Pocut Meuligoe

(Dialihkan dari Pocut Meligoe)

Pocut Meuligoe adalah seorang pemimpin wanita pewaris tahta Kerajaan Samalanga (Aceh). Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga, Pocut Meuligoe yang masih belia telah berhasil mempertahankan wilayah kerajaannya. Ia mewajibkan setiap pria untuk turun ke medan perang dan bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dari kewajibannya tersebut.[1]

Latar belakang

sunting

Pocut Meuligoe termasuk dalam para wanita pejuang Aceh, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan Pocut Maligai ini telah mempertahankan Samalanga dari serangan Belanda selama beberapa tahun, bahkan Jend. Karel van der Heijden kehilangan satu matanya dalam peperangan berusaha merebut wilayah Samalanga. Mata kiri Jenderal Van der Heijden tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin seorang remaja putri, Pocut Meuligoe.[2]

Keberanian Pocut Meuligoe ditulis oleh seorang kapten Belanda bernama Schumacher. Ia menulis tentang kebencian Pocut Meuligoe terhadap Belanda, sampai-sampai ia memerintahkan semua rakyatnya berperang meskipun harus meninggalkan sawah dan ladang. Rakyat yang mangkir bisa dihukum berat. Pengaruh perempuan muda ini tidak hanya di Samalanga, ia sering mengirim bantuan dana, keperluan logistik, dan senjata ke Aceh Besar untuk membantu pasukan pasukan Aceh. Samalanga bisa memberikan kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan aceh karena perdangan ekspor samalanga berkembang baik pada saat itu.[3]

Schumacher juga menuliskan bahwa pada tahun 1876, Belanda berusaha keras agas Saamalanga mengakui pemerintahan Belanda (yang pada saat itu telah menguasai banyak wilayah lain di Indonesia), tetapi pihak Samalanga menjawab permintaan ini dengan menembaki kapal-kapal Belanda, bahkan merompaknya.[4]

Pertempuran Samalanga

sunting

Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kol. Karel van der Heijden merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan batalion dan semua kapal perang Belanda termasuk Matelan Kuis, Amboina, Citadel van Antwerpen, Sambas dan Watergeus. Pasukan darat dipimpin oleh JDJ. van der Hegge Spies.

Ketika pasukan Belanda mendarat, pasukan Aceh telah siap menanti kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang telah dipasangi ranjau, 1 batalyon tentara Belanda dibantrai dengan mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.

 
Pertempuran Samalanga

Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengiit Tunong. Di kawasan ini perang sengit terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak yang lari lintang pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini tidak terlepas dari peran seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad. Dalam peperangan ini, Haji Ahmad sempat memancung kepala Letnan Ajudan Richello.[5]

Haji Ahmad tertangkap dan ditawan Belanda, Pocut Meuligoe berusaha berunding untuk membebaskannya, tetapi perundingan gagal dan Haji Ahmad menjadi salah satu orang yang meninggal dalam serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.

Dalam serangan berikutnya, Jenderal Van der Heijden menyusun strategi untuk menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasangi ranjau dan berbagai jenis perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan marinir telah disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini dibekali dengan pelontar meriam dan 900 meriam. Panyerangan Belanda ke Samalanga kali ini harus dibayar mahal, karena di penyerangan inilah beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti May. Dompselar dan LetKol. Maijar serta ratusan prajurit Belanda terluka parah,juga di penyerangan inilah Jenderal Van der Heijden tertembak satu mata sebelah kirinya, sehingga ia diberi gelar Jenderal Mata Satu oleh orang Aceh.[6]

Mempertahankan Benteng Batee Iliek

sunting

Belanda beberapa kali menyerang Samalanga, dan kegagalan demi kegagalan terus dituai pihak Belanda, hingga pada 17 September 1877 terjadi perundingan antara Belanda dan Kerajaan Samalanga yang diwakili oleh kakak Pocut Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis yang oada saat itu baru kembali dari misinya ke luar negeri membeli senjata. Hasil dari perundingan tersebut menyebutkan bahwa Belanda diperbolehkan mengibarkan bendera di wilayah Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah tersebut, sementara kegiatan perdagangan ekspor-impor tetap berjalan tanpa ada gangguan dan Benteng Batee Iliek tidak boleh diganggu gugat.

 
Pertempuran Samalanga ke-26 26 Agustus 1877. Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah dirawat karena mendapat tembakan di matanya.

Belanda belum puas atas hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut Samalanga, pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit belanda di bawah pimpinan Let. Van Woortman secara diam-diam memasuki kampung dan sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan pertempuran sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu terdesak dan lari menyelamatkan diri kembali ke markas.[7]

Pihak Belanda sangat tersinggung dengan peristiwa di Cot Merak. Akhirnya, Van der Heijden melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegai dan 1200 prajurit dengan alat tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schmilau dan Mayor Van Steenvelt. Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang kepercayaan Sultan dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan.

Pada tanggal 14 Juli 1880 kapal yang membawa pasukan Belanda itu merapat di Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligoe, Teuku Bantara Cut (keponakan Pocut Meuligoe) dana beberapa tokoh Samalanga, tetapi mereka tidak sudi datang dan malah bersiap-siap menghadapi kedangan Belanda di Batee Iliek.[8]

Pada tanggal 15 Juli, Belanda mulai menyerang Benteng Batee Iliek, Pertempuran sengit terjadi, korban berjatuhan di kedua belah pihak. Schumacher mencatat kegagalan Belanda menembus pertahanan Benteng Batee Iliek. Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda juga diserang dengan kelewang dari belakang bukit. Schumacher juga menuliskan usaha pasukan Belanda untuk menaklukkan Samalanga, mereke terus maju dan menyerang tapi setiap kali mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.

Akhirnya setelah 30 tahun gagal menaklukkan wilayah Samalanga, pada tahun 1904, dikerahkan 900 prajurit bersenjata lengkap ditambah dengan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga setelah puluhan tahun melawan Belanda.[9][10]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Ini Konsorsium 7 Jendral Wanita Kerajaan Aceh Darussalam". MEDIAACEH.CO. 2016-11-12. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  2. ^ "Belanda Bertekuk Lutut di Tangan Pocut Meuligoe di Benteng Kuta Glee". GoAceh. 2017-08-17. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-17. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  3. ^ "Sendratari "Pocut Meuligoe" Tampil di Taman Seni dan Budaya Banda Aceh". Detik Peristiwa (dalam bahasa Inggris). 2018-08-09. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  4. ^ "Berwisata ke Kota Santri, Ada Sumur Tak Pernah Kering". Serambi Indonesia. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  5. ^ Oktorino, Nino (2018-02-26). Seri Nusantara Membara: Perang Terlama Belanda. Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-04-5466-5. 
  6. ^ Ago, Mrnazildanin #esteem • 2 Years (2018-08-11). "Pertempuran dibawah pimpinan Pocut Meuligo [Bagian I/I]". Steemit (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-17. 
  7. ^ "Mengapa pasukan Belanda susah menaklukkan benteng Kuta Gle Batee Iliek? - Quora". id.quora.com. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  8. ^ Tempomedia (2003-06-16). "Bireuen: 130 Tahun dalam Perang". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-17. 
  9. ^ "De Atjeh-oorlog : Djihad en Koloniaal Machtsvertoon – 85". Konfrontasi. 2015-12-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-17. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  10. ^ jejakislam1 (2020-03-25). "Perang Rakyat di Aceh – 5". Jejak Islam untuk Bangsa (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-17.