Paruman Agung
Paruman Agung (secara arfiah berarti "Dewan Tertinggi" dalam bahasa Indonesia) adalah parlemen regional Bali pada tahun 1938 hingga 1950.
Paruman Agung | |
---|---|
Jenis | |
Jenis | |
Sejarah | |
Didirikan | 30 September 1938 29 Januari 1946 |
Dibubarkan | 18 Agustus 1945 25 September 1950 |
Didahului oleh | Komite Nasional Indonesia Sunda Kecil |
Digantikan oleh | Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali |
Pimpinan | |
Juru bicara | |
Wakil juru bicara | |
Anggota | 40 |
Sejarah
suntingHindia Belanda (1938-1942)
suntingBerdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pada 1 Juli 1938, delapan kerajaan di Bali didirikan kembali. Dua hari sebelumnya, pada 29 Juni 1938, diadakan pelantikan raja-raja Bali di Pura Besakih.[1] Raja-raja dari delapan kerajaan menjadi anggota dari Paruman Agung yang diresmikan pada 30 September 1938.[2]
Pada era ini, Paruman Agung terdiri dari sembilan anggota, termasuk perwakilan daerah yang berasal dari Lombok, Bali, dan delapan anggota lainnya. Setiap raja didampingi oleh dua orang penasihat. Paruman Agung juga memiliki sekretaris yang ditunjuk oleh anggota dan disetujui oleh perwakilan daerah.[2]
Pendudukan Jepang (1942-1945)
suntingPada masa pendudukan Jepang, Paruman Agung memasuki masa reses. Tidak ada perubahan struktural pada masa ini.[1]
Pembubaran Paruman Agung (1945-1946)
suntingSetelah kemerdekaan Negara Indonesia, pemerintah mulai membentuk pemerintah daerah di Bali. Provinsi Sunda Kecil dibentuk dan ibu kotanya terletak di Singaraja. Pada 18 Agustus 1945, Presiden Soekarno menunjuk Ida Bagus Putra Manuaba sebagai perwakilan Provinsi Sunda Kecil dalam Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada 22 Agustus 1945, Presiden Sukarno menunjuk I Gusti Ketut Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil. Pada 23 Agustus 1945, I Gusti Ketut Pudja kembali ke Bali dan mendiskusikan masa depan Bali dan struktur politiknya.[3]
I Gusti Ketut Pudja berjanji bahwa kerajaan-kerajaan di Bali akan diatur oleh Komite Nasional Indonesia Daerah yang bekerja sama dengan raja-raja, dan pemerintahan Bali akan diatur oleh Komite Nasional Indonesia Sunda Kecil yang bekerja sama dengan Gubernur Sunda Kecil. Walaupun I Gusti Ketut Pudja merasa pembagian kekuasaan antara kerajaan dan negara sudah adil,[3] sejumlah raja merasa keberatan dan tidak ingin bekerja sama dengan pemerintah Indonesia.
Pada bulan Oktober 1946 sampai Februari 1946, Belanda mengutus perwakilan ke Bali melalui AMACAB (Allied Military Administration-Civil Affairs Branch). AMACAB menjanjikan raja-raja Bali bahwa mereka akan mendapatkan kekuasaan penuh jika tidak mengakui kemerdekaan Negara Indonesia, dan mendukung Belanda.[4] Aliansi antara perwakilan Belanda dan raja-raja Bali membuat posisi pemerintah Indonesia melemah. Pada 29 Januari 1946, I Gusti Ketut Pudja menyerahkan kekuasaan pada Dewan Raja-Raja.
Paruman Agung Sebelum Pemilihan (1946-1948)
suntingPada 4 Februari 1946, struktur keanggotaan Paruman Agung dirubah, dengan tambahan 28 anggota, dan penghapusan perwakilan daerah Lombok dan Bali. Keseluruhan anggota Paruman Agung adalah 36 orang, dan Anak Agung Nyoman Pandji Tisna, Raja Buleleng, ditunjuk sebagai juru bicara dan I Gusti Bagus Oka ditunjuk sebagai sekretaris.[2]
Pada 4 Juni 1946, Ketua AMACAB memanggil Paruman Agung dalam rapat di Denpasar, Bali. Rapat tersebut mendiskusikan Konferensi Malino dan Paruman Agung harus mengirim dua perwakilan. Tjokorda Gede Raka Soekawati dan I Gusti Bagus Oka ditunjuk sebagai perwakilan dan didampingi oleh tiga orang penasihat, Pandji Tisna, Ida Anak Agung Gde Agung, dan Gede Panetja.[2]
Paruman Agung memutuskan bahwa Bali harus menjadi sebuah negara bagian di dalam Republik Indonesia Serikat. Ketua konferensi Hubertus van Mook, menolak dan menyatakan bahwa Bali harus dimasukkan ke dalam Negara Indonesia Timur.
Pada 4 November 1946, Paruman Agung menggelar pemilihan untuk menunjuk perwakilan untuk Konferensi Denpasar. Konferensi Denpasar menghasilkan pembentukan Negara Indonesia Timur pada 24 Desember 1946. Soekawati ditunjuk sebagai Presiden Negara Indonesia Timur.[2][3]
Pada 28 Desember 1946, Paruman Agung menggelar rapat dengan agenda pembentukan undang-undang pemilihan parlemen.[2] Raja-raja Paruman Agung membentuk Dewan Raja-raja.[2] Menurut hukum, Paruman Agung bisa menyusun undang-undang, dan juru bicara Paruman Agung akan ditunjuk oleh anggota.[2][3]
Pemilihan Umum
suntingPeraturan
suntingParuman Agung memutuskan bahwa sistem pemilihan umum harus berupa pemilihan umum tidak langsung, dan rakyat akan memilih electoral college (elector wali), yang selanjutnya akan memilih anggota parlemen. Mereka yang berhak memilih adalah mereka yang telah membayar pajak jalan. Mereka yang dipenjara atau terlilit hutang tidak diperbolehkan memilih. Selain itu, hanya mereka yang berusia di atas 25 tahun dan dapat membaca dan menulis yang dapat memilih. Daerah pemilihan dibagi berdasarkan perbekelan (kelompok desa), dan setiap 1000 pemilih dalam perbekelan akan diwakili oleh seorang elektor.[5]
Kerajaan Buleleng, Badung, Gianyar, dan Karangasem masing-masing diwakili oleh 5 anggota dalam Paruman Agung, sedangkan kerajaan Djembrana, Klungkung, dan Bangli masing-masing diwakili oleh 3 anggota.[6][7][8]
Jumlah Pemilih
suntingPemilihan umum diadakan dalam beberapa tahap, dari tanggal 19 sampai 26 April 1947. Tahap pertama pemilihan umum diadakan di Kerajaan Tabanan dari tanggal 19 sampai 20 April, sedangkan tahap terakhir pemilihan umum diadakan di Kerajaan Badung pada tanggal 26 April.< ref name=p54>Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 54</ref>
Penolakan hasil
suntingPada tanggal 9 Juni dan 10 Juli 1947, Dewan Raja mengadakan pertemuan yang menyatakan hasil pemilihan umum di Badung dan Buleleng batal demi hukum.[9][10] Mereka menyatakan bahwa para pemilih dari daerah tersebut terdiri dari pro-republik (yang mereka sebut "ekstremis") dan bahwa para ekstremis telah memberikan tekanan yang mencegah pemilihan umum yang bebas.[9][10]
Meskipun hasil pemilihan umum dibatalkan, ada tuntutan untuk Paruman Agung yang baru dipilih secara demokratis. Maka, pada bulan September 1948, pemilihan umum baru diadakan untuk kerajaan Badung dan Buleleng.[11]
Pasca pemilu Paruman Agung
suntingPada tanggal 15 November 1948, anggota baru Paruman Agung yang dipilih secara demokratis dilantik. Pelantikan tersebut dihadiri oleh raja-raja di Bali, Warga Bali dan Lombok, serta panglima pasukan pasukan Belanda.[12] Berdasarkan undang-undang, Paruman Agung mengajukan tiga calon Ketua Paruman Agung. Nominasinya adalah I Gusti Ktut Ngurah, Ida Bagus Putra Manuaba, dan Anak Agung Nyoman Pandji Tisna. Pandji Tisna, ketua sebelumnya, terpilih menduduki posisi tersebut. I Gusti Putu Gde Kuntri diangkat DPR sebagai Sekretaris Paruman Agung.[13]
Beberapa minggu setelah dewan eksekutif terbentuk, Kabinet Putuhena di Negara Indonesia memberlakukan undang-undang baru mengenai struktur politik di semua wilayah Negara Indonesia Timur. Menteri Dalam Negeri, Lanto Daeng Pasewang, pergi ke Bali untuk menjelaskan bagaimana undang-undang tersebut harus dilaksanakan. Maka, pada tanggal 7 Agustus 1950, pemerintah Bali membentuk panitia baru untuk pelaksanaan undang-undang tersebut. Panitia tersebut terdiri dari lima anggota yang mewakili kelompok politik pro-republik: I Gde Putra Kamayana dari Partai Nasional Indonesia, Raden Sujono dari Masyumi, I Gde Puger dari KPNI, dan wakil pro-federalis I Gusti Putu Merta dari pemerintah dan Anak Agung Gede Djelantik dari para raja. Panitia tersebut memutuskan untuk membubarkan Paruman Agung, dan pada tanggal 25 September 1950, Paruman Agung dibubarkan, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dilantik.[14][15]
Kekuatan politik
suntingMenurut undang-undang tentang struktur politik Bali, Paruman Agung mempunyai empat fungsi utama: mengusulkan RUU (permohonan dan inisiatif), mengubah RUU (amandemen), dan mempertanyakan pemerintah (interpelasi ). Selain itu, anggota Paruman Agung diberikan kekebalan parlemen.[16] Dalam prakteknya, menurut I Made Sendra, dosen Universitas Udayana, Dewan Raja lebih berkuasa dibandingkan Paruman Agung. Paruman Agung jarang menggunakan hak inisiatif dan interpelasinya sehingga menjadikan parlemen hanya sekedar lembaga penasehat. Ia menyatakan, hal ini tidak menyebabkan pemisahan kekuasaan secara nyata antara Dewan Raja dan Paruman Agung.[17]
Daftar Juru bicara
suntingMasa Hindia Belanda (1938—1942)
sunting- G.A.W.Ch. de Haze Winkelman (30 September 1938 - 11 November 1938)
- H.J.E. Moll (11 November 1938—1941)
- M.Boon (1941—1942)
Pasca Kemerdekaan (1946—1950)
sunting- Anak Agung Nyoman Pandji Tisna (4 Februari 1946 — 25 September 1950)
Pembubaran
suntingSetelah terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS), tuntutan untuk membubarkan Paruman Agung semakin meningkat. Dalam kongres di Campuhan Ubud pada tanggal 14 hingga 17 April 1950, salah satu tuntutannya adalah mengganti Paruman Agung dengan badan legislatif yang lebih demokratis.[18] Maka, pada tanggal 8 Juni 1950, Paruman Agung mengadakan rapat darurat untuk membentuk badan eksekutif yang beranggotakan lima orang berdasarkan tuntutan rakyat. Paruman Agung mengangkat tiga orang formatur untuk badan eksekutif tersebut. Para formatur ini akan mengangkat dua orang anggota dari parlemen dan dua orang anggota dari luar parlemen, dan ketua badan eksekutif adalah ketua Dewan Raja. Badan eksekutif terdiri dari Anak Agung Gede Oka sebagai ketuanya, I Gusti Putu Merta yang menangani urusan politik, I Gusti Gede Subamia yang menangani urusan sosial, I Wayan Dangin yang menangani urusan ekonomi, dan I Wayan Bhadra yang menangani urusan umum.[19][20] Badan eksekutif ini masih bertanggung jawab kepada Paruman Agung dan Dewan Raja.[21]
Referensi
sunting- ^ a b Penerangan, East Indonesia Kementerian (1948). Bali membuat sedjarah baru, 1938-1948 (dalam bahasa Melayu). Drukkerij Makassar N.V.
- ^ a b c d e f g h Penerangan, Indonesia Departemen (1953). Sunda Ketjil (dalam bahasa Melayu). Kementerian Penerangan.
- ^ a b c d Ardhana, I Ketut (1993). "BALINESE PURI IN HISTORICAL PERSPECTIVE: The Role of Puri Satria and Puri Pamacutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali 1906 - 1950". doi:10.25911/5d7634a8da426. line feed character di
|title=
pada posisi 139 (bantuan) - ^ Sendra, I Made (2013). "Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950". JURNAL KAJIAN BALI. 03 (01). line feed character di
|title=
pada posisi 41 (bantuan) - ^ Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 53–54
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaArdhana 1993 101
- ^ Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 52–53
- ^ Ardhana 1993, hlm. 100
- ^ a b Ardhana 1993, hlm. 102
- ^ a b Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 54–55
- ^ Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 55–56
- ^ name=p56>Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 56
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamap56
- ^ Picard 2011, hlm. 488
- ^ Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 59
- ^ Sendra 2013, hlm. 97
- ^ Sendra 2013, hlm. 98
- ^ Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 57–58
- ^ Wirawan 2008, hlm. 59
- ^ Kementerian Penerangan Indonesia 1953, hlm. 58
- ^ Sendra 2013, hlm. 105
Daftar Pustaka
sunting- Ministry of Information of East Indonesia (1949). Bali Membuat Sedjarah Baru, 1938-1948.
- Ministry of Information of Indonesia (1953). Sunda Ketjil. Jakarta.
- Ardhana, I Ketut (December 1993). BALINESE PURI IN HISTORICAL PERSPECTIVE: The Role of Puri Satria and Puri Pamacutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali, 1906 - 1950 (PDF). The Australian National University.
- Sendra, I Made (April 2013), Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950, Jurnal Kajian Bali
- Picard, Michael (2011), "Balinese religion in search of recognition: From Agama Hindu Bali to Agama Hindu (1945-1965)", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 167 (4): 482–510, doi:10.1163/22134379-90003581
- Wirawan, A.A. Bagus (February 2008), Respons Lokal terhadap Revolusi Indonesia di Sunda Kecil, 1945-1950 (PDF), Humaniora