Penyakit mulut dan kuku

penyakit menular pada hewan berkuku belah yang disebabkan oleh Apthovirus
(Dialihkan dari Penyakit mulut dan kaki)

Penyakit mulut dan kuku (biasa disingkat PMK; bahasa Inggris: foot-and-mouth disease, disingkat FMD) adalah penyakit hewan yang sangat menular akibat infeksi virus penyakit mulut dan kuku (FMDV). Penyakit ini dicirikan oleh luka (berupa lepuh dan/atau erosi) di bagian mulut dan kuku pada hewan berkuku belah, seperti sapi dan babi.

Penyakit mulut dan kuku
Erosi pada lidah akibat infeksi virus PMK
Informasi umum
Nama lainFoot-and-mouth disease, aphthae epizootica, aphthous fever
SpesialisasiPenyakit menular, kedokteran hewan Sunting ini di Wikidata
PenderitaTerutama pada hewan berkuku belah
PenyebabVirus PMK
Aspek klinis
Gejala dan tandaKulit melepuh (membentuk vesikel) dan mengelupas di bagian mulut, hidung, sela kuku, dan puting
Awal muncul2–14 hari setelah terpapar virus
Durasihingga 2 pekan
DiagnosisIdentifikasi agen: RT-PCR, isolasi virus, ELISA antigen, atau CFT; uji serologis: uji netralisasi virus dan ELISA.
Kondisi serupaStomatitis vesikuler, penyakit vesikuler babi, exanthema vesikuler pada babi, dan infeksi Senecavirus A
Tata laksana
PencegahanVaksinasi
PerawatanTerapi simtomatif dan suportif

Di tingkat nasional dan internasional, PMK merupakan penyakit hewan lintas batas yang penting karena memiliki dampak ekonomi yang signifikan dan bersifat sangat menular. Rentang spesies inang yang luas, dosis infeksius yang rendah, kemampuan virus bertahan di lingkungan, serta eksresi virus oleh hewan sebelum munculnya tanda klinis merupakan hal-hal yang menyebabkan PMK mampu menyebar dengan cepat dan luas.

Hewan rentan

sunting

Secara umum, hewan berkuku belah (terutama dalam ordo Artiodactyla) merupakan inang alami virus ini. Sapi, kerbau, babi, kambing, dan domba merupakan hewan domestik yang rentan terinfeksi. Di Afrika, kerbau afrika merupakan hewan yang berperan sebagai reservoir. Satwa liar juga rentan terhadap infeksi virus, seperti rusa (misalnya rusa bagal,[1] rusa sika, dan kijang),[2] antelop, babi liar, jerapah, yak, serta unta baktria, llama, dan alpaka. Selain hewan berkuku belah, virus PMK juga dapat menginfeksi anjing, landak susu, beruang, gajah, armadillo, kanguru, nutria, dan kapibara.[3]

Tanda klinis

sunting
Luka di kaki sapi (kiri) dan babi (kanan) yang menderita PMK

Masa inkubasi pada sapi berlangsung 2–14 hari, pada domba 1–12 hari (mayoritas 2–8 hari), dan pada babi biasanya dua hari atau lebih.[4][a] Hewan yang terinfeksi FMDV menunjukkan tanda klinis yang bervariasi mulai dari ringan hingga berat, tergantung pada spesies hewan, umur hewan, kekebalan hewan, serotipe virus, serta jumlah paparan virus. Faktor-faktor tersebut juga memengaruhi cepat atau lambatnya masa inkubasi. Babi yang dipelihara secara intensif dan sapi menunjukkan manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan domba dan kambing.[6]

Ciri khas penyakit ini adalah munculnya lepuh (vesikel) dan/atau erosi kulit di bagian hidung, lidah, bibir, di dalam rongga mulut (baik di gusi, langit-langit, maupun pipi bagian dalam), di sela kuku dan di lingkaran kuku (disebut juga pita koroner), serta di puting susu hewan betina. Setelah kulit melepuh, hewan menjadi lemas dan enggan bergerak atau makan. Biasanya, bagian tubuh yang melepuh akan pulih dalam tujuh hari, tetapi komplikasi (misalnya akibat infeksi bakteri) dapat memperpanjang kondisi buruk.[6] Sebagai contoh, luka di kaki lebih rentan terhadap infeksi bakteri yang dapat berujung pada kepincangan kronis, sementara infeksi bakteri di puting susu dapat mengakibatkan mastitis.[7]

Tanda klinis lain yang sering ditemukan yakni demam (sekitar 40 °C), depresi, hipersalivasi (keluarnya air liur secara berlebihan), penurunan nafsu makan, berat badan, dan produksi susu, serta hambatan pertumbuhan. Miositis juga bisa terjadi pada bagian tubuh lainnya. Rasa nyeri pada bagian mulut dapat menyebabkan sapi menunjukkan perilaku mengunyah dan menggeretakkan giginya. Lesi kaki pada sapi dan domba biasanya parah hingga mereka sulit berdiri dan dapat menyebabkan kuku mereka terlepas, sedangkan lesi vesikel pada kambing dan domba sering kali berukuran kecil dan hilang dengan cepat. Umumnya, tanda klinis pada hewan dewasa akan menghilang dalam 2–3 pekan dan sebagian di antara hewan terinfeksi akan menjadi pembawa virus dan mengalami infeksi persisten.[8] Biasanya, sapi menjadi pembawa virus dalam jangka waktu tidak lebih dari enam bulan. Meskipun demikian, terdapat laporan bahwa sapi dapat membawa virus selama tiga tahun.[3] Hewan-hewan yang terinfeksi secara kronis mengalami penurunan produksi susu; rata-rata sebanyak 80%. Tingkat kematian pada hewan dewasa relatif rendah (1–5%), tetapi pada sapi, domba, dan babi berusia muda cukup tinggi (hingga 20%). Kematian tersebut dapat terjadi, bahkan sebelum munculnya lepuh, akibat miokarditis multifokal.[6][7][9]

Penyebab

sunting

Virologi

sunting

Penyakit mulut dan kuku disebabkan oleh virus penyakit mulut dan kuku (FMDV) yang termasuk dalam famili Picornaviridae dan genus Aphthovirus. Virus ini tidak beramplop dan memiliki asam nukleat berupa RNA rantai tunggal dan terdiri atas tujuh serotipe, yaitu A, O, C, Asia1, SAT1 (Southern African Territories 1), SAT2, dan SAT3; masing-masing serotipe berbeda secara imunologis dan tidak memberikan perlindungan silang, artinya hewan yang kebal terhadap salah satu serotipe tidak kebal terhadap infeksi serotipe lainnya.[3][6]

Penularan

sunting

Pada populasi yang rentan, tingkat penyebaran penyakit ini mencapai 100%.[7] Sumber virus yakni sekresi dan ekskresi dari hewan terinfeksi (baik yang sedang dalam masa inkubasi maupun hewan yang telah menunjukkan tanda klinis). Partikel virus ditemukan pada udara yang dihembuskan hewan terinfeksi, air liur, air susu, urine, tinja, semen, cairan dari vesikel, hingga cairan amnion dari janin domba teraborsi. Virus disebarkan ke lingkungan dalam jumlah tertinggi pada saat vesikel robek dan saat kemunculan sebagian besar tanda klinis. Ruminansia terinfeksi dapat menghembuskan 120 ribu dosis infeksius (TCID50) ke udara, sementara babi hingga 400 juta dosis infeksius per hari sehingga babi dinilai sebagai spesies penguat penularan penyakit.[10] Produk hewan, seperti daging dan kulit, masih mengandung virus jika tidak diberi perlakuan teknis yang tepat. Setelah dikeluarkan dari tubuh hewan, virus dapat menempel ke berbagai benda, termasuk manusia, dan terbawa ke mana-mana. Air dan udara juga dapat menyebarkan virus ke lokasi lain.[11] Secara berturut-turut risiko tertinggi sampai terendah dalam penularan PMK yakni kontak langsung dengan hewan terinfeksi, terpapar produk hewan yang mengandung virus, terpapar benda-benda terkontaminasi virus, dan terbawa angin.[5]

Virus PMK masuk ke dalam tubuh hewan peka melalui saluran pernapasan, pencernaan, atau melalui kulit dan membran mukosa yang terluka. Masuknya virus terjadi saat hewan peka mengalami kontak langsung dengan hewan terinfeksi (terutama melalui aerosol) atau dengan benda-benda terkontaminasi (seperti pakaian, sepatu, dan kendaraan). Untuk menimbulkan infeksi, rute pernapasan memerlukan lebih sedikit partikel virus dibandingkan rute oral. Hal ini berlaku untuk semua spesies hewan. Ruminansia lebih sering terinfeksi melalui rute pernapasan, sedangkan babi sering terinfeksi melalui rute oral ketika mereka diberi pakan sampah dapur yang mengandung partikel virus. Untuk terinfeksi melalui rute pernapasan, babi memerlukan sekitar 80 kali lebih banyak virus PMK dibandingkan ruminansia sehingga keberadaan virus di udara belum tentu mengakibatkan infeksi pada babi.[10] Anak sapi yang menyusu pada induknya serta inseminasi buatan menggunakan semen terkontaminasi juga menjadi rute transimisi penyakit.[3] [5]

Penyakit mulut dan kuku tidak menular ke manusia. Meskipun demikian, manusia dapat membawa partikel virus dalam saluran pernapasannya selama 24–48 jam. Untuk mencegah tersebarnya virus, personel yang bekerja pada lembaga penelitian PMK perlu melakukan swakarantina selama 3–5 hari. Selama masa wabah penyakit, masa karantina ini dapat dipersingkat menjadi semalaman setelah personel tersebut mandi secara menyeluruh, berganti pakaian, dan menggunakan ekspektoran.[4] Sebuah artikel ilmiah yang dipublikasikan pada 1997 menyatakan bahwa virus PMK telah diisolasi dari lebih dari 40 orang; serotipe O menjadi serotipe yang paling banyak diisolasi, yang diikuti oleh serotipe C, dan paling jarang serotipe A.[12]

Patogenesis

sunting

Setelah masuk ke dalam tubuh hewan, baik melalui saluran pernapasan maupun saluran pencernaan, virus akan bereplikasi di jaringan limfoid, terutama di saluran pernapasan bagian atas, dan kemudian masuk ke peredaran darah untuk bersirkulasi selama 3–5 hari. Virus dapat dideteksi pada orofaring antara satu dan tiga hari sebelum masuk ke dalam darah dan sebelum kemunculan tanda klinis. Melalui aliran darah, virus kemudian tersebar dan bereplikasi di jaringan epitel predileksinya, seperti lidah, sela kuku, puting hewan betina, dan otot jantung pada hewan muda, sehingga terbentuk vesikel. Virus diekskresikan hewan terinfeksi sejak dua hari sebelum tanda klinis terlihat (virus pada susu dideteksi empat hari sebelum tanda klinis) dan ekskresi virus dalam jumlah besar berhenti pada 4–5 hari setelah vesikel muncul. Luka kulit biasanya sembuh dalam sepuluh hari, tetapi infeksi sekunder mengakibatkan hewan pulih lebih lama.[13]

Pada hari pertama munculnya tanda klinis berupa lesi kulit, epitel memucat dan perlahan diisi oleh cairan. Vesikel pecah pada hari kedua dan terlihat lembaran epitel pada tepian lesi dengan batas yang jelas; dasar lesi berwarna merah. Pada hari ketiga, batas lesi mulai tidak jelas dan warna dasarnya menjadi merah pucat; deposisi fibrin mulai terjadi. Pada hari keempat, jaringan epitel mulai tumbuh kembali pada tepian lesi dan deposisi fibrin semakin meluas. Jaringan parut telah terbentuk pada hari ketujuh dan lesi biasanya telah sembuh pada hari kesepuluh, meskipun bekasnya masih terlihat sebagai area pucat. Meskipun umur lesi dapat diperkirakan, tetapi kecepatan penyembuhan lesi antarhewan bervariasi dan akurasi perkiraan umur lesi akan menurun. Lesi pada kambing dan domba cenderung lebih sulit diamati dibandingkan lesi pada sapi karena ukurannya lebih kecil. Selain itu, lesi kaki pada ruminansia kecil tersebut umumnya lebih ringan dan sering ditemukan di bagian pita koroner kaki. Pada babi, lesi kaki lebih sering diamati untuk menentukan umur lesi.[14][15]

Partikel virus masih ditemukan di daerah orofaring ruminansia sampai 28 hari pascainfeksi dan sekitar 50% ruminansia dapat mengalami infeksi persisten meskipun mereka telah memiliki kekebalan terhadap virus PMK. Hewan-hewan yang di orofaringnya masih ditemukan virus setelah 28 hari pascainfeksi disebut sebagai hewan pembawa penyakit. Kerbau afrika tercatat menjadi pembawa hingga selama lima tahun, sapi sampai tiga tahun, dan ruminansia kecil sampai sembilan bulan, sementara babi tidak dianggap sebagai pembawa virus yang persisten. Pada hewan-hewan pembawa, ekskresi virus bersifat intermiten (tidak tetap) dan jumlahnya menurun seiring dengan waktu. Meskipun demikian, secara epidemiologis, peran hewan-hewan pembawa tersebut dalam menularkan penyakit dinilai tidak jelas, kecuali kerbau-afrika pembawa yang diduga berperan dalam wabah PMK di Zimbabwe pada tahun 1989 dan 1991.[5][16]

Diagnosis

sunting

Diagnosis banding

sunting

Diagnosis banding untuk PMK adalah stomatitis vesikuler, penyakit vesikuler babi, exanthema vesikuler pada babi, dan infeksi Senecavirus A. Keempat penyakit ini tidak bisa dibedakan secara klinis dengan PMK. Penyakit-penyakit lain yang memiliki tanda klinis serupa di antaranya penyakit sampar sapi, diare ganas sapi, rhinotrakeitis sapi infeksius, penyakit lidah biru, penyakit hemoragik epizotik, mamilitis sapi, stomatitis papular sapi, orf, demam kataral malignan, dan penyebab noninfeksius seperti trauma atau melepuh akibat zat kimia.[17]

Pengujian laboratorium

sunting

Cairan dari vesikel dan epitel merupakan spesimen yang baik untuk mendeteksi keberadaan antigen dan genom virus PMK. Cairan esofagus-faring (dapat diambil melalui usapan atau dengan cangkir probang) serta darah (pada fase viremia pada awal infeksi) merupakan alternatif lainnya. Spesimen pada pemeriksaan pascamati dapat berupa otot jantung, tonsil, kelenjar getah bening preskapularis, kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, ginjal, dan lesi-lesi lainnya.[18] Identifikasi agen dilakukan dengan reaksi berantai polimerase transkripsi-balik (RT-PCR), isolasi virus, deteksi antigen dengan ELISA, atau uji fiksasi komplemen (CFT). Perangkat berbasis uji aliran lateral dapat digunakan sebagai tes diagnostik cepat, tetapi metode ini tidak direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH). Di sisi lain, uji serologis dilakukan dengan uji netralisasi virus dan ELISA.[19] Antibodi mulai dapat dideteksi oleh ELISA pada 3–5 hari setelah kemunculan tanda klinis dan berada dalam konsentrasi tinggi pada 5–9 hari setelah kemunculan tanda klinis.[13] Ruminansia memiliki titer antibodi yang dapat dideteksi hingga beberapa tahun pascainfeksi, sedangkan antibodi pada babi hanya dapat dideteksi setelah beberapa bulan. Tubuh hewan terinfeksi membentuk antibodi baik terhadap protein struktural (SP; protein pada kapsid virus) maupun protein nonstruktural (NSP; protein yang terlibat dalam replikasi).[5] Sementara itu, hewan yang divaksin—dengan vaksin terpurifikasi tanpa NSP—hanya membentuk antibodi terhadap SP dan tidak menghasilkan antibodi terhadap NSP. Kedua tipe antibodi tersebut dapat dibedakan oleh ELISA sehingga uji ini dapat digunakan membedakan hewan yang terinfeksi alami atau hewan yang telah divaksin. Jika ELISA NSP menunjukkan hasil seropositif terhadap spesimen serum seekor hewan, artinya hewan tersebut pernah terinfeksi secara alami.[20][21]

Pengurutan genom digunakan untuk mengetahui galur virus, yang terutama dilakukan terhadap bagian VP1 dari genom virus. Metode ini umumnya dilakukan untuk mengetahui pergerakan global virus secara spasial dan temporal serta untuk mengetahui kecocokan vaksin dengan galur virus yang beredar di suatu wilayah.[20]

Pencegahan dan penanganan

sunting

Vaksinasi

sunting

Pemberian vaksin dapat melindungi hewan dari infeksi virus PMK. Namun, perlindungan vaksin terhadap salah satu serotipe virus tidak melindungi dari serotipe lainnya. Oleh karena itu, serotipe (dan galur) virus PMK yang terdapat di suatu wilayah perlu diketahui sebelum vaksinasi diterapkan di wilayah tersebut. Jenis vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktif. Vaksin aktif yang mengandung virus-yang-dilemahkan tidak diperbolehkan karena ada kemungkinan timbulnya virulensi dan penggunaan vaksin aktif dapat menyulitkan deteksi infeksi virus pada hewan yang telah divaksin.[22]

Vaksinasi dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi jika hewan terpapar virus, munculnya tanda klinis dan dampak penyakit pada hewan terinfeksi, serta mengurangi jumlah virus yang diluruhkan hewan terinfeksi. Walaupun telah divaksin, seekor hewan masih bisa menderita PMK secara subklinis. Vaksin PMK diberikan dengan dua dosis primer. Dosis pertama dan kedua berjarak 3-4 pekan. Pada anak hewan, vaksinasi diberikan pada saat antibodi maternal sudah turun, yaitu mulai sekitar umur dua bulan pada babi dan empat bulan pada sapi. Tingkat kekebalan yang diberikan oleh vaksin bergantung pada potensi vaksin, kecocokan antigenik antara galur vaksin dan galur lapangan, serta jadwal vaksinasi. Pada umumnya, kekebalan yang diinduksi oleh vaksin berdurasi tidak lebih dari enam bulan sehingga di negara endemis, diperlukan pemberian vaksinasi penguat.[23][24]

Disinfeksi

sunting

Virus PMK rentan terhadap pH rendah dan pH tinggi. Disinfektan yang bersifat asam atau basa efektif untuk menonaktifkan virus ini.

Pengobatan

sunting

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk hewan yang menderita PMK. Meskipun demikian, terapi suportif diberikan di negara yang endemik.[7] Antipiretik dan analgesik digunakan untuk mengurangi demam dan rasa nyeri, sedangkan antiseptik topikal dapat dipakai untuk mencegah infeksi sekunder di bagian kaki. Antibiotik hanya digunakan untuk mengobati infeksi sekunder dan bukan sebagai pencegahan.[25]

Persebaran

sunting

Penyakit mulut dan kuku merupakan salah satu penyakit hewan yang statusnya di suatu negara ditetapkan secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH). Terdapat empat status bebas PMK, yaitu (1) negara bebas PMK tanpa menerapkan vaksinasi; (2) negara bebas PMK dengan menerapkan vaksinasi; (3) negara dengan zona bebas PMK tanpa menerapkan vaksinasi; dan (4) negara dengan zona bebas PMK dengan menerapkan vaksinasi.[26] Amerika Utara, Amerika Tengah, Eropa Barat kontinental, Australia, dan Selandia Baru secara umum bebas dari PMK. Penyakit ini bersifat endemis di beberapa bagian Asia serta sebagian besar Afrika dan Timur Tengah.[27] Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), khususnya Komisi Eropa untuk Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku (EuFMD), setiap tiga bulan menerbitkan laporan situasi global PMK.[28]

Dampak

sunting
 
Papan peringatan PMK di perbatasan Botswana

Selain menimbulkan kerugian ekonomi secara langsung karena kematian hewan, berkurangnya produksi susu, dan menurunnya tingkat pertumbuhan hewan,[29] wabah PMK juga memengaruhi perekonomian secara tidak langsung karena pengendalian penyakit juga memerlukan biaya. Karena PMK mudah menyebar, suatu negara yang dinyatakan tertular PMK akan mengalami hambatan dalam perdagangan internasional, terutama dalam perdagangan hewan dan produk hewan yang dapat membawa virus PMK. Wabah PMK juga memengaruhi kondisi sosioekonomi orang-orang yang terdampak oleh pembatasan lalu lintas hewan dan produk hewan.[30] Saat PMK mewabah di Britania Raya pada 2001, sekitar 6,2 juta hewan dipotong untuk mencegah penularan virus. Wabah di Jepang pada 2010 mengakibatkan 290 ribu hewan terpaksa dipotong, sementara di Korea Selatan sebanyak 3,47 juta hewan dipotong pada 2010 hingga 2011.[31] Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2013 menyatakan bahwa secara global, kerugian ekonomi akibat penurunan produksi dan biaya vaksinasi PMK yaitu sebesar 6,5 hingga 21 miliar dolar setiap tahun.[32]

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Sumber lain menyatakan 2–14 hari dan pada mayoritas kasus, masa inkubasi berlangsung 2–6 hari; jarang hanya satu hari.[5]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Rhyan, Jack; McCollum, Matthew; Gidlewski, Thomas; Shalev, Moshe; Ward, Gordon; Donahue, Brenda; Arzt, Jonathan; Stenfeldt, Carolina; Mohamed, Fawzi (2020). "Foot-and-Mouth Disease in Experimentally Infected Mule Deer (Odocoileus hemionus)". Journal of Wildlife Diseases. 56 (1): 93–104. ISSN 1943-3700. PMID 31329525. 
  2. ^ Gibbs, E.P.J.; Herniman, K.A.J.; Lawman, M.J.P. (1975). "Studies with foot-and-mouth disease virus in British deer (muntjac and sika)". Journal of Comparative Pathology. 85 (3): 361–366. doi:10.1016/0021-9975(75)90022-5. 
  3. ^ a b c d OIE 2021a, hlm. 1.
  4. ^ a b OIE 2021a, hlm. 2.
  5. ^ a b c d e EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Tiga: Infeksi, Ekskresi dan Transmisi" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 9 September 2022. 
  6. ^ a b c d "Foot and mouth disease". OIE. Diakses tanggal 6 Mei 2022. 
  7. ^ a b c d Belsham, Graham J.; Botner, Anette; Lohse, Louise (Juli 2021). "Foot-and-Mouth Disease in Animals". MSD Veterinary Manual. Diakses tanggal 8 Mei 2022. 
  8. ^ Alexandersen, Soren; Zhang, Zhidong; Donaldson, Alex I. (2002). "Aspects of the persistence of foot-and-mouth disease virus in animals—the carrier problem". Microbes and Infection. 4 (10): 1099–1110. doi:10.1016/S1286-4579(02)01634-9. 
  9. ^ OIE 2021a, hlm. 3.
  10. ^ a b Alexandersen, S; Zhang, Z; Donaldson, A.I; Garland, A.J.M (2003). "The Pathogenesis and Diagnosis of Foot-and-Mouth Disease". Journal of Comparative Pathology. 129 (1): 1–36. doi:10.1016/S0021-9975(03)00041-0. 
  11. ^ OIE 2021a, hlm. 1-2.
  12. ^ Bauer, K. (1997). Kaaden, Oskar-Rüger; Czerny, Claus-Peter; Eichhorn, Werner, ed. Foot-and-mouth disease as zoonosis. Vienna: Springer Vienna. hlm. 95–97. doi:10.1007/978-3-7091-6534-8_9. ISBN 978-3-211-83014-7. 
  13. ^ a b EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Enam: Memperkirakan umur lesi" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 8 September 2022. 
  14. ^ EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Dua: Patogenesis" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 13 September 2022. 
  15. ^ Department for Environment, Food and Rural Affairs (2005). Foot and Mouth Disease Ageing of Lesions (PDF). London: Department for Environment, Food and Rural Affairs. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-09-13. Diakses tanggal 2022-09-13. 
  16. ^ Dawe, P.; Flanagan, F.; Madekurozwa, R.; Sorensen, K.; Anderson, E.; Foggin, C.; Ferris, N.; Knowles, N. (1994). "Natural transmission of foot-and-mouth disease virus from African buffalo (Syncerus caffer) to cattle in a wildlife area of Zimbabwe". Veterinary Record. 134 (10): 230–232. doi:10.1136/vr.134.10.230. ISSN 0042-4900. [pranala nonaktif permanen]
  17. ^ OIE 2021a, hlm. 4.
  18. ^ EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Tujuh: Pengambilan Sampel Diagnostik" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 13 September 2022. 
  19. ^ OIE 2021a, hlm. 4-5.
  20. ^ a b EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Delapan: Prosedur Diagnostik Laboratorium" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 13 September 2022. 
  21. ^ Doel, T.R. (2005). Mahy, Brian W.J., ed. Natural and Vaccine Induced Immunity to FMD. 288. Berlin/Heidelberg: Springer-Verlag. hlm. 103–131. doi:10.1007/3-540-27109-0_5. ISBN 978-3-540-22419-8. 
  22. ^ OIE 2021a, hlm. 5-6.
  23. ^ EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Enam Belas: Fitur-fitur Kunci Vaksin PMK" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 16 September 2022. 
  24. ^ Doel, T.R (2003). "FMD vaccines". Virus Research. 91 (1): 81–99. doi:10.1016/S0168-1702(02)00261-7. 
  25. ^ EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Lima: Diagnosis Klinis" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 9 September 2022. 
  26. ^ "Foot and mouth disease: Map of FMD official status". World Organisation for Animal Health. Diakses tanggal 8 September 2022. 
  27. ^ "Foot and mouth disease: Geographical distribution". World Organisation for Animal Health. Diakses tanggal 8 September 2022. 
  28. ^ "Quarterly Reports". Food and Agriculture Organization of the United Nations. Diakses tanggal 8 September 2022. 
  29. ^ Bayissa, Berecha; Ayelet, Gelagay; Kyule, Moses; Jibril, Yasmin; Gelaye, Esayas (2011). "Study on seroprevalence, risk factors, and economic impact of foot-and-mouth disease in Borena pastoral and agro-pastoral system, southern Ethiopia". Tropical Animal Health and Production. 43 (4): 759–766. doi:10.1007/s11250-010-9728-6. ISSN 1573-7438. 
  30. ^ Knight-Jones, T.J.D.; Rushton, J. (2013). "The economic impacts of foot and mouth disease – What are they, how big are they and where do they occur?". Preventive Veterinary Medicine. 112 (3-4): 161–173. doi:10.1016/j.prevetmed.2013.07.013. PMC 3989032 . PMID 23958457. 
  31. ^ Knight-Jones, T.J.D.; Rushton, J. (2013). "The economic impacts of foot and mouth disease – What are they, how big are they and where do they occur?". Preventive Veterinary Medicine. 112 (3-4): 161–173. doi:10.1016/j.prevetmed.2013.07.013. PMC 3989032 . PMID 23958457. 
  32. ^ Knight-Jones, T.J.D.; Rushton, J. (2013). "The economic impacts of foot and mouth disease – What are they, how big are they and where do they occur?". Preventive Veterinary Medicine. 112 (3): 161–173. doi:10.1016/j.prevetmed.2013.07.013. ISSN 0167-5877. 

Daftar pustaka

sunting

Bacaan lanjutan

sunting