Patah tulang (tumbuhan)

Patah tulang
Pohon remaja di Mozambik
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Klad: Angiosperma
Klad: Eudikot
Klad: Rosid
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
E. tirucalli
Nama binomial
Euphorbia tirucalli

Patah tulang (Euphorbia tirucalli) (Bahasa Sanskerta: सप्तला saptala, सातला satala, Marathi: शेर-कांडवेल sher-kandvel, Sunda: susuru, Jawa: kayu urip, pacing tawa, tikel balung, Madura: kayu jaliso, k. leso, k. langtolangan, k. tabar, Kangean: kayu potong[3]) adalah perdu yang tumbuh di wilayah iklim tropis semi-arid.

Deskripsi

sunting
 
Lukisan tumbuhan patah tulang

Patah tulang adalah tumbuhan perdu yang tumbuh tegak. Tingginya adalah 2-6 m dengan pangkal berkayu, bercabang banyak, dan bergetah seperti susu yang beracun.[4] Tumbuhan ini memiliki ranting yang bulat silindris berbentuk pensil, beralur halus membujur, dan berwarna hijau. Setelah tumbuh sejengkal, akan bercabang dua yang letaknya melintang, demikian seterusnya sehingga tampak seperti percabangan yang terpatah-patah.[4]

Daunnya jarang, berselang-seling,[5] terdapat pada ujung ranting yang masih muda, dan berukuran kecil-kecil. Berbentuk lanset, panjangnya 7-22 mm, dan cepat rontok.[4] Penumpu daun yang sangat kecil berkelenjar dan berbulu halus terletak pada bagian bawah daun.[5]

Bunganya uniseksual,[5] tersusun dalam mangkuk, warnanya kuning kehijauan, dan keluar dari ujung ranting.[4] Biasanya, tumbuhan ini lebih banyak menghasilkan bunga jantan ketimbang bunga betina. Patah tulang berbunga pada bulan Oktober dan berbuah pada November-Desember dan penyerbukan dilakukan oleh serangga.[6]

Persebaran dan habitat

sunting

Penyebaran asli tanaman ini daerah tropis Afrika, aslinya tersebar dari Angola hingga Zanzibar.[7] Namun secara luas ditanam dan dinaturalisasi di seluruh daerah tropis dan subtropis. Di Malesia, belum dilaporkan tumbuhan ini tersebar dari Borneo dan New Guinea.[5] Di Indonesia, ditanam sebagai tanaman pagar, tanaman hias, tanaman obat, dan tumbuh liar. Dapat ditemukan dari dataran rendah sampai pada ketinggian 600 mdpl. Tumbuhan ini suka tempat terbuka yang terkena cahaya matahari langsung.[8] Namun, habitat aslinya terdapat di semak-semak kering, dan dinaturalisasi di semak-semak, hutan terbuka, dan padang rumput hingga pada ketinggian 2 m.[7]

Hama dan penyakit

sunting

Tumbuhan patah tulang punya kecenderungan untuk tidak diserang penyakit karena getahnya yang beracun. Namun, dilaporkan ada beberapa hama yang menyerang patah tulang, yakni Meloidogyne incognita, Cuscuta spp. dan Botrytis spp. Tercatat, Botrytis spp. menyebabkan batang dan akar membusuk sewaktu kondisi panas dan lembap. Selain itu, gabungan antara Meloidogyn spp. dan Botrytis spp. menyebabkan dapat merusak tumbuhan dalam waktu singkat.[9]

Kemampuan dan manfaat

sunting

Getah tumbuhan ini bersifat asam, mengandung senyawa euforbon, taraksasterol, α-laktuserol, eufol, senyawa damar yang menyebabkan rasa tajam ataupun kerusakan pada lendir, kautschuk (zat karet), dan zat pahit. Namun, zat obat dari herba ini adalah glikosid, sapogenin, terpenoid,[10] dan asam ellaf.[4] Tumbuhan ini juga digunakan untuk meracuni ikan sehingga mudah didapat.[11] Minyak yang didapatkan dari getahnya tampaknya bermanfaat untuk pemanfaatan pada linoleum, jas kain minyak dan industri kulit sandang. Kayu keras, putih, serat kayu yang padat dari tumbuhan patah tulang ini digunakan untuk kasok, mainan dan melapisi dengan lapisan kayu halus. Hasil arangnya cocok untuk digunakan sebagai bubuk mesiu.[5][12]

Di Jawa, beberapa penulis mencatat tapal dari batang atau kulitnya dapat dipergunakan untuk menyembuhkan patah tulang[5] dan menyembuhkan penyakit kulit.[13] Selain itu, getah patah tulang juga dapat mengeluarkan duri yang tertancap dan gabungan antara umbi gadung cina dan buah gondang serta getah dari tumbuhan patah tulang ini dapat menyembuhkan frambusia.[14] Tumbuhan patah tulang juga disebut oleh Hartwell (1969) digunakan sebagai penyembuhan tradisional untuk kanker, tumor, kapalan, dan kutil di Brasil, India, Malaya, dan Indonesia. Akarnya dapat digunakan untuk mengeluarkan bisa ular, di Maluku dan Malabar, tumbuhan ini dapat digunakan untuk merangsang muntah dan antisipilis.[15] Sementara, Suku Kulawi di Sulawesi Tengah memanfaatkan daun dari tumbuhan ini sebagai diuretik (peluruh air seni), sementara getahnya dapat menyembuhkan sakit gigi.[16]

Getahnya sangat beracun, ko-karsinogenik,[17] seperti sesuru yang satu genus dengannya. Walau demikian, getah dari sesuru mengandung zat lain, yaitu 3-0-angeloylingenol.[18] Apabila memerciki mata, dapat menyebabkan kebutaan, iritasi, dan merangsang muntah apabila tertelan.[19] Getah dari tumbuhan ini juga dapat dijadikan insektisida[12] layaknya mindi kecil.[20] Patah tulang juga dikenal beracun untuk nematoda[12] dan efektif pula terhadap larva Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus,[21] sehingga tidak salah ranting patah tulang yang sudah kering bisa digunakan untuk mengusir nyamuk.[11] Kemudian, dapat juga mematikan bakteri Staphlococcus aureus, moluska Lymneae natalensis dan Biomphalaria gabrata.[17]

Pertolongan pertama

sunting

Apabila getah tumbuhan ini memerciki mata, basuhlah mata yang diperciki dengan air dingin selama kurang lebih 15 menit dan ulangi lagi beberapa menit. Carilah bantuan medis apabila tidak ada bantuan lain. Selain itu pula, air kelapa atau santan bisa juga digunakan untuk membasuh mata yang terpercik oleh getah dari tumbuhan ini.[19]

Apabila tertelan, dapat menyebabkan rasa terbakar pada lidah, mulut, dan bibir.

Galeri

sunting

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Haevermans (2004). Euphorbia tirucalli. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2006. Diakses 11 May 2006. Database entry includes justification for why this species is of least concern
  2. ^ "Euphorbia tirucalli L". Germplasm Resources Information Network (GRIN) online database. Diakses tanggal 16 March 2010. 
  3. ^ Dalimartha 2007, hlm. 89.
  4. ^ a b c d e Dalimartha 2007, hlm. 90.
  5. ^ a b c d e f "Euphorbia tirucalli L". Prohati. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 1 January 2013. 
  6. ^ Owen et al. 2009. hal.1
  7. ^ a b Owen et al. 2009. hal.2
  8. ^ Dalimartha 2007, hlm. 89-90.
  9. ^ Mwine & van Damme 2011, hlm. 4908-4909.
  10. ^ Ohyama et al. 1984, hlm. 21.
  11. ^ a b Anonim 2012, hlm. 35.
  12. ^ a b c Owen et al. 2009. hal. 3
  13. ^ Mwine & van Damme 2011, hlm. 4910.
  14. ^ Dalimartha 2007, hlm. 91-92.
  15. ^ "Euphorbia tirucalli L". Purdue University. 6 January 1998. Diakses tanggal 1 January 2013. 
  16. ^ Hidayat 2005, hlm. 113.
  17. ^ a b Mwine & van Damme 2011, hlm. 4912.
  18. ^ Dalimartha 2007, hlm. 136.
  19. ^ a b Dalimartha 2007, hlm. 92.
  20. ^ Dalimartha 2007, hlm. 67.
  21. ^ Rahuman et al. 2008, hlm. 873.

Bacaan