Danurejo II (O Jawa: Danureja II) (?1772-1811 M) adalah seorang patih (perdana menteri) di Keraton Yogyakarta (1799-1811). Sebelum diangkat menjadi patih, ia bernama Tumenggung Mertonegoro dan cucu dari Danurejo I dan Hamengkubuwono I, putera dari Tumenggung Danukusuma I dengan RAy. Danukusuma yang wafat pada bulan Agustus 1799 M. Pemilihan Mertonegoro berdasarkan perjanjian antara Hamengkubuwono II dengan Johan Frederik baron van Reede tot de Parkeler, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa VOC pada bulan September 1799.

Dalam rangka menjalin hubungan kekerabatan, Danurejo II dinikahkan dengan salah satu putri dari Sultan Hamengkubuwono II yang bernama RAy Hangger. Karena hubungannya dengan Sultan Hamengkubuwono II kurang baik dan ia dianggap bersalah, Patih Danurejo II dihukum mati di dalam Keraton Yogyakarta pada tanggal 28 Oktober 1811 dan dikebumikan di pemakaman para pengkhianat, pemakaman Banyusumurup.[1] Pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VI pada tahun 1865, Danurejo II dipulihkan namanya dan makamnya dipindah ke Pesarean Mlangi di sebelah utara Masjid Pathok Negara.

Putri kandung Danureja II dengan RAy. Hangger yang bernama GKR Kencono dipinang oleh Hamengkubuwana IV sebagai garwa Prameswari pada tanggal 13 Mei 1816.

Biografi

sunting

Kehidupan Awal

sunting

Sebelum diangkat jadi patih, Danurejo II bernama Tumenggung Mertonegoro.[2] Ia adalah anak dari Raden Tumenggung Danukusuma I dari Wangsa Danurejo dan Raden Ayu Danukusuma, salah satu putri Hamengkubuwana I.[3] Ia juga cucu dari patih Danurejo I / Tumenggung Yudhonegoro III yang menjabat sebagai patih dalem pada masa pemerintahan Hamengkubuwana I dan Hamengkubuwana II (1755-1799). Ia berguru tasawuf dan spiritual Islam ke Kiai Taptojani yang tinggal di Mlangi dan dihormati para bangsawan keraton. Hal ini membuatnya dekat dengan kaum santri, tetapi juga menjadi salah satu sumber kritik bahwa ia dinilai terlalu dekat dengan santri dan kalangan ulama.[4]

Diangkat sebagai Patih Danurejo II

sunting

Setelah kakeknya wafat pada 19 Agustus 1799, Tumenggung Mertonegoro yang belum genap berusia 28 tahun diangkat menjadi patih menggantikan kakeknya dengan gelar Danurejo II [5][2] Ia menjabat sejak 9 September 1799 berdasarkan perjanjian HB II dan VOC. Pada masa itu, pengangkatan dan pemberhentian patih di kesultanan Jawa, baik Kesultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta Hadiningrat, harus dengan persetujuan dan perjanjian dengan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.[6]

Hamengkubuwana II tidak menyukai Danurejo II selama menjabat sebagai patih karena Patih Danuredjo dianggap terlalu lugu, dan naif dalam politik, tidak punya pengalaman administrasi, dan tidak tegas menghadapi lawan-lawannya dan para pengkritiknya. Ia dianggap tidak mampu menanggung beban jabatannya sesuai yang diinginkan oleh Hamengkubuwana II. Bahkan Danurejo II sering dilecehkan oleh Hamengkubuwono II dengan menyebutnya sebagai lelaki yang belum dewasa dan memanggilnya dengan sebutan "anak laki-laki" (Bahasa Jawa: tholé). Residen Yogya, van Ijsseldijk (1786-1798), mengatakan selama menjadi asisten Danurejo I, ia sebenarnya punya ketaatan dan ketakutan yang besar terhadap Sultan HB II sehingga urusan kesultanan lebih banyak berasal dari ide-ide pribadi Sultan dibanding aturan-aturan keadilan.[5]

J.G. van den Berg yang menjabat sebagai Residen Yogya pada 1798-1803, menilai Danurejo II adalah administrator yang buruk dan lebih suka bersenang-senang dibanding melaksanakan tugasnya sebagai patih. Suatu ketika Sultan HB II memberikan denda yang berat karena ia lalai tidak menghadiri acara selamatan untuk mendiang Ratu Bendara—anak HB I dan istri Mangkunegara I—yang baru saja wafat.[5] Bahkan konon ada cerita bahwa Danurejo II dianggap ikut berperan menyediakan gadis muda bagi HB III. Salah satu wanita itu diduga berasal dari Keraton Surakarta.[7]

Ditambah lagi, Danurejo II dianggap dekat dengan Belanda dan anak HB II sekaligus pewaris takhta yang merupakan saudara iparnya, Sultan Hamengkubuwana III. Kedekatan Patih Danurejo II dengan pihak Belanda seperti Residen Yogya dan administator pemerintahan adalah karena sumpah jabatan pengangkatan Patih Dalem yang dilantik oleh Kolonial Belanda sebagai perpanjangan tangan di keraton. Dalam hal hubungan dengan Sultan, Danurejo II sangat berbeda dengan Danurejo I yang mampu bersikap bijaksana dalam mengakomodasi kepentingan kesultanan Hamengkubuwono I walaupun dilantik oleh Belanda. [8] Selain itu, Danurejo II adalah salah satu anggota golongan karajan, golongan yang mendukung HB III naik takhta menggantikan ayahnya. Golongan kubu ini terdiri dari Sultan Raja Hamengkubuwono III, Danurejo II, Pangeran Diponegoro, dan Tumenggung Secodiningrat. Hal tersebut merupakan ancaman bagi HB II, yang karena hasutan salah satu istrinya Ratu Kencono Wulan yang berambisi ingin menjadikan anak menantunya Pangeran Notodiningrat putera dari Pangeran Notokusumo sebagai pengganti kelak sehingga tindakan tersebut dianggap membangkang, merendahkan harga diri dan kehormatannya.

Dukungan Danurejo II terhadap Hamengkubuwono III juga menimbulkan banyak keresahan dan kekesalan Sultan Sepuh HB II dan membuat Danurejo II dimusuhi banyak orang di istana terutama kubu dari Ratu Kencono Wulan. Di antaranya Pangeran Notokusumo, adik HB II, yang menjadi musuh bebuyutan Danurejo II dan Ratu Kencono Wulan, permaisuri ketiga HB II sekaligus besan Notokusumo. Putri sulung Ratu Kencono Wulan menikah dengan anak Notokusumo, Pangeran Notodiningrat. Kedua orang ini memiliki misi untuk menggulingkan Danurejo II dan menyingkirkan Sultan Hamengkubuwono III serta mengangkat Notodiningrat sebagai penggantinya, sedangkan Pangeran Notokusumo sebagai pengganti HB II.[9] Terlebih lagi, dengan adanya Pemberontakan Raden Ronggo pada 1810, Notokusumo dan Notodiningrat telah terlibat dalam pemberontakan sehingga harus diasingkan ke Semarang dan Cirebon. Saat mereka berhasil kembali ke Kesultanan Yogyakarta berkat bantuan Inggris, Hamengkubuwana II mencurigai Danurejo II punya andil terkait pengasingan kedua pangeran itu.[10]

Puncak kekesalan Sultan HB II pada Danurejo II bermuara pada April 1810 ketika sultan meminta izin Daendels untuk memecat patihnya dan menggantikannya dengan Raden Mas Tumenggung Sindunegoro. Namun, hal itu ditolak Daendels karena Sindunegoro dianggap terlalu tua dan kurang berbakat dalam administrasi untuk jabatan sepenting ini, dan pengangkatan tersebut dianggap sepihak dan tidak sah. Residen Surakarta, van Braam, mendapat tugas dari Daendels untuk mengembalikan hubungan sultan dengan patihnya tetapi ia tidak berhasil mengubah pikiran sultan. Justru sebaliknya, Danurejo II malah kehilangan sebagian besar kekuasaan dan tanggung jawabnya. Pada Oktober 1810, Danurejo II kehilangan semua tanggung jawab administrasi internal yang diambil alih oleh Pangeran Notodiningrat. Perdana menteri Yogya itu hanya diberi tugas mengatur urusan di mancanegara dan hubungan Keraton Yogyakarta dengan Keraton Surakarta dan pemerintah Hindia-Belanda. Namun, ruang geraknya pun dibatasi karena setiap kunjungan ke karesidenan harus didampingi Pangeran Notodiningrat dan Sindunegoro sebagai wakilnya. Pada akhir Agustus 1810, Hamengkubuwana II juga menunjuk orang kepercayaannya dan mantan pengawal pribadinya, Raden Tumenggung Purwadipura, untuk menjadi asisten resmi sekaligus mengikuti gerak-gerik Danurejo II.[11] Ia bahkan dilarang sungkem kepada Sultan Hamengkubawana II pada saat Idulfitri.[12][2]

Pelucutan kekuasaan Danurejo II tidak berlangsung lama. Pada November 1810, atas desakan Belanda yang akan melakukan tindakan tegas terhadap Sultan Hamengkubuwana II akhirnya mengumumkan mengembalikan kekuasaan Danurejo II secara penuh. Pangeran Notodiningrat kembali ke jabatannya semula.[12]

Meninggal dunia

sunting

Setelah Inggris menginvasi Jawa dan menjadi penguasa pesisir Jawa melalui Kapitulasi Tuntang, Hamengkubuwana II melakukan manuver politik untuk mengambil alih takhta dari putranya, Hamengkubuwana III, dan membersihkan istana dari pejabat-pejabat pro-Belanda, termasuk membunuh Danurejo II.[10]

Pada 28 Oktober 1811, Danurejo II dipanggil ke keraton. Namun, saat ia memasuki Paviliun Purwaretna,tepatnya di depan Dianselo ia disergap tujuh orang pejabat keraton yang dipimpin Tumenggung Sumodiningrat saudara Ratu Kencono Wulan. Patih Danurejo II pun meninggal dunia setelah dicekik dengan kain putih—cara membunuh yang umum dilakukan oleh bangsawan Jawa karena tidak menimbulkan darah dan meninggalkan bekas di tubuh.[1] Oleh karena itu Patih Danuredjo II dikenal dengan sebutan Patih Sedo Kedhaton atau Patih Sedo Lawe. Keesokan harinya jasadnya dimakamkan di pemakaman Banyusumurup.[13] Jasad Danurejo II dikebumikan di pemakaman pengkhianat di Banyusumurup hingga masa pemerintahan Hamengkubuwana VI; dan akhirnya dikembalikan nama baiknya dan kemudian dipindahkan ke pemakaman keluarga Danurejo di Melangi pada 1865.[14]

Pada 31 Oktober 1811, Residen Yogya saat itu, Pieter Engelhard, menerima laporan dari Pangeran Dipokusumo bahwa Danurejo II dan ayahnya, Danukusuma I, telah dipecat meski ia sudah meninggal terbunuh. Dipokusumo juga meneruskan surat resmi Hamengkubuwana II bahwa Danurejo II dipecat karena kekurangan-kekurangannya, di antaranya dianggap menodai agama Islam (angresahi agami Islam), merendahkan martabat kerajaan sultan, dan melanggar perintahnya sebagai penguasa dan perintah mendiang Sultan Mangkubumi (Hamengkubuwana I).[6] Engelhard baru menerima kabar kematian Danurejo II pada 7 November 1811, sekitar 10 hari dari kematiannya.[15]

Posisi patih Danurejo II digantikan pamannya, Raden Mas Tumenggung Sindunegoro, yang bergelar Kyai Adipati Danurejo atau Danurejo III pada November 1811.[6] Pengangkatan Danurejo III tidak diakui oleh Inggris sehingga tak lama kemudian ia digantikan oleh Raden Mas Sumodipuro yang bergelar Danurejo IV (1813-1847).

Keluarga

sunting

Danurejo II menikah dengan Ratu Anggèr, anak HB II dengan permaisuri Ratu Kedhaton, sehingga ia adalah menantu HB II. Danurejo II juga memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat dengan HB III dan Pangeran Diponegoro melalui pernikahan anak-anaknya. Putri tertua Danurejo II dengan Ratu Anggèr, Raden Ajeng (lahir 1800) menikah dengan Pangeran Suryabrangta (pasca 1830 bergelar Pangeran Purwadiningrat), anak HB III. Putri kedua yang bergelar Ratu Kencana (lahir 1802) menjadi permaisuri Hamengkubuwana IV dan menikah pada 13 Mei 1816. Pernikahan putri Danurejo II dengan Hamengkubuwana IV secara efektif mengembalikan reputasi keluarga Danurejo yang sempat tercoreng selama masa pemerintahan HB II.[16] Sedangkan anak laki-laki Danurejo II, Raden Tumenggung Mertonegoro (Ali Basah Ngabdulkamid II), menikahi Raden Ayu Basah—putri Pangeran Diponegoro dan janda Raden Tumenggung Notodirdjo (Gusti Basah), kakak tiri Sentot Prawirodirdjo—pada 1829.[17] Sedangkan putra kedua dari pernikahan dengan Mas Ayu Pulangyun putri Bupati Kendal yang bernama Ali Basah Ngabdul Mahmud Gondokusumo salah satu pengikut Pangeran Diponegoro menikah dengan RAy Danuredjo putri HB IV dan RAy Danuredjo anak HB III yang pada tanggal 11 Februari 1847 diangkat menjadi Danuredjo IV yang setelah pensiun bergelar KPH Juru Rider. Puteri ketiga Danuredjo II dengan Mas Ayu Pulangyun bernama RAj Sekarlasih menikah dengan Tumenggung Djojonegoro III bergelar RAyu KalapaAking bupati Banyumas.

Catatan Kaki

sunting
  1. ^ a b Carey 2017, hlm. 150.
  2. ^ a b c Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat 2018.
  3. ^ Carey 2015, hlm. 761 (appendix II).
  4. ^ Carey 2018, hlm. 145.
  5. ^ a b c Carey 2015, hlm. 224.
  6. ^ a b c Carey 2015, hlm. 293.
  7. ^ Carey 2015, hlm. 224-225.
  8. ^ Carey 2015, hlm. 222.
  9. ^ Carey 2015, hlm. 225.
  10. ^ a b Ricklefs 2008, hlm. 147.
  11. ^ Carey 2015, hlm. 227.
  12. ^ a b Carey 2015, hlm. 235.
  13. ^ Carey 2015, hlm. 292-293.
  14. ^ Carey 2015, hlm. 372.
  15. ^ Carey 2015, hlm. 294.
  16. ^ Carey 2015, hlm. 371.
  17. ^ Carey 2015, hlm. 623.

Referensi

sunting