Perbudakan di Amerika Serikat
Perbudakan |
---|
Perbudakan di Amerika Serikat adalah perlembagaan absah mengenai perbudakan manusia yang pernah ada di Amerika Serikat dari tahun 1776 sampai 1865. Perbudakan pernah dilaksanakan di Amerika Utara jajahan Britania dari masa-masa awal penjajahan, dan diakui juga di Tigabelas Koloni pada saat Proklamasi Kemerdekaan tahun 1776. Ketika Amerika Serikat didirikan, meskipin beberapa orang berwarna bebas ada juga, status para budak biasanya bersamaan dengan keturunan Afrika, hal ini membuat sebuah sistem dan tradisi di mana ras memainkan peran yang sangat berpengaruh. Perbudakan di Amerika Serikat berlangsung secara legal hingga diambilnya Amendemen Konstitusi Amerika Serikat ke-13 tahun 1865. Perbudakan sudah dimulai sejak kolonisasi Britania di Virginia tahun 1607, meskipun budak Afrika sudah dibawa ke Florida Spanyol pada tahun 1560-an.[1]
Kebanyakan orang yang menjadi budak berkulit hitam dan dimiliki orang yang berkulit putih, meskipun beberapa penduduk asli dan orang berkulit hitam juga memiliki budak. Terdapat pula budak berkulit putih, namun jumlahnya sedikit. Mayoritas pemilik budak berada di Amerika Serikat Wilayah Selatan, di mana kebanyakan dijadikan "mesin" untuk pertanian.
Setelah Perang Revolusi Kemerdekaan Amerika Serikat, undang-undang dan sentimen pro abolisionis secara bertahap meluas di negara-negara bagian utara, sementara meluasnya industri perkatunan dari tahun 1800 membuat negara-negara bagian Selatan dengan kuat mengidentifikasi diri dengan perbudakan dan bahkan ingin memperluasnya ke daerah-daerah baru di Barat. Amerika Serikat terpolarisasi dengan oleh perbudakan menjadi daerah bebas dan daerah berbudak, sepanjang Garis Mason-Dixon yang memisahkan Maryland (berbudak) dengan Pennsylvania (bebas).
Meskipun perdagangan perbudakan internasional dilarang mulai tahun 1808, perdagangan internal budak terus berlanjut dan populasi budak melonjak ke 4 juta jiwa sebelum perbudakan diabolisi.[2][3]
Ketika daerah-daerah baru di bagian Barat AS dibuka, maka negara-negara bagian Selatan yakin bahwa mereka harus menjaga keseimbangan antara negara-negara bagian pro budak dan negara-negara bagian bebas sehingga bisa menjaga keseimbangan kekuasaan di Congress atau Parlemen AS.
Daerah-daerah baru AS yang diperoleh dari Britania, Prancis dan Meksiko dijadikan kompromi-kompromi politik besar. Pada tahun 1850, daerah Selatan baru yang menanam katun dan kaya mengancam akan keluar dari negara kesatuan AS, dan ketegangan semakin melonjak. Para pendeta-pendeta pun ditekan untuk berkhotbah sesuai kebijakan politik, dan dengan ini aliran Baptis dan Methodis pecah menjadi organisasi kedaerahan. Ketika Abraham Lincoln terpilih menjadi Presiden AS pada tahun 1860, maka akhirnya Daerah AS Selatan memerdekakan diri, keluar dari negara kesatuan AS dan mendirikan Konfederasi. Hal ini mencetuskan pecahnya Perang Saudara AS dan mengganggu perekonomian yang berdasarkan perbudakan, dengan banyaknya budak yang melarikan diri atau dibebaskan oleh Tentara Utara. Perang Saudara ini secara efektif menghentikan perbudakan sebelum Amendemen ke-13 (Desember 1965) melarang perlembagaan ini di seluruh wilayah AS.
Amerika pada masa kolonial
suntingPada tahun-tahun awal Permukiman Teluk Chesapeake, sungguhlah sulit untuk menarik dan mempertahankan para pekerja, apalagi tingkat kematiannya atau mortalitas cukup tinggi. Sebagian besar pekerja berasal dari Britania sebagai hamba yang terikat, yang telah menandatangani kontrak untuk membayar biaya perjalanan dengan upah pekerjaan mereka, tempat tinggal dan tempat pelatihannya, biasanya di sebuah pertanian. Sebab biasanya permukiman koloni ini bersifat agraris.
Para pekerja kontrakan ini adalah orang-orang muda yang ingin menetap di tanah perantauan. Beberapa majikan memperlakukan mereka seburuk atau sebaik mereka memperlakukan anggota keluarga.[4] Dalam beberapa kasus, para narapidana yang telah dijatuhi hukuman, dikirim ke daerah koloni daripada dimasukkan ke penjara. Banyak Orang Skotlandia-Irlandia, Irlandia dan Jerman yang tiba pada abad ke-18. Para pekerja kontrakan ini bukanlah budak. Masalah utama bagi pekerja kontrakan ini ialah bahwa sebagian besar pergi setelah beberapa tahun, pas pada saat mereka telah menjadi terampil dan merupakan pekerja yang paling handal. Selain itu, ekonomi di Inggris membaik pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, sehingga pekerja kontrakan yang bertolak ke koloni menjadi semakin sedikit. Para sejarawan memperkirakan bahwa lebih dari separuh semua imigram berkulit putih yang menuju ke daerah jajahan Inggris di Amerika Utara merupakan pekerja kontrakan. Jumlah pekerja kontrakan terutama sungguh besar di Wilayah Selatan.[4]
Destinasi | Persentase |
---|---|
Amerika-Portugis | 38,5% |
Amerika-Britania (minus Amerika Utara) | 18.4% |
Imperium Spanyol | 17.5% |
Amerika-Prancis | 13.6% |
Amerika Utara-Britania | 6.5% |
Amerika-Inggris | 3.3% |
Hindia Barat-Belanda | 2.0% |
Hindia Barat-Denmark | 0.3% |
Orang-orang Afrika pertama yang tiba di Koloni Inggris berjumlah sekitar 19 dan mendarat pada tahun 1619 di dekat Jamestown, Virginia. Mereka dibawa oleh para pedagang Belanda yang menyita mereka dari sebuah kapal Spanyol yang mereka rebut. Orang Spanyol biasanya membaptis mereka sebelum mereka dinaikkan ke kapal. Karena undang-undang Inggris melarang orang yang telah dibaptis dianggap sebagai budak, maka mereka bergabung dengan sekitar 1.000 pekerja kontrak Inggris yang sudah ada di koloni. Mereka dibebaskan setelah selang beberapa waktu dan diberi tanah untuk dipergunakan dan persediaan barang-barang oleh mantan majikan mereka.
Sejarawan Ira Berlin mencatat bahwa apa yang ia sebut sebagai "generasi piagam" (charter generation) kadang kala terdiri dari para pria blasteran yang merupakan pekerja kontrak dan merupakan keturunan Afrika dan Iberia. Mereka adalah keturunan wanita Afrika dan pria Portugis dan Spanyol yang bekerja di pelabuhan-pelabuhan Afrika sebagai pedagang atau perantara dalam perdagangan budak.
Sebagai contoh, seperti Anthony Johnson yang tiba pada tahun 1621 sebagai pekerja kontrak, beberapa orang Afrika bisa bebas dan bahkan memiliki properti. Transformasi status orang-orang Afrika dari perhambaan terikat sampai ke perbudakan dari mana mereka tidak bisa lepas, terjadi secara bertahap. Pada sejarah awal Virginia belum ada undan-undang mengenai perbudakan. Namun pada tahun 1640 ada sebuah pengadilan di Virginia yang memvonis seseorang bernama John Punch menjadi budak setelah ia mencoba melarikan diri dari pekerjaannya.[5] The two whites with whom he fled were only sentenced to an additional year of their indenture, and three years service to the colony.[6] Dua orang putih yang melarikan diri bersamanya hanya divonis satu tahun ekstra kerja kontrakan dan tambahan tiga tahun kerja rodi untuk koloni.
Inilah salah satu pertama kalinya adanya perbedaan secara hukum antara orang Eropa dan orang Afrika, dan pertama kalinya ada hukuman perbudakan di daerah jajahan Inggris.[5][7]
Tahun | Jumlah |
---|---|
1620–1700 | 21.000 |
1701–1760 | 189.000 |
1761–1770 | 63.000 |
1771–1790 | 56.000 |
1791–1800 | 79.000 |
1801–1810 | 124,000[9] |
1810–1865 | 51.000 |
Total | 597.000 |
Pada tahun 1654, John Casor, seorang pekerja kontrak hitam, adalah orang pertama yang dinyatakan sebagai seorang budak di sebuah kasus hukum perdata. Ia melapor kepada seorang pejabat bahwa pemiliknya, seorang kolonis berkulit hitam bernama Anthony Johnson, tetap memperkerjakannya padahal masa kontrakannya telah lewat. Seorang tetangga bernama Robert Parker, akan bersaksi di pengadilan jika ia tidak melepaskan Casor, menurut undang-undang setempat, Johnson bisa kehilangan beberapa hak-hak utama atas tanahnya. Di bawah paksaan, Johnson membebaskan Casor, Casor lalu kontrak selama 7 tahun dengan Parker. Johnson merasa dicurangi, lalu ia menuntut Parker karena ingin memiliki Casor kembali. Pengadilan Northampton County memutuskan bahwa Parker memegang Casor secara tidak sah, dan "Casor adalah milik Johnson untuk selama hidupnya".[10]
Karena orang-orang keturunan Afrika bukan warga Inggris sesuai kelahiran, maka mereka dianggap sebagai orang asinh dan biasanya berada di luar Undang-Undang Umum Inggris. Elizabeth Key Grinstead, seorang wanita blasteran, bisa berhasil memperoleh kebebasannya dan anaknya di pengadilan Virginia dengan berdalil bahwa ia putri seorang Inggris bebas, Thomas Key. Elizabeth juga dibaptis sebagai seorang Kristen. Kuasa hukumnya dan ayah anaknya juga orang Inggris bebas, sehingga hal-hal ini bisa membantu kasusnya.[11]
Tidak lama setelah kasus Elizabeth Key ditangani dan beberapa kasus serupa, Virginia pada tahun 1662 menetapkan undang-undang berprinsip partus sequitur ventrum (disingkat partus), yang menyatakan bahwa setiap anak yang lahir dari seorang ibu budak, statusnya juga sebagai seorang budak, tidak perduli apakah ayahnya juga seorang Inggris bebas.
Hal ini berbeda dengan praktik umum undang-undang Inggris di mana anak-anak warga Inggris secara otomatis mendapatkan status ayah mereka. Perubahan ini melembagakan relasi kekuasaan antar pemilik budak dan wanita budak, membebaskan pria berkulit putih dari tanggung-jawab hukum untuk mengurusi keturunan blasteran mereka, dan sedikit membatasi aib terbuka yang berkenaan dengan anak-anak blasteran dan percampuran ras ke dalam kediaman para budak saja.
Perundang-undangan Virginia tahun 1705 mengenai Budak mendefinisikan orang-orang yang diimpor dari negara non-Kristen, orang Indian Amerika yang dijual kepada orang kulit putih oleh suku Indian lainnya, atau ditangkap pada penyerbuan di desa-desa Indian oleh orang Eropa, sebagai budak.[12] Hal ini memberikan dasar hukum untuk memperbudak bangsa-bangsa asing non-Kristen.
Pada tahun 1735, Dewan Kepercayaan Georgia (The Georgia Trustee) menyetujui undang-undang untuk melarang perbudakan di koloni yang baru, yang sudah didirikan pada tahun 1733 untuk membantu orang-orang miskin yang baik atau orang-orang Protestan Eropa membuat awal baru. Perbudakan kala itu legal di duabelas koloni Inggris lainnya, dan koloni jiran Carolina Selatan, sangat aktif dalam mengerahkan tenaga kerja besar berdasarkan para budak-budak Afrika
Dewan Kepercayaan Georgia ingin menghapus risiko adanya pemberontakan budak dan membuat Georgia lebih handal membela diri jika diserang orang Spanyol dari selatan, yang menawarkan kebebasan bagi budak-budak yang melarikan diri. James Edward Oglethorpe adalah kekuatan besar di belakang koloni, dan satu-satunya anggota Dewan Kepercayaan yang tinggal di Georgia. Ia menentang perbudakan berdasarkan alasan-alasan moral, selain alasan pragmatis, serta secara keras membela larangan perbudakan meski ditentang secara sengit oleh pedagang budak Carolina dan para spekulan tanah.
Orang-orang Skotlandia beragama Protestan yang berasal dari Tanah Tinggi Skotlandia, menambahkan alasan moral bagi argumentasi anti perbudakan mereka, yang langka kala itu, di dalam petisi yang mereka keluarkan pada tahun 1739 (Petition of the Inhabitants of New Inverness)". Pada tahun 1750 Georgia memperbolehkan perbudakan di negara bagian ini karena mereka tidak bisa mendapatkan para pekerja kontrakan cukup, karena keadaan ekonomi di Inggris membaik pada paruh pertama abad ke-18.
Pada masa penjajahan Britania, perbudakan ada di semua koloni. Para budak di Wilayah Utara biasanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pengrajin, buruh dan tukang di daerah perkotaan. Sementara itu ekonomi Wilayah Selatan tergantung kepada pertanian dan memiliki budak-budak yang jumlahnya sangat besar dan jauh lebih banyak karena pekerjaan pertanian sangat menyita tenaga.
Semenjak awal, para budak di Wilayah Selatan bekerja di bidang pertanian dan perkebunan yang memproduksi indigo, padi, dan tembakau, katun menjadi tanaman utama setelah dasawarsa 1790-an. Dengan adanya penemuan cotton gin, mesin pemisah katun, maka beberapa jenis katun bisa dicocoktanamkan dan menetapkan Wilayah Selatan sebagai negara katun. Penanaman tembakau dan padi sangat menyita tenaga. Kurang lebih 65% penduduk Carolina Selatan adalah budak pada tahun 1720.
Para penanam (atau planter, didefinisikan oleh sejarawan sebagai seseorang yang memiliki 20 orang budak atau lebih) menggunakan budak untuk bercocoktanam tanaman komoditas. Mereka juga bekerja sebagai pengrajin di perkebunan-perkebunan besar dan kota-kota di Wilayah Selatan. Para petani miskin yang bertani hanya untuk hidup dan bukan untuk dagang dan mulai berhijrah pada abad ke-18 serta menetap di sekitar Pegunungan Appalachia jarang memiliki budak.
Beberapa koloni Britania mencoba menghapus perdagangan internasional budak. Mereka takut bahwa pengimporan orang-orang Afrika baru akan berdampak negatif. Rancangan undang-undang Virginia mengenai hal ini diveto oleh British Privy Council. Rhode Island melarang impor budak pada tahun 1774. Semua koloni kecuali Georgia melarang atau membatasi perdagangan budak Afrika pada tahun 1786; Georgia melakukannya pada tahun 1798. Beberapa undang-undang ini di kemudian hari akan ditarik kembali.
Totalnya sejumlah kurang lebih 600.000 jiwa budak diimpor ke Tigabelas Koloni dan AS, dan merupakan 5% dari duabelas juta jiwa orang-orang Afrika yang diperbudak dan dibawa dari Afrika ke Amerika. Sebagian besar budak-budak Afrika dikirim ke perkebunan-perkebunan tebu di Karibia dan Brazil. Karena mortalitas tinggi, maka jumlah budak-budak harus ditambahi terus. Harapan hidup jauh lebih tinggi di AS dan mereka juga beranak-pinak. Jumlah mereka mencapai 4 juta jiwa pada sensus 1860. Dari tahun 1770 sampai 1860, kecepatan pertumbuhan budak di Amerika Utara jauh lebih tinggi dari negara manapun di Eropa, dan hampir dua kali lebih tinggi daripada Inggris.
Era revolusi
suntingOrang-orang yang diperbudak di Britania
suntingPerbudakan di Britania Raya tidak pernah diresmikan oleh undang-undang. Pada tahun 1772 perbudakan dibuat tak bisa dilaksanakan berdasarkan undang-undang umum oleh sebuah keputusan Lord Mansfield, Hakim Utama Pengadilan Raja (Chief Justice of the King's Bench), namun keputusan ini tidak menyangkut perdagangan budak Samudra Atlantik atau di daerah-daerah jajahan di mana mayoritas budak-budak Britania hidup. Sejumlah kasus emansipasi diajukan ke pengadilan-pengadilan Britania. Banyak sekali para budak yang melarikan diri dan berharap mencapai Britania sehingga memiliki pengharapan untuk menjadi bebas. Keyakinan para budak bahwa Raja George III membela mereka dan menentang majikan mereka menaik sementara ketegangan memuncak sebelum Revolusi Amerika. Beberapa pemilik budak takut bahwa jika mereka memberontak, maka hal ini akan menimbulkan pemberontakan budak yang membela Britania.
Proklamasi Lord Dunmore
suntingPada awal tahun 1775 Lord Dunmore, gubernur kerajaan untuk Virginia, menulisa surat ke Lord Dartmouth dengan maksud membebaskan para budak jika terjadi pemberontakan. Pada tanggal 7 November 1775 Lord Dunmore mengeluarkan proklamasi menyatakan keadaan darurat dan menjanjikan kebebasan bagi para budak yang meninggalkan majikan mereka dan bergabung dengan pasukan kerajaan. Namun para majikan yang setia terhadap kerajaan tidak terkena dampak proklamasi ini. Dari budak-budak yang dimiliki oleh para majikan pemberontak, sekitar 1.500 membelot, tetapi dari jumlah ini hanya 300 jiwa yang sampai ke Britania dengan selamat. Yang lainnya kebanyakan meninggal dunia karena sakit sebelum sempat ikut bertempur.
Perang Revolusi dan kebebasan
suntingBanyak negara-negara bagian Wilayah Utara menuju ke langkah Era Emansipasi. UUD Vermont tahun 1777 melarang perbudakan dan membebaskan lelaki berumur di atas 21 tahun dan perempuan di atas 18 tahun. Pennsylvania pada tahun 1780 menetapkan undang-undang untuk mencabut perbudakan secara bertahap dan menetapkan semua anak yang lahir setelah undang-undang ini diterima sebagai bebas. Sedangkan Massachusetts, melalui kasus Quock Walker tahun 1783 langsung mencabut perbudakan di negara bagian ini. Sebagai tanggapan atas tawaran Britania memberi kebebasan bagi para budak yang dimiliki oleh para pemilik pemberontak, maka sepuluh ribuan budak milik kaum pemberontak mencoba mendaftar di tentara Britania ketika mereka menduduki sebuah daerah. Contohnya di Caroline Selatan, sekitar 25.000 jiwa budak (sekitar 30% populasi budak) melarikan diri, berpindah tempat atau tewas dalam kekacauan perang. Seantero Wilayah Selatan, jumlah budak yang hilang, besar, karena banyak yang melarikan diri. Budak-budak melarikan diri melalui New England dan mid-Atlantic, bergabung dengan pasukan Britania yang menduduki New York. Pada bulan-bulan terakhir perang, Britania mengevakuasi lebih dari 20.000 budak yang dibebaskan kota-kota besar di pesisir dan mentransmigrasikan lebih dari 3.000 orang ke Nova Scotia, sementara yang lain dibawa ke Kepulauan Karibia dan beberapa ke Inggris. Bersama budak-budak yang dibebaskan ini, orang-orang Britania juga mengirimkan budak-budak kaum loyalis yang setia kepada mereka. Misalkan, lebih dari 5.000 orang-orang Afrika yang dimiliki kaum Loyalis pada tahun 1782 dikirim dari Savannah ke Jamaica dan St. Augustine. Begitu pula lebih dari separoh orang-orang berkulit hitam yang dievakuasi dari Charleston ke Hindia Barat dan Florida pada tahun 1782 adalah milik kaum Loyalis berkulit putih.
Pada abad ke-18, Britania telah menjadi pedagang budak terbesar di dunia. Selama masa revolusi, semua koloninya yeng memberontak melarang atau membekukan perdagangan internasional budak. Hal ini dilaksanakan karena alasan ekonomi, politik dan moral, tergantung koloninya. Perdagangan budak kemudian hari dibuka kembali di Carolina Selatan dan Georgia.
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat
suntingUndang-undang dasar Amerika Serikat dirancang pada tahun 1787, dan juga mengandung beberapa provisi yang bersangkutan dengan perbudakan. Ayat 9 Pasal I memblokir pemerintahan Federal untuk melarang "pengimporan" orang-orang di mana sebuah negara bagian tertentu menganggap orang-orang tersebut "layak dimasukkan" sampai 1 Januari 1808 meski pajak sebesar $ 10 dikenakan (dan langsung dipungut setelah rancangan undang-undang ini diratifikasi). Pasal V melarang amendemen bagian-bagian Seksi 9 sebelum tahun 1808. Dengan memblokir larangan Federal dalam melarang perdagangan budak selama dua dasawarsa, Pasal V dengan kata lain melindungi perdagangan ini sampai tahun 1808 dan memberi negara-negara bagian 20 tahun untuk mencari solusi masalah ini. Dalam masa ini, para penanam mengimpor puluhan ribu budak, jauh lebih banyak daripada pada dua dasawarsa sebelumnya pada masa kolonial.
Perlindungan lain terhadap perbudakan ialah disetujuinya Ayat 2 Pasal IV, di mana termaktub bahwa negara-negara bagian tidak boleh membebaskan budak yang melarikan diri dari negara bagian lain. Mereka harus mengembalikan budak-budak tersebut ke pemilik mereka di negara bagian asal.
Kemudian di ayat 2 Pasal I yang telah dinegosiasi oleh James Madison dari Virginia, disebutkan bahwa "orang-orang lainnya" (budak-budak) ditambahkan pada penduduk total non-budak sebuah negara bagian, dengan rasio 3/5 jumlah mereka, untuk menetapkan penduduk resmi negara bagian. Hal ini maksudnya ialah pembagian kursi perwakilan di Congress dan perihal perpajakan. Hal ini menambah kekuasaan negara-negara bagian Wilayah Selatan selama beberapa daswarsa, dan mempengaruhi kebijakan dan perundang-undangan nasional. Kaum penanam elit mendominasi perwakilan Congress dari Wilayah Selatan dan kepresidenan AS selama hampir 50 tahun.
1790 sampai 1850
suntingSementara UUD AS melindungi perdagangan budak sampai tahun 1808 di Congress, pada dua dasawarsa awal masa pasca-Perang Revolusi, perundang-undangan negara bagian, baik di Utara maupun di Selatan, memutuskan untuk membebaskan banyak budak dan hal ini menghasilkan naiknya jumlah secara relatif maupun kuantitatif para budak yang bebas di Amerika Serikat pada tahun 1810. Sebagian besar orang berkulit hitam yang bebas berada di Wilayah Utara, namun di Wilayah Selatan bagian ataspun jumlah relatif orang berkulit hitam yang bebas naik dari kurang dari 1% menjadi 10% meski jumlah budak secara total naik. Setelah tahun 1810, cotton gin membuat kultivasi katun berumur pendek menjadi menguntungkan, karena bisa diproses dan Wilayah Selatan bagian bawah dikembangkan untuk penanaman katun secara luas, dan dengan ini menaikkan permintaan budak di sebelah selatan AS secara dramatis. Sementara Congress tidak bisa melarang perdagangan dan impor budak sampai tahun 1808, Congress ketiga meregulasinya sampai tahun 1794, dengan melarang penggunaan pelabuhan demi membangun kapal dan melengkapinya untuk perdagangan budak di Undang-Undang Perdagangan Budak. Undang-undang selanjutnya pada tahun 1800 dan 1803 mencoba lebih lanjut mematahkan semangat berdagang budak dengan membatasi investasi dalam perdagangan dan impor serta pelarangan mengimpor budak di negara-negara bagian yang telah melarang perbudakan. Undang-undang final Pelarangan Impor Budak disetujui tahun 1807 untuk berlaku mulai tahun 1808.
Perlindungan yang diberikan kepada perbudakan di UUD AS memperkuat kekuasaan politik para wakil legislatief dari Selatan, dan perekonomian Selatan memiliki jaringan di seluruh negara. Seperti dikemukakan oleh sejarawan James Oliver Horton, para pemilik budak dan komoditas perkebunan serta pertanian Wilayah Selatan memiliki pengaruh yang sangat besar pada politik dan ekonomi AS; perekonomian New York sangat erat talinya dengan Wilayah Selatan, misalnya berkat ekspor dan industri. Pada tahun 1822 separuh dari ekspornya berkaitan dengan katun. Horton menambahkan, dalam kurun waktu 72 tahun antara pemilihan George Washington dan Abraham Lincoln, 50 tahun di antaranya AS memiliki seorang presiden yang merupakan seorang pemilik budak. Dan dalam keseluruhan masa ini tidak ada seorangpun yang dipilih untuk kedua kalinya yang bukan seorang pemilik budak.
Abolisi Wilayah Utara
suntingSelama dan setelah Perang Revolusi Amerika, anatara tahun 1777 dan 1804, undang-undang atau konstitusi anti perbudakan disetujui di setiap negara bagian di utara Sungai Ohio dan Garis Mason-Dixon. Pada tahun 1810, sekitar 75% orang keturunan Afrika di Utara adalah orang bebas dan pada tahun 1840 bisa dikatakan semua orang keturunan Afrika di Utara bebas semua. UUD Vermont tahun 1777 tidak memperbolehkan perbudakan sama sekali. Di Massachusett, perbudakan secara berhasil ditentang di pengadilan pada tahun 1783 pada sebuah kasus kebebasan oleh Quock Walker dan dianggap menentang UUD baru tahun 1780 yang menjamin kesamaan status semua orang. Budak-budak yang bebas mengalami segregasi rasial di Utara dan di beberapa negara bagian Utara membutuhkan waktu beberapa dasawarsa untuk memperluas hak-hak mereka.
Sebagian besar negara-negara bagian utara menyetujui perundang-undangan untuk menghapus perbudakan atau abolisi secara bertahap. Sebagai hasil dari pendekatan bertahap ini, New York baru membebaskan budak-budak terakhir mereka pada tahun 1829, Rhode Island masih memiliki lima orang budak yang terdaftar pada sensus 1840, budak-budak terakhir Pennsylvania dibebaskan tahun 1847, Connecticut baru mencabut perbudakan tahun 1848, dan di New Hampshire dan New Jersey perbudakan baru dicabut secara total ketika emansipasi diberlakukan secara nasional pada tahun 1865. Badan-badan utama terorganisasi yang memperjuangkan reformasi-reformasi ini di Wilayah Utara adalah Pennsylvania Abolition Society dan New York Manumission Society. Emansipasi budak-budak di Wilayah Utara mengakibatkan tumbuhnya populasi orang berkulit hitam bebas, dari bebeapa ratus jiwa pada dasawarsa 1770-an sampai hampir 50.000 jiwa pada tahun 1810.
Melalui Northwest Ordinance ('Peraturan Barat Laut') pada tahun 1787 di bawah Congress of the Confederation, perbudakan dilarang di daerah-daerah baru di sebelah barat laut Sungai Ohio, budak-budak yang sudah ada di Daerah tidak dibebaskan selama tahunan, meski mereka tak boleh dijual lagi. Hal ini merupakan kompromi, karena di rancangan awal buatan Thomas Jefferson untul mengakhiri perbudakan di semua daerah baru pada tahun 1784 kalah satu suara. Daerah-daerah di sebelah selatan Sungai Ohio dan Missouri memperbolehkan perbudakan. Kaum Yankee dan Orang-orang Utara mendominasi gerakan migrasi ke barat ke daerah-daerah Midwestern (Barat Tengah) setelah Revolusi Amerika; ketika daerah-daerah baru ini diatur menjadi negara bagian, perbudakan dilarang di UUD mereka: Ohio pada tahun 1803, Indiana pada tahun 1816, dan Illinois pada tahun 1818. Apa yang lalu berkembang menjadi sebuah Blok Utara bersatu menjadi sebuah wilayah geografis yang bersinambung dan secara umum memiliki kebudayaan yang mirip dan bersama menentang perbudakan. Pengecualiannya hanyalah daerah-daerah sepanjang Sungai Ohio yang dikolonisasi oleh Orang-orang Selatan, misalkan bagian selatan negara-negara bagian Indiana, Ohio dan Illinois, yang membuat daerah-daerah ini secara umum membagi kebudayaan dan pendapat Selatan mereka.
Manumisi di Wilayah Selatan pasca-revolusi
suntingMeski Virginia, Maryland dan Delaware merupakan negara bagian budak, perundang-undangan mereka membuat manumisi lebih mudah setelah Revolusi Amerika. Para pendeta Quaker dan Metodis terutama mendorong para pemilik budak membebaskan budak mereka. Jumlah dan proporsi para budak yang dibebaskan naik secara dramatis sampai tahun 1810. Lebih dari separuh orang berkulit hitam bebas tinggal di Wilayah Selatan bagian Atas. Proporsi orang berkulit hitam bebas di sini naik dari kurang dari 1% pada tahun 1792 sampai lebih dari 10% pada tahun 1810. Di Delaware, hampir 75% orang berkulit hitam telah bebas pada tahun 1810.
Di AS, secara keseluruhan, pada tahun 1810 jumlah orang berkulit hitam mencapai 186.446, atau 13,5% dari semua orang kulit hitam. Setelah masa ini, hanya beberapa saja yang akan dibebaskan, karena perkembangan penanaman katun bisa mengandalkan katun berusia pendek di Wilayah Selatan bawah dan mendorong permintaan budak dalam perdagangan budak dalam negeri.
Perdagangan budak dalam negeri dan transmigrasi paksa
suntingNaiknya permintaan katun menggerakan para pemilik perkebunan mencari tanah yang lebih cocok di sebelah barat. Selain itu, penemuan mesin pemisah biji kapas pada tahun 1793 memungkinkan katun berusia pendek diproses secara lebih ekonomis dan bisa tumbuh daerah hulu. Penemuan ini merevolusi pemrosesan katun menjadi limapuluh kali lipat per harinya.
Mekanisasi bisa secara efisien menangani katun berumur pendek, yang bisa ditanam di lebih banyak tempat daripada katun berumur panjang asal Tanah Hulu. Hasilnya ialah pertumbuhan pesat kultivasi katun di seluruh Wilayah Selatan bawah dan menaikkan permintaan tenaga kerja budak dengan besar untuk mendukungnya. Manumisi menurun secara mencolok di Selatan. Di akhir Perang 1812, kurang dari 300.000 bal katun diproduksi secara nasional, pada tahun 1820 jumlah ini meningkat menjadi 600.000 dan pada tahun 1850 telah mencapai 4.000.000 bal.
Pada tahun 1815 perdagangan budak dalam negeri di Amerika Serikat telah menjadi aktivitas ekonomi penting dan lestari sampai ke dasawarsa 1860-an. Antara tahun 1830 dan 1840, hampir 250.000 jiwa budak ditransportasikan melintas perbatasan negara bagian. Pada dasawarsa 1850-an lebih dari 193.000 ditransportasikan, dan para sejarawan memperkirakan hampir satu juta jiwa budak ikut serta dalam proses transmigrasi paksa yang disebut dengan nama New Middle Passage[13] ini. Pada tahun 1860 populasi budak di Amerika Serikat mencapai 4 juta jiwa. Dari 1.515.605 keluarga bebas di limabelas negara bagian budak, hampir 400.000 memelihara budak (sekitar satu per empat atau 25%), dan secara total proporsinya ialah 8% dari semua keluarga Amerika.
Dengan menjadinya perdagangan budak dalam negeri sebagai ciri khas dominan perbudakan Amerika, maka banyak individu yang kehilangan kontak dengan keluarga dan keluarga besar mereka.
Apalagi ditambah dengan usaha para kolonis awal mencampur-baurkan dan mengkombinasikan budak-budak dari suku-suku yang berbeda, banyak orang-orang keturunan Afrika yang kehilangan pengetahuan mereka mengenai asal muasal mereka yang berbeda-beda di Afrika, apalagi banyak juga yang sudah memiliki keluarga yang sudah berada di Amerika selama berabad-abad.
Pertumbuhan pesat di bidang ekonomi pertanian di Wilayah Selatan atas menghasilkan gerakan transmigrasi paksa para budak ke barat dan selatan. Para sejarawan memperkirakan bahwa kurang lebih satu juta budak ditransportasikan ke barat dan selatan anatara tahun 1790 dan 1860. Banyak dari budak-budak ini berasal dari Maryland, Virginia dan Carolina Utara maupun Selatan, di mana perubahan dalam bidang pertanian menurunkan permintaan budak. Sebelum tahun 1810 tujuan utama adalah Kentucky dan Tennessee, tetapi setelah tahun 1810 Georgia, Alabama, Mississippi, Louisiana dan Texas menerima sebagian besar budak. Kentucky and Tennessee menjadi negara bagian pengekspor budak.
Sejarawan Ira Berlin menyebut transmigrasi paksa ini sebagai the Second Middle Passage (atau "Perjalanan Tengah Kedua") karena proses ini mengulangi banyak sekali kesengsaraan yang terjadi di the Middle Passage (nama yang diberikan untuk transportasi budak-budak dari Afrika ke Amerika Utara mengarungi Samudra Atlantik). Transmigrasi kaum budak yang dilaksanakan secara besar-besaran ini memecah belah banyak keluarga dan mengakibatkan duka dan kepedihan. Sejarawan Peter Kolchin menulis, "Dengan memecah belah keluarga yang ada dan memaksa budak-budak pindah dari segala sesuatu yang mereka kenal dan ketahui, migrasi ini mengulangi (pada level yang lebih rendah) banyak kesengsaraan dari perdagangan budak Atlantik".[14] Dengan mencirikannya sebagai "peristiwa utama" dalam kehidupan seorang budak di antara Revolusi Amerika dan Perang Saudara, Berlin menulis bahwa apakah budak-budak secara langsung dipaksa pindah atau hidup dalam ketakutan kekal di mana mereka merasa terancam bahwa mereka atau anggota keluarga mereka akan dipindahkan dengan paksa, deportasi massal ini mengakibatkan trauma mendalam bagi komunitas kulit hitam, baik bebas maupun budak.
Pada dasawarsa 1830-an hampir 300.000 jiwa budak ditransportasi, dengan Alabama dan Mississippi masing-masing menerima 100.000 jiwa. Pada setiap dasawarsa antara 1810 dan 1860, setidaknya 100.000 budak dipindahkan dari tempat asal mereka. Pada dasawarsa terakhir sebelum Perang Saudara, 250.000 jiwa dipindahkan. Michael Tadman menulis di Speculators and Slaves: Masters, Traders, and Slaves in the Old South (1989) bahwa 60–70% transmigrasi merupakan hasil dari penjualan budak. Pada tahun 1820 seorang anak di Wilayah Selatan atas memiliki kemungkinan 30% akan dijual menuju ke selatan pada tahun 1860. Rasio kematian para budak menuju tujuan baru mereka melintasi Wilayah Selatan Amerika, jauh lebih sedikit daripada para budak yang dikapalkan mengarungi Samudra Atlantik, namun mortalitas jauh lebih tinggi daripada tingkat kematian biasa.
Para pedagang budak mentransportasikan dua pertiga budak yang pindah menuju ke barat. Hanya minoritas di antara mereka yang berpindah bersama keluarga dan majikan tetap mereka. Pedagang budak tidak berkepentingan membeli atau mentransportasikan keluarga budak yang lengkap; pada tahun-tahun awal, para penanam hanya meminta budak laki-laki muda untuk mengerjakan pekerjaan berat. Lalu kemudian, di dalam rangka penciptaan "tenaga kerja yang bisa berkembang biak sendiri", para penanam juga membeli budak laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang kurang lebih sama.
Berlin menulis: "Perdagangan budak dalam negeri menjadi perniagaan terbesar di Selatan di luar perkebunan itu sendiri, dan mungkinlah yang paling canggih dalam penggunaan transportasi modern, keuangan dan publisitas. Industri perdagangan budak mengembangkan bahasanya sendiri yang unik dengan kata-kata yang sekarang dipergunakan secara umum seperti prime hands, bucks, breeding wenches, dan fancy girls".[15] Kata-kata ini artinya kurang lebih "tenaga utama", "seorang laki-laki", "perempuan induk", dan "gadis keren".
Perluasan perdagangan budak antarnegara bagian memberikan kontribusi besar bagi terangkatnya kembali ekonomi negara-negara bagian yang berpesisir laut yang sebelumnya terpuruk, karena permintaan menaikkan nilai budak-budak yang dijual. Beberapa pedagang memindahkan "kawanan budak" mereka melalui laut, dengan rute Norfolk ke New Orleans sebagai yang paling lazim, namun sebagian besar budak dipaksa disuruh jalan darat sendiri. Sedangkan yang lainnya dikapalkan melalui sungai ke hulu dari pasar budak seperti di Louisville di Sungai Ohio dan Natchez di Mississippi. Para pedagang menciptakan sebuah jaringan rute-rute migrasi yang kerap dilalui, lengkap dengan tempat kurungan, lapangan dan gudang budak guna menempatkan mereka untuk sementara waktu. Selain itu para pedagang juga menyediakan kebutuhan para budak seperti pakaian, makanan dan peralatan lainnya. Sementara perjalanan semakin maju, beberapa budak dijual dan sementara yang baru dibeli. Berlin menyimpulkan: "Pada akhirnya, perdagangan budak dengan segala terminal dan pusat-pusat regionalnya, jalur dan cabangnya, mencapai segala sudut masyarakat Selatan. Hanya sedikit orang Selatan, baik berkulit hitam maupun putih yang tidak tersentuh" [16]
Jika pada akhirnya perjalanan sudah sampai di tujuan, para budak menghadapi kehidupan yang sungguh berbeda di daerah perbatasan daripada kebanyakan pekerjaan di Wilayah Selatan atas. Pekerjaan membabat hutan dan memulai bercocok tanam di ladang-ladang baru sungguh berat dan menguras tenaga. Kombinasi dari makanan yang kurang bergizi, air buruk, dan capai dari perjalanan dan pekerjaan melemahkan para budak yang datang dan menghasilkan korban. Perkebunan baru biasa terletak di dekat tepi sungai demi kemudahan transportasi dan perjalanan. Nyamuk dan tantangan lingkungan alam lainnya menyebarkan penyakit dan memakan banyak korban budak. Mereka hanya sedikit mendapatkan imunitas terhadap penyakit-penyakit tanah rendah di daerah asal mereka. Rasio kematian sungguh tinggi dalam tahun-tahun pertama membabat hutan membuka ladang perkebunan baru sehingga para penanam lebih suka menyewa budak apabila memungkinkan daripada memilikinya.
Kondisi yang keras di daerah perbatasan baru menumbuhkan perlawanan para budak dan membuat para pemilik dan pemeriksa budak bersandar pada kekerasan untuk mengendalikan mereka. Banyak budak belum punya pengalaman bekerja di ladang-ladang katun dan tidak terbiasa dengan hidup baru mereka di mana waktu kerja mulai dari subuh sampai matahari terbenam.
Para budak ditindas lebih keras daripada di timur ketika mereka bercocok tanam gandum atau tembako. Budak-budak jauh lebih kurang waktunya untuk memperbaiki mutu kehidupan mereka dengan memelihara ternak atau menanam sayuran yang bisa mereka konsumsi sendiri atau mereka jual, seperti di timur sebelumnya.
Di Louisiana, para kolonis keturunan Prancis mendirikan perkebunan tebu dan mengekspor gula sebagai komoditas utama. Setelah Pembelian Louisiana, orang-orang Amerika memasuki negara bagian ini dan ikut bercocok tanam tebu. Antara tahun 1810 dan 1830, para penanam membeli budak dari Utara dan jumlah budak meningkat dari kurang dari 10.000 jiwa menjadi 42.000 jiwa. Para penanam terutama menyukai laki-laki muda yang belum menikah, dan berjumlah dua per tiga dari pembelian secara keseluruhan. Bercocok tanam tebu jauh lebih berat daripada menanam katun. Dalam mengendalikan para budak muda yang belum menikah ini, para majikan terutama menggunakan kekerasan dan sangat kejam.
New Orleans menjadi kota yang penting secara nasional sebagai sebuah pasar budak dan pelabuhan, dari mana budak-budak dibawa per kapal uap ke hulu ke perkebunan-perkebunan sepanjang Sungai Mississippi. Di sana juga dijual budak-budak yang dibawa dari pasar-pasar di hulu seperti di Louisville menuju ke hilir. Menjelang tahun 1840, New Orleans memiliki pasar budak terbesar di Amerika Utara dan kota ini menjadi yang terbesar keempat di Amerika Serikat. Penghasilannya terutama dari perdagangan budak dan perniagaan terkait. Musim perdagangan adalah dari bulan September menuju ke Mei, setelah masa panen.
Pedagang budak memiliki reputasi buruk, bahkan di Wilayah Selatan pula. Pada pemilihan presiden tahun 1828, capres Andrew Jackson diserang habis-habisan sebagai seorang pedagang budak yang menjualbelikan budak dan memindah-mindahkan mereka tanpa memperdulikan standar modern ataupun moral. Ia tidak diserang karena memiliki budak yang ia pekerjakan di perkebunannya.
Perlakuan terhadap budak
suntingPerlakuan terhadap para budak di Amerika Serikat banyak bervariasi tergantung waktu, tempat dan kondisi. Perlakuan umumnya ditandai dengan keganasan, penghinaan dan kebiadaban. Pencambukan, eksekusi dan pemerkosaan sering terjadi. Menurut Adalberto Aguirre, ada 1.161 jiwa budak yang dieksekusi di AS antara tahun 1790 dan 1850. Tentu perkecualian ada pada setiap generalisasi; misalkan ada budak yang memperkerjakan karyawan berkulit putih, doktor budak yang mengobati pasien berkulit putih dari kalangan atas dan budak yang menyewakan jasa mereka.
Daerah-daerah koloni dan negara-negara bagian pada umumnya tidak memberikan kesempatan kepada para budak untuk belajar membaca dan menulis. Larangan ini unik dan hanya terdapat pada perbudakan Amerika, sebagai perlindungan terhadap mereka supaya jangan memiliki aspirasi yang akan membuat mereka melarikan diri atau memberontak. Beberapa budak belajar dari anak-anak penanam, atau dari para buruh bebas ketika bekerja sama dengan mereka.
Perawatan medis bagi para budak, yang bisa dikatakan terbatas pada, biasanya diberikan oleh sesama budak lainnya atau para anggota keluarga. Banyak budak memiliki keahlian untuk mengurusi sesama dan banyak menggunakan seni perawatan tradisional yang dibawa dari Afrika. Mereka juga mengembangkan cara pengobatan baru berdasarkan tetumbuhan dan herbal yang ada di Amerika Serikat.
Budak-budak biasanya dilarang untuk berkelompok dengan perkecualian untuk menghadiri ibadah kebaktian. Hal ini merupalan alasan mengapa Gereja Hitam merupakan sebuah lembaga yang penting sekarang ini. Setelah adanya pemberontakan Nat Turner pada tahun 1831, beberapa negara bagian melarang atau membatasi perkumpulan keagamaan para budak. Para penanam takut bahwa perkumpulan bersama bisa mempermudah komunikasi dan mengakibatkan pemberontakan.
Menurut Andrew Fede, seorang majikan hanya bisa disalahkan secara pidana untuk membunuh seorang budak jika budak yang telah dibunuhnya "benar-benar tunduk dan sepenuhnya di bawah kendali sang majikan." Sebagai contoh, pada tahun 1791 perundang-undang Carolina Utara mendefinisikan pembunuhan disengaja seorang budak sebagai tindak pidana pembunuhan, kecuali dilaksanakan dengan enggan atau dengan mengkoreksi secara moderat.
Para budak dihukum dengan dicambuk, diborgol, digantung, dipukul, dibakar, dimutilasi, ditandai dengan cap besi bakar dan dipenjara. Hukuman sering kali diberikan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan atau dugaan melanggar hukum, tetapi kadang hukuman disalahgunakan hanya untuk membuktikan keunggulan sang majikan atau pengawas terhadap si budak. Perlakuan biasanya lebih keras pada sebuah perkebunan besar yang dikelola oleh para pengawas di mana sang majikan tidak ada; berbeda dengan keluarga yang memiliki budak dan di mana skala yang lebih kecil kadang kala hubungan yang lebih erat sering kali menghasilkan perlakuan terhadap para budak yang lebih manusiawi. William Wells Brown, yang melarikan diri dan menjadi budak buronan, melaporkan bahwa di sebuah perkebunan para budak laki-laki diharuskan memetik katun 80 pon (sekitar 40 kg) seharinya sementara budak perempuan harus memetik 70 pon (sekitar 35 kg). Jika seorang budak gagal mencapai target ini, maka setiap kekurangan per pon mendapat hukuman cambuk. Tiang pencambukan berada di dekat tempat penimbangan.
Sejarawan Lawrence M. Friedman menulis: "Sepuluh undang-undang Selatan menyatakan bahwa perlakuan buruk terhadap seorang budak merupakan tindak pidana. ... Menurut Kitab Undang-Undang Perdata Louisiana (Louisiana Civil Code) tahun 1825 (pasal 192) menyatakan bahwa jika sang majikan "divonis memperlakukan budak secara kejam", maka hakim boleh menuruhnya menjual si budak, maksudnya mungkin ke seorang majikan yang lebih baik".
Karena hubungan kekuasaan perlembagaan budak ini, budak-budak perempuan di AS memilki risiko tinggi diperkosa atau dilecehkan secara seksual. Banyak budak melawan dan beberapa tewas melawan. Yang lain terluka baik secara fisik maupun psikologis karena serangan ini. Pelecehan seksual terhadap budak terutama berakar di kebudayaan Selatan yang patriarkal yang menganggap perempuan berkulit hitam sebagai properti atau budak saja. Kebudayaan Selatan melarang secara keras hubungan seks antara wanita kulit putih dan pria hitam berdasarkan kemurnian ras, tetapi sebelum akhir abad ke-18, banyaknya budak blasteran dan anak-anak budak blasteran menunjukkan bahwa pria putih sering menyalahgunakan wanita hitam. Para duda penanam yang kaya seperti John Wayles dan menantunya Thomas Jefferson mengambil budak perempuan sebagai selir, kedua-kedua memiliki enam anak dengan pasangan mereka: Elizabeth Hemings dan anak perempuannya, Sally Hemings. Sally Hemings adalah saudari sebapak, mendiang istri Thomas Jefferson. Baik Mary Chesnut dan Fanny Kemble, kedua-duanya istri penanam, menulis mengenai permasalahan seperti ini pada tahun-tahun sebelum Perang Saudara Amerika Serikat di Wilayah Selatan. Kadang kala para penanam menggunakan budak blasteran ini sebagai pelayan rumah tangga atau pengrajin tersayang karena mereka merupakan anak mereka sendiri atau masih ada hubungan saudara.
Sementara keadaan kehidupan budak bisa dikatakan buruk sesuai standar modern, Robert Fogel mengutarakan bahwa semua pekerja, baik budak maupun bebas, kehidupannya sengsara pada paruh pertama abad ke-19.
Undang-undang perbudakan
suntingUntuk mengatur relasi antara budak dan majikan, termasuk dukungan hukum untuk memiliki budak sebagai properti, maka peraturan mengenai perbudakan dibuat.
Sementara semua negara bagian setiapnya memiliki perundang-undangan mengenai budak sendiri, banyak konsep-konsep serupa yang dimiliki semua negara bagian budak. Menurut perundang-undangan budak, mengajari seorang budak membaca atau menulis adalah tindakan melanggar hukum, meskipun hal ini sering terjadi karena anak-anak sering mengajari satu sama lain.
Walau perundang-undangan budak memiliki banyak ciri khas umum, setiap negara bagian memiliki perundang-undangan atau variasi yang cocok dengan hukum di tempat tersebut. Sebagai contoh, di Alabama, budak-budak tidak diperbolehkan meninggalkan pekarangan majikan mereka tanpa izin tertulis, para budak juga tidak diperbolehkan berdagang barang antar sesama. Di Virginia, budak-budak tidak diperbolehkan berminum di tempat umum dalam radius satu mil (1,6 kilometer) dari tempat majikannya berada atau selama ada pertemuan di tempat-tempat umum. Di Ohio seorang budak yang telah diemansipasikan dilarang kembali negara bagian di mana ia telah diperbudak. Di negara bagian budak mana pun juga, para budak tidak diperbolehkan membawa senjata api.
Perundang-undangan untuk District of Columbia mendefinisikan seorang budak sebagai "seorang manusia, yang kebebasannya telah diambil untuk seumur hidupnya, dan merupakan hal milik seorang lainnya."
Gerakan kaum abolisionis
suntingSeperti ditulis di atas, tidak lama setelah Perang Revolusi AS, negara-negara bagian Utara mulai mencabut perbudakan. Banyak negara bagian, termasuk dari Selatan menyetujui undang-undang melarang pengimporan budak untuk mengakhiri perdagangan budak lintas Samudra Atlantik.
Setelah Britania Raya dan Amerika Serikat melarang perdagangan internasional pada tahun 1807 dan 1808, aktivitas Skuadron Afrika Barat Britania untuk meredam perdagangan budak dimulai tahun 1808. Mereka dibantu elemen-elemen Angkatan Laut AS, mulai semenjak tahun 1820. Dengan perjanjian Webster-Ashburton tahun 1842, hubungan dengan Britania diresmikan dan mereka bersama-sama menjalankan Skuadron Afrika.
Selama paruh pertama abad ke-19, abolisionisme, yaitu gerakan untuk menghentikan perbudakan, mulai bertumbuh kekuatannya di Amerika Serikat; sebagian besar perhimpunan abolisionis dan para pendukungnya berada di Wilayah Utara. Perjuangan ini terjadi sementara perbudakan didukung dengan kuat oleh orang-orang berkulit putih di Selatan, yang mendapat keuntungan besar dari sistem perbudakan ini. Perbudakan terkait erat dengan ekonomi nasional, sebagai contoh, dunia perbankan, perkapalan dan perindustrian New York, semuanya memiliki pautan erat dengan kepentingan perbudakan, seperti juga di kota-kota besar lainnya di Wilayah Utara.
Para pemilik budak menyebut perbudakan sebagai "lembaga yang khusus" (peculiar institution) untuk membedakannya dari jenis pekerjaan paksa lainnya. Mereka menjustifikasikannya dengan menyatakan bahwa jenis pekerjaan ini kurang kejam daripada pekerjaan bebas di Utara.
Henry Clay (1777–1852), salah seorang perintis Perhimpunan Kolonisasi Amerika (American Colonization Society), wahana untuk memulangkan orang-orang Amerika berkulit hitam ke Afrika, berpendapat bahwa mereka akan mendapatkan kebebasan lebih luas di Afrika dengan mendirikan Liberia.
Pada awal abad ke-19, sejumlah organisasi didirikan yang menyerukan pemulangan orang-orang berkulit hitam dari Amerika Serikat ke suatu tempat di mana mereka akan mendapatkan kebebasan yang lebih luas. Beberapa pihak menyetujui kolonisasi di Afrika sementara yang lainnya menyarankan emigrasi. Selama dasawarsa 1820 dan 1830, the American Colonization Society (ACS) adalah organisasi utama yang memiliki proposal untuk "memulangkan" orang Amerika berkulit hitam ke Afrika. ACS terutama terdiri dari para Quackers dan pemilik budak, yang memiliki pendapat berbeda mengenai perbudakan namun memiliki pendapat sama mengenai "repatriasi". Kebanyakan orang Amerika berkulit hitam tidak ingin beremigrasi tetapi lebih menginginkan hak-hak sipil penuh di AS, di mana mereka lahir dan sering kali telah tinggal selama beberapa generasi.
Pada tahun 1822 ACS mendirikan Koloni Liberia. Mereka menolong ribuan mantan budak-budak Amerika keturunan Afrika dan orang berkulit hitam bebas (di dalam batas hukum) untuk beremigrasi ke sana dari AS. Banyak orang berkulit putih berpendapat hal ini lebih baik daripada emansipasi di Amerika Serikat. Henry Clay, salah seorang perintisnya, mengatakan bahwa orang berkulit hitam menghadapi "prasangka yang tak teratasi yang disebabkan karena warna kulit mereka, mereka tidak akan pernah bisa berbaur dengan orang berkulit putih bebas di negara ini. Oleh karena itu lebih baik jika, karena ini menghormati mereka dan sisa penduduk negara ini, mengalirkan mereka keluar".
Para pemilik budak berpendapat bahwa lebih baiklah jika orang-orang berkulit hitam beremigrasi ke Afrika. Mereka menentang kebebasan untuk orang-orang berkulit hitam, tetapi melihat bahwa "repatriasi" adalah suatu cara untuk mencegah pemberontakan.
Setelah tahun 1830, William Lloyd Garrison bekerja mencapai abolisi dengan mengaitkannya kepada agama sebagai dosa pribadi. Ia meminta supaya para pemilik bertobat dan memulai proses emansipasi. Pendapatnya membuat penolakan oleh beberapa bagian masyarakat Selatan semakin keras, dan mereka menunjukkan panjangnya sejarah perbudakan di antara banyak peradaban. Beberapa abolisionis seperta John Brown, lebih memilih penggunaan kekerasan untuk mengobar semangat para budak memberontak. Kebanyakan mencoba meraih dukungan umum untuk mengubah undang-undang dan menggunakan sistem perhukuman.
Permintaan besar dan penyelundupan
suntingUUD AS yang disetujui tahun 1787 mencegah Congress untuk melarang pengimporan budak secara penuh sampai tahun 1808, meskipun Congress meregulasinya di Undang-Undang Perdagangan Budak tahun 1794, dan lanjutannya tahun 1800 serta 1803.
Karena mengetahui perdagangan budak akan segera berakhir, maka dalam waktu delapan tahun dari 1800 sampai 31 Desember 1807, Georgia dan Carolina Selatan mengimpor sekitar 100.000 budak-budak Afrika ke Amerika. Banyak negara bagian lainnya secara sendiri-sendiri menyetujui undang-undang melarang pengimporan budak setelah Revolusi.
Pada 1 Januari 1808 ketika Congress melarang impor perbudakan lebih lanjut, hanya Carolina Selatan yang masih mengimpor budak. Congress hanya memperbolehkan perdagangan budak yang merupakan keturunan mereka yang sudah ada di Amerika Serikat. Perdagangan budak dalam negeri diperbolehkan dan hal ini menjadi semakin menguntungkan dengan dikembangkannya lahan baru di Wilayah Selatan bagian atas untuk penanaman katun dan tebu.
Selain itu, warga AS masih bisa berikutserta dalam perdagangan budak internasional dan melengkapi kapal-kapal untuk tujuan ini. Perbudakan di Amerika Serikat kurang lebih menjadi otonom dengan pertumbuhan alami para budak dan keturunan mereka.
Meski dilarang, pengimporan budak tetap berlangsung, meski dalam skala lebih kecil dengan para penyelundup yang bisa lolos dari patroli kapal-kapal Angkatan Laut AS di Carolina Selatan dan melalui jalur darat dari Texas dan Florida. Kedua daerah ini kala itu masih di bawah kekuasaan Spanyol. Congress menambah hukuman terhadap pengimporan budak, dan mengklasifikasikannya sebagai tindakan bajak laut. Para penyelundupnya bisa menghadapi hukuman keras, bahkan sampai hukuman mati, jika tertangkap basah. Setelah itu "setelah itu tidaklah mungkin, lebih dari 10.000 budak bisa berhasil diselundupkan masuk ke AS." Karena tingginya permintaan, penyelundupan budak terus berlanjut sampai ke saat sebelum pecahnya Perang Saudara.
Perang 1812
suntingSelama Perang tahun 1812, para perwira Angkatan Laut Kerajaan Britania yang mengepalai armada blokade, berbasis di galangan Bermuda. Mereka diperintahkan untuk memberikan kebebasan bagi para budak Amerika yang membelot, seperti yang dilakukan oleh Kerajaan pada Perang Revolusi. Ribuan budak beserta keluarga mereka melarikan diri ke Kerajaan. Banyak pria yang direkrut masuk ke Korps Marinir Kolonial di Pulau Tangier yang diduduki, di Teluk Chesapeake.
Para budak yang dibebaskan ini, berperang untuk Britania selama kampanye Atlantik, termasuk serangan ke Washington D.C. Dan Kampanye Louisiana. Tujuhratus di antara mereka diberi tanah. Menurut laporan mereka mengatur diri di desa-desa sepanjang garis satuan militer mereka. Banyak budak Amerika lainnya yang dibebaskan direkrut secara langsung di rezimen India Barat yang sudah ada satuan Tentara Britania baru. Orang Britania di kemudian hari lalu memukimkan ulang ribuan budak bebas di Nova Scotia.
Pemilik budak, terutama di Selatan, mengalami "begitu banyak kerugian properti" karena puluhan ribu budak melarikan diri ke posisi-posisi atau kapal-kapal Britania demi kebebasan meski hal ini sangat sulit dicapai.
Para penanam yang berpikir bahwa para budak "puas dan berbahagia", sungguh terkejut bahwa mereka mengorbankan begitu banyak untuk bisa bebas. Kemudian ketika beberapa budak yang bebas dimukimkan di Bermuda, para pemilik budak seperti Mayor Pierce Butler dari Carolina Selatan mencoba merayu mereka untuk kembali ke Amerika Serikat. Namun usahanya tidak berhasil.
Orang-orang Amerika memprotes Britania bahwa Britania tidak mau mengembalikan semua budak yang melarikan melanggar Perjanjian Gent. Setelah ada upaya mediasi dari Tsar Rusia, orang-orang Britania membayar Washington uang sejumlah S 1.204.960 untuk mengganti rugi para pemilik budak.
Agama
suntingSebelum Revolusi Amerika, para majikan dan revivalis menyebarkan Agama Kristen kepada komunitas budak, mereka didukung oleh Perhimpunan Penyebaran Injil. Pada First Great Awakening, kaum Baptis dan Metodis dari Inggris Baru berkhotbah dengan pesan menentang perbudakan, mendorong para majikan membebaskan budak mereka, membaptis baik para budak maupan orang berkulit hitam bebas dan memberikan mereka peran aktif di jemaat-jemaat baru. Jemaat-jemaat Hitam pertama dimulai di Wilayah Selatan sebelum Revolusi.
Dengan berselangnya tahun dan tumbuhnya perbudakan di Selatan, maka dalam beberapa dasawarsa pera pendeta Baptis dan Metodis bertahap mengubah pesan mereka untuk menghalalkan perlembagaan ini. Setelah tahun 1830, para pendeta berkulit putih dari Selatan berpendapat cocoknya agama Kristen dengan praktik perbudakan, dengan menyediakan banyaknya kutipan dari Alkitab, baik dari Perjanjian Lama maupun Baru.
Para budak Selatan biasanya ikut menghadiri gereja Putih majikan mereka, dan biasanya para hadirin berkulit hitam jumlahnya melebihi mereka yang berkulit putih. Biasanya mereka hanya diperbolehkan duduk di belakang atau di atas, di balkon. Mereka mendengarkan para pendeta berkulit putih berkhotbah yang menekankan perbuatan pantas bagi para budak pada tempat mereka dan mengakui jatidiri para budak baik sebagai manusia maupun hak milik seseorang. Para pendeta mengajarkan rasa tanggung jawab kepada para majikan dan konsep perlakuan paternal yang pantas serta memakai Kekristenan untuk memperbaiki keadaan para budak dan memperlakukan mereka "adil dan jujur" (Kolose 4:1)[17] Hal ini meliputi pula menahan diri, tidak memberikan hukuman dengan amarah, tidak mengancam dan akhirnya memupuk ajaran Kristiani di antara budak mereka dengan contoh yang baik.
Para budak juga melakukan ibadah keagaman mereka sendiri, tanpa diawasi oleh para majikan atau pendeta berkulit putih. Perkebunan yang memiliki kelompok-kelompok budak berjumlah duapuluh orang atau lebih, menciptakan kesempatan untuk bertemu pada malam hari bagi salah satu atau beberapa kelompok budak perkebunan. Jemaat-jemaat ini biasanya berputar pada seorang pengkhotbah yang sering kali buta huruf dan hanya memiliki pengetahuan terbatas mengenai teologi, tetapi memiliki kesolehan yang tinggi dan kemampuan untuk mengayomi sebuah lingkungan spiritual. Salah satu warisan lestari dari jemaat-jemaat rahasia ini adalah dunia spiritualitas Afrika-Amerika.
Nat Turner
suntingPada tahun 1831, sebuah pemberontakan budak terjadi di Southampton County, Virginia, dan direncana oleh Nat Turner, seorang budak yang bias membaca dan menyatakan bahwa ia mendapatkan wangsit. Ia menggerakan apa yang disebut sebagai Pemberontakan Nat Turner atau Huruhara Southampton. Turner dan para pengikutnya membunuh sekitar 60 warga berkulit putih, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, sementara orang laki-laki banyak yang sedang menghadiri sebuah acara keagamaan di Carolina Utara.[18] Pada akhirnya Nat Turner bisa ditangkap dengan 17 pemberontak lainnya oleh sebuah laskar rakyat.[18]
Turner dan para pengikutnya digantung dan badan Turner dimutilasi. Dalam suasana kegilaan karena rasa takut dan balas dendam, lascar ini membunuh lebih dari 100 budak yang tidak terlibat dalam pemberontakan ini. Para penanam juga mencambuki ratusan budak tak bersalah untuk meredam perlawan.
Undang-undang anti kemelekan huruf
suntingDi seantero Wilayah Selatan, undang-undang baru disetujui untuk membatasi hak-hak orang berkulit hitam yang sudah sangat terbatas. Undang-undang baru di Virginia melarang orang berkulit hitam, baik bebas maupun budak untuk berkhotbah, memiliki senjata api, dan mengajari budak membaca.[18] Khas untuk Virginia ialah perundang-undangan menentang pelajaran bagi budak, orang hitam bebas, dan anak-anak blasteran hitam dan putih. Hukuman berat dijatuhkan baik bagi sang guru dan muridnya jika budak diajari.[19]
Perekonomian
suntingSetelah penemuan mesin pemisah biji kapas oleh Eli Whitney pada tahun 1793, sebagian besar budak di Amerika Serikat dikerahkan untuk memproduksi katun. Data statistik menunjukkan bahwa sementara kurang dari 10% penduduk Utara adalah budak, pada tahun 1790, Virginia memiliki 44% dari keseluruhan penduduk budak di AS. Perbudakan di AS pada masa sebelum Perang Saudara adalah pekerjaan terikat bagi orang berkulit hitam. Hal ini terutama sangat umum dalam sektor pertanian dengan keberadaan yang besar di Selatan, yaitu daerah di mana iklimnya lebih cocok untuk aktivitas pertanian.
Beberapa ahli ekonomi dan sejarawan memandang perbudakan sebagai sebuah sistem yang menguntungkan, meski tanpa ikut memperhitungkan biaya pemerintah untuk mempertahankan perlembagaan ini, apalagi kesengsaraan manusia. Peralihan dari buruh kontrak ke budak menunjukkan bahwa budak memberikan keuntungan yang lebih besar kepada pemilik mereka. Harga relatif budak dan buruh kontrak menurun pada masa sebelum perang. Buruh kontrak menjadi lebih mahal dengan meningkatnya permintaan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan di Inggris. Pada waktu yang sama, budak disuplai dari dalam AS sendiri, sehingga tidak ada permasalahan bahasa dan biaya transportasi budak antarnegara bagian bisa dikatakan relatif rendah. Pada dasawarsa sebelum Perang Sudara, AS mengalami peningkatan alami populasi penduduk berkulit hitam. Maka populasi budak meningkat hampir empat kali antara tahun 1810 dan 1860, bahkan setelah perbudakan internasional budak dilarang pada tahun 1808 oleh AS.
Meskipun beberapa ilmuwan seperti Eugene Genovese berpendapat bahwa perbudakan akan punah sendiri dan merupakan sebuah sistem yang dipertahankan karena alasan budaya, Robert Fogel dan Stanley Engerman berpendapat pada buku mereka Time on the Cross, bahwa rasio keuntungan perbudakan mendekati 10 persen, angka ini dekat pada investasi di aset-aset lainnya. Karya Fogel tahu 1989, Without Consent or Contract The Rise and Fall of American Slavery menjelaskan secara panjang lebar mengenai dakwaan moral perbudakan yang akhirnya berlanjut ke pencabutannya.
Efisiensi budak
suntingPara ilmuwan masih berbeda pendapat bagaimana menilai efisiensi perbudakan. Di dalam buku Time on the Cross, Fogel dan Engerman mempersamakan efisiensi kepada Produktivitas Faktor Total, yaitu hasil per satuan secara rata-rata dari input di sebuah pertanian. Dengan menggunakan pengukuran ini, pertanian Selatan yang menggunakan budak dengan sistem gang ternyata 35% lebih efisien daripada pertanian Utara yang menggunakan tenaga buruh bebas. Di bawah sistem gang, kelompok-kelompok budak melakukan tugas-tugas yang disinkronisasi satu sama lain di bawah pengawasan para pengawas. Setiap kelompok seperti sebuah bagian mesin. Jika dianggap bekerja di bawah kapasitasnya, maka seorang budak bisa dihukum. Walau demikian Fogel berpendapat bahwa pelaksanaan negatif seperti ini jarang dilaksanakan dan bahwa budak dan buruh bebas kualitas hidupnya mirip. Pernyataan terakhir ini mengundang kontroversi dan sampai sekarang belum ada mufakat mengenai hal ini.
Harga budak
suntingDengan memperhitungkan inflasi, harga-harga budak naik pesat dalam enam dasawarsa sebelum Perang Saudara. Meskipun harga budak secara relatif jika diperbandingkan dengan buruh kontrak menurun, keduanya menjadi lebih mahal. Produksi katun meningkat dan tergantung kepada penggunaan tenaga kerja budak untuk medapatkan keuntungan tinggi. Fogel dan Engeman awalnya berpendapat bahwa jika Perang Saudara tidak pernah terjadi, maka harga budak akan meningkat lebih lanjut, secara rata-rata lebih dari 50% pada tahun 1890.
Harga-harga mencerminkan ciri khas budak, seperti jenis kelamin, umur, sifat dan ketinggian. Semuanya menentukan harga seorang budak. Dilihat dari siklus kehidupan, budak perempuan harganya lebih tinggi daripada laki-laki sampai ke usia puber, karena mereka memiliki kemungkinan punya anak dan menghasilkan lebih banyak budak. Laki-laki sekitar umur 25 tahun adalah yang paling berharga, karena kinerja mereka adalah yang tertinggi dan masih memiliki ekspektasi umur panjang. Jika budak memiliki sejarah suka berkelahi atau melarikan diri, maka harganya akan menurun, karena para penanam yakin ada risiko bahwa mereka akan melakukannya lagi. Laki-laki yang lebih tinggi biasanya harganya juga lebih tinggi karena ketinggian dipandang sebagai cermin dari kesehatan jasmani dan kinerja.
Kondisi pasar membuat terjadinya kejutan pada persediaan dan permintaan budak, yang pada gilirannya mengubah harga. Sebagai contoh, budak menjadi lebih mahal ketika persediaan menurun setelah pengimporan budak dihentikan pada tahun 1808. Pasaran untuk produksi pekerjaan mereka juga mempengaruhi harga ekonomi budak: permintaan terhadap budak jatuh dengan jatuhnya harga katun pada tahun 1840. Lalu antisipasi perubahan juga mempengaruhi harga. Dengan berjalannya Perang Saudara, maka terjadi pula kesangsian akan berlangsungnya praktik perbudakan secara legal, sehingga laki-laki utama di New Orleans harganya menurun, mereka dijual $ 1116 per orang pada tahun 1862, padahal setahun sebelumnya pada tahun 1861 harganya $1381.
Dampak perbudakan pada perkembangan Wilayah Selatan
suntingSementara perbudakan membawa keuntungan dalam jangka pendek, maka terjadilah diskusi mengenai manfaat ekonomi mereka dalam jangka panjang. Selama abad ke-19, Alexis de Tocqueville melihat bahwa "jajahan di mana tidak ada budak, kemakmuran lebih tinggi daripada di mana ada perbudakan". Gavin Wright mengakui bahwa penggunaan sumber-sumber moneter di dalam industri katun, antara lain, memperlambat perkembangan dagang dan industri. Jalur kereta kurang berkembang di Selatan, namun Wright berpendapat bahwa teknologi pertanian jauh lebih berkembang di Selatan, dan ini mewakili kelebihan Selatan secara ekonomi dibandingkan Wilayah Utara AS.
Tahun 1850-an
suntingKarena kompromi tiga per lima di dalam UUD AS, di mana para budak hanya dihitung 3/5 dalam menentukan perwakilan sebuah negara bagian di Congress, maka kelas elit para penanam lama memegang kekuasaan di Congress dari semua jumlah orang berkulit putih dari Selatan. Pada tahun 1850 mereka menerapkan undang-undang budak buronan Federal yang lebih keras. Arus para pengungsi dari perbudakan terus mengalir dari Selatan menyeberangi Sungai Ohio dan bagian lain dari Garis Mason-Dixon yang membagi Utara dan Selatan, menuju ke utara melalui Underground Railroad. Keberadaan fisik orang-orang berkulit hitam di kota-kota Utara mengganggu beberapa orang Utara berkulit putih, meski yang lain ikut menolong mantan-mantan budak ini dari mantan pemilik mereka, dan yang lain lagi menolong mereka melarikan diri mencapai kebebasan di Kanada. Setelah tahun 1854, kaum Republikan berpendapat bahwa Faksi Budak, terutama Partai Demokrat yang pro perbudakan, menguasai dua dari tiga cabang pemerintahan federal.
Congress melarang perdagangan budak (meski bukan perbudakan itu sendiri) di District of Columbia sebagai bagian dari Kompromi 1850.
Kansas Berdarah
suntingKansas Berdarah (Bleeding Kansas) adalah serangkaian peristiwa kekerasan yang melibatkan penduduk pemukim di Kansas yang anti perbudakan dengan mereka yang mendukung perbudakan (dikenal sebagai Ruffian). Peristiwan ini terjadi di teritori Kansas dan daerah di barat Missouri di antara tahun 1854 dan 1858. Konflik lebih kepada apakah Kansas bergabung dengan Uni sebagai negara bebas (anti-perbudakan) atau negeri budak (pro-perbudakan). Karena itu, Kansas Berdarah adalah perang tidak langsung antara penduduk Utara dan penduduk Selatan berkenaan dengan masalah perbudakan di Amerika Serikat.
Dred Scott
suntingDred Scott dan istrinya Harriet Scott, masing-masing menuntut negara supaya mereka dibebaskan di St. Louis setelah kematian majikan mereka dengan alasan bahwa mereka tinggal di sebuah wilayah di mana perbudakan (bagian utara dari Pembelian Louisiana, di mana perbudakan tidak diikutsertakan seperti tertera dalam Kompromi Missouri). Kedua kasus ini kemudian digabung. Scott mengajukan kasusnya pada tahun 1846 dan melalui dua pengadilan. Yang pertama menolak kebebasannya sementara yang kedua meluluskan permintaannya, sehingga mereka berdua dan anak-anak mereka menjadi bebas. Preseden negara bagian Missouri selama 28 memberikan kebebasan dalam kasus-kasus seperti ini di dalam abad ke-19, namun Mahkamah Tinggi Negeri Bagian mengalahkan Scott dengan alasan "waktu sudah berubah."
Setelah Scott naik banding dan kasus ini dibawa ke Mahkamah Agung AS, kebebasan tidak diberikan kepada Scott sekeluarga dalam sebuah keputusan serentak yang membawa AS ke jalur Perang Saudara. Mahkamah menentukan, bahwa di bawah UUD AS, Dred Scott maupun orang keturunan Afrika lainnya, baik bebas maupun budak, adalah seorang warganegara yang memiliki hak untuk menuntut di mahkamah federal dan bahwa Congress tidak memiliki kekuasaan konstitusional untuk menyetujui Kompromi Missouri.
Keputusan 1857 ini, di mana hasil suaranya adalah 7-2 menyatakan bahwa seorang budak tidak menjadi bebas apabila ia dibawa ke sebuah negeri bagian bebas. Congress tidak bisa menghalangi perbudakan dari sebuah daerah dan orang-orang keturunan Afrika yang diimpor masuk ke AS dan dipelihara sebagai budak, atau keturunan mereka, tidak bisa menjadi warga negara. Sebuah negeri bagian tidak bisa menghalangi para pemilik budak untuk membawa budak masuk ke negeri bagian tersebut. Banyak orang Republikan, termasuk Abraham Lincoln, menganggap keputusan ini tidak adil dan sebuah bukti bawah Kekuasaan Budak sudah mengambil alih kekuasaan di Mahkamah Agung. Ditulis oleh ketua Mahkamah Agung Roger B. Taney, keputusan ini secara efektif menghalangi budak dan keturunan mereka mendapatkan kewarganegaraan. Kaum abolisionis murka dengan keputusan ini sementara pemilik budak merasa mendapat angin. Hal ini memperpanas situasi yang akan menuju ke Perang Saudara.
Perang Saudara dan emansipasi
suntingPemilihan presiden
suntingPerbedaan ini menjadi mencolok dengan pemilihan presiden pada tahun 1860. Para elektorat terbagi menjadi empat. Kaum Demokrat Selatan menghalalkan perbudakan, sementara kaum Republikan menentangnya. Kaum Demokrat Utara berpendapat bahwa demokrasi meminta rakyat untuk memutuskan perbudakan secara lokal, di setiap negara bagian atau teritori. Partai Persatuan Konstitusi menyatakan bahwa keberlangsungan Negara Kesatuan AS sedang ditentukan dan semuanya harus dikorbankan untuk menyelamatkannya. Lincoln, sang Republikan memenangkan jumlah suara terbesar suara rakyat dan mayoritas suara elektoral. Walau demikian, Lincoln tidak muncul di surat suara sepuluh negara bagian Selatan. Sehingga terpilihnya Lincoln membagi negara sesuai garis faksi. Banyak pemilik budak di Selatan takut maksud sebenarnya kaum Republikan ialah untuk menghapus perbudakan di negara-negara bagian di mana hal ini sudah ada dan emansipasi mendadak empat juta budak akan bermasalah bagi para pemilik budak dan ekonomi yang menarik keuntungannya sebagian besar dari hasil pekerjaan orang yang tak digaji.
Mereka juga berpendapat bahwa dengan melarang perbudakan di negara-negara bagian baru, maka hal ini akan mengganggu keseimbangan kekuasaan yang ada antara negara-negara bagian budak dan bebas. Mereka takut bahwa dengan berakhirnya keseimbangan yang genting ini, maka hal ini akan diikuti dengan dominasi Wilayah Utara yang menekankan perindustrian dengan preferensinya terhadap pajak tinggi untuk barang-barang impor. Kombinasi dari faktor-faktor ini membuat Amerika Serikat bagian Selatan untuk memerdekakan diri dari negara kesatuan dan dengan ini Perang Saudara AS dimulai.
Para pemimpin Utara berpendapat bahwa kepentingan perbudakan merupakan ancaman politik dan dengan adanya separatisme, mereka memandang prospek masa depan dengan sebuah negara baru di selatan, Konfederasi Amerika dengan kuasa atas sungai Mississipi dan Wilayah Barat sebagai suatu hal yang tidak bisa diterima baik secara politik maupun militer.
Perang Saudara
suntingPerang Saudara Amerika Serikat yang dimulai tahun 1861, akan mengakhiri perbudakan di Amerika Serikat. Tidak lama setelah perang dimulai, berkat sebuah manuver hukum yang konon digagas oleh Jenderal Utara Benjamin F. Butler, yang sebenarnya berprofesi sebagai pengacara, para budak yang menjadi mililk Tentara Utara, lalu dianggap sebagai "jarahan perang". Jendral Butler berpendapat bahwa mereka tidak perlu dikembalikan kepada para pemiliknya di Selatan seperti sebelum perang. Berita ini menyebar dengan cepat dan banyak budak mengungsi ke wilayah Uni atau Wilayah Utara dan berkeinginan dinyatakan sebagai jarahan. Banyak jarahan ini lalu bergabung dengan Tentara Uni sebagai pekerja atau prajurit dan bahkan membuat rezimen-rezimen tersendiri yang terdiri dari orang-orang berwarna. Yang lainnya pergi ke kamp-kamp pengungsian seperti Grand Contraband Camp dekat benteng Fort Monroe atau mengungsi ke kota-kota Utara. Tafsir hukum Jendral Butler ditetapkan secara resmi ketika Congress menyetujui Perundang-Undangan Penyitaan tahun 1861 (Confiscation Act) yang menyatakan bahwa semua properti yang digunakan militer Konfederasi, termasuk para budak bisa disita oleh pasukan Uni.
Pada awal perang, beberapa perwira Uni mengira mereka harus mengembalikan budak-budak yang melarikan diri. Pada tahun 1862, ketika tampak jelas bahwa perang akan berlangsung lama, pertanyaan bagaimana perbudakan harus diapakan, menjadi lebih umum. Ekonomi dan upaya perang Selatan tergantung kepada tenaga budak. Waktu itu semakin jelas bahwa tidaklah logis untuk melindungi perbudakan sementara pada saat yang sama perdagangan Selatan diblokade dan perindustrian mereka dihancurkan.
Seperti dijelaskan oleh seorang anggota Congress, para budak "... tidak bisa dianggap netral. Baik sebagai buruh maupun prajurit, merela merupakan sekutu para pemberontak, atau Uni." Anggota Congress yang sama dan beberapa koleganya kaum Republikan Radikal, menekan Presiden Lincoln untuk segera mengemansipasi para budak, sementara kaum Republikan yang moderat mulai menerima emansipasi bertahap dan berkompensasi serta kolonisasi. Kaum Copperheads, negara-negara bagian perbatasan dan kaum Demokrat Perang menentang emansipasi meskipun kaum Demokrat Perang akhirnya menerimanya sebagai bagian dari perang total untuk menyelamatkan negara kesatuan.
Proklamasi Emansipasi
suntingPada tahun 1861, Lincoln mengutarakan ketakutannya bahwa upaya emansipasi yang terlalu dini artinya akan berisiko dengan kehilangan negara-negara bagian perbatasan. Ia yakin bahwa "kehilangan Kentucky artinya hampir sama seperti kalah sama sekali." Pada awalnya Lincoln mengembalikan upaya Menteri Perang Simon Cameron dan Jenderal John C. Freemont (di Missouri) dan Jenderal David Hunter (di South Carolina, Georgia dan Florida) supaya bisa mempertahankan loyalitas negara-negara bagian perbatasan dan kaum Demokrat Perang. Lincoln membicarakan Proklamasi Emansipasinya dengan anggota-anggota kabinetnya pada tanggal 21 Juli 1862. Menteri Negara William H. Seward mengatakan kepada Lincoln untuk menunggu sebuah kemenangan dahulu sebelum mengeluarkan sebuah proklamasi, sebab kalau tidak kesannya akan seperti sebuah "jeritan akhir dalam mengundurkan diri". Pada bulan September 1862, Pertempuran Antietam menyediakan kesempatan ini dan Konferensi Gubernur Perang menambahkan dukungan terhadap proklamasi. Lincoln sebelumnya sudah menerbitkan surat untuk menyemangati negara-negara bagian perbatasan menerima emansipasi sebagai kebutuhan untuk menyelamatkan negara kesatuan. Lincoln kemudian menyatakan bahwa perbudakan "entah bagaimana adalah penyebab perang". Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasinya yang sementara pada tanggal 22 September 1862 dan menyatakan bahwa proklamasi versi final akan dikeluarkan jika rencananya yanh bertahap berdasarkan emansipasi yang mengkompensasi pemilik budak dan kolonisasi secara sukarela akan ditolak. Hanya District of Columbia menerima rencana bertahapnya dan Lincoln lalu menerbitkan versi final Proklamasi Emansipasinya pada tanggal 1 Januari 1863. Di dalam suratnya kepada Hodges, Lincoln menerangkan kepercayaannya bahwa
"Jika perbudakan tidak salah, maka tidak ada yang salah ... Namun saya tidak pernah mengerti bahwa Kepresidenan menekankan kepada saya hak tak terbatas untuk bertindak secara resmi terhadap vonis dan perasaan ini ... Saya menyatakan bahwa saya tidak mengendalikan peristiwa tetapi saya mengaku bahwa peristiwa yang mengendalikan saya".
Proklamasi Emansipasi Lincoln tanggal 1 Januari 1863 merupakan sebuah tindakan yang sangat kuat yang menjanjikan kebebasan bagi para budak di Konfederasi pada saat Tentara Uni meraih mereka, dan mengizinkan orang Afrika-Amerika mendaftar di Tentara Uni. Emansipasi ini tidak membebaskan para budak di negara-negara bagian perbatasan yang bersekutu dengan Negara Kesatuan Amerika Serikat. Karena Konfederasi tidak mengakui kekuasaan Presiden Lincoln dan proklamasi ini tidak membebaskan budak-budak di negara bagian perbatasan, sehingga pada kesan pertama seolah-olah hal ini hanya berlaku kepada budak yang berhasil melarikan diri. Namun proklamasi ini menjadi salah satu tujuan resmi perang yang langsung dilaksanakan apabila Tentara Uni menduduki daerah Konfederasi. Menurut sensus tahun 1860, proklamasi ini akan membebaskan sekitar 4 juta budak atau 12% penduduk Amerika Serikat secara keseluruhan.
Karena Proklamasi Emansipasi hanya berdasarkan hak-hak kekuasaan perang presiden, maka ini hanya berlaku pada wilayah yang dipegang Konfederasi saat itu. Namun Proklamasi ini menjadi simbol ketekadan Uni untuk menambahkannya kepada definisinya tentang kebebasan. Lincoln juga memainkan peran yang utama dalam menggerakkan Congress untuk menyetujui emansipasi ini permanen dan semesta dengan diterimanya Amendemen Ketigabelas terhadap UUD AS.
Para budak keturunan Afrika ini tidak menunggu tindakan Lincoln sebelum melarikan diri dan mencari kebebasan di belakang garis Uni. Dari tahun-tahun awal perang, ratusan ribu orang berkulit hitam melarikan diri ke daerah yang dikuasai Uni seperti Norfolk dan Hampton Roads di Virginia serta Tennessee mulai tahun 1862. Begitu banyak orang Afrika-Amerika melarikan diri ke wilayah Uni sehingga para komandan mendirikan kamp-kamp dan sekolah-sekolah bagi mereka. Di sana baik anak-anak maupun orang dewasa bisa belajar membaca dan menulis. Perhimpunan Misi Amerika (The American Missionary Association) ikut serta berperang dengan mengirimkan guru-guru ke kamp-kamp seperti ini, dan juga misalkan dengan mendirikan sekolah di Norfolk dan di perkebunan-perkebunan sekitarnya. Selain itu hampir 200.000 pria Afrika-Amerika berbakti dengan hormat di Tentara Uni sebagai prajurit atau kelasi. Kebanyakan mereka adalah para budak yang melarikan diri. Kaum Konfederasi merasa terhina menghadapi para prajurit berkulit hitam dan tidak mau menganggap mereka sebagai tahanan perang. Banyak yang ditembak mati, seperti pada Pembantaian Fort Pillow, dan banyak lainnya diperbudak kembali.
Undang-undang Arizona Organic Act mencabut perbudakan pada tanggal 24 Februari 1863 di Teritori Arizona yang didirikan. Tennessee dan semua negara bagian perbatasan (kecuali Kentucky) menghapus perbudakan pada awal 1865. Ribuan budak dibebaskan dengan operasi Proklamasi Emansipasi ketika tentara-tentara Uni berbaris melintas Wilayah Selatan. Emansipasi sebagai kenyataan, datang ke budak-budak selatan lainnya setelah semua pasukan Konfederasi menyerah pada musim semi 1865.
Meski Wilayah Selatan kekurangan sumber daya manusia, sampai tahun 1865 kebanyakan pemimpin Selatan menentang menggunakan budak sebagai prajurit. Walau demikian, beberapa pendukung Konfederasi membicarakan menyenjatai budak. Selain itu beberapa orang berkulit hitam bebas menyediakan diri berjuang untuk Wilayah Selatan. Akhirnya pada awal 1865 Jenderal Robert E. Lee menyatakan bahwa prajurit-prajurit berkulit hitam diperlukan dan undang-undang disetujui. Satuan-satuan hitam pertama sedang berlatih ketika perang berakhir pada bulan April.
Akhir perbudakan
suntingPerang berakhir pada tanggal 22 Juni 1865 dan setelah itu, Proklamasi Emansipasi diberlakukan di daerah-daerah Selatan yang belum membebaskan budak-budak mereka. Perbudakan berlanjut beberapa bulan di beberapa daerah. Pasukan Federal tiba di Galveston, Texas pada tanggal 19 Juni untuk menegakkan hukum dan Emansipasi, dan sampai sekarang hari ini di beberapa negara bagian dirayakan sebagai Juneteenth.
Amendemen ketigabelas yang menghapus perbudakan, kecuali sebagai hukuman untuk kejahatan, disetujui oleh Senat pada bulan April 1864 dan oleh House of Representatives pada bulan Januaryi1865. Amendemen ini belum berlaku selama belum diratifikasi oleh tiga perempat negara bagian, yang terjadi pada tanggal 6 Desember 1865 ketika Georgia meratifikasinya. Pada tanggal itu, semua budak yang masih tersisa secara resmi menjadi bebas.
Secara hukum, 40.000 - 45.000 budak-budak terakhir dibebaskan di negara bagian budak terakhir, Kentucky dan pada ratifikasi terakhir Amendemen Ketigabelas terhadap UUD AS pada tanngal 18 Desember 1865. Budak-budak yang masih dipertahankan di Tennessee, Kentucky, Kansas, New Jersey, Delaware, West Virginia, Maryland, Missouri, Washington, D.C., dan di duabelas paroki di Louisiana[120] juga menjadi bebas secara hukum pada tanggal ini. Sejarawan AS, R.R. Palmer berpendapat bahwa penghapusan perbudakan di AS tanpa kompensasi kepada para pemilik budak adalah "penghapusan hak-hak kepemilikan pribadi yang tidak ada padanannya di sejarah Dunia Barat".[20] Sejarawan ekonomi Robert E. Wright berpendapat bahwa akan jauh lebih murah dengan korban jiwa sedikit apabila Pemerintahan Federal membeli dan membebaskan semua budak daripada menjalani Perang Saudara. Seorang sejarawan ekonomi lainnya, Roger Ransom, menulis bagaimana Gerald Gunderson membandingkan emansipasi yang dibayar kepada biaya perang dan "menyimpulkan bahwa kedua-keduanya harganya kurang lebih sama $ 2,5 - 3,7 milyar". Ransom juga menulis bahwa jika emansipasi terkompensasi dilaksanakan, maka pengeluaran pemerintah federal akan berlipat tiga jika dilakukan dalam kurun waktu 25 tahun, dan ini merupakan rencana yang tidak memiliki dukungan politik pada dasawarsa 1860-an.
Booker T. Washington, seorang aktivis hak-hak sipil berkulit hitam mengingat hari ini pada awal tahun 1863, ketika ia masih anak-anak berusia 9 tahun di Virginia:
Dengan semakin mendekatnya hari bahagia ini, terdengar lebih banyak nyanyian dari perumahan budak daripada biasanya. Nyanyiannya lebih keras, lebih mendengung dan berlangsung sampai malam hari. Kebanyakan baik lagu-lagu perkebunan ada kaitannya dengan kebebasan .... Seseorang yang tampaknya asing (seorang perwira AS, kelihatannya), sedikit berpidato dan lalu membaca sebuah kertas yang agak panjang, menurut saya Proklamasi Emansipasi. Setelah dibaca, kami diberi tahu bahwa kita semua bebas dan bisa pergi ke mana saja, semau kita. Ibu saya yang berdiri di dekat, membungkuk dan menciumi anak-anaknya, sementara air mata mengalir di pipinya. Ia menerangkan kepada kami semua apa itu artinya, bahwa inilah hari yang sudah lama ia minta dalam doanya, namun takut tidak akan melihatnya sebelum ia meninggal.
Era Rekonstruksi sampai sekarang
suntingMeski Proklamasi Emansipasi sudah dikeluarkan dan Amendemen Ketigabelas UUD AS sudah disetujui, jalan menuju kebebasan masih sulit dicapai oleh kebanyakan mantan budak di Amerika Serikat. Meskipun UUD AS adalah undang-undang tertinggi di negara ini, UUD AS tidak bisa jalan sendiri langsung berlaku, begitu pula Proklamasi Emansipasi. Teks dan prinsip-prinsip yang termaktub di dalamnya hanyalah kata-kata saja tanpa penegakan, dan oleh karena itu, kata-kata ini saja tidak bisa menghapus perbudakan. Pengundang-undangan Amendemen Ketigabelas hanya membuat perbudakan dan semua bentuk perhambaan yang dilaksanakan di luar kemauan, kecuali sebagai bentuk hukuman sebagai suatu tindakan yang tidak konstitusional dan melanggar UUD. Penghapusan perbudakan sendiri, yakni penegakan hukum dengan pelaksanaan Amendemen Ketigabelas secara penuh, membutuhkan waktu banyak dasawarsa untuk dinyatakan. Pelaksanaan Amendemen Ketigabelas dimulai pada masa Rekonstruksi, tetapi dalam masa penerapan terjadi banyak kendala, sampai dicapai dengan penuh.
Pendukung Amendemen Ketigabelas tahu bahwa tanpa perundang-undangan yang mengkodifikasi Amendemen Ketigabelas ke dalam bentuk undang-undang dan statut bersama badan-badan penegakan hukum untuk menegakkan undang-undang terkait, maka tidak akan ada akhir perbudakan yang sejati. Maka inilah alasan sejati Ayat 2 dimasukkan ke Amendemen Ketigabelas yang membuat Congress berwenang membuat undang-undang demi penegakan Amendemen Ketigabelas. Pemerintahan Federal juga mengirim pasukan ke Selatan untuk melindungi para mantan budak yang masih hidup bersama mantan pemilik mereka.
Dari tahun 1865 sampai 1875, pasukan federal ditempatkan di Selatan dengan tujuan khusus melindungi orang-orang berkulit hitam supaya tidak diperbudak lagi. Namun, setelah sepuluh tahun dilindungi, pasukan ditarik mundur, sehingga orang-orang berkulit hitam ini ditinggalkan di bawah kekuasaan mantan-mantan pemilik mereka. Ketika warga Afrika Amerika di Selatan tidak dilindungi oleh pasukan federal lagi, orang-orang berkulit putih menemukan cara lainnya untuk menerapkan perhambaan di luar kemauan.
Hal ini berlangsung sampai ke abad ke-20 ketika negara bagian terakhir, Maryland, akhirnya menghapusnya pada tahun 1972. Meski perbudakan secara umum dimengerti telah berakhir dengan adanya Proklamasi Emansipasi atau Amendemen Ketigabelas, penelitian mendalam yang dilakukan oleh seorang wartawan Douglas A. Blackmon and reported in his Pulitzer Prize winnin dan dilaporkan di dalam bukunya Slavery By Another Name menunjukkan bahwa ribuan orang Afrika-Amerika diperbudak kembali dengan keras dan kejam setelah masa Rekonstruksi berlalu.
Perhambaan di luar kemauan ini mengambil bermacam-macam bentuk, tetapi yang utama ialah penyewaan narapidana, peonase dan pertanian bagi-hasil di mana dalam kasus terakhir ini akhirnya orang-orang miskin berkulit putih juga mengalaminya.
Dengan menggunakan program penyewaan narapidana, pria Afrika Amerika yang sering kali tidak bersalah, ditangkap dan disuruh bekerja tanpa dibayar, dan secara berulang diperjualbelikan serta dipaksa melaksanakan semuanya keinginan majikan-majikan mereka.
Pertanian bagi hasil juga diterapkan pada masa ini yang sering kali juga terkait dengan pembatasan keras kebebasan bergerak para petani bagi hasil yang bisa mendapat hukuman cambuk jika meninggalkan perkebunan. Baik pertanian bagi hasil maupun penyewaan narapidana adalah legal dan diamini oleh Utara dan Selatan.
Walau demikian, peonase adalah sebuah bentuk gelap dari kerja paksa. Keberadaannya tidak diindahkan oleh pihak berwenang sementara ribuan orang Afrika Amerika hidupnya dikekang sampai masuk ke abad ke-20.
Kecuali dalam kasus-kasus peonase, Pemerintahan Federal hampir tidak bertindak apa-apa di luar masa Rekonstruksi dalam menerapkan Amendemen Ketigabelas sampai bulan Desember 1941 ketika Presiden Franklin Delano Roosevelt memanggil jaksa agungnya. Lima hari setelah Serangan Pearl Harbor, atas permintaan presiden, Jaksa Agung Francis Biddle mengeluarkan Surat Edaran No. 3591 kepada semua jaksa federal, menyuruh mereka secara aktif menginvestigasi dan menuntut semua kasus perhambaan di luar kemauan dan perbudakan.
Selama masa Rekonstruksi terdapat sebuah masalah serius apakah perbudakan benar-benar dihapus atau apakah ada bentuk perb udakan terselubung yang masih ada setelah para pasukan Uni mundur. Menurut kurun waktu gerakan-gerakan hak sipil yang menuntut hak-hak sipil penuh dan persamaan hak di bawah hukum untuk semua warga Amerika Serikat.
Penyewaan para narapidana
suntingDengan adanya emansipasi sebagai sebuah realitas hukum, orang-orang Selatan berkulit putih memikirkan cara-cara untuk mengontrol para budak yang bari saja dibebaskan dan bagaimana tetap memperkerjakan mereka pada tingkat terendah. Sistem penyewaan narapidana ini bermula selama era Rekonstruksi dan secara penuh diterapkan pada tahun 1880-an. Sistem ini memperbolehkan para kontraktor untuk membeli jasa para narapidana dari pemerintahan negara bagian atau setempat untuk beberapa waktu. Berkat "penegakan hukum yang secara giat berpihak dan vonis diskriminatif", orang-orang Afrika Amerika menjadi bagian terbesar narapidana yang disewakan. Penulis Douglas A. Blackmon menulis tentang sistem ini:
Sistem ini adalah sebuah bentuk perhambaan yang berbeda dari yang ada sebelum Perang Saudara di Selatan di mana untuk kebanyakan laki-laki dan beberapa perempuan yang terlibat, tidak berIangsung seumur hidup dan tidak diwariskan ke generasi berikut. Namun ini suatu bentuk perbudakan, di mana pasukan-pasukan pria tak bersalah dipaksa bekerja tanpa digaji, diperjualbelikan beberapa kali dan dipaksa bekerja untuk majikan mereka yang berkulit putih dengan ancaman kekerasan fisik berat.
Dasar konstitusional dari penyewaan narapidana ini adalah Amendemen Ketigabelas sendiri, meskipun perbudakan dan perhambaan serta praktik serupa dihapus, perbudakan diperbolehkan sebagai hukuman tindak kejahatan.
Isu-isu pendidikan
suntingUndang-undang anti kemelekan huruf tahun 1832 secara luas mengakibatkan masalah tuna aksara yang melanda budak-budak yang dibebaskan dan warga Afrika Amerika lainnya setelah Emansipasi dan Perang Saudara, 35 tahun kemudian.
Masalah tuna aksara dan perlunya pendidikan dilihat sebagai salah satu tantangan terbesar yang menghadapi orang-orang ini sementara mereka berupaya ikut menikmati sistem perwiraswastaan bebas dan mendukung diri sendiri selama Rekonstruksi dan setelah itu.
Selain itu, banyak organisasi keagamaan, baik putih maupun hitam, mantan tentara Uni, dan para dermawan kaya yang terilhami untuk membuat dan membiayai usaha-usaha kependidikan yang ditujukan kepada warga Afrika Amerika. Beberapa orang Afrika Amerika juga memulai sekolah-sekolah mereka sendiri sebelum perang berakhir.
Orang-orang Utara turut serta membantu mendirikan sekolah-sekolah biasa, seperti yang akan menjadi Universitas Hampton dan Tuskegee untuk memnyediakan guru-guru. Orang-orang berkulit hitam menganggap mengajar sebagai panggilan agung, dengan pendidikan untuk anak-anak maupun orang dewasa sebagai prioritas. Mereka yang mempunyai banyak talenta banyak bergerak di bidang ini. Beberapa sekolah membutuhkan waktu tahunan sebelum mencapai mutu tinggi, tetapi mereka berhasil menelurkan ribuan guru. Seperti dinyatakan oleh W. E. B. Du Bois, sekolah-sekolah hitam ini tidak sempurna, tetapi mereka berhasil menghasilkan 30.000 ribu guru di Wilayah Selatan dan mengusir tuna aksara dari sebagian besar orang-orang berkulit hitam di negara ini.
Para dermawan Utara tetap mendukung kependidikan orang berkulit hitam pada abad ke-20, bahkan ketika ketegangan mulai muncul di dalam komunitas orang berkulit hitam seperti dilihat dari perbedaan pendapat antara Dr. Booker T. Washington and Dr. W. E. B. Du Bois, di mana harus meletakkan penekanan, kepada pendidikan kejuruan atau akademis klasik. Sebuah contoh seoranh penyumbang besar kepada sekolah di Hampton dan Tuskegee adalah George Eastman, yang juga ikut membantu menyumbang program-program kesehatan di sekolah-sekolah dan masyarakat. Dermawan Julius Rosenwald bekerja sama dengan Dr. Washington pada dasawarsa awal abad ke-20 dan juga turut membantu menyediakan dana-dana bagi usaha-usaha bersama dalam mendirikan sekolah-sekolah di daerah pedesaan bagi anak-anak berkulit hitam. Ia menekankan adanya kerjasama antara orang berkulit hitam dan putih dalam usaha ini, karena ia ingin memastikan bahwa dewan-dewan sekolah yang dikontrol orang-orang berkulit putih bertekad merawat sekolah ini. Menjelang tahun 1930-an orang-orang tua setempat ikut menolong menggalang dana (kadang-kadang dengan menyumbang tanah atau jasa) untuk mendirikan lebih dari 5.000 sekolah pedesaan di Selatan. Dermawan lainnya seperti Henry H. Rogers dan Andrew Carnegie, yang setiapnya berasal dari keluarga miskin dan lalu menjadi kaya, memberikan sumbangan dana untuk mengembangkan banyak perpustakaan dan sekolah.
Permintaan maaf
suntingPada tanggal 24 Februari 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Virginia menerima resolusi bersama parlemen ini No. 728 yang mengakui bahwa "menyesal secara dalam dengan menghambakan orang Afrika secara paksa dan mengeksploitasi penduduk Pribumi Amerika" dan menyerukan islah di antara semua warga Virginia. Dengan disetujuinya resolusi ini, Virginia menjadi negara bagian pertama yang dengan badan pemerintahan negara bagian mengakui keterlibatan buruk negara bagian ini dalam perbudakan. Diambilnya resolusi ini bertepatan dengan perayaan hari jadi Jamestown, Virginia, ke-400 yang merupakan salah satu pelabuhan budak pertama di Amerika pada zaman kolonial.
Pada tanggal 30 Juli 2008, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat Amerika Serikat menyetujui resolusi permintaan maaf terhadap perbudakan di Amerika Serikat dan perundang-undangan yang diskriminatif setelah itu.
Senat AS secara unanim juga mengeluarkan resolusi serupa pada tanggal 18 Juni 2009, meminta maaf atas "ketidakadilan mendasar, kekejaman, kekerasan, dan ketidakmanusiaan perbudakan". Resolusi ini secara eksplisit juga menyatakan tidak bisa dipakai sebagai klaim ganti rugi.
Pembenaran
sunting"Sebuah keburukan yang perlu"
suntingPada abad ke-19, para pendukung perbudakan sering kali membela perlembagaan ini sebagai sebuah "keburukan yang perlu". Orang-orang berkulit putih masa itu takut bahwa emansipasi daripada budak-budak berkulit hitam akan lebih banyak memiliki dampak buruk dari segi sosial dan ekonomi daripada jika diteruskan. Pada tahun 1820, Thomas Jefferson, salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat menulis di dalam sebuah surat mengenai perbudakan:
Kita memegang serigala pada telinganya, dan kita sama-sama tidak bisa memegangnya erat atau secara aman melepaskannya. Keadilan ada di satu sisi, sementara di sisi lain adalah penyelamatan diri sendiri
Pada tahun 1856 Robert E. Lee menulis demikian:
Saya percaya bahwa pada masa yang tercerahkan ini, hanya ada beberapa yang tidak mengakui bahwa perbudakan sebagai sebuah perlembagaan merupakan kejahatan moral dan politik. Tidak ada gunanya membahas segi-segi negatifnya secara lebih lanjut. Menurut saya, ini lebih buruk bagi ras kulit putih daripada ras berwarna. Walau perasaan saya lebih dekat dengan yang kedua, simpati saya lebih banyak terkait dengan yang pertama. Orang-orang berkulit hitam secara tak terhitung lebih baik di sini daripada di Afrika, secara moral, fisik dan sosial. Kedisiplinan menyakitkan yang mereka alami adalah perlu untuk mengajari mereka sebagai sebuah ras, dan harapan saya akan mempersiapkan mereka untuk hal-hal yang lebih baik. Seberapa lama perhambaan mereka perlu hanyalah diketahui dan diperintahkan oleh kerahiman Yang Mahakuasa.
Alexis de Tocqueville, di bukunya De la démocratie en Amérique juga mengungkapkan bahwa ia menentang perbudakan, namun juga merasa bahwa keberadaan sebuah masyarakat multirasial tanpa perbudakan sebagai sesuatu yang tidak bisa dipertahankan. Ia mengamati bahwa prasangka buruk terhadap orang-orang berkulit hitam meningkat apabila mereka diberi lebih banyak hak (sebagai contoh di negara-negara bagian Utara). Ia berpendapat bahwa sikap orang-orang berkulit putih di Selatan dan konsentrasi populasi berkulit hitam di Selatan – berkat ekspor karena dibatasi di utara, serta alasan-alasan iklim dan budaya, jadi apa yang membawa populasi hitam dan putih menuju ke keseimbangan, sebagai suatu bahaya bagi kedua ras. Jadi karena adanya perbedaan rasial antara sang majikan dan si budak, yang kedua tidak bisa diemansipasi.
"Suatu kebaikan yang positif"
suntingNamun, dengan semakin bertambahnya pergolakan abolisionisme dan sistem penanaman mulai berekspansi, maka permintaan maaf untuk perbudakan menjadi semakin pudar di Selatan. Lalu permintaan maaf ini berada di balik bayangan pernyataan-pernyataan bahwa perbudakan merupakan suatu siasat yang menguntungkan bagi pengendalian tenaga kerja. John C. Calhoun dalam pidatonya yang termasyhur di Senat pada tahun 1837 menyatakan bahwa perbudakan "tidaklah buruk, melainkan baik – sebuah kebaikan positif." Calhoun mendukung pendapatnya ini dengan alasan berikut: di setiap masyarakat yang beradab, satu bagian dari masyarakat harus selalu hidup untuk bekerja bagi yang lain; pelajaran, sains, dan seni semuanya dibangun di atas waktu luang; seorang budak Afrika yang diperlakukan secara baik oleh majikan pria dan wanitanya serta diurusi pada hari tua, kondisinya lebih baik daripada para buruh yang bebas di Eropa, dan selain itu di bawah sebuah sistem perbudakan, konflik antara kapital dan buruh dihindari. Segi positif perbudakan di sisi ini, ia simpulkan, "akan menjadi semakin lebih jelas, jika dibiarkan begitu saja dan tidak diganggu dari luar sementara negara ini akan maju kesejehteraannya dan jumlahnya."
Orang-orang lainnya yang pendapatnya berubah dari keburukan yang diperlukan menjadi kebaikan positif adalah James Henry Hammond dan George Fitzhugh. Mereka menyajikan beberapa alasan untuk membela perbudakan di Selatan. Hammond, seperti Calhoun percaya bahwa perbudakan diperlukan untuk membangun masyarakat secara utuh. Dalam sebuah pidato di Senat pada tanggal 4 Maret 1858 Hammond mengembangkan teori ambang lumpurnya (bahasa Inggris mudsill) dalam membela pendapatnya mengenai perbudakan, "Kelas seperti ini kita harus punya, atau kalau tidak maka kelas yang lain yang menuju ke kemajuan, peradaban dan kehalusan tidak akan kita punyai. Hal ini mewujudkan ambang lumpur masyarakat dan pemerintahan politik kita; kalian coba membangun rumah di udara, sebab hanya bisa dibangun di atas ambang lumpur." Hammond percaya bahwa di setiap kelas harus ada sebuah kelompok yang mengerjakan semua pekerjaan kasar, sebab tanpa mereka, para pemimpin masyarakat tidak bisa maju. Ia berpendapat bahwa para buruh dari Utara yang disewa juga merupakan budak: "Perbedaannya ialah ..., budak-budak kita disewa seumur hidup dan diupahi dengan cukup, tidak ada kelaparan, tidak ada yang mengemis, tidak ada pengangguran," sementara mereka yang di Utara harus mencari pekerjaan. George Fitzhugh, seperti banyak orang berkulit putih lainnya di zamannya, percaya terhadap rasisme dan menggunakan kepercayaannya ini untuk membenarkan perbudakan. Ia menulis: "si Negro itu tidak lain adalah seorang anak yang besar dan harus diatur seperti seorang anak." Dalam The Universal Law of Slavery Fitzhuhg mengutarakan pendapatnya bahwa perbudakan memberikan semuanya yang diperlukan untuk hidup dan bahwa seorang budak tidak akan bisa bertahan hidup di sebuah dunia yang bebas karena ia itu pemalas dan tidak bisa bersaing dengan Ras Eropa berkulit putih yang pandai. Ia menyatakan bahwa para budak berkulit hitam dari Selatan adalah bangsa yang paling bahagia dan dalam beberapa segi yang paling bebas di dunia. Tanpa Wilayah Selatan, maka "Ia akan menjadi beban berat bagi masyarakat" dan "Masyarakat punya hak untuk mencegah hal ini dan hanya bisa melakukannya dengan menundukkannya ke perbudakan rumah tangga."
Pada tanggal 21 Maret 1861, Wakil Presiden, negara Konfederasi Selatan yang baru, Alexander Stephens, memberikan pidato Cornerstone. Pidato ini menjelaskan perbedaan antara Undang-Undang Dasar Konfederasi dan Amerika Serikat. Selain itu ia menjabarkan sebab Perang Saudara dan sebuah pembelaan terhadap perbudakan.
Konstitusi baru ini untuk selamanya telah menenangkan pertanyaan-pertanyaan yang bergolak mengenai perlembagaan khas kita – perbudakan orang Afrika seperti ada di antara kita – status orang Negro yang sejati di dalam bentuk peradaban kita. Inilah akibat langsung dari perpecahan terakhir dan revolusi yang berlangsung sekarang ini. Jefferson telah meramalkan, ia telah mengantisipasi hal ini, bahwa "batu karang di mana Negara Kesatuan yang lama berdiri akan terbelah." Ia benar. Tetapi apa yang masih bersifat wacana bagi dia, sekarang sudah menjadi fakta yang nyata. Tetapi apakah ia secara penuh mengerti kebenaran besar di mana pernah berdiri dan masih berdiri di atas karang tersebut, tidaklah pasti. Gagasan-gagasan umum yang beredar ketika Konstitusi yang lama sedang dibuat ialah bahwa perbudakan orang Afrika merupakan pelanggara hukum-hukum alam; bahwa itu pada hakekatnya salah, secara prinsip, sosial, moral dan politik. Itu merupakan sebuah keburukan yang mereka tidak tahu secara pasti harus diapakan; namun pendapat umum orang pada masa itu ialah bahwa entah bagaimana, menurut Yang Mahakuasa, perlembagaan ini akan cepat terlupakan dari ingatan dan menghilang ... Gagasan-gagasan tersebut, secara hakiki adalah salah. Semuanya berdasarkan asumsi bahwa semua ras manusia itu sama. Ini adalah sebuah kesalahan. Itu merupakan fondasi di tanah pasir, dan gagasan bahwa sebuah Pemerintahan dibangun di atasnya – maka kalau "badai tiba dan anginpun berhembus, maka itu akan jatuh."
Pemerintahan kita justru berdasarkan gagasan yang bertolak belakang; fondasinya di mana diletakkannya, di mana batu landasannya bersandar, semuanya berdasarnya kebenaran bahwa orang berkulit hitam itu tidak sama dengan orang berkulit putih; bahwa perbudakan, penundukan terhadap ras yang lebih tinggi, adalah keadaan alami dan moralnya.
Suku Indian Amerika
suntingSelama abad ke-16, ke-17 dan ke-18, Perbudakan orang Indian, yaitu bangsa pribumi benua Amerika, dilakukan oleh para pemukim dari Eropa dan hal ini umum dilakukan. Banyak dari budak-budak ini diekspor ke daerah jajahan di utara atau ke koloni lepas pantai, terutama ke pulau-pulau tebu di daerah Karibia. Sejarawan Alan Gallay memperkirakan bahwa para pedagang budak Britania menjual antara 24.000 sampai 51.000 jiwa penduduk pribumi AS dari daerah yang sekarang disebut sebagai Wilayah Selatan AS.
Perbudakan sukubangsa pribumi Amerika dilakukan pula di California, semasa era kolonial atau di bawah Meksiko oleh misi-misi Fransiskan. Secara teori mereka adalah budak kontrakan dengan masa kerja sepuluh tahun. Tetapi di dalam praktik mereka kerap bekerja seumur hidup, sampai kewajiban mereka dicabut pada dasawarsa 1830-an. Kemudian setelah adanya invasi oleh pasukan AS, orang-orang Indian yang bergelandang dan yatim piatu diperbudak oleh AS di negara bagian baru, California yang didirikan mulai tahun 1850 sampai tahun 1867. Perbudakan membutuhkan dibayarnya uang jaminan oleh si pemilik budak, sementara pembudakan berlangsung dengan razzia dan perhambaan selama empat bulan sebagai hukuman atas "bergelandangnya" orang Indian.
Perbudakan antar-suku
suntingSuku Indian Haida dan Tlingit yang hidup sepanjang pesisir tenggara Alaska, dikenal sebagai prajurit-prajurit ganas yang juga mempraktikkan perbudakan. Mereka dulu sering melakukan razzia sampai masuk ke California. Perbudakan diwariskan setelah para budak ditangkap sebagai tawanan perang. Di antara beberapa suku Pasifik Baratlaut, sekitar seperempat populasi adalah budak. Suku-suku Indian Amerika lainnya yang memelihara budak antara lain adalah Comanche dari Texas, Creek dari Georgia, beberapa masyarakat nelayan, seperti Yurok yang hidup di pesisir Alaska sampai California, suku Pawnee dan Klamath.
Setelah tahun 1800, Suku Cherokee dan suku-suku beradab lainnya mulai membeli dan menggunakan budak-budak berkulit hitam. Hal ini dilanjutkan pula setelah mereka ditransmigrasikan ke Teritori Indian pada tahun 1830-an, ketika mereka membawa 15.000 orang budak dengan mereka.
Ciri khas perbudakan dalam masyarakat Cherokee sering kali mencerminkan hal serupa yang terjadi dalam masyarakat berkulit putih yang memiliki budak. Perundang-undangan Cherokee melarang perkawinan campur antara orang Cherokee dan budak keturunan Afrika. Orang Cherokee yang menolong budak-budak berkulit hitam dihukum cambuk 100 kali. Pada masyarakat Cherokee, orang-orang keturunan Afrika dilarang memegang jabatan apapun, meskipun mereka blasteran Cherokee, memiliki senjata, dan memiliki properti. Mereka juga melarang orang Afrika Amerika belajar membaca ataupun menulis.
Berbeda dengan mereka, suku Seminole menerima orang-orang berkulit hitam yang melarikan diri dari perbudakan. Keturunan mereka disebut Seminole Hitam.
Perbudakan pada masa pasca-Proklamasi Emansipasi
suntingBeberapa budak Indian yang ditangkap dari suku-suku Indian tidak dibebaskan ketika budak-budak Afrika diemansipasi.
Seorang perempuan Ute dari suku Ute adalah sebuah contoh. Ia ditangkap oleh Arapaho dan kemudian dijual ke Cheyenne. Lalu perempuan ini digunakan sebagai seorang pelacur bagi prajurit-prajurit Amerika Serikat di Cantonment di Teritori Indian, di mana ia hidup sampai sekitar tahun 1880. Waktu itu ia meninggal dunia karena pendarahan yang diakibatkan karena "berlebihan sanggama".[21]
Para pemilik budak yang berkulit hitam sendiri
suntingBeberapa pemilik budak berkulit hitam sendiri atau memiliki keturunan Afrika. Seorang mantan pekerja kontrakan yang datang ke Virginia tahun 1621, Anthony Johnson, menjadi salah seorang pemilik budak yang terdokumentasi secara awal ketika ia memenangkan kasus terhadapa kepemilikan John Casor. Pada tahun 1830 ada sekitar 3.775 pemilik budak berlatar belakang demikian di Wilayah Selatan. Mereka memiliki 12.760 orang budak, 80% dari mereka berada di Louisiana, Carolina Selatan, Virginia, dan Maryland. Terdapat beberapa perbedaan ekonomi antara orang berkulit hitam bebas di Wilayah Selatan Atas atau Bawah. Di daerah Bawah jumlah pemilik budak berkulit hitam lebih sedikit, namun biasanya mereka lebih makmur dan merupakan blasteran. Separuh dari pemilik budak yang berkulit hitam ini, lebih banyak tinggal di daerah perkotaan daripada pedesaan seperti New Orleans dan Charleston. Teristimewa New Orleans memiliki populasi orang berkulit hitam bebas yang cukup makmur (gens de couleur). Mereka adalah orang-orang peranakan Eropa yang menjadi kelas ketiga di antara orang berkulit hitam atau putih di bawah pemerintahan kolonial Spanyol dan Prancis. Secara relatif pemilik budak non-kulit putih yang merupakan "penanam besar" jumlahnya tidak banyak. Jika ada, merekapun kebanyakan blasteran dan diberi oleh ayah mereka yang berkulit putih beberapa properti dan kapital sosial. Misalkan Andrew Durnford dari New Orleans yang terdaftar memiliki 77 orang budak. Menurut Rachel Kranz:
Durnford dikenal sebagai seorang majikan yang keras dan menyuruh budak-budaknya bekerja berat dan sering menghukum mereka dalam usahanya membuat perkebunan tebunya di Louisiana sukses.
Para sejarawan John Hope Franklin dan Loren Schweninger menulis:
Sebagian besar pemilik budak berkulit hitam yang bebas bermukim di Wilayah Selatan bawah. Kebanyakan mereka adalaj orang-orang blasteran, sering kali wanita-wanita yang tinggal bersama atau merupakan selir pria berkulit putih atau mereka adalah pria mulatto ... Setelah diberi rumah dan perkebunan, mereka memiliki pertanian dan perkebunan, bercocok tanam padi, kapas atau tebu. Seperti kawan sejawat mereka yang berkulit putih, mereka juga mengalami masalah dengan budak-budak yang melarikan diri.
Sejarawan Ira Berlin menulis:
Di dalam masyarakat budak, hampir semua orang, baik budak maupun bebas, bercita-cita masuk ke kelas pemilik budak, dan dalam beberapa kasus, beberapa mantan budak bisa naik dan menjadi pemilik budak. Meskipun mereka tidak diterima secara sukarela karena mereka membawa stigma sebagai keturunan hamba dan dalam kasus perbudakan di Amerika Serikat, warna kulit mereka.
Pakar sejarah budaya Afrika Amerika Henry Louis Gates Jr menulis:
...persentase orang berkulit hitam yang merupakan pemilik budak cukup tinggi di beberapa negara bagian, yaitu 43 persen di Carolina Selatan, 40 persen di Louisiana, 26 persen di Mississippi, 25 persen di Alabama dan 20 persen di Georgia.
Orang berkulit hitam bebas tetap dianggap sebagai "ancaman tetap simbolis terhadap para pemilik budak, karena mereka menantang dalil bahwa konsep 'kulit hitam' dan 'budak' adalah sama." Orang berkulit hitam kadang kala dipandang sebagai kemungkinan sekutu para budak buronan dan "pemilik budak menyatakan ketakutan dan kemuakan mereka terhadap orang-orang berkulit hitam bebas ini tanpa tedeng aling-aling.” Untuk orang berkulit hitam bebas, yang hanya memiliki kebebasan secara genting, "kepemilikan budak tidak hanya merupakan kemudahan ekonomi tetapi juga bukti yang sangat kuat dari orang berkulit hitam bebas bahwa mereka sungguh bertekad untuk benar-benar putus dengan masa lalu budak mereka dan perasaan pasrah terhadap perbudakan, atau bahkan penyetujuan."
Sejarawan James Oakes pada tahun 1982 menulis bahwa:
Ia memiliki bukti kuat bahwa sebagian besar pemilik budak adalah orang-orang berkulit hitam bebas yang membeli anggota keluarganya atau yang bertindak baik hati. Setelah tahun 1810 negara-negara bagian Selatan membuat peraturan menjadi lebih sulit bagi para pemilik budak untuk membebaskan para budak. Maka mereka yang membeli anggota keluarga sendiri tidak ada pilihan lain untuk mempertahankan hubungan budak dan majikan, paling tidak secara resminya. Lalu pada dasawarsa 1850-an "semakin banyak usaha dilakukan untuk membatasi hak memiliki hamba dengan alasan bahwa budak sebaiknya sejauh mungkin hanya dimiliki oleh orang putih saja.
Larry Koger dalam penelitiannya mengenai orang berkulit hitam yang memiliki budak di Carolina Selatan menentang pendapat positif mengenai kepemilikan oleh mereka. Koger menemukan bahwa sebagian besar orang berkulit hitam yang memiliki budak, memelihara paling tidak beberapa dari budaknya karena alasan ekonomi. Sebagai contoh, ia mencatat bahwa 80 persen dari para orang-orang berkulit hitam yang memiliki budak tercatat sebagai orang blasteran sementara hampir 90 persen budak mereka tercata sebagai orang berkulit hitam. Koger juga menyimpulkan bahwa banyak orang-orang berwarna di Carolina Selatan memiliki usaha sebagai pengrajin trampil dan banyak di antara mereka yang memiliki budak dan mengerahkannya di perusahaan-perusahaan mereka.
Bajak laut Barbaria
suntingPara bajak laut Barbaria dari Afrika Utara juga melakukan razzia di Amerika Utara dan menculik para kolonis sungguh awal, bahkan sejak tahun 1625. Sekitar 700 warga Amerika diperbudak di Afrika Utara sebagai budak antara tahun 1785 dan 1815. Beberapa mantan budak menggunakan pengalaman mereka sebagai budak untuk mengkritik perbudakan di AS seperti William Roy dalam bukunta Horrors of Slavery.
Permasalahan Barbaria ini mencetuskan didirikannya Angkatan Laut Amerika Serikat pada bulan Maret 1794. Sementara AS berhasil mendapatkan perjanjian perdamaian, perjanjian ini mewajibkan mereka membayar upeti sebagai biaya perlindungan dari serangan. Pembayaran uang tebusan dan upeti mencapai 20% dari pengeluaran tahunan pemerintah AS pada tahun 1800. Perang Barbaria I pada tahun 1801 dan Perang Barbaria II pada tahun 1815 menuju ke syarat-syarat perdamaian yang lebih menguntungkan dan mengakhiri pembayaran upeti.
Penyebaran
suntingPenyebaran budak
suntingSensus Tahun |
# Budak | # Berkulit hitam bebas |
Total berkulit hitam |
% Berkulit hitam bebas |
Penduduk total AS |
% Total berkulit hitam |
---|---|---|---|---|---|---|
1790 | 697.681 | 59.527 | 757.208 | 8% | 3.929.214 | 19% |
1800 | 893.602 | 108.435 | 1.002.037 | 11% | 5.308.483 | 19% |
1810 | 1.191.362 | 186.446 | 1.377.808 | 14% | 7.239.881 | 19% |
1820 | 1.538.022 | 233.634 | 1.771.656 | 13% | 9.638.453 | 18% |
1830 | 2.009.043 | 319.599 | 2.328.642 | 14% | 12.860.702 | 18% |
1840 | 2.487.355 | 386.293 | 2.873.648 | 13% | 17.063.353 | 17% |
1850 | 3.204.313 | 434.495 | 3.638.808 | 12% | 23.191.876 | 16% |
1860 | 3.953.760 | 488.070 | 4.441.830 | 11% | 31.443.321 | 14% |
1870 | 0 | 4.880.009 | 4.880.009 | 100% | 38.558.371 | 13% |
Sumber:[22] |
Sensus Year |
1790 | 1800 | 1810 | 1820 | 1830 | 1840 | 1850 | 1860 |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
All States | 694.207 | 887.612 | 1.130.781 | 1.529.012 | 1.987.428 | 2.482.798 | 3.200.600 | 3.950.546 |
Alabama | – | – | – | 47.449 | 117.549 | 253.532 | 342.844 | 435.080 |
Arkansas | – | – | – | – | 4.576 | 19.935 | 47.100 | 111.115 |
California | – | – | – | – | – | – | – | – |
Connecticut | 2.648 | 951 | 310 | 97 | 25 | 54 | – | – |
Delaware | 8.887 | 6.153 | 4.177 | 4.509 | 3.292 | 2.605 | 2.290 | 1.798 |
Florida | – | – | – | – | – | 25.717 | 39.310 | 61.745 |
Georgia | 29.264 | 59.699 | 105.218 | 149.656 | 217.531 | 280.944 | 381.682 | 462.198 |
Illinois | – | – | – | 917 | 747 | 331 | – | – |
Indiana | – | – | – | 190 | 3 | 3 | – | – |
Iowa | – | – | – | – | – | 16 | – | – |
Kansas | – | – | – | – | – | – | – | 2 |
Kentucky | 12.430 | 40.343 | 80.561 | 126.732 | 165.213 | 182.258 | 210.981 | 225.483 |
Louisiana | – | – | – | 69.064 | 109.588 | 168.452 | 244.809 | 331.726 |
Maine | – | – | – | – | 2 | – | – | – |
Maryland | 103.036 | 105.635 | 111.502 | 107.398 | 102.994 | 89.737 | 90.368 | 87.189 |
Massachusetts | – | – | – | – | 1 | – | – | – |
Michigan | – | – | – | – | 32 | – | – | – |
Minnesota | – | – | – | – | – | – | – | – |
Mississippi | – | – | – | 32.814 | 65.659 | 195.211 | 309.878 | 436.631 |
Missouri | – | – | – | 10.222 | 25.096 | 58.240 | 87.422 | 114.931 |
Nebraska | – | – | – | – | – | – | – | 15 |
Nevada | – | – | – | – | – | – | – | – |
New Hampshire | 157 | 8 | – | – | 3 | 1 | – | – |
New Jersey | 11.423 | 12.422 | 10.851 | 7.557 | 2.254 | 674 | 236 | 18 |
New York | 21.193 | 20.613 | 15.017 | 10.088 | 75 | 4 | – | – |
North Carolina | 100.783 | 133.296 | 168.824 | 205.017 | 245.601 | 245.817 | 288.548 | 331.059 |
Ohio | – | – | – | – | 6 | 3 | – | – |
Oregon | – | – | – | – | – | – | – | – |
Pennsylvania | 3.707 | 1.706 | 795 | 211 | 403 | 64 | – | – |
Rhode Island | 958 | 380 | 108 | 48 | 17 | 5 | – | – |
South Carolina | 107.094 | 146.151 | 196.365 | 251.783 | 315.401 | 327.038 | 384.984 | 402.406 |
Tennessee | – | 13.584 | 44.535 | 80.107 | 141.603 | 183.059 | 239.459 | 275.719 |
Texas | – | – | – | – | – | – | 58.161 | 182.566 |
Vermont | – | – | – | – | – | – | – | – |
Virginia | 292.627 | 346.671 | 392.518 | 425.153 | 469.757 | 449.087 | 472.528 | 490.865 |
Wisconsin | – | – | – | – | – | 11 | 4 | – |
Penyebaran pemilik budak
suntingSesuai sensus kependudukan tahun 1860 di AS, data-data berikut bisa dihitung mengenai kepemilikan budak:[24]
- Menjumlah budak per county, 393.975 orang bernama memiliki 3.950.546 budak tak bernama, dengan rata-rata sekitar 10 orang budak per pemilik. Karena beberapa pemiliki besar memiliki budak di lebih dari satu county maka penghitungan dengan cara ini sedikit menaikkan jumlah pemilik budak.
- Tanpa budak, penduduk AS pada tahun 1860 adalah 27.167.529 jiwa, menghasilkan 1 pada 70 orang (1,5%) sebagai pemilik budak. Hanya dengan menghitung pemilik budak bernama saja, maka pendekatan ini tidak mengakui orang-orang yang ikut menikmati perbudakan di dalam sebuah rumah tangga berbudak, misalkan istri dan anak-anak tidak ikut dihitung. Hanya 8% dari seluruh rumah tangga AS memiliki budak,[25] sementara di Wilayah Selatan, 33% dari semua keluarga memiliki budak. Menurut penelitian sejarawan Joseph Glatthaar (2009), jumlah tentara di Tentara Konfederasi Virginia Utara yang memiliki budak atau berasal dari sebuah rumah tangga berbudak "hampir satu dari dua rekrut tahun 1861". Lalu tambahnya, "banyak dari rekrut baru menyewa tanah dari, menjual panen atau bekerja bagi pemilik budak. Pada akhirnya jika dihitung, mayoritas besar sukarelawan tahun 1861 memiliki keterkaitan langsung dengan perbudakan."[26]
- Penyebaran jumlah budak di antara para pemilik budak sungguh tidak rata: pemilik 200 budak atau lebih, membentuk kurang dari 1% dari semua pemilik budak di AS (kurang dari 4.000 jiwa, 1 di 7.000 orang bebas, atau 0,015% dari total penduduk) memiliki kurang lebih 20–30% dari semua budak (800.000 sampai 1.200.000 orang budak). Sembilanbelas pemilik yang memiliki 500 budak atau lebih telah diidentifikasi.[27] Pemilik budak terbesar adalah Joshua John Ward, dari Georgetown, South Carolina, yang pada tahun 1850 memiliki 1.092 orang budak,[28] and sementara ahli warisnya pada tahun 1860 memiliki 1.130 atau 1.131 orang budak[27][28] – ia dijuluki sebagai "raja para penanam padi",[28] dan salah satu perkebunannya sekarang menjadi bagian dari Brookgreen Gardens.
Penulisan sejarah
suntingSejarawan Peter Kolchin, ketika menulis pada tahun 1993 melihat bahwa sampai ke dasawarsa-dasawarsa kemudian pada abad ke-20, para sejarawan terutama memperhatikan budaya, praktik dan ekonomi para pemilik budak, tidak dengan budak sendiri. Hal ini sebagian karena keadaan di mana para pemilik budak bisa membaca dan menulis, mereka jadi mewariskan catatan yang bisa kita baca, sementara para budak sebagian besar tidak bisa membaca dan menulis dan dengan ini tidak mampu meninggalkan catatan-catatan tertulis. Para pakar berbeda pendapat apakah perbudakan bisa dianggap sebagai sebuah perlembagaan yang baik atau yang "mengeksploitasai secara keras".[29]
Banyak dari penulisan sejarah yang dilakukan sampai tahun 1950-an memiliki kecenderungan rasis.[29] Pada tahun 1970-an dan 1980-an para sejarawan juga menggunakan jejak-jejak arkeologi, folkore orang berkulit hitam dan data-data statistik untuk mengembangkan sebuah gambaran yang lebih mendetail dan tidak mutlak hitam putih daripada kebudayaan perbudakan. Para individu digambarkan lebih menantang dan agak otonom dalam banyak aktivitas sehari-sehari mereka, tentu dalam batas kondisi mereka dan walaupun genting. Para sejarawan yang menulis dalam masa ini termasuk John Blassingame (Slave Community), Eugene Genovese (Roll, Jordan, Roll), Leslie Howard Owens (This Species of Property), dan Herbert Gutman (The Black Family in Slavery and Freedom).[30]
Referensi dan catatan kaki
sunting- ^ David Brion Davis, Inhuman Bondage: The Rise and Fall of Slavery in the New World. Oxford University Press. 2006. p. 124.
- ^ a b Stephen Behrendt (1999). "Transatlantic Slave Trade". Africana: The Encyclopedia of the African and African American Experience. New York: Basic Civitas Books. ISBN 0-465-00071-1.
- ^ Introduction – Social Aspects of the Civil War Diarsipkan 2007-07-14 di Wayback Machine., National Park Service.
- ^ a b Richard Hofstadter, "White Servitude" Diarsipkan 2014-10-09 di Wayback Machine., n.d., Montgomery College. Retrieved January 11, 2012.
- ^ a b Donoghue, John (2010). Out of the Land of Bondage": The English Revolution and the Atlantic Origins of Abolition. The American Historical Review.
- ^ Higginbotham, A. Leon (1975). In the Matter of Color: Race and the American Legal Process: The Colonial Period. Greenwood Press.
- ^ Tom Costa (2011). "Runaway Slaves and Servants in Colonial Virginia". Encyclopedia Virginia.
- ^ Source: Miller and Smith (eds), Dictionary of American Slavery (1988), p. 678.
- ^ Termasuk 10.000 yang dibawa ke Louisiana sebelum 1803.
- ^ William J. Wood. "The Illegal Beginning of American Negro Slavery," American Bar Association Journal, January 1970.
- ^ Taunya Lovell Banks, "Dangerous Woman: Elizabeth Key's Freedom Suit – Subjecthood and Racialized Identity in Seventeenth Century Colonial Virginia", Digital Commons Law, University of Maryland Law School. Retrieved April 21, 2009.
- ^ Tony Seybert (4 Aug 2004). "Slavery and Native Americans in British North America and the United States: 1600 to 1865". Slavery in America. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-08-04. Diakses tanggal 14 June 2011.
- ^ The Middle Passage adalah proses transportasi budak dari Afrika ke Amerika
- ^ "By breaking up existing families and forcing slaves to relocate far from everyone and everything they knew," this migration "replicated (if on a reduced level) many of [the] horrors" of the Atlantic slave trade.
- ^ The internal slave trade became the largest enterprise in the South outside the plantation itself, and probably the most advanced in its employment of modern transportation, finance, and publicity. The slave trade industry developed its own unique language, with terms such as "prime hands, bucks, breeding wenches, and "fancy girls" coming into common use.
- ^ In all, the slave trade, with its hubs and regional centers, its spurs and circuits, reached into every cranny of southern society. Few southerners, black or white, were untouched.
- ^ Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga.
- ^ a b c Foner, Eric (2009). Give Me Liberty. London: Seagull Edition. hlm. 406–407.
- ^ Basu, B.D. Chatterjee, R., ed. History of Education in India under the rule of the East India Company. Calcutta: Modern Review Office. hlm. 3–4. Diakses tanggal March 9, 2009.
[E]very assemblage of negroes for the purpose of instruction in reading or writing, or in the night time for any purpose, shall be an unlawful assembly. Any justice may issue his warrant to any office or other person, requiring him to enter any place where such assemblage may be, and seize any negro therein; and he, or any other justice, may order such negro to be punished with stripes.
If a white person assemble with negroes for the purpose of instructing them to read or write, or if he associate with them in an unlawful assembly, he shall be confined in jail not exceeding six months and fined not exceeding one hundred dollars; and any justice may require him to enter into a recognizance, with sufficient security, to appear before the circuit, county or corporation court, of the county or corporation where the offence was committed, at its next term, to answer therefor [sic], and in the mean time to keep the peace and be of good behaviour.- From "The Code of Virginia". Richmond: William F. Ritchie. 1849: 747–48.
- ^ "annihilation of individual property rights without parallel...in the history of the Western world".
- ^ Page 124, Donald J. Berthrong, The Cheyenne and Arapaho Ordeal: Reservation and Agency Life in the Indian Territory, 1875 to 1907, University of Oklahoma (1976), hardcover, ISBN 0-8061-1277-8
- ^ "Distribution of Slaves in US History". Diakses tanggal 13 Mei 2010.
- ^ "Populasi Total Budak di AS, 1790–1860, menurut negara bagian". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-22. Diakses tanggal 28 Desember 2007.
- ^ Large Slaveholders of 1860 and African American Surname Matches from 1870, by Tom Blake, 2001–2005.
- ^ 1860 Census Diarsipkan 2004-06-04 di Wayback Machine. Civil War Home Page.
- ^ "Glatthaar, Joseph. ''General Lee's Army: From Victory to Collapse''. New York: Free Press, 2009, pp. 20, 474". Amazon.com. Diakses tanggal 27 Mei 2014.
- ^ a b The Sixteen Largest American Slaveholders from 1860 Slave Census Schedules, Transcribed by Tom Blake, April to July 2001, (updated October 2001 and December 2004 – now includes 19 holders)
- ^ a b c Damian Alan Pargas, "Boundaries and Opportunities: Comparing Slave Family Formation in the Antebellum South"[pranala nonaktif permanen], Journal of Family History 2008; 33; 316, DOI:10.1177/0363199008318919
- ^ a b Kolchin p. 134.
- ^ Kolchin pp. 137–43. Horton and Horton p. 9.
Daftar pustaka
suntingStudi nasional dan studi perbandingan
sunting- Berlin, Ira. Generations of Captivity: A History of African American Slaves. (2003) ISBN 0-674-01061-2.
- Berlin, Ira. Many Thousands Gone: The First Two Centuries of Slavery in North America. Harvard University Press, 1998. ISBN 0-674-81092-9
- Berlin, Ira and Ronald Hoffman, eds. Slavery and Freedom in the Age of the American Revolution University Press of Virginia, 1983. essays by scholars
- Blackmon, Douglas A. Slavery by Another Name: The Re-Enslavement of Black Americans from the Civil War to World War II. (2008) ISBN 978-0-385-50625-0.
- Blassingame, John W. The Slave Community: Plantation Life in the Antebellum South Oxford University Press, 1979. ISBN 0-19-502563-6.
- David, Paul A. and Temin, Peter. "Slavery: The Progressive Institution?", Journal of Economic History. Vol. 34, No. 3 (September 1974)
- Davis, David Brion. Inhuman Bondage: The Rise and Fall of Slavery in the New World (2006)
- Elkins, Stanley. Slavery: A Problem in American Institutional and Intellectual Life. University of Chicago Press, 1976. ISBN 0-226-20477-4
- Fehrenbacher, Don E. Slavery, Law, and Politics: The Dred Scott Case in Historical Perspective Oxford University Press, 1981
- Fogel, Robert W. Without Consent or Contract: The Rise and Fall of American Slavery W.W. Norton, 1989. Econometric approach
- Foner, Eric (2005). Forever Free. ISBN 0-375-40259-4.
- Foner, Eric. The Fiery Trial: Abraham Lincoln and American Slavery (2010), Pulitzer Prize excerpt and text search
- Franklin, John Hope and Loren Schweninger. Runaway Slaves: Rebels on the Plantation. (1999) ISBN 0-19-508449-7.
- Gallay, Alan. The Indian Slave Trade (2002).
- Genovese, Eugene D. Roll, Jordan, Roll: The World the Slaves Made Pantheon Books, 1974.
- Genovese, Eugene D. The Political Economy of Slavery: Studies in the Economy and Society of the Slave South (1967)
- Genovese, Eugene D. and Elizabeth Fox-Genovese, Fruits of Merchant Capital: Slavery and Bourgeois Property in the Rise and Expansion of Capitalism (1983)
- Hahn, Steven. "The Greatest Slave Rebellion in Modern History: Southern Slaves in the American Civil War." Southern Spaces (2004)
- Higginbotham, A. Leon, Jr. In the Matter of Color: Race and the American Legal Process: The Colonial Period. Oxford University Press, 1978. ISBN 0-19-502745-0
- Horton, James Oliver and Horton, Lois E. Slavery and the Making of America. (2005) ISBN 0-19-517903-X
- Kolchin, Peter. American Slavery, 1619–1877 Hill and Wang, 1993. Survey
- Litwack, Leon F. Trouble in Mind: Black Southerners in the Age of Jim Crow. (1998) ISBN 0-394-52778-X.
- Marable, Manning, How capitalism underdeveloped Black America: problems in race, political economy, and society South End Press, 2000
- Mason, Matthew. Slavery and Politics in the Early American Republic. (2006) ISBN 978-0-8078-3049-9.
- Moon, Dannell, "Slavery", article in Encyclopedia of rape, Merril D. Smith (Ed.), Greenwood Publishing Group, 2004
- Moore, Wilbert Ellis, American Negro Slavery and Abolition: A Sociological Study, Ayer Publishing, 1980
- Morgan, Edmund S. American Slavery, American Freedom: The Ordeal of Colonial Virginia W.W. Norton, 1975.
- Morris, Thomas D. Southern Slavery and the Law, 1619–1860 University of North Carolina Press, 1996.
- Oakes, James. The Ruling Race: A History of American Slaveholders. (1982) ISBN 0-393-31705-6.
- Ransom, Roger L. Was It Really All That Great to Be a Slave? Agricultural History, Vol. 48, No. 4 (October 1974)
- Rodriguez, Junius P., ed. Encyclopedia of Emancipation and Abolition in the Transatlantic World. Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2007.
- Rodriguez, Junius P., ed. Encyclopedia of Slave Resistance and Rebellion. Westport, CT: Greenwood, 2007.
- Scarborough, William K. The Overseer: Plantation Management in the Old South (1984)
- Stampp, Kenneth M. The Peculiar Institution: Slavery in the Ante-Bellum South (1956) Survey
- Stampp, Kenneth M. "Interpreting the Slaveholders' World: a Review." Agricultural History 1970 44(4): 407–12. ISSN 0002-1482
- Tadman, Michael. Speculators and Slaves: Masters, Traders, and Slaves in the Old South University of Wisconsin Press, 1989.
- Wright, W. D. Historians and Slavery; A Critical Analysis of Perspectives and Irony in American Slavery and Other Recent Works Washington, D.C.: University Press of America (1978)
Studi dalam tingkat negara bagian dan tingkat lokal
sunting- Fields, Barbara J. Slavery and Freedom on the Middle Ground: Maryland During the Nineteenth Century Yale University Press, 1985.
- Jewett, Clayton E. and John O. Allen; Slavery in the South: A State-By-State History Greenwood Press, 2004
- Jennison, Watson W. Cultivating Race: The Expansion of Slavery in Georgia, 1750–1860 (University Press of Kentucky; 2012)
- Kulikoff, Alan. Tobacco and Slaves: The Development of Southern Cultures in the Chesapeake, 1680–1800 University of North Carolina Press, 1986.
- Minges, Patrick N.; Slavery in the Cherokee Nation: The Keetoowah Society and the Defining of a People, 1855–1867 2003 deals with Indian slave owners.
- Mohr, Clarence L. On the Threshold of Freedom: Masters and Slaves in Civil War Georgia University of Georgia Press, 1986.
- Mutti Burke, Diane (2010). On Slavery's Border: Missouri's Small Slaveholding Households, 1815–1865. University of Georgia Press. ISBN 978-0-8203-3683-1.
- Mooney, Chase C. Slavery in Tennessee Indiana University Press, 1957.
- Olwell, Robert. Masters, Slaves, & Subjects: The Culture of Power in the South Carolina Low Country, 1740–1790 Cornell University Press, 1998.
- Reidy, Joseph P. From Slavery to Agrarian Capitalism in the Cotton Plantation South, Central Georgia, 1800–1880 University of North Carolina Press, 1992.
- Ripley, C. Peter. Slaves and Freemen in Civil War Louisiana Louisiana State University Press, 1976.
- Rivers, Larry Eugene. Slavery in Florida: Territorial Days to Emancipation University Press of Florida, 2000.
- Sellers, James Benson; Slavery in Alabama University of Alabama Press, 1950
- Sydnor, Charles S. Slavery in Mississippi. 1933
- Takagi, Midori. Rearing Wolves to Our Own Destruction: Slavery in Richmond, Virginia, 1782–1865 University Press of Virginia, 1999.
- Taylor, Joe Gray. Negro Slavery in Louisiana. Louisiana Historical Society, 1963.
- Trexler, Harrison Anthony. Slavery in Missouri, 1804–1865 (Johns Hopkins University Press, 1914) online edition Diarsipkan 2012-12-15 di Archive.is
- Wood, Peter H. Black Majority: Negroes in Colonial South Carolina from 1670 through the Stono Rebellion W.W. Norton & Company, 1974.
Video
sunting- Jenkins, Gary (director). Negroes To Hire (Lifedocumentaries, 2010); 52 minutes DVD; on slavery in Missouri
Penulisan sejarah
sunting- Ayers, Edward L. "The American Civil War, Emancipation, and Reconstruction on the World Stage," OAH Magazine of History, Jan 2006, Vol. 20, Issue 1, pp. 54–60
- Berlin, Ira. "American Slavery in History and Memory and the Search for Social Justice," Journal of American History, March 2004, Vol. 90, Issue 4, pp. 1251–1268
- Boles, John B. and Evelyn T. Nolen, eds., Interpreting Southern History: Historiographical Essays in Honor of Sanford W. Higginbotham (1987).
- Brown, Vincent. "Social Death and Political Life in the Study of Slavery," American Historical Review, Dec 2009, Vol. 114, Issue 5, pp. 1231–49, examined historical and sociological studies since the influential 1982 book Slavery and Social Death by American sociologist Orlando Patterson
- Campbell, Gwyn. "Children and slavery in the new world: A review," Slavery & Abolition, Aug 2006, Vol. 27, Issue 2, pp. 261–85
- Dirck, Brian. "Changing Perspectives on Lincoln, Race, and Slavery," OAH Magazine of History, Oct 2007, Vol. 21, Issue 4, pp. 9–12
- Fogel, Robert W. The Slavery Debates, 1952–1990: A Retrospective (2007)
- Frey, Sylvia R. "The Visible Church: Historiography of African American Religion since Raboteau," Slavery & Abolition, Jan 2008, Vol. 29 Issue 1, pp. 83–110
- Hettle, Wallace. "White Society in the Old South: The Literary Evidence Reconsidered," Southern Studies: An Interdisciplinary Journal of the South, Fall/Winter 2006, Vol. 13, Issue 3/4, pp 29–44
- King, Richard H. "Marxism and the Slave South", American Quarterly 29 (1977), 117–31. focus on Genovese
- Kolchin, Peter. "American Historians and Antebellum Southern Slavery, 1959–1984", in William J. Cooper, Michael F. Holt, and John McCardell, eds., A Master's Due: Essays in Honor of David Herbert Donald (1985), 87–111
- Laurie, Bruce. "Workers, Abolitionists, and the Historians: A Historiographical Perspective," Labor: Studies in Working Class History of the Americas, Winter 2008, Vol. 5, Issue 4, pp .17–55, studies of white workers
- Neely Jr., Mark E. "Lincoln, Slavery, and the Nation," Journal of American History, Sept 2009, Vol. 96 Issue 2, pp. 456–58
- Parish; Peter J. Slavery: History and Historians Westview Press. 1989
- Penningroth, Dylan. "Writing Slavery's History," OAH Magazine of History, Apr 2009, Vol. 23 Issue 2, pp. 13–20, basic overview
- Sidbury, James. "Globalization, Creolization, and the Not-So-Peculiar Institution," Journal of Southern History, Aug 2007, Vol. 73, Issue 3, pp. 617–30, on colonial era
- Stuckey, P. Sterling. "Reflections on the Scholarship of African Origins and Influence in American Slavery," Journal of African American History, Fall 2006, Vol. 91 Issue 4, pp. 425–443
- Sweet, John Wood. "The Subject of the Slave Trade: Recent Currents in the Histories of the Atlantic, Great Britain, and Western Africa," Early American Studies, An Interdisciplinary Journal, Spring 2009, Vol. 7 Issue 1, pp. 1–45
- Tadman, Michael. "The Reputation of the Slave Trader in Southern History and the Social Memory of the South," American Nineteenth Century History, Sep 2007, Vol. 8, Issue 3, pp. 247–71
- Tulloch, Hugh. The Debate on the American Civil War Era (1998), ch. 2–4
Sumber primer
sunting- Albert, Octavia V. Rogers. The House of Bondage Or Charlotte Brooks and Other Slaves. Oxford University Press, 1991. Primary sources with commentary. ISBN 0-19-506784-3
- The House of Bondage, or, Charlotte Brooks and Other Slaves, Original and Life-Like complete text of original 1890 edition, along with cover & title page images, at website of University of North Carolina at Chapel Hill
- Berlin, Ira, Joseph P. Reidy, and Leslie S. Rowlands, eds. Freedom: A Documentary History of Emancipation, 1861–1867 5 vol Cambridge University Press, 1982. Very large collection of primary sources regarding the end of slavery
- Berlin, Ira, Marc Favreau, and Steven F. Miller, eds. Remembering Slavery: African Americans Talk About Their Personal Experiences of Slavery and Emancipation The New Press: 2007. ISBN 978-1-59558-228-7
- Blassingame, John W., ed. Slave Testimony: Two Centuries of Letters, Speeches, Interviews, and Autobiographies.Louisiana State University Press, 1977.
- Burke, Diane Mutti, On Slavery's Border: Missouri's Small Slaveholding Households, 1815–1865,
- De Tocqueville, Alexis. Democracy in America. (1994 Edition by Alfred A Knopf, Inc) ISBN 0-679-43134-9
- A Narrative of the Life of Frederick Douglass, an American Slave (1845) (Project Gutenberg Diarsipkan 2008-09-07 di Wayback Machine.), (Audio book at FreeAudio.org Diarsipkan 2003-07-26 di Wayback Machine.)
- "The Heroic Slave." Autographs for Freedom. Ed. Julia Griffiths Boston: Jewett and Company, 1853. 174–239. Available at the Documenting the American South website.
- Frederick Douglass My Bondage and My Freedom (1855) (Project Gutenberg Diarsipkan 2008-10-12 di Wayback Machine.)
- Frederick Douglass Life and Times of Frederick Douglass (1892)
- Frederick Douglass Collected Articles Of Frederick Douglass, A Slave Diarsipkan 2004-10-14 di Wayback Machine. (Project Gutenberg)
- Frederick Douglass: Autobiographies by Frederick Douglass, Henry Louis Gates, Jr. Editor. (Omnibus of all three) ISBN 0-940450-79-8
- Litwack, Leon Been in the Storm So Long: The Aftermath of Slavery. (1979) Winner of the 1981 National Book Award for history and the 1980 Pulitzer Prize for History.
- Litwack, Leon North of Slavery: The Negro in the Free States, 1790–1860 (University of Chicago Press: 1961)
- Document: "List Negroes at Spring Garden with their ages taken January 1829" (title taken from document)
- Missouri History Museum Archives Slavery Collection
- Rawick, George P., ed. The American Slave: A Composite Autobiography . 19 vols. Greenwood Publishing Company, 1972. Collection of WPA interviews made in 1930s with ex-slaves
Bacaan selanjutnya
sunting- Majalah ilmiah
- Singleton, Theresa A., "The Archaeology of Slavery in North America" Annual Review of Anthropology, Vol. 24, (1995), pp. 119–140
- McCarthy, Thomas. "Coming to Terms with Our Past, Part II: On the Morality and Politics of Reparations for Slavery" Political Theory, Vol. 32, No. 6 (Dec., 2004), pp. 750–772
- Sejarah lisan mantan budak
- Before Freedom When I Just Can Remember: Twenty-seven Oral Histories of Former South Carolina Slaves Belinda Hurmence, 1989. ISBN 0-89587-069-X
- Before Freedom: Forty-Eight Oral Histories of Former North & South Carolina Slaves. Belinda Hurmence. Mentor Books: 1990. ISBN 0-451-62781-4
- God Struck Me Dead, Voices of Ex-Slaves Clifton H. Johnson ISBN 0-8298-0945-7
- Kritik sastra dan budaya
- Ryan, Tim A. Calls and Responses: The American Novel of Slavery since Gone with the Wind. Baton Rouge: Louisiana State University Press, 2008.
- Van Deburg, William. Slavery and Race in American Popular Culture. Madison: University of Wisconsin Press, 1984.
Lihat pula
suntingPranala luar
sunting- (Inggris) "Lahir dalam perbudakan: Cerita lisan dari Proyek Penulis Federal 1935 - 1938", American Memory, Library of Congress
- (Inggris) "Voices from the Days of Slavery", rekaman wawancara 23 mantan budak, 1932–1975, American Folklife Center, Library of Congress
- (Inggris) Report of the Brown University Steering Committee on Slavery and Justice
- (Inggris) "Slavery and the Making of America", PBS– WNET, New York (4-Part Series)
- (Inggris) Wahl, Jenny. "Slavery in the United States", EH.Net Encyclopedia, edited by Robert Whaples. March 26, 2008, Economic History Net
- (Inggris) North American Slave Narratives, Documents of the American South, University of North Carolina
- (Inggris) "Slavery and Civil War digital collection" Diarsipkan 2011-10-05 di Wayback Machine., scanned original documents including bills of sale, letters related to war issues, et al., Grand Valley State University Library
- (Inggris) How Slavery Really Ended in America New York Times.
- (Inggris) Bill Bigelow, "The Color Line", 6-page lesson plan for high school students, Zinn Education Project/Rethinking Schools
- (Inggris) Gayle Olson-Raymer, "The First Slaves", 15-page teaching guide for high school students, Zinn Education Project/Rethinking Schools
- (Inggris) Harvesting Cotton-Field Capitalism: Edward Baptist's New Book Follows the Money on Slavery. The New York Times, October 3, 2014.