Politik Minangkabau


Politik Minangkabau adalah suatu sistem politik masyarakat Minangkabau yang telah berkembang sejak berabad-abad lalu. Sistem ini berlandaskan kepada dua sistem adat di Minanga, yakni sistem Koto Piliang serta Bodi Caniago.[1] Dalam perkembangannya, kedua sistem yang bertolak belakang ini melahirkan sistem politik Minangkabau yang berlandaskan demokrasi, egalitarian, dan keadilan sosial.

Istana Pagaruyung, simbol politik tertinggi kerajaan Minangkabau.

Di Malaysia, sistem politik dan adat yang menganut sistem Koto Piliang dikenal dengan adat Temenggong. Sedangkan sistem politik dan adat yang menganut sistem Bodi Caniago disebut dengan adat Perpatih.[2] Sistem Perpatih hanya berlaku di Negeri Sembilan dan bagian utara Malaka saja, sedangkan kerajaan-kerajaan lainnya menganut sistem Temenggong.[3] Di Indonesia, sistem politik Minangkabau yang mengedepankan demokrasi, persamaan hak, dan keadilan sosial itu dirangkum dalam dasar negara Pancasila.[4]

Filosofi

sunting

Filosofi politik orang Minang berakar dari kebudayaan Minangkabau yang telah dikembangkan oleh dua orang tokoh legendaris, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan menyusun sistem adat Koto Piliang yang memiliki filosofi "berjenjang naik bertangga turun" (bajanjang naiak batanggo turun). Dalam nagari-nagari yang menganut sistem politik ini dikenal adanya kedudukan penghulu yang bertingkat-tingkat. Dari penghulu andiko, penghulu suku, sampai penghulu pucuk. Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuk nagari yang tertuang dalam filosofi adat "berpucuk bulat berurat tunggang" (bapucuak bulek, baurek tunggang). Dalam sistem ini gelar pusaka (penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal.[5]

Tokoh legendaris lainnya Datuk Perpatih Nan Sebatang, menyusun sistem adat Bodi Caniago dengan filosofinya "membersit dari bawah" (mambasuik dari bawah). Sistem ini merupakan anti-tesis dari konsep Koto Piliang yang hierarkis. Konsep Bodi Caniago lebih mengedepankan konsep berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam nagari-nagari yang menerapkan sistem Bodi Caniago, kedudukan semua penghulu memiliki derajat yang sama. Filosofinya "duduk sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi" (duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi).[6]

Karena adanya pertentangan dari dua sistem adat dan politik di Minangkabau itu, maka timbulah suatu sintesis politik yang mengambil corak kedua-duanya itu. Sehingga dalam perkembangannya, politik Minangkabau bisa menerapkan sistem Koto Piliang yang hierarkis beserta sistem Bodi Caniago yang egaliter. Ketegangan di antara dua kubu sistem politik itu merupakan salah satu dikotomi yang memelihara keseimbangan di masyarakat.[7]

Untuk konsep kepemimpinan politik, masyarakat Minangkabau tidak memposisikan pemimpinnya sebagai orang yang dikultuskan. Sehingga ketika pemimpin itu tidak amanah atas jabatannya ia bisa disanggah ataupun diganti melalui dewan adat. Hal ini berdasarkan kepada filosofi Minangkabau yang menempatkan pemimpin itu "ditinggikan seranting didahulukan selangkah" (ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah). Dengan filosofi kepemimpinan politik seperti ini, Minangkabau kemudian banyak melahirkan pemimpin sejati yang rendah hati dan penuh pengabdian karena ia memahami bahwa ia hanya ditinggikan seranting serta didahulukan selangkah oleh masyarakatnya.[8] Atau juga berdasarkan kepada filosofi "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah" (rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah). Adanya dewan adat yang terdiri dari para penghulu dan ninik mamak di seluruh nagari, menciptakan sistem check and balances dalam politik Minangkabau.

Sejak masuknya Islam ke Sumatra, sistem politik Minangkabau diperkuat oleh tiga unsur (triumvirat) yang disebut Tigo Tungku Sajarangan. Triumvirat ini terdiri dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai, dan kaum ulama.

  • Kaum Adat diwakili oleh beberapa orang penghulu dari suku/klan yang ada dalam sistem adat Minangkabau, seperti suku Koto dan Piliang, Bodi dan Caniago serta berbagai suku pecahan baru lainnya. Setiap suku/klan diwakili oleh beberapa orang datuk yang merupakan kepala kaum atau keluarga besar.
  • Kaum Ulama diwakili oleh orang-orang yang menguasai ilmu agama Islam, tapi tidak memegang posisi dalam struktur adat.
  • Kaum Cerdik Pandai diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya pengetahuan yang luas, pintar dan pandai, tapi juga tidak memegang posisi dalam struktur adat.

Ketiga unsur ini saling berinteraksi, berdialektika, bahkan juga berkonflik dalam suatu sistem politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan lembaga ini bersifat otonom tanpa harus meminta persetujuan dari otoritas politik yang lebih tinggi seperti raja atau gubernur.[9]

Sejarah

sunting

Zaman Pra-Kerajaan

sunting

Jauh sebelum terbentuknya kerajaan-kerajaan di tanah Minang, sistem sosial dan politik masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip yang demokratis, egaliter, dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistem kanagarian yang otonom, dimana masing-masing nagari mengatur sistem politiknya sesuai dengan tata cara dan pola kehidupan masyarakatnya. Pada masa ini nagari di Minangkabau merupakan sebuah republik mini yang memiliki otonomi dan kemerdekaannya masing-masing.[10]

Zaman Kerajaan

sunting
 
Raja Melewar, Raja Minangkabau di Semenanjung Malaya.

Memasuki zaman kerajaan pada abad ke-7, kehidupan politik di tanah Minang tak banyak mengalami perubahan. Para pemimpin politik biasanya juga menjadi seorang pemimpin dalam kafilah perdagangan. Semula kerajaan-kerajaan Minangkabau berkembang di sekitar hulu sungai-sungai besar. Namun untuk memperluas usaha dagang mereka, banyak di antara pemimpin tersebut yang kemudian mengembangkan koloni dagang dan kerajaan-kerajaan di perantauan. Salah satu kerajaan yang berkembang di hulu Sungai Kampar ialah Kerajaan Minanga. Seorang pempimpin politiknya Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pada tahun 671 melakukan ekspedisi militer ke Palembang dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya.[11] Ekspedisi ini juga bertujuan untuk memindahkan pusat kerajaannya di pedalaman ke daerah yang strategis di tepi laut.[12] Selain Minanga, di hulu Sungai Kampar juga berdiri Kesultanan Kuntu.

Di daerah aliran Sungai Batanghari, pada tahun 645 konfederasi politik Minangkabau dan masyarakat setempat mendirikan Kerajaan Melayu. Kerajaan ini dibentuk untuk memperkuat basis perdagangan emas Minangkabau di Selat Malaka.[13] Dalam perjalanan sejarahnya, kerajaan ini kemudian menjadi Kerajaan Dharmasraya, yang bercabang menjadi Kerajaan Pagaruyung dan Kesultanan Melaka. Menurut Thomas Stamford Raffles, salah seorang raja Dharmasraya Sri Tribuwana Mauliwarmadewa merupakan pendiri Singapura, yang kemudian anak keturunannya Parameswara mendirikan Kesultanan Melaka di Semenanjung Malaysia.[14] Di muara Sungai Indragiri, raja-raja Minangkabau juga membentuk sebuah kerajaan pada abad ke-16 yang disebut Kerajaan Inderagiri.[15]

Karena penguasaan tambang emas di pedalaman Sumatra, pada abad ke-14 hingga abad ke-18 Kerajaan Pagaruyung menjadi salah satu kerajaan yang cukup berpengaruh di Sumatra dan Semenanjung Malaysia.[16] Sistem politik Pagaruyung terdiri dari tiga raja (Rajo Tigo Selo) yang dipimpin oleh Raja Alam yang bertugas melaksanakan pemerintahan. Raja Alam dibantu oleh dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat dan Raja Ibadat. Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut Basa Ampek Balai yang terdiri dari Bandaro, Makhudum, Indomo, dan Tuan Gadang. Untuk memperkuat kedudukan Raja Alam, pemerintahan Pagaruyung juga mengangkat raja-raja vassal di seluruh Sumatra.[17]

Koloni dagang serta kerajaan orang-orang Minang juga terbentang di sepanjang pantai barat Sumatra dari Tapaktuan, Barus, Sibolga, Natal, Pariaman, Bengkulu, hingga Lampung Barat. Di wilayah ini politik Minangkabau direpresentasikan oleh Kesultanan Indrapura.[18] Di pesisir timur Sumatra, politik Minangkabau direpresentasikan oleh Kesultanan Kota Pinang yang kemudian para keturunannya menjadi raja-raja di Kesultanan Asahan, Pannai, dan Bilah.[19] Sama seperti halnya dengan pendirian nagari-nagari di dataran tinggi Minangkabau yang mensyaratkan adanya empat suku, pendirian kota-kota dagang dan kerajaan di rantau timur-pun pada umumnya mengambil sistem politik "Datuk Empat Suku". Dimana musyawarah para datuk tersebut yang akan menentukan pemimpin dan para sultan di kerajaan.[20]

Pada abad ke-17, kedudukan politik Minangkabau di Selat Malaka dan Semenanjung Malaysia mulai menguat. Tahun 1718 di bawah kepemimpinan Raja Kecil, para politisi Minangkabau menduduki tahta Kesultanan Johor-Riau. Empat tahun kemudian, tahta Raja Kecil dikudeta oleh pasukan Bugis pimpinan Daeng Parani. Kemudian ia pergi ke Riau dan mendirikan Kesultanan Siak Sri Inderapura.[21] Pada tahun 1773, untuk memperkuat kedudukan politik orang Minang di Semenanjung Malaysia, masyarakat Negeri Sembilan menjemput Raja Melewar dari Pagaruyung.[22] Keturunan Raja Melewar inilah kemudian yang banyak menjadi pemimpin politik di Malaysia.

Zaman Kolonial

sunting
 
Tuanku Abdul Rahman, pemimpin politik Malaysia.

Pada zaman kolonial sistem politik Minangkabau tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Nagari-nagari bukan lagi menjadi sistem politik yang otonom, namun berada di bawah Laras yang para pemimpinnya diangkat oleh kolonial Belanda.[23][24] Akibat dianulirnya peran politik masyarakat Minang, banyak dari tokoh-tokoh Minang yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1908 terjadi Pemberontakan Anti-Pajak di seluruh Sumatera Barat. Karena aspirasi politiknya tak didengar, pada tahun 1927 sekali lagi rakyat Minangkabau melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Pemberontakan ini dimotori oleh kaum Islam-komunis di Silungkang, Padang, dan Padang Panjang, yang kemudian memberikan dampak luas ke seluruh Hindia Belanda. Untuk meredakan ketegangan di Minangkabau, pemerintah Belanda memberikan kesempatan kepada masyarakat Minang untuk membentuk Dewan Minangkabau (Minangkabau Raad). Dewan ini menjadi saluran aspirasi politik Minangkabau, dimana banyak dari tokoh-tokoh Minang yang kemudian duduk menjadi anggota Volksraad. Beberapa anggota Volksraad dari ranah Minang yang cukup vokal antara lain Abdul Muis, Agus Salim, dan Jahja Datoek Kajo.[7]

Akibat sistem politik kolonial Belanda yang merugikan, banyak dari anak-anak muda Minang yang mencita-citakan kemerdekaan. Salah satu anak muda tersebut yang kemudian terinspirasi dengan sistem politik di Minangkabau ialah Tan Malaka. Ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mencita-citakannya menjadi sebuah negara republik. Atas perjuangannya dalam mendirikan Republik Indonesia, ia kemudian dikenal sebagai "Bapak Republik Indonesia".[25] Satu lagi tokoh politik Minang yang memiliki kedudukan cukup penting ialah Roestam Effendi. Ia merupakan satu-satunya orang Hindia Belanda yang pernah menjadi anggota parlemen (Tweede Kamer) di Belanda.[26]

Di Malaysia dan Singapura, banyak pula pemuda-pemudi Minang yang berjuang menentang kolonialisme Inggris. Mereka diantaranya Burhanuddin al-Hilmi, Ahmad Boestamam, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek. Mereka merupakan pendiri-pendiri organisasi kemerdekaan radikal, seperti Angkatan Pemuda Insaf dan Kesatuan Melayu Muda.[27] Sedangkan di Singapura, Mohammad Eunos Abdullah mendirikan Kesatuan Melayu Singapura, sebuah organisasi politik yang membela hak-hak kaum Melayu Singapura.[28]

Era Kemerdekaan Indonesia

sunting

Pada masa kemerdekaan Indonesia, sistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter kembali mendapatkan tempat. Sistem politik ini kemudian menjadi anti-tesis bagi sistem politik besar lainnya di Indonesia yang diusung oleh budaya Jawa yang cenderung sentralistik, patron klien, dan feodalistik. Dalam sejarah Indonesia merdeka, kedua sistem politik ini saling berinteraksi, bersaing, dan berdialektika dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.

Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Mohammad Natsir; beberapa pemimpin politik penting Indonesia dari Minangkabau.

Pada awal kemerdekaan, sistem politik Minangkabau yang termanifestasi dalam lakon politik tokoh-tokoh Minangkabau, seperti Hatta, Syahrir, Natsir, Agus Salim, Assaat, dan Muhammad Yamin, mendapatkan tempat yang lebih luas. Hal ini ditandai dengan berlakunya sistem parlementer yang diwarnai dengan berdirinya berbagai macam partai politik. Pada masa ini, banyak pendiri dan aktivis partai politik yang datang dari kalangan Minangkabau. Akibatnya pada masa itu parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang yang berada di semua spektrum ideologi: nasionalis, sosialis, islamis, dan komunis.[29]

Sistem ini berlaku sampai keluarnya Dekret Presiden pada tahun 1959. Sistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno. Sistem politik Demokrasi Terpimpin dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas itu, tidak cocok dengan kultur politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter. Akibatnya masyarakat Minangkabau melakukan pemberontakan PRRI (1958-1960). Pada tahun 1966, rezim Soekarno tumbang dan digantikan oleh Soeharto. Selama 32 tahun, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Namun perlakuan Soeharto yang mengakomodasi kepentingan politik Minangkabau, tidak menimbulkan riak yang bisa menyebabkan terjadinya pemberontakan. Setelah reformasi 1998, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, dan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada seluruh propinsi/kabupaten-kota di Indonesia. Sistem ini pada hakekatnya menyerupai sistem nagari-nagari di tanah Minang, yang menjadi cita-cita dan perjuangan para politisi Minang.[7]

Rujukan

sunting
  1. ^ Audrey R. Kahin, Rebellion to Integration, West Sumatra and the Indonesian Polity 1926-1998
  2. ^ Timothy P. Daniels, Building Cultural Nationalism in Malaysia: Identity, Representation, and Citizenship; New York, 2005
  3. ^ Michael G. Peletz, Reason and Passion: Representations of Gender in a Malay Society, Los Angeles, 1996
  4. ^ Prosiding Kongres Pancasila IV: Srategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas di Indonesia, Yogyakarta, 2012
  5. ^ Taufik Abdullah, Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau, 1966
  6. ^ Sangguno Diradjo, Dahler Abdul Madjid, Radjo Mangkuto (Datuk); Mustika Adat Alam Minangkabau; Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979
  7. ^ a b c Audrey R. Kahin, Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998; 1999
  8. ^ "Ilusi Pemimpin Besar" Hamdi Muluk, Kompas.com, 26-06-2014. Diakses 27-12-2014.
  9. ^ Azyumardi Azra, Mambangkik Batang Tarandam dalam Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, Jakarta, 2008
  10. ^ Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Jakarta, 1981
  11. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X
  12. ^ Dr. Boechari, An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung). In Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, 1979, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional
  13. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula
  14. ^ Raffles, T. S., (1821), Malay annals (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
  15. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  16. ^ Leonard Y. Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, 2008
  17. ^ Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907, 2004
  18. ^ Kathirithamby-Wells, J. (1976). "The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century". Indonesia. 21: 65–84. 
  19. ^ Tengku Ferry Bustamam, Bunga Rampai Kesultanan Asahan, 2003
  20. ^ Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara, 1973
  21. ^ Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, Kuala Lumpur, 2008
  22. ^ P. E. de Josselin de Jong (1951), Minangkabau and Negri Sembilan, Leiden, The Hague
  23. ^ Graves, Elizabeth E. (2007). Asal usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  24. ^ Franz von Benda-Beckmann, Keebet von Benda-Beckmann; Political and Legal Transformations of an Indonesian Polity: The Nagari from Colonisation to Decentralisation, 2013
  25. ^ Harry A. Poeze; Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 2008
  26. ^ Rampan, Korrie. Leksikon Sastra Indonesia. Balai Pustaka, 2000, Jakarta
  27. ^ Zulhasril Nasir; Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura; Yogyakarta, 2007
  28. ^ Anthony Milner, The Malays, Wiley-Blackwell
  29. ^ Fronz and Keebet von Benda-Beckmann, Identitas-identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-komunitas Politik Minangkabau dalam Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, 2007

Pranala luar

sunting