah kepemimpinan Kiai Yahya, Pesantren Tegalsari merosot dengan tajam. Pendidikan diabaikan dan para santri hampir secara eksklusif digunakan untuk kepentingan pribadi kiai. Para santri itu diperintah untuk menanam kedelai atau memotong padi. Tindakannya kemudian diketahui oleh pihak Keraton Solo dan ia pun diberhentikan pada 1820, karena gagal melaksanakan amanat.[8]

Kiai Kasan Besari

sunting

Posisi Kiai Yahya digantikan oleh adiknya yang bernama Kiai Kasan Besari.[8] Sebelumnya, pada 1799, Kiai Kasan Besari menikah dengan sepupu Pakubuwono IV. Sang raja memberikan Desa Karanggebang sebagai apanase dan Desa Pohlimo sebagai mahar. Namun, dengan syarat, desa-desa tersebut secara eksklusif digunakan untuk kebutuhan sang raja dan ahli warisnya.[9]

Pada 9 Januari 1862, Kiai Kasan Besari meninggal dalam umur 100 tahun. Ia meninggalkan 10 anak dan 44 cucu. Jenazahnya dimakamkan di permakaman keluarga pada 10 Januari. Pemakamannya dihadiri oleh para kepala desa dan ulama; khalayak yang hadir berjumlah sekitar tiga ribu orang.[10]

Kiai Kasan Anom

sunting

Pada 1862, putra tertua Kiai Kasan Besari, yaitu Kiai Kasan Anom menggantikan posisi ayahnya. Sementara itu, diangkat pula Raden Hasan Ripangi, suami putri Kiai Kasan Besari dan Raden Ayu Kasan Besari, sebagai kepala desa di Pohlimo dan Karanggebang. Pada 1873, Kiai Kasan Anom meninggal dan digantikan oleh adiknya, Kiai Hasan Kalipah yang menjabat dari tahun 1873–1883.[11]

Setelah Kiai Hasan Kalipah, posisi pemimpin berturut-turut diduduki oleh Kiai Kasan Anom II (1883–1903), Kiai Kasan Anom III (1903–1909), Kiai Moh. Ismangil (1909–1926), Kiai Iksan Ngalim (1926–1931), Kiai Ahmad Amin (1931–1960), dan Kiai Al Yunani (1960–1964).[3]

Referensi

sunting
  1. ^ a b "Sejarah Berdirinya Masjid Tegalsari". Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Juli 2011. Diakses tanggal 4 Agustus 2011. 
  2. ^ "Ajarkan Sejarah dengan Lengkap, Jangan Ditutup-tutupi". nu.or.id. 10 April 2017. Diakses tanggal 30 Oktober 2019. 
  3. ^ a b Reinhart 2021, hlm. 363.
  4. ^ a b Reinhart 2021, hlm. 334.
  5. ^ Reinhart 2021, hlm. 335.
  6. ^ Reinhart 2021, hlm. 337.
  7. ^ Reinhart 2021, hlm. 337–338.
  8. ^ a b c Reinhart 2021, hlm. 338.
  9. ^ Reinhart 2021, hlm. 339.
  10. ^ Reinhart 2021, hlm. 340.
  11. ^ Reinhart 2021, hlm. 341.

Daftar pustaka

sunting

Lihat pula

sunting