Biodiesel

Bahan bakar terbarukan pengganti bahan bakar diesel

Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono--alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbarui seperti minyak hewan, minyak kedelai, minyak kanola, minyak kelapa sawit, jarak, kemiri, tanaman lignoselulosa, limbah pertanian, dan alga.[1][2]

Bus yang menggunakan biodiesel kedelai.
Mercedes diesel yang lebih lama populer untuk digunakan pada biodiesel
Di beberapa negara biodiesel lebih murah daripada diesel konvensional

Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas.

Biodiesel merupakan kandidat yang paling baik untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia, karena biodiesel merupakan bahan bakar terbarui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur zaman sekarang.

Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja dari penjualan bahan bakar. Pertumbuhan SPBU membuat semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar.

Di Indonesia, penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan dan mesin merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dalm hal bauran energi baru terbarukan, dimana pemerintah merencanakan penggunaan bauran energi tersebut sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Dalam Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015, biodiesel wajib digunakan dengan campuran minimal 20% untuk transportasi dan usaha, serta 25% untuk sektor pembangkit listrik.[1]

Keunggulan dan kekurangan biodesel

sunting

Keunggulan

sunting
  • Mengurangi emisi karbon monoksida, belerang dioksida, nitrogen oksida, total hidrokarbon, partikulat, dan opasitas yang terbuang ke atmosfer.[1]
  • Bahan baku biodiesel tidak hanya dari lemak hewan atau dari tanaman jarak pagar yang sudah dikenal, tetapi dapat juga dapat terbuat dari limbah penggorengan yang tidak sulit didapat memungkinkan diproduksi dalam skala kecil menengah dan juga dapat membuka lapangan kerja baru.
  • Mengurangi pencemaran hidrokarbon yang tidak terbakar, karbon monoksida, sulfur dan hujan asam.
  • Tidak menambah jumlah gas karbon dioksida, karena minyak berasal dari tumbuhan/nabati. Biodiesel dapat mengurangi emisi karbondioksida bersih sebesar 78%.[3]
  • Energi yang dihasilkan mesin diesel lebih sempurna dibandingkan solar hingga yang menggunakan biodiesel tidak mengeluarkan asap hitam berupa karbon atau CO2, sedangkan mesin yang menggunakan solar mengeluarkan asap hitam. Biodiesel mengeluarkan aroma khas seperti minyak bekas menggoreng makanan.
  • Relatif aman dalam penyimpanan dan transportasi karena tidak mengandung racun.
  • Relatif tidak memerlukan teknologi yang terlalu tinggi dalam pembuatannya.
  • Limbah dari biodiesel ini merupakan gliserin. Gliserin ini merupakan bahan dasar pembuatan sabun, sehingga ramah lingkungan dan mengurangi polusi. Limbahnya pun bisa menjadi berguna.

Kelemahan

sunting
  • Dalam beberapa kasus, biodiesel kurang cocok digunakan pada beberapa mesin diesel modern dan mewah. Misalnya BMW, Volvo, Lexus, dan Mercedes-Benz, mereka hanya merekomendasikan Dex, Shell Diesel, dan bahan bakar diesel berkualitas tinggi lainnya.[4][5]
  • Biodiesel murni kadang-kadang masih tergolong lebih mahal daripada bahan bakar biasa.[1]
  • Harus disimpan pada suhu tertentu.[3]
  • Kendaraan yang beralih ke sistem ini akan mengalami pelumasan yang tinggi.[3]

Cara produksi

sunting

Kimiawi

sunting

Esterifikasi

sunting

Esterifikasi merupakan reaksi pertukaran antara gugus hidroksil pada asam lemak dengan gugus alkoksi pada alkohol yang ditambahkan pada bahan baku, sehingga menghasilkan alkil ester dan air. Bahan baku pembuatan biodiesel yang memliki banyak asam lemak bebas seperti minyak jelantah, minyak karanja, minyak kastor, dan lain-lain harus melalui tahapan ini terlebih dahulu sebelum melalui reaksi transesetrifikasi yang merupakan reaksi utama pembentukan biodiesel. Dalam proses ini, banyaknya minyak yang teresterifikasi dan bilangan asam menjadi parameter keberhasilan, dimana semakin kecil bilangan asamnya, semakin berhasil prosesnya. Faktor yang menjadi penentu keberhasilan proses ini yaitu suhu, jenis alkohol, perbandingan molar alkohol dan minyak, serta katalis seperti asam sulfat, asam paratoluenasulfonat, asam 4-dodesilbenzenasulfonat, asam metansulfonat, sulfuril klorida, dimetil sulfat, dan lain-lain.[1]

Transesterifikasi

sunting

Tranesterifikasi adalah reaksi pertukaran antara gugus (RO) dari ester dengan gugus alkoksid dari alkohol, dimana dalam proses pembuatan biodiesel, trigliserida dalam bahan baku akan bereaksi dengan alkohol sehingga menjadi alkol ester. Reaksi ini memiliki tiga tahap, yaitu trigliserida bereaksi dengan alkohol membentuk digliserida dan ester, lalu digliserida bereaksi dengan alkohol membentuk monogliserida dan ester, dan akhirnya monogliserida bereaksi dengan alkohol membentuk gliserin gliserin dan ester. Dalam reaksi ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil reaksi, yaitu suhu, jenis alkohol, rasio molar alkohol dan minyak, intensitas pengadukan, jenis katalis, dan konsentrasi katalis.[1]

Enzimatis

sunting

Penggunaan enzim sebagai katalis heterogen dapat mempercepat pembentuka alkil ester, sering menjadi cara alternatif dalam produksi biodiesel dengan bahan baku tinggi asam lemak bebas karena tidak menimbulkan buih akibat reaksi saponifikasi. Adapun enzim yang sering digunakan adalah enzim lipase karena bisa didapat dari bakteri atau jamur, dan dinilai efektif mengatalisis proses esterifikasi-transesterifikasi.[1]

Alkohol Superkritis

sunting

Dalam metode ini, produksi biodiesel dapat dilakukan tanpa penambahan katalis. Namun, metode ini memerlukan kondisi operasi di atas suhu dan tekanan kritis metanol (suhu kritisnya 239 °C dan tekanan kritisnya 8,1 MPa) atau etanol (suhu kritisnya 243 °C dan tekanan kritisnya 6,39 MPa) sehingga polaritasnya berkurang dan melarutkan minyak yang bersifat nonpolar.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h Budiman, Arief; Suyono, Eko Agus; Dewayanto, Nugroho; Dewati, Putri Restu; Pradana, Yano Surya; Widawati, Teta Fathya (2023). Biorefinery Mikroalga. Sleman, D.I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 9786233591201. 
  2. ^ "Apa Itu Bioetanol, Biodiesel, dan Biogas? | Indonesia Baik". indonesiabaik.id. Diakses tanggal 2023-10-04. 
  3. ^ a b c Indonesia, C. N. N. "Apa Untung Rugi Penggunaan Biodiesel B35?". otomotif. Diakses tanggal 2023-10-04. 
  4. ^ https://otomotif.kompas.com/read/2016/03/30/182000615/Mesin.Diesel.V-Class.Cuma.Bisa.Teguk.PertaminaDex
  5. ^ https://www.otosia.com/berita/sedan-diesel-baru-bmw-pakai-solar-shell-atau-pertamina-dex.html

Bacaan lebih lanjut

sunting

Pranala luar

sunting