Pembantaian Palembang

Pembantaian Palembang (bahasa Inggris: Palembang massacre) atau Peristiwa Sungai Aur merupakan sebuah rangkaian penyerangan dan pembunuhan massal terhadap penghuni loji Belanda di Kesultanan Palembang pada tanggal 14 September 1811. Pembantaian ini dilakukan oleh sekelompok bangsawan dari Kesultanan Palembang, walaupun sumber semasa juga menyiratkan keterlibatan Inggris yang berkeinginan menggantikan posisi Belanda di Palembang. Penolakan Sultan Mahmud Badaruddin II atas Inggris setelah kejadian ini menjadi pemicu langsung dari serangkaian konflik antara Palembang, Inggris dan Belanda selama beberapa tahun berikutnya.

Pembantaian Palembang
Bagian dari Konflik PalembangBelanda
Tanggal14 September 1811
LokasiMuara Sungsang, Kesultanan Palembang
MetodePembantaian
Pihak terlibat
Kesultanan Palembang
Inggris (dukungan tidak langsung)
Tokoh utama
Jacob Groenhof van Woortman
Jumlah korban
tidak diketahui
87 tewas

Latar belakang

sunting

Keadaan politik dan ekonomi

sunting
 
Peta Sumatra pada tahun 1811, karya William Marsden

Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Kesultanan Palembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan.[1] Ketidakmampuan VOC dan pemerintah Belanda untuk menerapkan monopoli (baik secara finansial maupun militer) menjadikan Palembang lebih leluasa untuk mengambil keuntungan besar melalui perdagangan gelap dengan pihak lain, seperti Inggris dan Tiongkok.[2] Setoran komoditas seperti timah dan lada kepada Belanda semakin menurun,[3] hingga akhirnya hilang sama sekali pada awal abad ke-19.[4] Meski begitu, Sultan Muhammad Bahauddin (bertakhta 1776–1803) tetap berusaha mempertahankan hubungan baik dengan Belanda, dan tidak berniat untuk membatalkan secara penuh kontrak-kontrak yang telah terjalin di antara kedua belah pihak.[5]

Berbeda dengan Muhammad Bahauddin, sumber-sumber Belanda menyebut bahwa putranya, Mahmud Badaruddin II, lebih sulit untuk diajak berkompromi. Sejak ia naik takhta, Mahmud Badaruddin II telah berkeinginan untuk melepaskan diri secara penuh dari pengaruh asing. Sementara itu, naiknya Herman Willem Daendels sebagai Gubernur-Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808 juga membawa perubahan kebijakan. Alih-alih membeli secara tunai komoditas yang telah ditetapkan sebagai hak monopoli Belanda, Daendels menginginkan agar Palembang mengutangi Belanda atau menerima pembayaran dalam bentuk beras. Jika tidak, ia mengancam akan menurunkan harga monopoli dan melakukan ekspedisi militer. Hal ini ia lakukan karena pemerintah Hindia Belanda (yang kala itu merupakan negeri bawahan Prancis) sedang dalam kondisi keuangan yang kurang baik akibat peperangan melawan Inggris. Menanggapi ancaman ini, Mahmud Badaruddin II pun memperkuat pertahanan Palembang dan membangun Benteng Borang sebagai persiapan dalam menghadapi kemungkinan konflik.[6]

Korespondensi Raffles dan Sultan Palembang

sunting
 
Potret diri Thomas Stamford Raffles
 
Penggambaran modern Mahmud Badaruddin II

Pada akhir tahun 1810,[7] Thomas Stamford Raffles tiba di Melaka sebagai utusan Inggris bagi negeri-negeri Melayu. Ia ditugaskan untuk menjalin hubungan dengan para penguasa dan bangsawan setempat, dengan harapan agar mereka mau bersekutu melawan Belanda, atau setidaknya bersikap netral. Inggris berencana untuk melakukan ekspedisi militer ke Jawa, sehingga penting bagi mereka untuk mengamankan kawasan Selat Melaka dan Selat Bangka. Palembang menjadi prioritas utama, sebab Raffles telah menerima informasi bahwa Daendels telah menyiapkan armada untuk menyerang Palembang atau Lingga sejak September 1810.[8] Alasan lain melakukan pendekatan terhadap Palembang adalah agar Inggris dapat memperoleh hak monopoli atas timah Bangka.[9][10]

Raffles pun mulai berkorespondensi dengan Mahmud Badaruddin II. Ia mengirim dua pucuk surat secara beruntun (tanpa menunggu balasan) pada tanggal 10 dan 15 Desember 1810 untuk memperingatkan Badaruddin akan armada Belanda yang sedang menuju Palembang. Ia juga mendesak agar Badaruddin segera mengirimkan utusan ke Melaka demi merundingkan persekutuan dengan Inggris. Bersama dengan surat tanggal 15 Desember, Raffles mengutus Raden Muhammad, seorang Melayu Palembang keturunan bangsawan, serta Sayyid Abubakar Rumi, seorang Arab dari Penang, untuk berunding dengan Badaruddin II.[11][12][a] Pada tanggal 13 Januari 1811, Raffles kembali mengirimkan surat ke Palembang, serta menyampaikan maklumat kepada para ngabehi (kepala dusun) di Sungsang, muara Sungai Musi, agar tidak lagi berhubungan dengan orang Belanda. Pesan ini dibawa oleh Kapten James Bowen, beserta tiga kapal perang yang dimaksudkan untuk menghalau armada Belanda jika perlu. Namun, Bowen melaporkan sepuluh hari kemudian bahwa armada Belanda telah lebih dulu bertolak dari Palembang pada 10 Januari 1811, karena armada tersebut gagal menggertak Badaruddin untuk menyerahkan hasil bumi Palembang tanpa pembayaran kontan.[13][14] Sang sultan juga mendapati Belanda menyelundupkan senjata di dalam kapal dagang mereka, sehingga ia tidak mengizinkan armada tersebut masuk lebih jauh ke hulu.[15]

Karena tidak kunjung mendapat kabar lanjutan dari utusannya ke Badaruddin II, Raffles pun mengirim Kapten MacDonald pada Februari 1811 untuk menemui mereka. Terkuaklah kabar bahwa misi Raden Muhammad untuk menemui Badaruddin dan membahas persekutuan dengan Inggris gagal, sebab ia tidak memiliki surat penunjukan resmi sebagai utusan Raffles. Meski demikian, sang sultan tetap membalas surat Raffles dan memintanya agar tidak terlalu khawatir dengan keberadaan orang Belanda di Palembang. Raffles pun membalas dengan mengirim surat pada tanggal 2 Maret 1811. Keesokan harinya, ia menunjuk Raden Muhammad sebagai utusan resmi untuk merundingkan rancangan perjanjian dengan Palembang, yang menawarkan beberapa keuntungan seperti bantuan militer dan harga yang lebih tinggi untuk pembelian timah.[16] Dalam korespondensinya dengan Badaruddin, Raffles sekali lagi menekankan bahwa Belanda berniat menyerang Palembang, sehingga sang sultan mesti memutuskan hubungan dengan Belanda dan menjadikan Inggris sebagai sahabat. Ia juga mendesak agar Badaruddin segera mengusir orang-orang Belanda dari Palembang.[17][18] Raffles menambahkan bahwa apabila persekutuan antara Inggris dan Palembang tercapai sebelum Inggris menduduki Jawa, maka seluruh kontrak yang berlaku antara Palembang dan Belanda akan dibatalkan. Namun, hal ini tidak berlaku apabila persekutuan baru tercapai setelah pendudukan Pulau Jawa.[17]

Dalam balasannya kepada Raffles, Mahmud Badaruddin II menyatakan bahwa ia belum bersedia bersekutu dengan Inggris, tetapi akan berusaha sebisa mungkin untuk mengurus pengusiran orang-orang Belanda tanpa banyak menimbulkan masalah. Ia meyakinkan Raffles bahwa pengusiran hanya tinggal menunggu saat yang tepat.[19] Selama beberapa waktu berikutnya, Raffles dan utusannya terus-menerus mendesak Badaruddin untuk segera bertindak terhadap Belanda, tetapi sang sultan tidak juga memberi jawaban pasti. Pada bulan April, Raffles mengirimkan utusan beserta sejumlah persenjataan dan sekali lagi menegaskan bahwa Inggris akan mengirimkan bantuan apapun yang diperlukan untuk mengusir orang-orang Belanda di Palembang, dan akan mengakui Badaruddin sebagai raja merdeka jika ia melakukannya sebelum Inggris menaklukkan Jawa.[20][21] Sebagai balasan, Badaruddin menyatakan bahwa ia telah mengurus masalah ini baik-baik dengan pihak Belanda, dan anggota garnisun mereka di Palembang akan ditarik dalam beberapa waktu ke depan. Meski begitu, Badaruddin tetap tidak mengirimkan utusan balasan ke Raffles ataupun melanjutkan perundingan soal persekutuan. Tanggapan yang kurang antusias ini pun membuat Raffles mengalihkan dua wakilnya (Raden Muhammad dan Sayyid Abubakar Rumi) ke Bangka untuk menyelidiki penduduk dan kekayaan alamnya, jika diizinkan menetap oleh Badaruddin. Akan tetapi, setibanya mereka di Muntok pada 22 Juli 1811, sang sultan justru mengundang mereka ke Palembang. Kedua utusan Inggris tersebut masih ada di Palembang ketika loji Belanda diduduki dan penghuninya dibantai.[22][23]

Kejadian

sunting

Pendudukan loji Belanda dan pembantaian

sunting
 
Cabang-cabang muara Sungai Musi, sebagaimana digambarkan dalam sebuah peta dari abad ke-17

Pasukan Inggris berangkat dari Melaka untuk menyerbu Jawa pada bulan Juni 1811. Penyerbuan tersebut berakhir dengan kemenangan, dan pulau Jawa dinyatakan sebagai milik Inggris pada tanggal 11 September, walaupun pertempuran sporadis masih berlanjut selama beberapa waktu.[24] Berita jatuhnya Batavia kepada Inggris telah sampai ke Palembang pada tanggal 4 September, tetapi awalnya Badaruddin tidak memercayainya. Pada 11 September, setelah menerima kabar dari sumber lain yang secara terpisah mengonfirmasi kekalahan Belanda, barulah ia mulai bertindak.[25]

Pada tanggal 14 September, Badaruddin mengutus beberapa bangsawan ke loji Belanda di Sungai Aur untuk menemui Residen Palembang, Jacob Groenhof van Woortman. Terdapat perbedaan versi mengenai siapa saja bangsawan yang dikerahkan ke loji Belanda. Kesaksian anggota loji yang selamat menyebut nama Raden Ngabehi Carik, Tumenggung Lanang, Raden Muhammad, Tumenggung Suronindito, dan beberapa bangsawan rendah lainnya. Akan tetapi, menurut penuturan Najamuddin II, yang datang ke loji waktu itu adalah bangsawan tinggi seperti Pangeran Citradireja, Pangeran Natawikrama, Pangeran Suradilaga, Pangeran Syarif Usman, Kyai Mas Tumenggung Notonegero dan Kyai Demang Usman. Menurut satu kesaksian Belanda, para bangsawan juga disertai sekitar 160 orang bersenjata, yang kemudian melucuti senjata para penjaga dan menduduki loji dalam waktu yang singkat.[26] Jumlah total penghuni loji kala itu hanya 110 orang saja, termasuk penghuni berdarah pribumi.[27]

Utusan Badaruddin menyampaikan kepada Groenhof van Woortman bahwa Batavia telah menyerah kepada Inggris, dan loji Belanda mesti dikosongkan secepatnya. Sang residen menjawab bahwa mereka tidak dapat melakukan apa pun tanpa instruksi dari Batavia, dan akan menunggu Inggris datang untuk mengambil alih loji secara langsung. Groenhof van Woortman meminta waktu tiga hari, dan ia pun mengutus dua orang untuk menghadap sang sultan. Badaruddin kemudian membalas mengirimkan dua orang bangsawan untuk membawa residen beserta beberapa pejabat loji lainnya untuk menemuinya.[28] Di tengah perjalanan menuju keraton, rombongan tersebut disambut para bangsawan yang menanyakan maksud kedatangan mereka. Groenhof van Woortman menjelaskan bahwa mereka hendak meminta disiapkan perahu ke Batavia. Tidak menunggu lama, para petinggi kerajaan itu menyediakan dua perahu pancalang[b] dan memaksa penghuni loji untuk naik. Mereka kemudian dibawa ke muara Sungai Musi di wilayah Sungsang dan dibantai di sana. Eksekusi dijalankan oleh Pangeran Wirakusuma, Pangeran Wiradiwangsa, Pangeran Wirasentika, Tumenggung Kertonegoro, Demang Usman, Tumenggung Suroyudo, Ngabehi Wiroyudo, Ngabehi Kepinding, Ngabehi Kreto dan Ngabehi Jalil.[29]

Total korban jiwa dalam pembantaian ini adalah 87 orang, dengan rincian 24 orang Eropa dan 63 orang pribumi. Sisanya kemungkinan telah melarikan diri sebelum loji diduduki. Beberapa di antaranya melarikan diri ke rumah-rumah orang Tionghoa dan Arab, tetapi kemudian tertangkap kembali dan ditahan. Ada yang melarikan diri ke hutan dan bertahan hidup selama 9 bulan, ada pula penghuni keturunan pribumi yang menyatakan memeluk agama Islam dan mengajar di salah satu dusun. Mereka bertahan hingga diselamatkan oleh pasukan Inggris yang datang di kemudian hari.[27]

Penolakan terhadap Inggris

sunting


Akibat

sunting


Analisis

sunting


Keterangan

sunting
  1. ^ Raden Muhammad kemungkinan dipilih karena ia masih terhitung kerabat Sultan Palembang dan mengenal dengan baik seluk-beluk keraton Palembang. Menurut satu riwayat, ia meninggalkan negerinya akibat sakit hati karena dipaksa bercerai oleh Badaruddin II. Ia kemudian menetap di Penang dan mengabdi pada pemerintah Inggris.[9]
  2. ^ Sejenis perahu ramping yang dapat melaju dengan cepat.

Rujukan

sunting

Sitiran

sunting
  1. ^ Wargadalem (2017), hlm. 19.
  2. ^ Wargadalem (2017), hlm. 32–37.
  3. ^ Nawiyanto & Endrayadi (2016), hlm. 82–84.
  4. ^ Wargadalem (2017), hlm. 35.
  5. ^ Wargadalem (2017), hlm. 36.
  6. ^ Wargadalem (2017), hlm. 39–41.
  7. ^ Bastin (1953), hlm. 305.
  8. ^ Wargadalem (2017), hlm. 42.
  9. ^ a b Wargadalem (2017), hlm. 43.
  10. ^ Bastin (1953), hlm. 303–304.
  11. ^ Wargadalem (2017), hlm. 43–44.
  12. ^ Bastin (1953), hlm. 306.
  13. ^ Wargadalem (2017), hlm. 45.
  14. ^ Bastin (1953), hlm. 308.
  15. ^ Bastin (1953), hlm. 309.
  16. ^ Wargadalem (2017), hlm. 45–47.
  17. ^ a b Wargadalem (2017), hlm. 46.
  18. ^ Bastin (1953), hlm. 309–311.
  19. ^ Wargadalem (2017), hlm. 47.
  20. ^ Wargadalem (2017), hlm. 48–49.
  21. ^ Bastin (1953), hlm. 316–317.
  22. ^ Wargadalem (2017), hlm. 49–50.
  23. ^ Bastin (1953), hlm. 317–319.
  24. ^ Bastin (1953), hlm. 320.
  25. ^ Wargadalem (2017), hlm. 50.
  26. ^ Wargadalem (2017), hlm. 50–51.
  27. ^ a b Wargadalem (2017), hlm. 53.
  28. ^ Wargadalem (2017), hlm. 51.
  29. ^ Wargadalem (2017), hlm. 51–52.

Daftar pustaka

sunting
  • Bastin, John (1953). "Palembang in 1811 and 1812 (Part I)". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 109 (4): 300–320. 
  • Bastin, John (1954). "Palembang in 1811 and 1812 (Part II)". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 110 (1): 64–88. 
  • Nawiyanto; Endrayadi, Eko Crys (2016). Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah Dan Warisan Budayanya. Jember: Jember University Press. 
  • Wargadalem, Farida Ratu (2017). Kesultanan Palembang dalam Pusaran Konflik (1804–1825). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9786024246723.