Astana Pajimatan Himagiri

bangunan kuil di Indonesia
(Dialihkan dari Pemakaman Himogiri)

Astana Pajimatan Himagiri (bahasa Jawa: ꦥꦱꦫꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦥꦫꦤꦠ ꦲꦱꦠꦤꦥꦗꦶꦩꦠꦤ꧀ꦲꦶꦩꦓꦶꦫꦶ, translit. Pasaréan Dalêm Para Nata Astana Pajimatan Himagiri) adalah kompleks pemakaman yang berlokasi di Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.[1] Kompleks pemakaman ini merupakan tempat pemakaman bagi penguasa monarki dari wangsa Mataram beserta keluarga dan kerabatnya.

Astana Pajimatan Himagiri
  • ꦥꦱꦫꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦥꦫꦤꦠ ꦲꦱꦠꦤꦥꦗꦶꦩꦠꦤ꧀ꦲꦶꦩꦓꦶꦫꦶ
  • Pasarean Dalem Para Nata Astana Pajimatan Himagiri
Astana Pajimatan Himagiri berada di Bukit Merak ca 1890
Peta
Details
Didirikan1632
Lokasi
NegaraIndonesia
JenisMakam kerajaan
GayaMakam berteras
PemilikKesunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Cagar budaya Indonesia
Kompleks Makam Imogiri
Peringkatn/a
KategoriSitus
No. RegnasCB.1449
Lokasi
keberadaan
Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
No. SKSK Menteri PM.89/PW.007/MKP/2011
Tanggal SK17 Oktober 2011
Koordinat7°55′13″S 110°23′45″E / 7.920163°S 110.395828°E / -7.920163; 110.395828
Astana Pajimatan Himagiri di Kabupaten Bantul
Astana Pajimatan Himagiri
Astana Pajimatan Himagiri
Lokasi Astana Pajimatan Himagiri di Kabupaten Bantul
Astana Pajimatan Himagiri di Jawa
Astana Pajimatan Himagiri
Lokasi Astana Pajimatan Himagiri di Kabupaten Bantul
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya

Terminologi

sunting

Nama "Astana Pajimatan Himagiri" terdiri dari tiga kata yaitu: astana (Sanskerta: sthāna berarti "tempat")[2], pajimatan (Jawa: pajimatan berarti "penyakralan")[3] dan himagiri yang berarti "gunung berkabut".[4]

Himagiri diambil dari bahasa Sanskerta hima dan giri (hima berarti "salju/kabut" dan giri berarti "gunung/bukit").[4] Himagiri juga dipadankan dengan nama lain untuk Himalaya. Dengan demikian Astana Pajimatan Himagiri bermakna sebagai "tempat penyakralan gunung berkabut".

Sejarah

sunting

Pemakaman kerajaan terdahulu berada di Pasarean Mataram. Sedangkan Astana Pajimatan Himagiri dibangun di atas bukit Merak oleh Sultan Agung pada dekade keempat abad ke-17, pembangunannya dimulai pada tahun 1632.[5]

Pembangunan kompleks Astana Pajimatan Himagiri dipimpin oleh Tumenggung Citrakusuma, arsitekturnya merupakan perpaduan budaya Jawa-Islam. Struktur bangunan yang berada di area pemakaman merupakan ciri utama arsitektur Jawa pra-Islam. Kompleks pemakaman ini terletak di sebuah bukit yang bernama Merak dengan ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut.[6]

Sebelum membangun pemakaman baru di bukit Merak, Sultan Agung awalnya memerintahkan membangun kembali pemakaman di Girilaya, yang merupakan tempat pemakaman keluarganya. Orang yang dipercaya untuk membangun pemakaman tersebut adalah Panembahan Juminah yang merupakan paman Sultan Agung. Setelah pembangunan tersebut selesai, Panembahan Juminah wafat. Untuk menghormati jasanya, maka Sultan Agung memerintahkan agar pamannya dimakamkan di Girilaya.[7]

Adapun tokoh yang dimakamkan di Girilaya adalah Ki Ageng Giring, Ki Ageng Sentong, Panembahan Girilaya (mertua Sultan Agung), Dyah Banawati (ibu Sultan Agung) dan Panembahan Juminah (paman Sultan Agung).[8] Oleh karena Girilaya telah digunakan sebagai tempat pemakaman keluarga, Sultan Agung berencana membangun pemakaman untuk keturunannya di bukit Merak yang berada di selatan Girilaya.[9]

Pemilihan bukit Merak sebagai lokasi pemakaman tidak dapat dilepaskan dari konsep masyarakat Jawa yang memandang gunung dan bukit atau dataran yang lebih tinggi sebagai suatu tempat yang sakral dan menjadi penghubung manusia kepada tuhan. Bukit Merak dipercaya memiliki kekuatan magis dan sakral.[10] Hal tersebut sebagai konstruksi intelektual yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap hal-hal yang bersifat religius.[11]

Sultan Agung wafat pada tahun 1646 dan menjadi raja pertama yang dimakamkan di Astana Pajimatan Himagiri, kemudian penerus wangsa Mataram dan keturunannya juga turut dimakamkan di sini.[12] Hingga pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang membagi Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, maka raja, keluarga dan kerabatnya dimakamkan di Astana Pajimatan Himagiri. Di sisi barat menjadi lokasi pemakaman raja-raja dari Surakarta, sedangkan di sisi timur menjadi lokasi pemakaman raja-raja dari Yogyakarta.[13]

Astana Pajimatan Himagiri termasuk jaringan tradisi ziarah masyarakat Jawa ke lokasi makam-makam leluhur. Hal ini menjadikan pemakaman ini sebagai salah satu destinasi utama wisata religi yang umum dilakukan oleh masyarakat Jawa.[14] Kompleks pemakaman ini dikelola oleh Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta dengan menempatkan para abdi dalem yang menjaga pemakaman dan dikelola secara bersama.[13]

Tata letak

sunting

Area pemakaman di Astana Pajimatan Himagiri dibagi menjadi tiga kompleks utama; kompleks makam raja-raja Mataram berada di sisi utara paling atas, kompleks makam raja-raja Surakarta berada di sisi barat dan kompleks makam raja-raja Yogyakarta berada di sisi timur. Di kompleks makam raja-raja Mataram terdapat dua bagian yaitu Astana Kasultanagungan dan Astana Pakubuwanan. Di kompleks makam raja-raja Surakarta terdapat tiga bagian yaitu Astana Kaswargan, Astana Kapingsangan dan Astana Girimulya. Di kompleks makam raja-raja Yogyakarta terdapat tiga bagian yaitu Astana Kaswargan, Astana Besiyaran dan Astana Saptarengga.[13]

Di area pemakaman ini juga terdapat lokasi makam seorang pengkhianat, bernama Tumenggung Endranata dengan makam di tiga bagian yang terpisah; di beberapa bagian dari ke-409 anak tangga, di sekitar Gapura Supit Urang dan di kolam sisi kanannya. Tumenggung Endranata sendiri disebut berkhianat karena membocorkan rencana penyerbuan di Batavia.[15]

Berkaitan dengan Tumenggung Endranata, sejarawan de Graaf mendeskripsikannya sebagai seorang pengkhianat namun bukan dalam konteks penyerbuan Mataram di Batavia. Ia dihukum mati setelah selesainya pemberontakan Adipati Pragola II. Alasan dari penjatuhan hukuman mati tersebut karena janda Adipati Pragola II melapor kepada Sultan Agung bahwa Tumenggung Endranata sesungguhnya menjadi penghasut dalam konflik pemberontakan Adipati Pragola II.[12]

Bangunan

sunting

Astana Pajimatan Himagiri terdiri atas beberapa halaman makam. Setiap astana, masing-masing memiliki tiga halaman. Tempat pemakaman raja berada di halaman paling atas beserta istri dan juga keluarganya, halaman kedua berada di tengah dan halaman terbawah merupakan halaman persiapan bagi peziarah. Tiap halaman dihubungkan dengan sebuah gapura.[16] Di dalam kompleks Astana Pajimatan Himagiri juga terdapat berbagai komponen bangunan di antaranya adalah:

Tangga

sunting
 
Tangga menuju kompleks Astana Pajimatan Himagiri (sekitar 1935).

Sebelum memasuki pemakaman, terdapat banyak anak tangga yang lebarnya sekitar 4 meter dengan kemiringan 45 derajat menghubungkan pemukiman dengan pemakaman. Anak tangga di Astana Pajimatan Himagiri kurang lebih berjumlah 446. Setiap bagian anak tangga memiliki arti dan makna tertentu, sebagai berikut:[8]

  • Anak tangga dari pemukiman penduduk menuju area dekat Masjid Pajimatan Himagiri berjumlah 32. Jumlah anak tangga ini menandakan Astana Pajimatan Himagiri yang dibangun pada tahun 1632.
  • Anak tangga dari area dekat Masjid Pajimatan Himagiri menuju pekarangan Masjid Pajimatan Himagiri berjumlah 13. Jumlah anak tangga ini melambangkan kenaikan takhta Sultan Agung Anyakrakusuma sebagai raja Mataram pada tahun 1613.
  • Anak tangga dari pekarangan Masjid Pajimatan Himagiri menuju tangga terpanjang berjumlah 46. Jumlah anak tangga ini menandakan kemangkatan Sultan Agung pada tahun 1646.
  • Anak tangga terpanjang berjumlah 346. Jumlah anak tangga ini menandakan Astana Pajimatan Himagiri yang dibangun secara bertahap selama 346 tahun.
  • Anak tangga di sekitar kolam berjumlah 9. Jumlah anak tangga ini melambangkan 9 anggota Walisanga.

Masjid

sunting

Astana Pajimatan Himagiri dilengkapi dengan masjid di sisi barat pelataran menuju tangga pemakaman. Masjid ini disebut Masjid Pajimatan Himagiri yang digunakan sebagai tempat ibadah oleh para abdi dalem saat sedang bertugas di sana. Ruang utama masjid memiliki luas sekitar 10x6 meter persegi. Bagian serambi memiliki ukuran sekitar 6x3 meter persegi. Masjid ini memiliki halaman seluas kurang lebih 80 meter persegi.[17]

Bangsal

sunting

Bangsal dapat di jumpai di area pemakaman dan juga di depan masjid. Bangsal adalah bangunan terbuka yang memiliki deretan penyangga (saka guru) namun tidak memiliki dinding. Bangsal di Astana Pajimatan Himagiri digunakan oleh para abdi dalem untuk menjalankan tugasnya. Di samping itu bangsal juga sering digunakan untuk tempat menunggu oleh para peziarah yang sedang berziarah ke makam.[16]

Kelir adalah bangunan kecil berbentuk pagar bertembok di area pintu masuk tiap halaman. Kelir berfungsi sebagai penghalang agar pandangan orang tidak melihat langsung ke dalam. Di Astana Pajimatan Himagiri terdapat empat bangunan kelir, yaitu kelir di Gapura Supit Urang, kelir di Regol Sri Manganti I, kelir di Regol Sri Manganti II dan kelir di Gapura Papak.[16]

Serangkaian halaman terbuka di Astana Pajimatan Himagiri disebut dengan pelataran. Setiap pelataran dihubungkan dengan regol sebagai pembatas antara masing-masing pelataran. Regol merujuk kepada bangunan beratap yang berfungsi sebagai pintu masuk yang menghubungkan satu kompleks halaman ke kompleks halaman yang lain.[16]

Gapura

sunting

Untuk menuju ke atas Astana Pajimatan Himagiri terdapat gapura yang bernama Gapura Supit Urang. Supit Urang adalah nama strategi perang Mataram yang dilakukan dengan cara mengepung musuh secara rangkap dari kedua sisi, sehingga musuh benar-benar terkurung membentuk pola seperti udang. Gapura Supit Urang secara simbolik merupakan gapura utama untuk masuk ke semua area pemakaman. Kedelapan astana yang ada di kompleks Astana Pajimatan Himagiri masing-masing memiliki gapura sebagai akses masuknya.[16]

Kompleks

sunting
 
Denah pemakaman di Astana Pajimatan Himagiri

Daftar berikut adalah urutan pembagian kompleks makam di Astana Pajimatan Himagiri. Pada mulanya penguasa Mataram berada di bagian yang sama, setelah kerajaan terpecah bagian untuk penguasa Surakarta dan Yogyakarta dipisahkan.

Makam raja-raja Mataram

sunting

Kompleks makam raja-raja Mataram dibagi menjadi dua bagian yang terdiri dari:

Astana Kasultanagungan

sunting

Astana Pakubuwanan

sunting

Makam raja-raja Surakarta

sunting

Kompleks makam raja-raja Surakarta dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari:

Astana Kaswargan Surakarta

sunting

Astana Kapingsangan Surakarta

sunting

Astana Girimulya Surakarta

sunting

Makam raja-raja Yogyakarta

sunting

Kompleks makam raja-raja Yogyakarta dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari:

Astana Kaswargan Yogyakarta

sunting

Astana Besiyaran Yogyakarta

sunting

Astana Saptarengga Yogyakarta

sunting

Budaya dan tradisi

sunting

Terdapat tiga tradisi yang biasa dilakukan di Astana Pajimatan Himagiri di antaranya adalah Nawu Enceh, Kirab Budaya Ngarak Siwur, dan Nyadran.[18] Prosesi masing-masing tradisi tersebut adalah sebagai berikut:

Nawu Enceh

sunting

Nawu Enceh adalah upacara menguras air gentong dengan tujuan membersihkan gentong yang ada di depan makam Sultan Agung. Tradisi ini dilakukan pada setiap bulan Sura pada hari Jumat Kliwon.[18] Acara tersebut dimulai dengan pembacaan doa oleh juru kunci makam. Doa dipanjatkan kepada Allah untuk para leluhur yang telah meninggal dunia.[19]

Ngarak Siwur

sunting

Ngarak Siwur adalah kirab budaya yang masih berhubungan dengan tradisi Nawu Enceh. Kirab Budaya dilakukan sebelum upacara Nawu Enceh yaitu pada hari Kamis Wage di sore hari.[18] Kirab budaya ini menitik beratkan pada ngarak atau mempawaikan siwur yaitu alat yang digunakan untuk mengambil air di dalam tempayan yang terbuat dari tempurung kelapa berjumlah dua buah dari masing-masing karaton (Surakarta dan Yogyakarta).[19]

Nyadran Karaton

sunting

Nyadran Karaton adalah serangkaian upacara adat yang dilakukan oleh masing-masing karaton (Surakarta dan Yogyakarta) pada saat bulan Ruwah untuk mengucapkan rasa syukur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi dan mendoakan leluhur yang telah meninggal. Upacara adat ini melibatkan abdi dalem, santana dalem dan pangageng karaton.[18]

Galeri

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Kemendikbudristek (2022), Kompleks Makam Imogiri, kemdikbud.go.id, diakses tanggal 20 April 2022 
  2. ^ Turner, Ralph Lilley (1969–1985), "sthāna" (dalam bahasa Inggris), A Comparative Dictionary of the Indo-Aryan Languages, Oxford University Press, diakses tanggal 5 Februari 2022 
  3. ^ Poerwadarminta, W.J.S (1939). Baoesastra Djawa (dalam bahasa Jawa). Batavia: J.B. Wolters. ISBN 0834803496. 
  4. ^ a b Turner, Ralph Lilley (1969–1985), "hima" and "giri" (dalam bahasa Inggris), A Comparative Dictionary of the Indo-Aryan Languages, Oxford University Press, diakses tanggal 5 Februari 2022
  5. ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta (2022), Kompleks Makam Imogiri, kemdikbud.go.id, diakses tanggal 20 April 2022 
  6. ^ Gunawan, Arif; Wibowo, Nugroho B. (2013). "Spatial Analysis to Predict Conservation Heritage's Damage of "Imogiri Graves" by using Microtremor Measurements". Jurnal Tata Kota dan Daerah (dalam bahasa Inggris). 5. 
  7. ^ Mandoyokusumo, K.R.T. (1976), The history of graves of the kings at Imogiri (dalam bahasa Inggris), s.n, diakses tanggal 20 April 2022 
  8. ^ a b Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala DIY (1995), Laporan Pendokumentasian Situs Giriloyo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta 
  9. ^ Sumartono, D. A. (2019), Catatan Silam Pajimatan Imogiri, Yogyakarta: Mayangkara, hlm. 24 
  10. ^ Heins, M. (2004), Karaton Surakarta (edisi ke-1), Yayasan Pawiyatan Kabudayaan Karaton Surakarta Hadiningrat, ISBN 978-979-98586-0-3 
  11. ^ Herusatoto, Budiono (2008). Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak. hlm. 215. ISBN 9789793472904. 
  12. ^ a b de Graaf, H.J. (1986). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers. 
  13. ^ a b c Chawari, Muhammad (2008). "Studi Kelayakan Arkeologi di Kompleks Makam Imogiri Yogyakarta". Berkala Arkeologi. 28 (1). doi:10.30883/jba.v28i1.355. 
  14. ^ Mumfangati, Titi (2007). "Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa". Jantra. 3 (3): 223. ISSN 1907-9605. 
  15. ^ Moedjanto, G. (1986). The Concept of Power in Javanese Culture (dalam bahasa Inggris). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 220. ISBN 9789794200247. 
  16. ^ a b c d e Adrisijanti, I. (2000). Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Jendela. hlm. 343. ISBN 9799597846. 
  17. ^ Adrisijanti, I. (1973), Kekunoan Islam di Imagiri, Tinjauan Terhadap Seni Bangun dan Seni Hiasnya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 
  18. ^ a b c d Purwadi (2005). Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 253. ISBN 9793721863. 
  19. ^ a b Haribowo, Yandhika (2017). "The Symbolic Meaning of Carnival Culture in Imogiri". Bening. 6 (1): 8. 

Bacaan lebih lanjut

sunting
  • Martohastono, R. Ng. (1956), Riwayat Pasarean Imogiri Mataram, Yogyakarta: Brosur – Buku saku 
  • Djagapuraya, R. W. (1976), Skema Makam Raja-Raja di Imogiri, Yogyakarta: Brosur – Buku saku 
  • Suroso, Supriyono T (n.d.), The Royal Cemetery of Imogiri (dalam bahasa Inggris), Yogyakarta: Guide book 

Pranala luar

sunting

7°55′S 110°23′E / 7.917°S 110.383°E / -7.917; 110.383